PAK KOSKU DUDA KEREN
PART 1
Sebenarnya udara di dalam kamarku tak
begitu panas, bahkan AC pun menyala sedari tadi. Tapi entah kenapa keringat
justru terasa membasahi tubuhku, keringat dingin lebih tepatnya. Om Zaidan
masih berdiri mematung di hadapanku, beberapa saat lalu pria berusia 45 tahun
itu sengaja menutup pintu kamarku dari dalam, sebelum kemudian menyusul menutup
tirai jendela kamarku juga. Dadaku makin berdegup kencang bak genderang perang
yang tertabuh kala perlahan Om Zaidan melangkah mendekati sisi ranjangku. Aku
kikuk tak tau apa yang harus aku lakukan,
"Om boleh...?" Tanyanya
seraya melirik spasi di antara tempatku duduk di sisi ranjang. Aku terdiam,
tapi gerakan kepalaku yang mengangguk lemah memberi tanda sebuah persetujuan.
Pria itu duduk tepat di sampingku,
aroma parfum maskulin langsung bisa aku cium dari jarak sedekat ini. Wangi yang
menenangkan. Ya Tuhan! Kenapa harus malam ini sih? Kenapa Om Zaidan mendatangi
kamarku saat aku sama sekali tak mempersiapkan diri terlebih dahulu? Setidaknya
aku bisa berdandan terlebih dahulu, tidak seperti sekarang yang hanya
mengenakan kaos bola AC Milan tanpa lengan dan celana pendek sebatas paha. Aku
punya kostum yang lebih layak dibanding ini! Seingatku di dalam lemariku ada
beberapa potong lingerie yang entah kapan terakhir kali aku pakai.
"Kenapa jadi diem aja
sekarang?" Ujar Om Zaidan memecah keheningan di antara kami berdua.
"Emmchh..I-Iya
Om..Eh..Anu...I-Itu.."
TOLOL!
Kenapa aku jadi gagap seperti ini? Om
Zaidan tersenyum, sumpah ini senyum terindah yang pernah aku lihat sepanjang
hidup! Beruntung satu tanganku menahan berat tubuhku di atas ranjang, jika
tidak, bisa saja aku langsung ambruk ke dalam pelukannya. Lah? Pelukannya?
Kenapa jadi ngarep banget kayak gini sih???
"I'ts okey kalo Hanna mau Om
pergi." Aku tertunduk setelah tanpa sadar mengagumi senyum Om Zaidan.
Namun tiba-tiba aku merasakan
sentuhan lembut jemarinya di pelipisku, Om Zaidan merapikan rambutku yang
sedikit berantakan. Dadaku makin bergemuruh, apalagi saat pria berpostur gagah itu semakin merapatkan
tubuhnya padaku.
"Kamu mau Om pergi...?"
Tanya Om Zaidan tepat di dekat telingaku. Bulu kudukku seketika meremang,
begidik bukan karena ketakutan, tapi sensasi sensual yang begitu lama aku
bayangkan selama ini.
"Ja-Jangan Om..." Balasku
spontan.
"Jangan apa?" Suaranya yang
dalam begitu dekat di telingaku.
"Ja-Jangan pergi..."
Om Zaidan makin merapat, ucapanku
barusan mungkin baginya adalah lampu hijau untuk melanjutkan tindakan yang
lebih jauh lagi. Benar saja, Aku merasakan bibirnya sudah menempel di leherku,
menciumiku penuh kelembutan. Aku luruh tanpa daya, sentuhan bibirnya
memporak-porandakan rasa malu serta segala ketabuan yang harusnya aku jaga
sebagai seorang wanita.
"Ouucchhh...Om...."
Lenguhku manja.
Om Zaidan bukan pria tua kolot yang
tak tau apa-apa soal sex, aku bisa menilainya dari caranya menyentuh tubuhku.
Lembut dan sama sekali tak menunjukkan gestur pemaksaan, justru tubuhku dibuat
terasa begitu nyaman hingga memasrahkan segalanya. Om Zaidan kembali menggeser
tubuhnya lebih dekat ke arahku, kemudian tanpa ragu lagi dia memeluk tubuhku.
Kami masih diam dengan tubuh
berpelukan, sampai mulai merasakan
kehangatan menyelimuti tubuh kami. Om Zaidan melepaskan pelukannya, dan kini
kami saling berpandangan. Perlahan-lahan seperti ada medan magnet yang saling
menarik maka wajah kami saling mendekat. Dan bibirnya mengundang untuk di
kecup. Tanpa menunggu lagi segera kulumat bibirnya. Tak kalah bernafsunya Om
Zaidan membalas ciumanku.
Tanganku memegang belakang kepalanya
dan menekannya agar ciuman kami semakin melekat erat. Perlahan lenganku
merayapi dada dan bahunya yang kokoh ketika ciuman kami bertambah liar, sampai
kami merasa melayang dan hilang kendali dalam gairah yang membara. Kami
mengerang, lidah kami saling membelit, saling menjilat, saling bertukar liur
satu sama lain.
Saat mulut kami beradu, tangannya
ikut bergerak. Om Zaidan memegang pinggangku, kemudian bergerak naik mengelus
punggungku. Setelah itu dia mengelus perutku yang masih rata tanpa lemak.
Elusannya berlanjut turun ke arah pinggul. Kemudian mengikuti garis celana
dalamku, tangannya sampai ke pantatku dan mulai meremasinya.
"Achhh..." Aku melenguh
kecil saat kurasakan jemari kekar Om Zaidan menjamah bagian belakang tubuhku.
Tangannya beralih ke atas meremas
payudaraku, yang hanya tertutup jersey tanpa bra. Tapi karena kain jersey yang
kukenakan cukup tipis, pria seusia Bapakku itu dengan mudah meremas-remas kedua
payudaraku yang berukuran cukup besar.
"Aauuuhhh...!"
Kali ini Aku melenguh agak keras
karena remasan jemari Om Zaidan begitu memabukkan. Pria itu berusaha menarik
jerseyku, aku membantunya agar mudah terlepas dari tubuhku. Tak berhenti sampai
di sana, jemarinya cepat pula melepas celana pendek yang masih aku kenakan
hingga hanya menyisakan celana dalam tipis yang menutupi vaginaku.
Om Zaidan menatap tubuhku dengan
nafas terengah, payudaraku yang terbuka tanpa penutup seolah mengundangnya
untuk kembali menjamah. Segera dia menyergap bagian bawah payudaraku kemudian
perlahan bergeser ke atas, Om Zaidan membelai lembut dadaku, hingga jemarinya
hinggap di putingku.
"Ecchhhmmmm..."
Aku belingsatan bahkan tanpa
sadar semakin mendorong payudaraku ke
dekapannya, masing-masing buah dadaku bergerak dan bergoyang ketika jarinya
memilin putingku dengan gemas. Om Zaidan menundukkan kepalanya, mengarah pada
payudaraku sebelah kiri, mulut serta lidahnya langsung menyerang putingku tanpa
ampun, menjilat serta mengulumnya. Suara erangan parau kembali terdengar dari
bibirku, sementara jemariku meremas gemas kepala pria itu.
"Auuchhh...Om...." Om
Zaidan menghentikan aksinya, matanya menatapku sembari bibirnya yang basah
tersungging senyuman.
"Kenapa...? Sakit...?" Aku
menggeleng lemah, sementara nafasku masih tersenggal.
"Atau enak...?" Tanyanya
sekali lagi seolah sedang menggodaku.
Brengsek! Kenapa pria tua ini begitu
pintar mempermainkan birahiku? Bahkan masih sempat-sempatnya dia menanyakan apa
yangs edang aku rasakan saat ini, seolah aku adalah gadis polos yang tak
mengerti apapun soal sex. Apa dia tak tau jika selangkanganku sudah lembab
bukan main sedari tadi?
Tak mau dianggap cupu, aku mengambil
inisiatif untuk menarik lepas t-shirt Om Zaidan. Jujur saja aku begitu
terkesima dengan bentuk tubuhnya yang sangat kekar dan kokoh meskipun usianya
hampir menginjak setengah abad. Dadanya bidang dengan ditumbuhi bulu-bulu
berwarna hitam, sementara otot perutnya terlihat menantang berbentuk sixpack.
Tanpa sadar aku sampai menelan ludahku sendiri, membayangkan sebentar lagi
tubuh polos Om Zaidan akan bersentuhan dengan kulitku.
"Cuma ini aja yang
dilepas?"
Tanya Om Zaidan saat melihatku
tertegun menatap tubuh bagian atasnya. Pria itu sengaja sedikit menyorongkan
bagian bawah tubuhnya yang masih tertutup celana chinos. Perlahan jemariku
mulai melepas kancing celananya, dadaku makin bergemuruh kala resleting turun
ke bawah hingga membuat celana panjang yang dikenakan Om Zaidan lolos begitu
saja dan menyisakan celana dalam warna hitam yang menutupi penisnya secara tak
sempurna. Aku kembali tertegun, karena mataku bisa dengan jelas bisa melihat
gundukan daging kenyal yang sudah mengeras sempurna berukuran luar biasa besar
terhimpit oleh ketatnya celana dalam.
Tiba-tiba Om Zaidan meloloskan celana
dalamnya, sontak penisnya langsung mencuat, mengacung sempurna tepat di hadapan
mataku. Gila! Ini benar-benar gila! Penis Om Zaidan tak hanya berukuran besar
tapi juga panjang, bentuknya lonjong dengan baluran oto-otot tipis di sepanjang
batangnya, dan yang lebih membuatku makin terpesona adalah penis Om Zaidan
sedikit bengkok ke kiri. Aku bisa membayangkan bagaimana rasanya jika penis ini
telah menyesaki liang senggamaku yang sekarang terasa makin basah.
"Jangan didiemin aja..."
Ucap Om Zaidan sekali lagi menggoda dan menggelitik kebinalanku sebagai seorang
wanita.
Dengan masih terduduk di tepi
ranjang, sementara Om Zaidan berdiri di hadapanku, tangan kananku bergerak
menjulur untuk menggenggam penisnya. Ya Tuhan, bahkan genggaman tanganku tak
bisa menangkup seluruh permukaan batang penis Om Zaidan! Ini benar-benar gila!
Bagaimana mungkin ada batang penis sebesar ini? Saat aku melirik ke atas, Om
Zaidan tersenyum tipis, seolah membanggakan pusakanya.
"Kenapa? Gede ya?"
"Ba-Banget..." Desisku
lirih sambil menelan ludahku sendiri.
"Jangan dipegang doang,
kocokin..." Ujar Om Zaidan seraya membelai kepalaku dengan lembut.
Aku takluk, benar-benar takluk akan
pesona bapak kosku ini. Maka apa yang diperintahkannya pantang untuk kutolak.
Tanganku kananku mulai bergerak maju mundur mengocok batang penisnya, yang
entah kenapa makin lama terasa makin membesar. Aku bisa dengan jelas melihat di
bagian ujungnya, di lubang kencingnya, terdapat setitik cairan bening, tanda
bahwa batang penisnya bereaksi terhadap rangsangan.
"Occhhhhh....Pinter banget
kamu..." Lenguh Om Zaidan dengan suara beratnya yang seksi.
Aku makin beresemangat, gerakan
tanganku terasa lebih ringan meskipun cukup kewalahan mengenggenggam batang
penis Om Zaidan yang berukuran besar. Naluri kebinalanku pelan namun pasti
mulai menguasai, kepalaku makin mendekat, mulutku terbuka dengan sendirinya
diiringi juluran lidah yang mengular. Hingga akhirnya bagian ujung indera
pengecapku bersentuhan langsung dengan lubang penisnya.
Aku mulai menjilatinya, lidahku
menyapu seluruh permukaan ujung penis Om Zaidan. Mengecupnya lembut, merasakan
asin dan gerirnya cairan yang tadi terlihat oleh mataku. Sesaat aku melirik ke
atas, menyaksikan reaksi Om Zaidan atas tingkah nakalku. Pria itu meringis,
entah apa yang dirasakannya kala lidahku menari- nari di lubang kencingnya,
menghantarkan kenikmatan pada tubuhnya.
"Occhhhhh....." Hanya itu
yang terdengar dari mulut Om Zaidan.
Mulutku terbuka lebar, sebelum
kemudian berusaha mengulum ujung penis pria itu. Ya Tuhan, ini bena-benar
besar, mulutku terasa sesak bahkan hanya sebagian penis Om Zaidan yang
tertampung. Suara lenguhan parau bapak kosku itu kembali terdengar parau, dua tangannya
meremas gemas kepalaku yang berusaha untuk bergerak maju mundur, mencoba untuk
beradaptasi dengan ukuran batang penisnya di dalam mulutku.
"Eeemcchhh...Eemmchhhh!!"
Aku kesulitan bernafas, namun
sepertinya Om Zaidan terlanjur menikmati serviz blowjobku, pinggulnya kini
justru mulai bergerak maju mundur sementara kedua tangannya menahan kepalaku
agar tak bergerak liar. Cukup lama pria itu 'memperkosa' mulutku, bahkan tak
jarang dia menekan lebih dalam pinggulnya, membuat penisnya terdorong lebih
dalam dan ujung penisnya nyaris menyentuh pangkal tenggorokanku. Brengsek! Pria
tua ini membuatku kewalahan bukan main.
"HAAAH! HAHHH!! HAAAHH!!"
Dengus nafasku terdengar tak
beraturan, liur menetes membasahi sela-sela bibirku setelah Om Zaidan menarik
keluar batang penisnya yang berukuran jumbo dari dalam mulutku. Tak menunggu
lama, dia menarik tubuhku ke sisi tengah ranjang. Inilah saatnya, jantungku
berdetak lebih cepat saat Om Zaidan menarik lepas celana dalamku sebelum
kemudian melebarkan kedua pahaku. Mataku nanar menatap batang penis besar
miliknya yang mengacung tegak dan basah.
"Sudah siap sayang?"
Tanyanya dengan seringai mesum penuh arti.
"Lakukan Om...Entotin Hanna
Om..." Balasku tak kalah binal.
Om Zaidan bersiap, sesaat dia
melumuri batang penisnya dengan air liurnya sendiri kemudian memposisikan ujung
penisnya tepat di depan liang senggamaku yang suah siap sedari tadi menerima
penetrasinya. Aku tak berani melihatnya, mataku tertutup, tapi sentuhan ujung
penisnya yang menggesek lembut di celah vaginaku membuatku menggigit bibirku
sendiri. Aku bersiap, sebelum kemudian....
KRIIINNNGGGGGG!!!!!!!
KRIIIIIINGGGGGGG!!!!!
Tubuhku terlonjak kaget, suara alarm
dari ponselku yang tergeletak di sisi ranjang memekakkan telingaku. Jantungku
berdetak kencang, mataku mengelilingi seisi kamar dan mendapati diriku hanya
seorang diri. Kemana Om Zaidan?
Brengsek! Untuk kesekian kalinya aku
harus memimpikan bapak kosku sendiri!
***
6 BULAN LALU
"Yang bener kak???
Serius???"
Aku masih tak percaya dengan apa yang
baru saja aku dengar dari ponselku. Shock, gembira, dan bahkan haru seketika
menyergap tubuhku.
"Halo? Hanna? Kamu masih ada di
sana? Halo??"
"I-Iya Kak, halo! Iya aku masih
ada di sini!" Buru-buru aku menjawab panggilan Kak Salma yang meneleponku.
"Udah, sekarang kamu siapin
semua syarat-syarat administrasinya dan yang paling penting kamu harus minta
ijin ke orang tuamu. Aku pikir itu lebih sulit dibanding melewati ujian tes
beasiswa."
"Iya Kak, habis ini aku langsung
bilang ke Ibu dan Abi. Makasih banget ya Kak, duh seneng banget aku hari
ini!" Sorakku penuh kegembiraan.
"Iya sama-sama. Ya udah,
pokoknya nanti segera kabari ya kalo udah beres semua. Aku tunggu."
"Iya Kak, sekali lagi makasih
banget."
Sambungan telepon dari Kak Salma
terputus, rona kebahagiaan langsung terpancar di wajahku yang berseri-seri.
Bagaimana tidak, Kak Salma baru saja mengabarkan jika aku berhasil lulus tes
penerimaan mahasiswa baru di Universitas Nasional lewat jalur beasiswa mandiri.
Impianku untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi akan segera
terwujud, hanya saja ada satu masalah yang harus aku selesaikan terlebih
dahulu. Meyakinkan kedua orang tuaku agar mereka memberi ijin kepadaku
melanjutkan pendidikan ke kota. Ini akan menjadi misi yang lebih sulit
dibandingkan menyelesaikan deretan soal-soal ujian.
Malam harinya aku memberanikan diri
untuk mengabarkan berita gembira ini pada Ibuku, aku berharap ibuku bisa
mengerti dan membantuku meminta ijin pada Abi. Namun ekspresi datar ibuku
setelah mendengar kabar diterimanya aku di Universitas Nasional seperti
meruntuhkan harapanku begitu saja.
"Nanti apa kata Abi kalo denger
ini Nduk?" Kata Ibuku sambil melipat beberapa potong pakaian sebelum
dimasukkan ke dalam lemari.
"Ayolah Bu tolongin Hanna, aku benar-benar
ingin kuliah dan jadi wanita karir seperti Kak Salma." Ucapku dengan nada
merajuk berharap bisa sedikit melunakkan hati ibuku.
"Nduk, kamu itu anak ibu
perempuan satu-satunya. Kalo kamu pergi ke kota dan kuliah di sana, nggak akan
ada yang nemenin Ibu di rumah."
"Jadi Ibu nggak mau lihat Hanna
berkembang? Ibu lebih suka melihat Hanna hidup di desa terus? Hanna nggak mau
Bu...Hanna pengen kuliah kayak Mas Abram!"
"Nduk...Pelankan suaramu. Ibu
dan Abi nggak pernah ngajarin kamu ngomong keras kayak gitu di depan orang
tua." Suara ibuku tak setinggi suaraku barusan, tapi tatapan matanya
dalam, memberi tanda jika kali ini aku sudah keterlaluan.
Tak mau menyerah begitu saja, aku
keluar dari kamar ibuku. Langkah kakiku menuju teras untuk menemui Abiku yang
sedang melepas penat dengan menghisap rokok setelah hampir seharian mengajar di
Pondok Pesantren. Aku sempat ragu saat berada di dekat pintu, Abi duduk di
teras membelakangiku sambil mengepulkan asap rokok berkali-kali dari dalam
mulutnya. Tekadku sudah bulat, aku tidak boleh menyerah untuk meyakinkan kedua
orang tuaku.
"Abi...Hanna mau bicara."
Abiku menoleh ke arahku, seperti biasa tatapan matanya dingin dan tegas.
"Ya? Ada apa?" Aku
mengambil duduk tepat di hadapan Abiku. Sejenak aku menghela nafas panjang
sebelum mengutarakan maksudku.
"Nggak, Abi nggak ngijinin kamu
kuliah di kota." Ucap Abi setelah mendengar permintaanku.
"Tapi ini beasiswa penuh Bi,
semua biaya pendidikanku dibiayai oleh perusahaan BUMN. Abi nggak perlu
ngluarin biaya sepeserpun sampai aku lulus nanti."
"Kamu pikir Abi nglarang kamu
kuliah di kota karena masalah uang?" Sorot tajam mata Abi menyasarku, aku menguatkan tekad untuk berani
balik menatapnya meskipun jantungku berdetak lebih cepat dibanding biasanya.
Ini pertaruhanku, rasa takut tak boleh menguasaiku.
"Lalu karena apa Bi? Dulu Mas
Abram Abi biayain kuliah bahkan sampai menjual sawah dan ladang, kenapa
sekarang Aku nggak boleh? Kenapa Mas Abram boleh sementara aku dilarang?"
"Karena kamu perempuan!
Pendidikan tinggi bukan jadi prioritasmu, tugas utamamu nanti jadi istri dan
ibu yang baik seperti Umimu! Mas Abram Abi kuliahin karena dia nanti akan jadi
imam untuk keluarganya, dia yang akan menafkahi segala kebutuhan rumahtangganya."
"Lagipula Gus Akhyar bulan depan
akan datang ke sini." Lanjut Abi sebelum kembali menyalakan sebatang rokok
lagi.
"Maksudnya apa Bi?" Sekuat
tenaga aku menahan agar air mataku tidak jatuh saat ini juga.
"Kyai Salman berencana
mengambilmu sebagai menantunya. Ini kehormatan besar untuk keluarga kita, Gus
Akhyar adalah jodoh yang sempurna untukmu. Dia lulusan Mesir, ilmu agamanya
kuat, dan yang paling penting kamu akan jadi menantu seorang Kyai besar."
"Nggak Bi! Hanna nggak mau
menikah! Hanna pengen kuliah!"
Tak kuasa aku membendung airmataku,
emosiku meledak berhamburan begitu saja sebelum aku berlari menuju kamarku.
Teriakan Abi sama sekali tak menghentikanku, Ibuku yang mendengar perdebatanku
dengan Abi sampai keluar kamar, belum sempat dia menanyakannya padaku, aku
lebih dulu membanting pintu kamarku dan menguncinya dari dalam. Aku jatuhkan
tubuhku di atas ranjang sambil terisak tangis, gedoran pintu dari luar diiringi
suara keras Abiku sama sekali tak aku hiraukan.
Mimpiku harus terkubur dalam-dalam
karena kedua orang tuaku terlanjur kolot. Bagi mereka anak perempuan sama
sekali tak memiliki hak untuk mengenyam pendidikan tinggi. Aku membenci
pandangan busuk seperti itu, gender seolah jurang pemisah kepantasan pandangan
masyarakat bagi pria dan wanita.
Aku seharusnya tak heran, karena di
lingkunganku hampir semua teman-teman wanitaku sudah menikah di usia muda,
mereka sama sekali tak memiliki pilihan lain selain mengabdikan diri menjadi
istri bagi pria-pria pilihan orang tua mereka. Aku membenci takdir buruk
seperti itu, namun kebencian saja tidak cukup. Buktinya kali ini akulah yang
dipaksa menerima takdir itu.
***
"Gimana Han?"
"Gagal Kak, Abi nggak ngijinin
aku." Sahutku dengan suara lemah lewat sambungan telepon. Terdengar hela
nafas panjang dari Kak Salma di ujung sana.
"Sayang banget padahal, yang
ngantri dapetin beasiswa kayak gini ada ribuan orang dan kamu jadi salah satu
yang terpilih."
Ada nada sesal yang terdengar dari Kak Salma.
"Aku harus gimana Kak sekarang?
Aku masih pengen nglanjutin kuliah, Aku nggak mau nikah dulu..." Suaraku
tercekat menahan tangis.
"Hah? Nikah? Kamu mau dinikahkan
sama Abimu?"
Cerca Kak Salma.
"I-Iya Kak, bulan depan Gus
Akhyar akan datang ke rumah untuk melamarku. Tolong Aku Kak..." Tangisku
seketika pecah, bayangan nasib buruk menjadi istri dari seorang pria yang sama
sekali tak kukenal kembali menggelanyuti isi kepalaku.
"Udah..Udah...Kamu tenang dulu
sekarang. Aku akan bantu cari jalan keluarnya. Kamu sabar dulu ya.." Ujar Kak Salma mencoba
menenangkanku.
Beberapa hari setelah itu tak ada
kabar dari Kak Salma, aku lebih banyak mengurung diri di dalam kamar seolah
menanti kabar buruk yang menghantuiku. Setiap malam aku selalu berdoa agar Abi
dan Ibuku mau sedikit melunakkan hati agar menolak lamaran dari Kyai Salman.
Rasanya tak diijinkan untuk kuliah lebih ringan daripada harus dipaksa untuk
menikah dengan pria asing yang sama sekali tak pernah aku temui sebelumnya.
Namun harapan hanyalah berbalas harapan pula, keputusan kedua orang tuaku sudah
bulat dan tak bisa diganggu gugat lagi.
Kadang kondisi terpepet dan dihantui
ketakutan mendalam bisa membuat seseorang bertindak nekat. Mungkin inilah yang
aku rasakan dalam beberapa hari terakhir, aku tidak ingin bernasib sama seperti
beberapa orang temanku di desa, aku harus bergerak dan melawan keinginan orang
tuaku. Maka di suatu malam aku
memberanikan diri untuk kabur dari rumah. Hanya dengan bermodalkan uang
tabungan yang jumlahnya tak begitu banyak, aku nekat pergi menuju kota untuk
menemui Kak Salma.
Sepanjang perjalanan malam itu
perasaanku campur aduk, perasaan lega namun juga ketakutan bercampur menjadi
satu, menyesaki dada. Lega karena akhirnya aku bisa lolos dari
"penjara" yang diciptakan oleh kedua orang tuaku yang kolot tapi
sekaligus merasa bersalah karena malam ini aku mengambil keputusan sepihak dan
untuk pertama kalinya dalam hidup aku berani menentang keputusan kedua orang
tuaku.
Meskipun sempat kaget karena mendapat
kabar pelarianku, Kak Salma bersedia menjemputku di terminal kota saat aku
sampai nantinya. Aku sedikit bisa bernafas lega, setidaknya di kota aku bisa
menemukan seseorang yang mau menolong dan menampungku. Ponselku tak berhenti
berdering, puluhan telepon dari Abi dan Umi diiringi puluhan chatt dari mereka
sama sekali tak aku hiraukan. Bahkan dengan sengaja aku memblok nomor ponsel
kedua orang tuaku karena terlampau membuat jengah. Setelah menempuh perjalanan
beberapa jam dengan bus malam sampailah aku di terminal kota, tempat asing
bagiku, tempat dimana jejak pertama kakiku tercetak demi meraih segala macam
cita-citaku.
"Hanna!!"
Aku langsung menoleh ke belakang saat
terdengar suara wanita memanggil namaku. Kak Salma. Aku sempat mengrenyitkan
dahi karena penampilan yang sangat berubah dari kakak kelasku dulu di Madrasah
Aliyah itu. Bagaimana tidak, Kak Salma mengenakan celana jins ketat yang
memperlihatkan lekuk tubuhnya yang sexy, sementara bagian atas tubuhnya hanya
ditutupi selembar crop top berwarna hitam. Rambutnya yang panjang tergerai
tanpa hijab, senyumnya mengembang bahagia seraya berjalan cepat mendekatiku.
Kakinya jenjang ditunjang sepasang sepatu kets kekikinian. Beberapa pasang mata
pria yang kebetulan ada di dekatku melihat Kak Salma dengan tatapan kagum, sama
dengan apa yang aku rasakan saat ini.
"Kak Salma!" Kami berdua
berpelukan untuk sesaat, ada perasaan lega setelah bertemu dengan wanita ini.
"Gimana perjalanannya? Lancar
kan? Nggak ada masalah kan?" Cerca Kak Salma.
"Lancar kok Kak."
"Ya udah, ayo sekarang kita ke
apartemenku. Besok baru kita obrolin rencana studimu."
"Oh ya, kamu pasti lapar kan?
Kita makan dulu ya habis ini." Lanjut Kak Salma.
Terpesona, itulah yang aku rasakan
saat untuk pertama kalinya bertemu kembali dengan Kak Salma setelah beberapa
tahun tak bersua. Kehidupan kota rupanya benar-benar merubah Kak Salma, bukan
hanya dari segi penampilan, tapi juga bagaimana dengan cara dia berbicara,
kepercayaan dirinya seolah naik drastis. Kak Salma bercerita banyak tentang
karirnya di sebuah kantor hukum, dirinya sekarang menjadi asisten pribadi
seorang pengacara terkenal. Dari gajinya dia bahkan sudah bisa membeli
apartemen mewah di pusat kota.
Segala macam cerita kesuksesan ini
makin meneguhkan tekadku untuk meraih cita-cita setinggi mungkin. Setidaknya
cerita Kak Salma bisa jadi motivasiku, aku juga harus bisa membuktikan pada
kedua orang tuaku jika keputasanku untuk pergi dari rumah adalah sebuah
keputusan tepat. Aku harus bisa membuktikannya.
Posting Komentar
0 Komentar