DESIR BIRAHI

 


GENRE : THRILLER EROTIC

JUMLAH HALAMAN : 65 HALAMAN

HARGA : Rp 10.000

Kriiiiiiiiiing .....!!!!

Bunyi alarm di pagi itu membuatku terbangun, yang artinya juga sebagai pertanda akan dimulainya segala aktifitas pada hari itu.

"Huuuaaaaa…Eeehhhhmmm…"

Dengan masih mengantuk aku mencoba menggerakkan tangan mencari letak alarm tersebut untuk kemudian mematikannya sebelum mengeluarkan bunyi berisik lebih lama lagi. Setelah mematikan alarm aku segera bangkit, sejenak menggerakkan badan melemaskan otot yang masih kaku. Kubuka jendela untuk menikmati udara segar. Mentari mulai memerah di ufuk timur, hawa dingin masih terasa karena sisa hujan semalam.

Setelah dari kamar mandi dan berganti pakaian dengan kaos dan training untuk sekedar jogging, sesaat setelah aku keluar dari kamar. Di meja makan sudah segelas kopi, aku meminumnya untuk sedikit menghangatkan badan. Keluar dari pintu depan, kujumpai kakek sedang duduk di teras sambil minum teh.

"Sudah bangun Lang?" tanya kakek.

"Ya, Kek... " jawabku. Setelah berbincang sebentar, aku pamit pada Kakek.

"Kek, Elang keluar sebentar, mau cari keringat Kek."

"Ya.. hati-hati dan jangan lama-lama, nanti bisa terlambat ke kantor."

"Baik Kek..," jawabku sambil berlari kecil meninggalkan rumah.

***

Saat di jalan ingatanku melayang pada kakek. Betapa baiknya kakek dan nenek padaku. Sekilas tentang orang yang aku panggil Kakek dan Nenek tadi, walau aku memanggil mereka kakek dan nenek, tapi sebenarnya kami tidak ada hubungan keluarga sama sekali.

Sejak kecil aku hidup di Panti Asuhan, hingga delapan tahun yang lalu mereka mengangkatku menjadi anak asuh. Mereka berdua sudah tidak mempunyai keluarga lainnya. Anak, menantu dan cucu mereka sudah pergi untuk selamanya karena sebuah peristiwa tragis yang sampai saat ini enggan mereka ceritakan detail kejadiannya padaku, dengan alasan biarlah peristiwa pahit tersebut hanya akan menjadi kenangan untuk mereka berdua tanpa perlu orang lain mengetahui atau mengalaminya, termasuk aku.

Kakek adalah pensiunan polisi dengan pangkat terakhir Kolonel, sekarang biasa disebut Kombes atau Komisaris Besar. Kakek adalah polisi yang baik, jujur dan berdedikasi tinggi. Karena sifatnya itu, sampai sekarang kakek masih dihormati. Baik di kepolisian maupun di masyarakat sekitar.Aku meneruskan jejak kakek menjadi polisi. Bukan karena paksaan kakek aku menjadi polisi, tapi karena keinginanku sendiri.

Namaku Elang Arnando. Usiaku saat ini 23 tahun. Tinggi dan berat badan, 185 cm dan 78 kg. Semenjak tinggal dengan mereka, Kakek selalu menanamkan sikap disiplin, kejujuran dan etos kerja padaku. Memang awalnya kurasakan terlalu berat dan berlebihan, namun, akhirnya saat ini apa yang telah diajarkan Kakek padaku dapat aku rasakan manfaatnya, dan tentu saja, semua berlaku atas keberhasilan yang aku rasakan saat ini.

Jam enam kurang aku sudah sampai di rumah. Setelah keringat hilang aku segera beranjak ke kamar mandi. Jam setengah tujuh aku berangkat ke kantor, setelah pamit kepada kakek.

***

Apel pagi selesai. Semua peserta apel kembali menuju ruangan dan tempat kerja masing-masing. Sambil berjalan menuju ruangan, aku berbincang-bincang dengan Rudi. Dia temanku satu angkatan di Akpol. Sebagai anak muda selain membicarakan masalah pekerjaan, kami juga membahas soal wanita. Saat asik bercanda, Andi memanggil kami. Setelah berjalan bersama kami, dia berkata

"Nanti kita bertiga diminta Pak Kasat untuk ikut dia. Dia bilang ini tugas rahasia. Kita bertiga diminta untuk siap-siap. Karena sewaktu-waktu kita berangkat."

"Kemana tujuan kita?" tanyaku. Andi hanya mengangkat bahu. Setelah itu kami hanya bisa siap sedia, tanpa tahu maksud dan tujuan dari tugas kami.

Jam sembilan kami meluncur meninggalkan Poltabes menggunakan Toyota Fortuner milik Kasatreskrim, AKBP Yudi Guntoro atau kami semua sering memanggilnya Pak Yudi yang di sopiri oleh AKP Andi Sofian yang biasa ku panggil Andi. Sementara aku dan temanku Iptu Rudi Warsito alias Rudi ada di kursi belakang. Mobil melaju kearah timur menuju Karanganyar. Di pusat Kabupaten Karanganyar, mobil berhenti. Pak Yudi menghubungi seseorang, setelah itu dia memberi kode kepada Andi untuk melanjutkan perjalanan kearah timur.

Di sebuah restoran di daerah Karangpandan mobil berhenti. Pak Yudi kembali menelepon seseorang, sesaat setelah menutup telepon dia turun dari mobil. Dia menyuruh aku dan Rudi mengikutinya. Sementara Andi tetap ditempat, diminta untuk mengawasi setiap orang dan kendaraan yang keluar masuk.

Restoran ini cukup besar. Mungkin karena dekat objek wisata yang terkenal, Tawangmangu. Mempunyai dua tempat untuk pelanggan. Di depan untuk umum, sementara bila menginginkan tempat yang lebih privasi ada di bagian belakang. Kami mengikuti Pak Yudi kebagian belakang. Di depan pintu sebuah ruangan ada dua orang berjaga. Tubuh mereka tinggi kekar, berambut pendek, berjas dan berkaca mata hitam. Mereka mempersilahkan Pak Yudi untuk masuk. Sebelum masuk Pak Yudi menyuruh Rudi menunggu di luar.

Pak Yudi masuk ruangan dan aku mengikutinya dari belakang. Di dalam ruangan sudah ada enam orang, Empat pria dan dua wanita. Empat orang segera bangkit begitu melihat Pak Yudi masuk. Satu demi satu menyalami Pak Yudi dengan hangatnya. Kecuali seorang lelaki berkaca mata dan seorang wanita yang duduk di sebelahnya. Seorang lelaki berbaju garis berkata kepada Pak Yudi,

"Yud, kenalkan mereka, Ayu dan Hans," menunjuk lelaki berkaca mata dan seorang wanita di sebelahnya. Mereka berdua bangkit dan menyalami Pak Yudi. Pak Yudi tampak berpikir sejenak, kemudian berkata,

"Frans, Bukankah dia ini pembawa acara berita itu?" kata Pak Yudi berkata kepada orang yang memperkenalkan mereka, yang ternyata bernama Frans.

"Benar Yud, dia memang Ayu yang itu. Dulu dia teman kuliahku dan juga Reni. Bahkan dia sudah seperti saudara dengan Reni. Iya kan, Ren?" kata Frans, sambil menengok wanita yang dipanggil Reni yang berdiri disebelahnya.

"Kalau mau dekat dengannya, bisa lewat aku, Yud. Aku siap jadi Mak Comblang." kata Reni.

Mereka semua tertawa mendengar kelakar Reni. Ayu yang menjadi bahan guyonan hanya tersenyum mendengarnya. Setelah tawa mereka reda, Pak Yudi duduk di kursi yang telah disediakan untuknya. Sebelum duduk dia sempat bertanya,

"Kita makan dulu atau langsung bicara bisnis?" Mereka semua saling berpandangan. Tampaknya tanpa berbicara mereka sudah sepakat. Pak Yudi berpaling ke arahku dan berkata

"Lang, kamu dan Rudi silahkan pesan makanan apapun. Andi biar belakangan."

Tanpa menunggu perintah dua kali aku keluar dari ruangan itu. Di luar aku berkata kepada Rudi sesuai perintah Pak Yudi. Saat kami akan beranjak untuk memesan makan, pintu ruangan terbuka. Dan keluar tiga orang, yang tidak lain Reni, Ayu dan Hans. Saat melihat mereka mata Rudi langsung terbelalak dan mulutnya ternganga.

"Rud...! Kamu kenapa ? Seperti tidak pernah melihat cewek saja," bisikku di telinga Rudi.

"Eee..., Bukankah dia Ayu. Ayu Della Concetta."

"Benar dia memang Ayu Della Concetta. Terus kenapa?"

"Dia kan Model, Bintang iklan, dan Presenter. Memang kamu tidak tahu, Lang?"

"Kalau soal itu, aku tahu semprul! Maksudku, terus kenapa kalau dia selebritis?"

"Ayo kita duduk di dekatnya, siapa tahu bisa kenalan dan foto dengannya." Kata Rudi, sambil menyeretku menuju meja tempat Ayu dan teman-temannya duduk.

Akhirnya kami berkenalan dengan mereka. Rudi yang pandai berbicara dengan mudahnya berbincang-bincang dengan mereka. Sementara aku lebih banyak diam mendengarkan. Demikian juga Ayu, dia lebih banyak senyum dari pada berbicara.

Beberapa kali kulihat Ayu menatapku, tapi saat aku balas menatapnya dia segera memalingkan muka atau menunduk. Kuperhatikan wanita yang duduk didepanku ini. Wanita cantik yang biasanya hanya bisa dilihat saat membacakan berita, di salah satu tv swasta. Kali ini dia tidak berpakaian formal seperti saat dia membacakan berita.

Pakaian yang dikenakannya saat ini adalah tanktop putih yang dilapis baju luar yang juga berwarna putih yang tidak dikancing di bagian atas. Sehingga sedikit memperlihatkan tonjolan dadanya. Sementara bagian bawah memakai celana jeans warna hitam. Tadi Rudi sempat memperlihatkan hasil pencariannya di internet tentang Ayu.

Nama lengkapnya, Ayu Della Concetta, panggilan Ayu. Lahir tahun 27 Juli 1980, di Bandung. Tinggi 165 cm, kulitnya putih. Dan tentu saja yang paling menarik perhatian lelaki adalah tubuhnya yang sexy dan bagian dadanya yang berukuran 35B. Cantik, pintar dan sexy adalah perpaduan yang sempurna untuk seorang wanita. Tipe wanita seperti inilah yang kuimpikan. Alangkah bodoh laki-laki yang telah menceraikannya.

Meski aku berada di tempat itu, tapi aku tidak konsentrasi mendengarkan apa yang mereka bicarakan. Karena pikiranku sedang bercabang, antara memikirkan tentang semua ini, juga sedikit berpikir tentang wanita yang duduk di depanku. Aku merasa ada yang aneh dengan tugas yang sedang kami laksanakan. Firasatku membisikan bahwa orang-orang yang bersama Pak Yudi bukanlah orang-orang yang baik. Yang menganjal dalam hatiku adalah, untuk apa Pak Yudi berurusan dengan mereka.

Merasakan hawa panas di kepala, aku beranjak ke toilet. Aku membasuh muka untuk mendinginkan pikiran. Cukup lama aku berdiri dan berpikir di depan wastafel. Saat aku hendak kembali ke dalam, aku mendengar orang sedang berbicara di toilet wanita. Bukan karena mereka Ayu dan Reni hingga aku menguping pembicaraan mereka, tapi karena mereka menyebut nama Pak Yudi.

"Benarkah orang yang di panggil Yudi itu seorang polisi?" terdengar suara Ayu bertanya.

"Ya, benar." jawab Reni.

"Tapi kenapa dia bisa berteman dengan orang macam Simon! Bukankah dia itu seorang Mafia? Frans juga, kenapa masih berteman dengan Simon. Apa kau belum membujuknya, Ren?"

"Aku sudah melarangnya Ay. Dan dia sudah berjanji, bahwa pertemuan ini adalah terakhir kalinya dia berurusan dengan Simon."

"Mungkin ada satu kesempatan, kita bisa berbicara kepada E...,"

Aku menjauh dari dinding karena ada orang lain yang mendekat ke arahku. Saat aku ingin kembali mendengarkan pembicaraan mereka. Ternyata suara mereka sudah tidak terdengar lagi, mungkin sudah kembali ke dalam. Aku meninggalkan tempat itu dengan pikiran diliputi tentang pembicaraan mereka.

Ternyata pertemuan di ruangan itu sudah selesai. Dan mereka semua mempersiapkan diri untuk meninggalkan Restoran ini. Andi dan Rudi sudah siap di dalam mobil. Saat aku hendak masuk kedalam mobil, Pak Yudi berkata

"Lang! Aku ada pembicaraan penting dengan Frans. Kamu naik mobil Frans dulu.”

Tanpa banyak bicara aku segera menuju mobil yang di tunjuk Pak Yudi. Dan segera naik ke mobil itu. Kupikir semua urusan sudah selesai dan kita akan kembali. Tapi bukannya menuju ke barat, tapi kembali menuju arah timur.

“Bukankah ini arah menuju Tawang Mangu? Mau apa kesana?”

Pikiranku masih diliputi teka-teki. Hingga pertanyaan Ayu dan Reni yang mengajakku berbicara aku jawab seperlunya saja. Mobil-mobil ini tidak menuju pintu masuk Tawang Mangu. Tapi terus melaju lebih ke atas lagi. Kalau terus akan sampai ke pos pendakian Gunung Lawu bagian barat yang disebut Cemoro Kandang. Aku belum bisa menebak kemana tujuan mobil-mobil ini, ketika tiba-tiba ponselku berbunyi. Sebuah pesan dari Rudi. Bunyinya singkat tapi membuatku semakin berpikir.

"Lang, hati-hati. Mungkin akan terjadi sesuatu."


Posting Komentar

0 Komentar