PEMUAS BIRAHI
SINOPSIS:
Kusandarkan
punggungku ke sandaran kursi kerjaku. Kulepaskan kacamataku, kemudian kuusap
lensanya dengan kain pembersih lensa. Penat sudah mataku melihat susunan
angka-angka yang masih terpampang di layar komputer di atas meja kerjaku. Jam
12 kurang 10 menit, itu yang ditunjukan oleh jam tanganku. Pantas saja ruangan
tempat aku kerja sudah terasa sepi. Ruangan ukuran sekitar seratus meter
persegi yang dihuni sebelas pekerja ini tinggal menyisakan tiga orang saja
termasuk aku. Lainnya pasti sudah berhamburan untuk makan siang di luar kantor
atau menuju tempat ibadah.
“Ran, elo
makan siang dimana?” suara Mbak Dewi yang duduk jeda dua meja sebelah kiriku.
Mbak Dewi ini
usianya lebih tua tiga tahun dariku. Kami seangkatan masuk kerja, dan sama-sama
ditempatkan di unit anggaran kantor pusat sebuah BUMN bidang jasa transportasi.
“Kayanya makan
di rumah nyokap deh Mbak.”
Kupakai
kembali kacamataku. Kemudian kusiapkan barang-barang seperlunya yang akan aku
bawa. Dompet, handphone, dan kunci mobil. Ya, cukup ini aja yang perlu aku
bawa. Akupun sengaja tidak mematikan komputer kerjaku karena aku tidak
bermaksud belama-lama keluar kantor. Aku bangkit dari tempat dudukku.
“Gue jalan
dulu ya Mbak.” pamitku ke Mbak Dewi.
“Ok!” jawab
Mbak Dewi singkat.
Kulangkahkan
kakiku ke luar ruangan menuju lift. Ruangan tempatku kerja ada di lantai 4 dari
keseluruhan 6 lantai gedung ini. Kulihat ada tiga orang menunggu di depan lift.
Mereka semua teman-temanku tapi dari unit yang berbeda, walaupun masih dalam
satu direktorat yaitu keuangan. Tampak pintu lift pun terbuka, kupercepat
langkah kakiku, karena jarak ke pintu lift masih sekitar 5 meter. Setelah
berbasa basi ringan dengan teman-temanku di lift, kami pun tiba di lantai dasar
dan pintu lift pun terbuka.
Cuaca sepertinya
sedang sangat panas, ini terasa begitu pintu lobby gedung terbuka. Dengan
langkah cepat aku langsung menuju parkiran sambil mengingat di mana mobilku
tadi pagi aku parkir. Kututupi atas kepalaku dengan tangan kiri, lumayan
mengurangi teriknya matahari langsung menghujam kepalaku. Akupun buru-buru
masuk ke mobilku. Segera kunyalakan mobil dan memposisikan tombol AC ke yang
paling tinggi. Sambil menunggu mobilku siap dijalankan, aku sempatkan menelepon
suamiku, Doni, hanya sekedar menanyakan kabarnya dan memberitahukannya kalau
aku akan ke rumah orangtuaku. Tidak lupa juga kutelepon rumahku untuk
menanyakan kepada baby sitter keadaan anakku.
Rumah
orangtuaku tidak jauh lokasinya dari kantor tempatku kerja. Hanya sekitar 800
meter. Orangtuaku menempati rumah dinas milik kantor dan sudah kami tempati
sejak sebelum aku lahir. Papahku seorang pensiunan dari perusahaan yang sama
denganku. Rumah yang ditempati orangtuaku ini sudah berganti atas namaku,
sehingga mereka masih dengan leluasa tinggal di rumah itu, padahal orangtuaku
ini juga mempunyai rumah yang cukup besar di perumahan mewah di kotaku, tapi
mereka beranggapan rumah dinas ini mempunyai nilai historis mereka selama lebih
dari dua puluh lima tahun tinggal di sana.
Sedangkan aku
sendiri telah tiga bulan ini pindah ke rumah sendiri yang lokasinya sekitar
lima kilometer dari tempat kerjaku. Awalnya kedua orangtuaku keberatan rencana
aku pindah, karena aku sebagai anak bungsu dan kedua kakakku yang sudah tinggal
di rumahnya masing-masing, maka saat ini praktis hanya tinggal kedua orangtuaku
dan asisten rumah tangga bernama Mpok Ela.
Namaku Rani,
usiaku saat ini 24 tahun. Aku bungsu dari tiga bersaudara yang seluruhnya
perempuan. Kedua kakakku sudah menikah dan masing-masing-masing mempunyai dua
anak. Sedangkan aku sendiri baru diberi anak satu dari satu setengah tahun usia
pernikahanku dengan Doni. Anakku bernama Ari, masih berusia 7 bulan.
Diantara
kakak-kakakku, aku yang paling tinggi. Tinggiku 168 centimeter, beratku saat
ini 57 kilogram, 8 kilogram lebih berat dari sebelum aku hamil anakku. Kulitku
kuning langsat agak kecoklatan. Kami bertiga mempunyai wajah yang mirip satu
sama lain. Kakakku yang kedua, Mbak Risa, yang paling cantik dengan kulitnya
yang putih bersih.
Setibanya di
rumah orangtuaku, kuparkirkan mobilku di depan pagar. Sengaja aku parkir di
luar pagar, karena memang aku tidak berniat lama-lama di sini. Aku lihat dari
balik pagar ada mobil keluarganya Mbak Risa terparkir di garasi, tapi yang ini
biasanya dipakai Mas Rio, suaminya Mbak Risa, karena Mbak Risa ke kantor
menggunakan mobil lainnya yang lebih kecil.
“Eh Mbak
Rani?!” tiba-tiba ada suara dari dalam pagar. Tidak lama kemudian pintu pagar
terbuka, muncul sang pemilik suara yaitu Mpok Ela.
“Ada siapa aja
di dalem Mpok?” tanyaku.
“Ada Mamah
lagi di kamar, Mbak. Kayanya sih lagi tidur. Kalo Papah lagi pergi main golf.”
jawab Mpok Ela.
“Ngga ada Mbak
Risa? Itu ada mobilnya?”, tanyaku lagi.
“Itu bukan
Mbak Risa, Mbak. Tapi Mas Rio, itu ada di kamar atas.” jawab Mpok Ela lagi.
“Ooo kirain
Mbak Risa.” kataku.
“Mobilnya ngga
dimasukin garasi aja Mba?” tanya Mpok Ela.
“Ngga usahlah,
cuma sebentar kok.” jawabku sambil tersenyum.
“Laundry-an
aku udah ada belum Mpok? Kalau udah ada, tolong siapin ya Mpok. Mau aku bawa.”
ucapku lagi.
“Udah ada
Mbak, nanti Mpok siapin. Ngomong-ngomong Mbak Rani mau sekalian makan di sini
ngga? Kalau mau, Mpok siapin makanan sekarang.” ucap Mpok Ela.
“Iya Mpok. Aku
ke kamar Mamah bentar.” jawabku.
Akupun segera
masuk ke rumah dan menuju kamar Mamahku yang ada di lantai bawah. Rumah ini ada
enam kamar. Tiga kamar di atas merupakan kamar aku dan kakak-kakakku sebelum
kami semua berkeluarga. Saat ini tetap tidak ditempati siapapun, karena memang
sengaja sebagai tempat jika aku dan kedua kakakku main ke sini.
Kubuka pintu kamar secara perlahan, takut
membangunkan Mamahku. Tampak di tempat tidur Mamahku tertidur lelap. Aku
urungkan niat untuk masuk kamar Mamahku. Akupun menuju ruang makan, terlihat
Mpok Ela sibuk menyiapkan makanan untukku.
“Silahkan Mbak
Rani makan. Mpok tinggal dulu ya. Mau nyetrika. Kalau butuh apa-apa panggil aja
ya Mbak.” ucapnya lalu Mpok Ela berjalan menuju bagian belakang rumah.
“Ok Mpok,
terima kasih.” jawabku. Akupun mulai menyantap makan siangku sambil memainkan handphone
melihat perkembangan-perkembangan di media sosial.
Selesai makan,
aku masih berdiam sejenak di meja makan. Tiba-tiba aku teringat kalau ada Mas
Rio di kamar atas. Akupun berniat untuk menemuinya sekedar bertanya kabarnya.
Kubereskan piring bekas aku makan dan menempatkannya ke tempat cuci piring.
Setelah mencuci tanganku, aku pun langsung menuju tangga dan menaikinya menuju
kamar Mbak Risa dulu.
Kamar Mba Risa
ini tepat sebelahan dengan kamarku. Dulunya kamar kami ini kamar yang besar,
akan tetapi seiring pertumbuhan kami, maka orangtuaku membagi dua kamar ini
dengan disekat menggunakan material gypsum.
Kuketuk pintu
kamar Mbak Risa dulu, sambil memanggil Mas Rio pelan. Tidak ada jawaban. Aku
buka pintu perlahan. Kulihat Mas Rio tidur terlentang sedikit di sisi kanan
tempat tidur dengan posisi tangan dan kaki agak direntangkan ke samping.
“Mas Rio?”
kupanggil namanya sekali lagi.
“Mmmm…” jawab
Mas Rio pelan dengan mata masih tertutup.
“Lagi ngapain
Mas?” tanyaku.
“Ngewe.”
jawabnya asal.
“Yeee orang
ditanyain bener juga?!”, kataku.
“Lagian elo
pake nanya lagi, udah tau lagi tidur gini.” balasnya.
“Kalau tidur
kok masih ngomong? Ngigo ya? Hehehe…” candaku sambil menghempaskan pantatku ke
tempat tidur dengan posisi sembilan puluh derajat dari posisi sebelah kiri Mas
Rio. Kuambil bantal dan kujadikan tempat sandaran di tembok kamar dengan kaki
aku luruskan di tempat tidur.
“Seriusan Mas,
ngapain di sini? Kok ngga kerja?” tanyaku sambil kembali memainkan handphoneku.
“Kaga, lagi
izin gue. Badan gue pegel-pegel. Udah seminggu lebih lembur terus. Mau
istirahat di rumah ngga bisa. Ini juga Risa yang nyuruh gue ke sini.” jawabnya
kulihat tetap dengan mata tertutup.
“Nah elo
sendiri ngapain ke sini? Nyari makan gratisan ya?” tanyanya ngeselin.
“Sial, mau
ambil laundry-an. Tapi yaa sekalian juga makan gratisan sih. Hehehe…” jawabku.
“Udah kebaca.”
tanggapnya enteng.
Mas Rio pun
merubah posisi kaki kirinya dengan menekuknya ke atas. Sehingga membuat ujung
celana pendek berbahan parasut hitam yang dipakainya dengan mudahnya turun
sampai pangkal pahanya. Dan ini membuat terlihat “makhluk” yang tinggal di
selangkangan Mas Rio. Memang kakak iparku sering aku perhatikan tidak pernah
pakai celana dalam kalau memang niat perginya hanya ke rumah orangtuaku ini,
karena rumah dia dengan rumah orang tuaku tidak lebih dari satu kilometer.
Terlihat jelas
makhluk itu masih dalam keadaan tidur, dengan kepalanya sedikit serong ke kiri
bersandar di kantong telurnya. Degh, jantungku langsung berdegub kencang,
darahku pun berdesir, karena secara otomatis memori kenikmatan itu berputar di
kepalaku teringat kejadian satu setengah tahun lalu. Pikiranku melayang
mengingat kembali bagaimana kenikmatan yang pernah diberikan makhluk itu
kepadaku pada saat dia mengamuk dan marah mengoyak-ngoyak sarang kenikmatanku.
Masih teringat
jelas di otakku bentuk penis Mas Rio. Secara ukuran memang tidak berbeda dengan
milik Doni, suamiku. Tetapi bentuknya yang unik membuat indera kenikmatanku
tidak akan melupakannya. Pada saat ereksi kepala penisnya yang besar dan
mengembang seperti kapala jamur, mengecil dan seperti ada sekat di leher penis,
membesar di batang penis, dan mengecil kembali di pangkal penis.
Posting Komentar
0 Komentar