MAMAKU BINAL
GENRE : DRAMA EROTIC
JUMLAH HALAMAN : 106 HALAMAN
HARGA : Rp 20.000
PART 1
Aku tak pernah
mengatakan bahwa 25 tahun pernikahanku adalah buruk, sejak malam pertama semua
berjalan indah dan bahagia sampai kemudian 7 tahun terakhir kurasakan
membosankan. Dari segi materi, kehidupan kami bisa dikatakan masuk kalangan
menengah atas. Aku sendiri adalah pemilik sebuah butik dan salon yang cukup
ternama. Suamiku, seorang manager dari kantor cabang regional sebuah perusahaan
internasional pemasok obat dan alat-alat medis. Aktivitasnya seputar seminar
dan presentasi pengenalan produk ke berbagai rumah sakit di berbagai daerah dan
tentu saja menuntut terciptanya hubungan personal dengan klien , seperti golf
bersama dan lain-lain. Hal itu menyebabkan ia sangat jarang berada di rumah,
meskipun banyak memberikan kesejahteraan materi yang amat berlimpah. Kami
tinggal di komplek perumahan mewah di pinggiran Jakarta.
Kehidupanku
mulai terasa sepi ketika anak-anak beranjak dewasa. Anakku yang tertua, Eva,
baru saja menikah dan ikut suaminya ke luar negeri. Sementara anakku yang
kedua, Sean, masih kuliah semester 4 di sebuah perguruan tinggi di Jogjakarta.
Dulu, ketika suami mulai menanjak kariernya dan mulai jarang di rumah, aku
masih terhibur dengan kehadiran anak-anak, kini aku hanya ditemani pembantu
lepas yang pulang kerja sore hari. Untunglah aku masih punya usaha untuk
membunuh waktu dan sepi serta sesekali berkumpul bersama rekan-rekan sosialita,
atau ke gym dan spa. Lingkungan sekitar sangat jarang bergaul, mereka juga
orang-orang kaya yang sibuk.
Akhir-akhir
ini aku merasa sering kelelahan, terkadang sepulang melihat butik dan salonku
kudapati diriku tertidur di sofa. Entah karena faktor usiaku yang sudah 45
tahun atau karena terlalu banyak beraktivitas? Ya, dulu kegiatanku paling
seputar bersosialita atau ke gym saja, kini semakin bertambah sejak kumulai
usaha sendiri 4 tahun lalu.
Esoknya
kuperiksakan diri ke dokter langgananku, dokter mengatakan tidak ada masalah,
hanya menyuruhku untuk banyak istirahat dan memberikan resep vitamin. Kuturuti
saran dokter, aku mulai menunjuk manager untuk mengelola bisnisku. Aku lebih
banyak berada di rumah, hanya sesekali keluar untuk aerobik di gym. Ya, aku
memang rutin merawat dan menjaga tubuhku. Siapa yang tak khawatir suamiku
berpaling ke wanita lain mengingat karier dan kemapanannya? Walau jujur,
kecurigaan itu pasti ada.
Namun,
lama-lama bosan juga di rumah. Walaupun nasihat dokter ada benarnya, aku jadi
kembali bugar. Aku tengah membaca majalah sore itu ketika tiba sebuah mobil
parkir di carport depan garasi. Tak lama pintu di ketuk dengan cukup keras. Sean,
pikirku senang. Sudah kebiasaannya, anak muda enerjik itu suka mengetuk pintu
keras-keras walau sering dimarahi ayahnya. Aku beranjak membuka pintu,
“Sean, anak mama!” ujarku
sambil memeluknya dan mencium keningnya. Sean balas memelukku.
“Mama!” Balas Sean sambil menjatuhkan
tas kopernya.
“Apa kabar Sean? Kok pulang?”
tanyaku seraya membimbingnya ke ruang tengah.
“Ah, gimana sih mama? Udah pikun ya? Seminggu kemaren kan aku
udah bilang kalau aku libur akhir semester kan?”
jawabnya setengah menggerutu.
“Mama siapin makan ya?” tawarku.
“Ntar aja, Ma. Sean mau ambil barang-barang yang masih di
mobil, ada salak pondoh buat Mama.” ujar Sean
seraya beranjak pergi.
“Kamu kenapa nggak naik pesawat aja sih? Ngapain capek-capek
bawa mobil sendiri?” tanyaku .
“Terus siapa yang ngurus mobilku di Jogja Ma? Dititipin teman
bisa-bisa ancur tuh mobil. Lagian jalan-jalan pake mobil Mama, Sean ogah,
terlalu feminim!” jawab Sean.
“Ya udah, makan sana, terus mandi dan istirahat.” kataku lagi.
***
Hari-hari
berikutnya kulalui bersama Sean. Kami shoping di mall, nonton bioskop, makan di
luar dan sebagainya. Agak aneh juga, biasanya Sean keluar bersama teman-teman
se SMA-nya dulu, atau pacarnya, Vita.
“Sean, gimana Vita?” tanyaku
suatu hari.
“Dah putus Ma.” jawab Sean
tanpa ekspresi.
“Kenapa? Apa kamu udah punya pacar lain di Jogja?” Sean hanya nyengir.
“Wajib dong Ma, tapi yang di Jogja juga udah putus. Si Vita juga
udah jalan sama yang lain, lagian tuh anak kekanak-kanakan banget.” Aku tersenyum dan bertanya lagi,
“Terus tipe kamu yang kek mana Sean?”
“Yang dewasa Ma. Males pacaran ma ABG lagi.” jawabnya singkat sambil terus memainkan playstationnya.
“Lha kamu juga kekanak-kanakan gitu, udah gede juga masih main
game, nggak keluar main sama teman-teman?”
kataku lagi.
“Yah Mama, nggak seneng apa Sean ada di rumah? Lagian
temen-temen Sean juga udah banyak yang kuliah di luar Jakarta, bahkan ke luar
negeri.” jawab Sean.
“Hihihi…sorry, Sean. Mama seneng kok ada kamu di rumah.” ujarku.
“Papa kemana, Ma?” tanya Sean.
“Papamu lagi ada kerjaan di Makassar, ada rencana pembangunan
rumah sakit besar di sana. Biasa, sedang melobi untuk menangin tender pengadaan
barang, katanya sih sebulan di sana.” jawabku.
Sean terdiam
sambil matanya terus mengarah ke layar TV dan jemari memainkan stick
playstationya. Aku melanjutkan membaca majalah wanita, Sean berhenti memainkan
playstation lalu pergi ke belakang, mungkin mencari kudapan.
“Ada blackforest di kulkas, Sean.”
ujarku pelan. Beberapa saat kemudian, Sean datang dengan sepotong blackforest
di atas piring dan secangkir teh.
“Spesial buat Mama.” ujarnya
sambil meletakan teh di hadapanku.
“Tumben, sejak kapan
kamu jadi baik begini?” tanyaku tersenyum.
“Ah, dari dulu kan Sean udah baik, Ma. Cuma emang rada cuek aja.” jawabnya sambil nyengir.
“Ah, dasar kamu. Makasih ya, Sean,”
ujarku sambil menyeruput teh itu.
Sean mematikan
playstation kemudian beralih ke tayangan Netflix memilih-milih film. Layar 42
inchi tersebut tak lama kemudian menayangkan adegan film. Hari semakin gelap
seiring terbenamnya matahari. Baru lima belas menit adegan berlangsung, mataku
menjadi sangat berat dan aku tertidur.
Jam 3 pagi aku
terbangun, agak heran mendapati diriku sudah si atas springbed di kamarku di
lantai atas, mungkin Sean mengangkatku tadi. Mataku samar-samar mendapati lampu
tidur menyala dengan sinar redupnya. Aku melanjutkan tidur.
***
Keesokan
paginya, aku bangun. Menggeliat sebentar lalu bangun, mendapati diriku bahkan
belum sempat mengganti blus santaiku dengan baju tidur. Aku bangkit menuruni
springbed, mematikan lampu tidur dan membuka jendela supaya sinar matahari
masuk. Mataku silau lalu duduk di depan cermin meja rias, sedikit heran
mendapati 4 kancing blusku terbuka dan sebelah bra terangkat meloloskan sebelah
payudaraku, mungkinkah karena gerakan tidurku tadi malam?
Kurapikan
pakaianku lalu berjalan ke kamar mandi, dan kali ini kudapati celana dalamku
teronggok di lantai kamar. Aku benar-benar kaget, segera kumasukkan tanganku ke
dalam celana pendek yang kupakai. Aneh, aku masih mengenakan celana dalam,
hanya saja aku tak begitu yakin apakah yang kupakai sekarang sama dengan yang
kupakai kemarin? Entahlah, aku segera ke kamar mandi, melepaskan seluruh
pakaianku bersiap untuk mandi. Sean sudah dalam keadaan rapi bersiap untuk
keluar, ketika aku turun ke bawah.
“Kamu mau kemana, Sean?” tanyaku.
“Eh, Mama. Keluar sebentar, Ma. Barusan si Anto nelpon, lagi
libur semester juga dia.” jawab Sean sambil memasang tali
sepatu.
“Udah sarapan, Sean?” tanyaku.
“Udah, Ma. Bi Inah udah datang, udah bikin nasi goreng sama
roti bakar tadi. Sean pergi dulu ya Ma!” jawabnya.
“Hati-hati, Sean.” balasku.
***
Sore itu aku
kembali duduk di ruang keluarga, sedang browsing membuka-buka website fashion
terbaru sambil sesekali melirik siaran TV. Kali ini Aku memakai gaun tidur
tanpa lengan yang sedikit sexy. Kudengar suara mobil Sean masuk halaman rumah.
"Mama…"
sapa Sean sambil mendekatiku dan mencium keningku.
"Abis
dari mana, Sean?" tanyaku sambil terus menatap laptop.
"Biasa Ma,
main. Besok mau main futsal bareng temen-temen SMA." ujar Sean dambil
duduk di sebelahku memencet remote TV, sesekali matanya melirikku.
"Ada apa,
Sean?" tanyaku.
"Nggak, Ma.
Mama kelihatan tambah cantik pake kacamata itu, baru ya?" tanya Sean.
"Ah,
nggak. Mama beli 4 bulan lalu kok." jawabku.
"Udah
mandi sana, kalau mau makan di meja makan udah disiapin Bi Inah tadi."
perintahku.
"Okay,
boss!" kata Sean sambil mencium pipiku.
"Hush,
kamu ini bas bos aja!" jawabku sambil mencubitnya ringan. Beberapa saat
kemudian, Sean kembali dengan kostum basket dan celana pendek membawakan
segelas teh hangat untukku.
"Makasih,
Sean. Hmm, kamu jadi agak dewasa ya sekarang? Nggak kolokan kayak dulu."
kataku sambil meminum teh tersebut.
"Orang
kan pasti berubah, Ma. Liat apa sih Ma? Kok asyik banget kayaknya." tanya Sean
sambil kepalanya bersandar ke bahu lenganku yang terbuka.
"Ah, cuma
lihat mode fashion, cari inspirasi untuk koleksi butik." jawabku.
Sean cukup
lama bersandar di pundakku, entah menyaksikan laptop,
Atau…
Ups!
Aku tersadar
gaun tidurku memungkinkan belahan dadaku terlihat. Sialan pikirku, namun di
sisi lain menyadari pemuda seusia Sean pasti sedang panas-panasnya mengalami
puber. Segera kudorong kepalanya.
"Udah ah,
pundak mama pegel nih!" kataku beralasan. Sean tersipu lalu beralih
menyaksikan TV.
Entah kenapa,
kira-kira 10 menit kemudian kembali aku mengantuk berat. Dan kali ini pukul 2
dinihari aku bangun, mendapati diriku tertelungkup di atas springbed. Dengan
mata masih agak berat aku menyapu ruangan kamar tidurku, lampu tidur redup,
laptop di atas meja kecil sebelah meja rias telah tertutup.
Kepalaku bukan
mengarah ke posisi kepala springbed, tetapi menyerong ke samping. Aku mencoba
mengangkat badanku sebelah atas, kudapati bra yang kupakai telah terlepas
pengaitnya, mangkuk branya pun terdongak ke atas membuat kedua payudaraku tak
tertutup. Gaun bagian bawah tersingkap sampai sebatas pinggang, dan celana
dalamku melorot sampai separuh pantat.
Ohh, aku
ketiduran lagi, pikirku, terduduk dan kemudian bangkit ke kamar mandi untuk
buang air kecil. Usai meneguk air, kembali aku mencoba untuk tidur. Di tengah
rasa kantuk, aku berfikir, bagaimana jika Sean melihat tubuhku tadi? Mungkinkah
Sean bertindak kurang ajar?
Kuragukan hal
itu, aku tahu persis. Sean memang kadang slengekan, tapi sangat hormat dan
menyayangiku. Akulah yang selalu dominan hadir dalam membesarkan anak-anakku,
dibanding ayah mereka yang selalu sibuk berbisnis. Tak heran, anak-anak sangat
dekat denganku.
“Hmm,
agaknya aku kembali mengalami keletihan, besok aku akan ke dokter lagi.”
Kataku dalam hati.
***
Pagi hari
kembali aku bangun. Langsung menuju kamar mandi, kulepaskan satu persatu
pakaianku, sambil menunggu bathtub dipenuhi air aku menuju meja rias. Dalam
keadaan bugil kulihat tubuhku di cermin. Masih sangat ideal untuk seorang
wanita berusia 40 tahunan, payudaraku masih terlihat kencang dan kulitku masih
sehalus wanita usia 20. Tak sia-sia aku rutin ke spa, aerobik dan ke
pusat-pusat kecantikan, hanya ada sedikit gurat halus di bagian ujung mata kiriku.
Aku ingat
ketika rekan-rekan suami mengalihkan perhatiannya kepadaku pada suatu acara
pesta. Dasar lelaki, pikirku. Tapi di sisi lain, terkadang aku kecewa, mengapa
terlau suami sering meninggalkanku?
Apakah murni karena bisnis atau dia punya affair dengan wanita lain? Kehidupan
sex kami selama 25 tahun menikah memang monoton saja. Apalagi saat anak-anak
kami mulai remaja. Bisa dikatakan aku sangat jarang disentuh suami, namun hal
itu bukan suatu masalah.
Aku seperti
wanita normal kebanyakan, bahkan mungkin konservatif. Sex tak lebih sekedar
untuk memuaskan suami, bukan aku frigid, tak jarang suatu ketika hasrat itu
muncul menggebu-gebu, namun kesibukanku membuat aku tak memikirkannya lagi.
Godaan justru muncul dari rekan-rekan sosialitaku. Aku tahu persis 2-3 orang
diantara mereka mengaku terang-terangan sering memakai pria muda untuk kepuasan
mereka.
Sebagian lain aku yakin juga melakukannya
namun secara diam-diam, informasi ini kudapat dari rekan sosialita yang mengaku
terang-terangan. Bukannya aku tak tergoda, hanya saja aku tak punya cukup
keberanian, bekal agama dan ajaran orang tua masih menjaga moralku. Sejenak Aku
tersadar dari lamunan dan kemudian bergegas ke kamar mandi.
***
Kembali dokter
mengatakan bahwa aku baik-baik saja, resep yang sama juga kuterima, banyak
istirahat dan minum vitamin. Setelah dari dokter, aku meninjau tempat usahaku.
Sore menjelang maghrib baru pulang ke rumah. Sean sudah di ruang keluarga
bermain playstation ketika aku tiba.
"Dah
pulang, Sean?" tanyaku sembari melepas sepatu.
"Iya,
darimana Ma?" tanyanya.
"Biasa,
lihat butik dan salon, kamu udah makan? Nih mama bawain donat." sembari
meletakan sekotak donat di meja depan Sean duduk.
"Wah,
asyik nih. Tapi lebih mantep lagi kalau ditemani teh hangat, setuju Ma?"
tanya Sean.
Aku hanya
tersenyum dan duduk sementara Sean menuju ke dapur. Kami menghabiskan donat
sambil minum teh mengobrol ngalor ngidul. Dan kembali, 15 menit kemudian mataku
berat, entah bagaimana aku kembali tertidur. Seperti yang sudah-sudah jam 3
dini hari aku terbangun di atas springbedku.
Di tengah
temaram lampu kamar, kukedip-kedipkan mata mencoba menghilangkan rasa kantuk.
Kudapati tubuhku kembali tertelungkup, aku beringsut mencoba telentang. Aku mendapati
tubuhku masih mengenakan blus, kancing semua tertutup hanya saja agak janggal
mendapati beberapa kancing tidak berada pada tempatnya. Resleting rokku di
belakang juga terbuka, dan ujung atasnya melorot sampai pinggul, menampakan
separuh pantatku yang masih terbungkus celana dalam.
Aku terduduk.
Aku ketiduran lagi, apa yang terjadi pada diriku? Aku bangkit menuju kamar
mandi, rasanya kebelet buang air kecil, sampai tiba-tiba kakiku menginjak
sesuatu. Samar-samar dalam temaram cahaya lampu kuambil sesuatu dari lantai. Lho,
celana dalamku? Bukankah ini yang kupakai sore tadi? Hatiku bertanya-tanya
heran sambil meraba selangkanganku. Aneh, rupanya aku masih pakai celana dalam.
Kuletakan
celana dalam hitam itu ke keranjang pakaian kotor, lalu aku pergi ke kamar
mandi untuk buang air kecil. Sesaat aku melepaskan rok di pintu kamar mandi,
kemudian masuk ke dalam, melorotkan celana dalam sampai sebatas lutut, lalu
jongkok untuk kencing. Air seni mengalir deras dari kemaluanku, sampai mataku
tertumbuk pada celana dalam yang kupakai. Celana dalam berwarna merah dari
bahan seperti jaring dengan kain selubung vagina ke belakang sampai ke atas
sangat tipis. Aku tak mengenali celana dalam ini, aku semakin heran.
Usai buang air
kecil dan membersihkan kemaluan dan melepas celana dalam merah itu. Kuhidupkan
lampu kamar, di depan meja rias aku perhatikan baik-baik, kubalik-balik celana
dalam itu. Oh ya aku ingat, aku pernah membeli celana dalam ini, hanya saja aku
lupa kapan, tapi aku yakin sudah cukup lama, kubeli untuk menyenangkan suamiku
dulu sekali.
Hatiku mulai
berdegup kencang, ini suatu keanehan, pikirku. Lalu kubuka laci paling bawah
meja rias tempat aku menyimpan celana dalamk. Nampak teracak-acak, tidak
seperti biasanya rapi teratur, karena aku adalah orang yang rapi. Hmm, aku
mulai curiga pada Sean. Ini pasti ulahnya, memanfaatkan kesempatan saat aku
terlelap. Oh Sean, kurang ajar kamu!
Emosiku
bangkit, ingin segera aku melabraknya, namun aku masih bisa menahan diri. Hati
kecilku berkata untuk sabar dan untuk tidak menuduh langsung, semua harus
dibuktikan, pikirku. Ya, bukti. Tapi bagaimana? Sisi hatiku yang lain justru
berdesir sedikit, entah perasaan senang atau tersanjung, sulit kugambarkan,
bahwa aku menjadi objek ketertarikan seksual seorang anak muda walau itu anak
kandungku sendiri. Namun buru-buru perasaan itu kutepis. Singkat kata, aku
ingin memberi pelajaran pada Sean walau aku bingung bagaimana mengatur
strateginya. Aku segera mengganti pakaian kerja dengan gaun tidur, mencoba
tidur kembali.
Posting Komentar
0 Komentar