PAK KOSKU DUDA KEREN

 


GENRE : DRAMA EROTIC
JUMLAH HALAMAN : 243 HALAMAN
HARGA: Rp 30.000



PART 1

 

Sebenarnya udara di dalam kamarku tak begitu panas, bahkan AC pun menyala sedari tadi. Tapi entah kenapa keringat justru terasa membasahi tubuhku, keringat dingin lebih tepatnya. Om Zaidan masih berdiri mematung di hadapanku, beberapa saat lalu pria berusia 45 tahun itu sengaja menutup pintu kamarku dari dalam, sebelum kemudian menyusul menutup tirai jendela kamarku juga. Dadaku makin berdegup kencang bak genderang perang yang tertabuh kala perlahan Om Zaidan melangkah mendekati sisi ranjangku. Aku kikuk tak tau apa yang harus aku lakukan,

"Om boleh...?" Tanyanya seraya melirik spasi di antara tempatku duduk di sisi ranjang. Aku terdiam, tapi gerakan kepalaku yang mengangguk lemah memberi tanda sebuah persetujuan.

Pria itu duduk tepat di sampingku, aroma parfum maskulin langsung bisa aku cium dari jarak sedekat ini. Wangi yang menenangkan. Ya Tuhan! Kenapa harus malam ini sih? Kenapa Om Zaidan mendatangi kamarku saat aku sama sekali tak mempersiapkan diri terlebih dahulu? Setidaknya aku bisa berdandan terlebih dahulu, tidak seperti sekarang yang hanya mengenakan kaos bola AC Milan tanpa lengan dan celana pendek sebatas paha. Aku punya kostum yang lebih layak dibanding ini! Seingatku di dalam lemariku ada beberapa potong lingerie yang entah kapan terakhir kali aku pakai.

"Kenapa jadi diem aja sekarang?" Ujar Om Zaidan memecah keheningan di antara kami berdua.

"Emmchh..I-Iya Om..Eh..Anu...I-Itu.."

TOLOL!

Kenapa aku jadi gagap seperti ini? Om Zaidan tersenyum, sumpah ini senyum terindah yang pernah aku lihat sepanjang hidup! Beruntung satu tanganku menahan berat tubuhku di atas ranjang, jika tidak, bisa saja aku langsung ambruk ke dalam pelukannya. Lah? Pelukannya? Kenapa jadi ngarep banget kayak gini sih???

"I'ts okey kalo Hanna mau Om pergi." Aku tertunduk setelah tanpa sadar mengagumi senyum Om Zaidan.

Namun tiba-tiba aku merasakan sentuhan lembut jemarinya di pelipisku, Om Zaidan merapikan rambutku yang sedikit berantakan. Dadaku makin bergemuruh, apalagi saat  pria berpostur gagah itu semakin merapatkan tubuhnya padaku.

"Kamu mau Om pergi...?" Tanya Om Zaidan tepat di dekat telingaku. Bulu kudukku seketika meremang, begidik bukan karena ketakutan, tapi sensasi sensual yang begitu lama aku bayangkan selama ini.

"Ja-Jangan Om..." Balasku spontan.

"Jangan apa?" Suaranya yang dalam begitu dekat di telingaku.

"Ja-Jangan pergi..."

Om Zaidan makin merapat, ucapanku barusan mungkin baginya adalah lampu hijau untuk melanjutkan tindakan yang lebih jauh lagi. Benar saja, Aku merasakan bibirnya sudah menempel di leherku, menciumiku penuh kelembutan. Aku luruh tanpa daya, sentuhan bibirnya memporak-porandakan rasa malu serta segala ketabuan yang harusnya aku jaga sebagai seorang wanita.

"Ouucchhh...Om...." Lenguhku manja.

Om Zaidan bukan pria tua kolot yang tak tau apa-apa soal sex, aku bisa menilainya dari caranya menyentuh tubuhku. Lembut dan sama sekali tak menunjukkan gestur pemaksaan, justru tubuhku dibuat terasa begitu nyaman hingga memasrahkan segalanya. Om Zaidan kembali menggeser tubuhnya lebih dekat ke arahku, kemudian tanpa ragu lagi dia memeluk tubuhku.

Kami masih diam dengan tubuh berpelukan, sampai  mulai merasakan kehangatan menyelimuti tubuh kami. Om Zaidan melepaskan pelukannya, dan kini kami saling berpandangan. Perlahan-lahan seperti ada medan magnet yang saling menarik maka wajah kami saling mendekat. Dan bibirnya mengundang untuk di kecup. Tanpa menunggu lagi segera kulumat bibirnya. Tak kalah bernafsunya Om Zaidan membalas ciumanku.

Tanganku memegang belakang kepalanya dan menekannya agar ciuman kami semakin melekat erat. Perlahan lenganku merayapi dada dan bahunya yang kokoh ketika ciuman kami bertambah liar, sampai kami merasa melayang dan hilang kendali dalam gairah yang membara. Kami mengerang, lidah kami saling membelit, saling menjilat, saling bertukar liur satu sama lain.

Saat mulut kami beradu, tangannya ikut bergerak. Om Zaidan memegang pinggangku, kemudian bergerak naik mengelus punggungku. Setelah itu dia mengelus perutku yang masih rata tanpa lemak. Elusannya berlanjut turun ke arah pinggul. Kemudian mengikuti garis celana dalamku, tangannya sampai ke pantatku dan mulai meremasinya.

"Achhh..." Aku melenguh kecil saat kurasakan jemari kekar Om Zaidan menjamah bagian belakang tubuhku.

Tangannya beralih ke atas meremas payudaraku, yang hanya tertutup jersey tanpa bra. Tapi karena kain jersey yang kukenakan cukup tipis, pria seusia Bapakku itu dengan mudah meremas-remas kedua payudaraku yang berukuran cukup besar.

 "Aauuuhhh...!"

Kali ini Aku melenguh agak keras karena remasan jemari Om Zaidan begitu memabukkan. Pria itu berusaha menarik jerseyku, aku membantunya agar mudah terlepas dari tubuhku. Tak berhenti sampai di sana, jemarinya cepat pula melepas celana pendek yang masih aku kenakan hingga hanya menyisakan celana dalam tipis yang menutupi vaginaku.

Om Zaidan menatap tubuhku dengan nafas terengah, payudaraku yang terbuka tanpa penutup seolah mengundangnya untuk kembali menjamah. Segera dia menyergap bagian bawah payudaraku kemudian perlahan bergeser ke atas, Om Zaidan membelai lembut dadaku, hingga jemarinya hinggap di putingku.

"Ecchhhmmmm..."  

Aku belingsatan bahkan tanpa sadar  semakin mendorong payudaraku ke dekapannya, masing-masing buah dadaku bergerak dan bergoyang ketika jarinya memilin putingku dengan gemas. Om Zaidan menundukkan kepalanya, mengarah pada payudaraku sebelah kiri, mulut serta lidahnya langsung menyerang putingku tanpa ampun, menjilat serta mengulumnya. Suara erangan parau kembali terdengar dari bibirku, sementara jemariku meremas gemas kepala pria itu.

"Auuchhh...Om...." Om Zaidan menghentikan aksinya, matanya menatapku sembari bibirnya yang basah tersungging senyuman.

"Kenapa...? Sakit...?" Aku menggeleng lemah, sementara nafasku masih tersenggal.

"Atau enak...?" Tanyanya sekali lagi seolah sedang menggodaku.

Brengsek! Kenapa pria tua ini begitu pintar mempermainkan birahiku? Bahkan masih sempat-sempatnya dia menanyakan apa yangs edang aku rasakan saat ini, seolah aku adalah gadis polos yang tak mengerti apapun soal sex. Apa dia tak tau jika selangkanganku sudah lembab bukan main sedari tadi?

Tak mau dianggap cupu, aku mengambil inisiatif untuk menarik lepas t-shirt Om Zaidan. Jujur saja aku begitu terkesima dengan bentuk tubuhnya yang sangat kekar dan kokoh meskipun usianya hampir menginjak setengah abad. Dadanya bidang dengan ditumbuhi bulu-bulu berwarna hitam, sementara otot perutnya terlihat menantang berbentuk sixpack. Tanpa sadar aku sampai menelan ludahku sendiri, membayangkan sebentar lagi tubuh polos Om Zaidan akan bersentuhan dengan kulitku.

"Cuma ini aja yang dilepas?"

Tanya Om Zaidan saat melihatku tertegun menatap tubuh bagian atasnya. Pria itu sengaja sedikit menyorongkan bagian bawah tubuhnya yang masih tertutup celana chinos. Perlahan jemariku mulai melepas kancing celananya, dadaku makin bergemuruh kala resleting turun ke bawah hingga membuat celana panjang yang dikenakan Om Zaidan lolos begitu saja dan menyisakan celana dalam warna hitam yang menutupi penisnya secara tak sempurna. Aku kembali tertegun, karena mataku bisa dengan jelas bisa melihat gundukan daging kenyal yang sudah mengeras sempurna berukuran luar biasa besar terhimpit oleh ketatnya celana dalam.

Tiba-tiba Om Zaidan meloloskan celana dalamnya, sontak penisnya langsung mencuat, mengacung sempurna tepat di hadapan mataku. Gila! Ini benar-benar gila! Penis Om Zaidan tak hanya berukuran besar tapi juga panjang, bentuknya lonjong dengan baluran oto-otot tipis di sepanjang batangnya, dan yang lebih membuatku makin terpesona adalah penis Om Zaidan sedikit bengkok ke kiri. Aku bisa membayangkan bagaimana rasanya jika penis ini telah menyesaki liang senggamaku yang sekarang terasa makin basah.

"Jangan didiemin aja..." Ucap Om Zaidan sekali lagi menggoda dan menggelitik kebinalanku sebagai seorang wanita.

Dengan masih terduduk di tepi ranjang, sementara Om Zaidan berdiri di hadapanku, tangan kananku bergerak menjulur untuk menggenggam penisnya. Ya Tuhan, bahkan genggaman tanganku tak bisa menangkup seluruh permukaan batang penis Om Zaidan! Ini benar-benar gila! Bagaimana mungkin ada batang penis sebesar ini? Saat aku melirik ke atas, Om Zaidan tersenyum tipis, seolah membanggakan pusakanya.

"Kenapa? Gede ya?"

"Ba-Banget..." Desisku lirih sambil menelan ludahku sendiri.

"Jangan dipegang doang, kocokin..." Ujar Om Zaidan seraya membelai kepalaku dengan lembut.

Aku takluk, benar-benar takluk akan pesona bapak kosku ini. Maka apa yang diperintahkannya pantang untuk kutolak. Tanganku kananku mulai bergerak maju mundur mengocok batang penisnya, yang entah kenapa makin lama terasa makin membesar. Aku bisa dengan jelas melihat di bagian ujungnya, di lubang kencingnya, terdapat setitik cairan bening, tanda bahwa batang penisnya bereaksi terhadap rangsangan.

"Occhhhhh....Pinter banget kamu..." Lenguh Om Zaidan dengan suara beratnya yang seksi.

Aku makin beresemangat, gerakan tanganku terasa lebih ringan meskipun cukup kewalahan mengenggenggam batang penis Om Zaidan yang berukuran besar. Naluri kebinalanku pelan namun pasti mulai menguasai, kepalaku makin mendekat, mulutku terbuka dengan sendirinya diiringi juluran lidah yang mengular. Hingga akhirnya bagian ujung indera pengecapku bersentuhan langsung dengan lubang penisnya.

Aku mulai menjilatinya, lidahku menyapu seluruh permukaan ujung penis Om Zaidan. Mengecupnya lembut, merasakan asin dan gerirnya cairan yang tadi terlihat oleh mataku. Sesaat aku melirik ke atas, menyaksikan reaksi Om Zaidan atas tingkah nakalku. Pria itu meringis, entah apa yang dirasakannya kala lidahku menari- nari di lubang kencingnya, menghantarkan kenikmatan pada tubuhnya.

"Occhhhhh....." Hanya itu yang terdengar dari mulut Om Zaidan.

Mulutku terbuka lebar, sebelum kemudian berusaha mengulum ujung penis pria itu. Ya Tuhan, ini bena-benar besar, mulutku terasa sesak bahkan hanya sebagian penis Om Zaidan yang tertampung. Suara lenguhan parau bapak kosku itu kembali terdengar parau, dua tangannya meremas gemas kepalaku yang berusaha untuk bergerak maju mundur, mencoba untuk beradaptasi dengan ukuran batang penisnya di dalam mulutku.

"Eeemcchhh...Eemmchhhh!!"

Aku kesulitan bernafas, namun sepertinya Om Zaidan terlanjur menikmati serviz blowjobku, pinggulnya kini justru mulai bergerak maju mundur sementara kedua tangannya menahan kepalaku agar tak bergerak liar. Cukup lama pria itu 'memperkosa' mulutku, bahkan tak jarang dia menekan lebih dalam pinggulnya, membuat penisnya terdorong lebih dalam dan ujung penisnya nyaris menyentuh pangkal tenggorokanku. Brengsek! Pria tua ini membuatku kewalahan bukan main.

"HAAAH! HAHHH!! HAAAHH!!"

Dengus nafasku terdengar tak beraturan, liur menetes membasahi sela-sela bibirku setelah Om Zaidan menarik keluar batang penisnya yang berukuran jumbo dari dalam mulutku. Tak menunggu lama, dia menarik tubuhku ke sisi tengah ranjang. Inilah saatnya, jantungku berdetak lebih cepat saat Om Zaidan menarik lepas celana dalamku sebelum kemudian melebarkan kedua pahaku. Mataku nanar menatap batang penis besar miliknya yang mengacung tegak dan basah.

"Sudah siap sayang?" Tanyanya dengan seringai mesum penuh arti.

"Lakukan Om...Entotin Hanna Om..." Balasku tak kalah binal.

Om Zaidan bersiap, sesaat dia melumuri batang penisnya dengan air liurnya sendiri kemudian memposisikan ujung penisnya tepat di depan liang senggamaku yang suah siap sedari tadi menerima penetrasinya. Aku tak berani melihatnya, mataku tertutup, tapi sentuhan ujung penisnya yang menggesek lembut di celah vaginaku membuatku menggigit bibirku sendiri. Aku bersiap, sebelum kemudian....

KRIIINNNGGGGGG!!!!!!!

KRIIIIIINGGGGGGG!!!!!

Tubuhku terlonjak kaget, suara alarm dari ponselku yang tergeletak di sisi ranjang memekakkan telingaku. Jantungku berdetak kencang, mataku mengelilingi seisi kamar dan mendapati diriku hanya seorang diri. Kemana Om Zaidan?

Brengsek! Untuk kesekian kalinya aku harus memimpikan bapak kosku sendiri!

***

6 BULAN LALU

"Yang bener kak??? Serius???"

Aku masih tak percaya dengan apa yang baru saja aku dengar dari ponselku. Shock, gembira, dan bahkan haru seketika menyergap tubuhku.

"Halo? Hanna? Kamu masih ada di sana? Halo??"

"I-Iya Kak, halo! Iya aku masih ada di sini!" Buru-buru aku menjawab panggilan Kak Salma yang meneleponku.

"Udah, sekarang kamu siapin semua syarat-syarat administrasinya dan yang paling penting kamu harus minta ijin ke orang tuamu. Aku pikir itu lebih sulit dibanding melewati ujian tes beasiswa."

"Iya Kak, habis ini aku langsung bilang ke Ibu dan Abi. Makasih banget ya Kak, duh seneng banget aku hari ini!" Sorakku penuh kegembiraan.

"Iya sama-sama. Ya udah, pokoknya nanti segera kabari ya kalo udah beres semua. Aku tunggu."

"Iya Kak, sekali lagi makasih banget."

Sambungan telepon dari Kak Salma terputus, rona kebahagiaan langsung terpancar di wajahku yang berseri-seri. Bagaimana tidak, Kak Salma baru saja mengabarkan jika aku berhasil lulus tes penerimaan mahasiswa baru di Universitas Nasional lewat jalur beasiswa mandiri. Impianku untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi akan segera terwujud, hanya saja ada satu masalah yang harus aku selesaikan terlebih dahulu. Meyakinkan kedua orang tuaku agar mereka memberi ijin kepadaku melanjutkan pendidikan ke kota. Ini akan menjadi misi yang lebih sulit dibandingkan menyelesaikan deretan soal-soal ujian.

Malam harinya aku memberanikan diri untuk mengabarkan berita gembira ini pada Ibuku, aku berharap ibuku bisa mengerti dan membantuku meminta ijin pada Abi. Namun ekspresi datar ibuku setelah mendengar kabar diterimanya aku di Universitas Nasional seperti meruntuhkan harapanku begitu saja.

"Nanti apa kata Abi kalo denger ini Nduk?" Kata Ibuku sambil melipat beberapa potong pakaian sebelum dimasukkan ke dalam lemari.

"Ayolah Bu tolongin Hanna, aku benar-benar ingin kuliah dan jadi wanita karir seperti Kak Salma." Ucapku dengan nada merajuk berharap bisa sedikit melunakkan hati ibuku.

"Nduk, kamu itu anak ibu perempuan satu-satunya. Kalo kamu pergi ke kota dan kuliah di sana, nggak akan ada yang nemenin Ibu di rumah."

"Jadi Ibu nggak mau lihat Hanna berkembang? Ibu lebih suka melihat Hanna hidup di desa terus? Hanna nggak mau Bu...Hanna pengen kuliah kayak Mas Abram!"

"Nduk...Pelankan suaramu. Ibu dan Abi nggak pernah ngajarin kamu ngomong keras kayak gitu di depan orang tua." Suara ibuku tak setinggi suaraku barusan, tapi tatapan matanya dalam, memberi tanda jika kali ini aku sudah keterlaluan.

Tak mau menyerah begitu saja, aku keluar dari kamar ibuku. Langkah kakiku menuju teras untuk menemui Abiku yang sedang melepas penat dengan menghisap rokok setelah hampir seharian mengajar di Pondok Pesantren. Aku sempat ragu saat berada di dekat pintu, Abi duduk di teras membelakangiku sambil mengepulkan asap rokok berkali-kali dari dalam mulutnya. Tekadku sudah bulat, aku tidak boleh menyerah untuk meyakinkan kedua orang tuaku.

"Abi...Hanna mau bicara." Abiku menoleh ke arahku, seperti biasa tatapan matanya dingin dan tegas.

"Ya? Ada apa?" Aku mengambil duduk tepat di hadapan Abiku. Sejenak aku menghela nafas panjang sebelum mengutarakan maksudku.

"Nggak, Abi nggak ngijinin kamu kuliah di kota." Ucap Abi setelah mendengar permintaanku.

"Tapi ini beasiswa penuh Bi, semua biaya pendidikanku dibiayai oleh perusahaan BUMN. Abi nggak perlu ngluarin biaya sepeserpun sampai aku lulus nanti."

"Kamu pikir Abi nglarang kamu kuliah di kota karena masalah uang?" Sorot tajam mata Abi  menyasarku, aku menguatkan tekad untuk berani balik menatapnya meskipun jantungku berdetak lebih cepat dibanding biasanya. Ini pertaruhanku, rasa takut tak boleh menguasaiku.

"Lalu karena apa Bi? Dulu Mas Abram Abi biayain kuliah bahkan sampai menjual sawah dan ladang, kenapa sekarang Aku nggak boleh? Kenapa Mas Abram boleh sementara aku  dilarang?"

"Karena kamu perempuan! Pendidikan tinggi bukan jadi prioritasmu, tugas utamamu nanti jadi istri dan ibu yang baik seperti Umimu! Mas Abram Abi kuliahin karena dia nanti akan jadi imam untuk keluarganya, dia yang akan menafkahi segala kebutuhan rumahtangganya."

"Lagipula Gus Akhyar bulan depan akan datang ke sini." Lanjut Abi sebelum kembali menyalakan sebatang rokok lagi.

"Maksudnya apa Bi?" Sekuat tenaga aku menahan agar air mataku tidak jatuh saat ini juga.

"Kyai Salman berencana mengambilmu sebagai menantunya. Ini kehormatan besar untuk keluarga kita, Gus Akhyar adalah jodoh yang sempurna untukmu. Dia lulusan Mesir, ilmu agamanya kuat, dan yang paling penting kamu akan jadi menantu seorang Kyai besar."

"Nggak Bi! Hanna nggak mau menikah! Hanna pengen kuliah!"

Tak kuasa aku membendung airmataku, emosiku meledak berhamburan begitu saja sebelum aku berlari menuju kamarku. Teriakan Abi sama sekali tak menghentikanku, Ibuku yang mendengar perdebatanku dengan Abi sampai keluar kamar, belum sempat dia menanyakannya padaku, aku lebih dulu membanting pintu kamarku dan menguncinya dari dalam. Aku jatuhkan tubuhku di atas ranjang sambil terisak tangis, gedoran pintu dari luar diiringi suara keras Abiku sama sekali tak aku hiraukan.

Mimpiku harus terkubur dalam-dalam karena kedua orang tuaku terlanjur kolot. Bagi mereka anak perempuan sama sekali tak memiliki hak untuk mengenyam pendidikan tinggi. Aku membenci pandangan busuk seperti itu, gender seolah jurang pemisah kepantasan pandangan masyarakat bagi pria dan wanita.

Aku seharusnya tak heran, karena di lingkunganku hampir semua teman-teman wanitaku sudah menikah di usia muda, mereka sama sekali tak memiliki pilihan lain selain mengabdikan diri menjadi istri bagi pria-pria pilihan orang tua mereka. Aku membenci takdir buruk seperti itu, namun kebencian saja tidak cukup. Buktinya kali ini akulah yang dipaksa menerima takdir itu.

***

"Gimana Han?"

"Gagal Kak, Abi nggak ngijinin aku." Sahutku dengan suara lemah lewat sambungan telepon. Terdengar hela nafas panjang dari Kak Salma di ujung sana.

"Sayang banget padahal, yang ngantri dapetin beasiswa kayak gini ada ribuan orang dan kamu jadi salah satu yang terpilih." Ada nada sesal yang terdengar dari Kak Salma.

"Aku harus gimana Kak sekarang? Aku masih pengen nglanjutin kuliah, Aku nggak mau nikah dulu..." Suaraku tercekat menahan tangis.

"Hah? Nikah? Kamu mau dinikahkan sama Abimu?" Cerca Kak Salma.

"I-Iya Kak, bulan depan Gus Akhyar akan datang ke rumah untuk melamarku. Tolong Aku Kak..." Tangisku seketika pecah, bayangan nasib buruk menjadi istri dari seorang pria yang sama sekali tak kukenal kembali menggelanyuti isi kepalaku.

"Udah..Udah...Kamu tenang dulu sekarang. Aku akan bantu cari jalan keluarnya. Kamu sabar dulu ya.." Ujar Kak Salma mencoba menenangkanku.

Beberapa hari setelah itu tak ada kabar dari Kak Salma, aku lebih banyak mengurung diri di dalam kamar seolah menanti kabar buruk yang menghantuiku. Setiap malam aku selalu berdoa agar Abi dan Ibuku mau sedikit melunakkan hati agar menolak lamaran dari Kyai Salman. Rasanya tak diijinkan untuk kuliah lebih ringan daripada harus dipaksa untuk menikah dengan pria asing yang sama sekali tak pernah aku temui sebelumnya. Namun harapan hanyalah berbalas harapan pula, keputusan kedua orang tuaku sudah bulat dan tak bisa diganggu gugat lagi.

Kadang kondisi terpepet dan dihantui ketakutan mendalam bisa membuat seseorang bertindak nekat. Mungkin inilah yang aku rasakan dalam beberapa hari terakhir, aku tidak ingin bernasib sama seperti beberapa orang temanku di desa, aku harus bergerak dan melawan keinginan orang tuaku. Maka  di suatu malam aku memberanikan diri untuk kabur dari rumah. Hanya dengan bermodalkan uang tabungan yang jumlahnya tak begitu banyak, aku nekat pergi menuju kota untuk menemui Kak Salma.

Sepanjang perjalanan malam itu perasaanku campur aduk, perasaan lega namun juga ketakutan bercampur menjadi satu, menyesaki dada. Lega karena akhirnya aku bisa lolos dari "penjara" yang diciptakan oleh kedua orang tuaku yang kolot tapi sekaligus merasa bersalah karena malam ini aku mengambil keputusan sepihak dan untuk pertama kalinya dalam hidup aku berani menentang keputusan kedua orang tuaku.

Meskipun sempat kaget karena mendapat kabar pelarianku, Kak Salma bersedia menjemputku di terminal kota saat aku sampai nantinya. Aku sedikit bisa bernafas lega, setidaknya di kota aku bisa menemukan seseorang yang mau menolong dan menampungku. Ponselku tak berhenti berdering, puluhan telepon dari Abi dan Umi diiringi puluhan chatt dari mereka sama sekali tak aku hiraukan. Bahkan dengan sengaja aku memblok nomor ponsel kedua orang tuaku karena terlampau membuat jengah. Setelah menempuh perjalanan beberapa jam dengan bus malam sampailah aku di terminal kota, tempat asing bagiku, tempat dimana jejak pertama kakiku tercetak demi meraih segala macam cita-citaku.

"Hanna!!"

Aku langsung menoleh ke belakang saat terdengar suara wanita memanggil namaku. Kak Salma. Aku sempat mengrenyitkan dahi karena penampilan yang sangat berubah dari kakak kelasku dulu di Madrasah Aliyah itu. Bagaimana tidak, Kak Salma mengenakan celana jins ketat yang memperlihatkan lekuk tubuhnya yang sexy, sementara bagian atas tubuhnya hanya ditutupi selembar crop top berwarna hitam. Rambutnya yang panjang tergerai tanpa hijab, senyumnya mengembang bahagia seraya berjalan cepat mendekatiku. Kakinya jenjang ditunjang sepasang sepatu kets kekikinian. Beberapa pasang mata pria yang kebetulan ada di dekatku melihat Kak Salma dengan tatapan kagum, sama dengan apa yang aku rasakan saat ini.

"Kak Salma!" Kami berdua berpelukan untuk sesaat, ada perasaan lega setelah bertemu dengan wanita ini.

"Gimana perjalanannya? Lancar kan? Nggak ada masalah kan?" Cerca Kak Salma.

"Lancar kok Kak."

"Ya udah, ayo sekarang kita ke apartemenku. Besok baru kita obrolin rencana studimu."

"Oh ya, kamu pasti lapar kan? Kita makan dulu ya habis ini." Lanjut Kak Salma.

Terpesona, itulah yang aku rasakan saat untuk pertama kalinya bertemu kembali dengan Kak Salma setelah beberapa tahun tak bersua. Kehidupan kota rupanya benar-benar merubah Kak Salma, bukan hanya dari segi penampilan, tapi juga bagaimana dengan cara dia berbicara, kepercayaan dirinya seolah naik drastis. Kak Salma bercerita banyak tentang karirnya di sebuah kantor hukum, dirinya sekarang menjadi asisten pribadi seorang pengacara terkenal. Dari gajinya dia bahkan sudah bisa membeli apartemen mewah di pusat kota.

Segala macam cerita kesuksesan ini makin meneguhkan tekadku untuk meraih cita-cita setinggi mungkin. Setidaknya cerita Kak Salma bisa jadi motivasiku, aku juga harus bisa membuktikan pada kedua orang tuaku jika keputasanku untuk pergi dari rumah adalah sebuah keputusan tepat. Aku harus bisa membuktikannya.


Posting Komentar

0 Komentar