WET DREAM

 


SINOPSIS:

Dito bertemu kembali dengan sepupunya yang cantik, Vania. Perjumpaan itu ternyata membuat Dito mengarungi lautan birahi bersama Vania hingga akhirnya momen itu harus berakhir oleh sesuatu yang sama sekali tak terpikirkan oleh Dito.

GENRE : DRAMA EROTIC

FORMAT : FILE PDF

JUMLAH HALAMAN : 106 HALAMAN


HARGA : Rp 10.000




PROLOG


Hari Jumat, 05.45

“Dhit, Dhito. Dhit bangun udah jam 6!”

Mataku terbuka, tapi tidak bisa terbuka penuh karna ada cahaya terang dari jendela. Cahaya matahari telah berpergian sejauh 149, 6 juta kilometer, dan sekarang sudah sampai di jendela kamarku, bersiap mengetuk kaca dan membangunkanku. Tapi alarm alami ku mendahuluinya Kulihat ibu negara di rumahku berada di samping kasurku dan sudah sangat rapi.

“Mama rapi banget? Mau ke mana?” Tanyaku dengan perasasaan bingung. Bingung karena mamaku sudah rapi, atau bingung karena nyawa masih setengah.

“Lah gimana sih, Mama kan mau ikut Papa kunjungan ke cabang Bali. Sana cepetan mandi!”

Ah, aku baru ingat, Papa adalah seorang Manager di sebuah cabang perusahaan pendidikan di kota yang penduduknya dikenal kasar tutur bicaranya. Setiap sebulan sekali, beliau selalu keliling Indonesia untuk meeting bersama Manager dari cabang lain. Ada kalanya meeting dilakukan di cabang Papa, jadi Papa tidak perlu repot repot untuk keluar kota. Dan Mamaku, seorang ibu negara yang tempat kerjanya di rumah, alias ibu rumah tangga. Dulu sempat bekerja di salah satu bank swasta di Indonesia. Tapi beliau pensiun muda di umur 35 tahun.

Aku? Seorang cowok biasa saja, 25 tahun, single, gamer, keyboardist, dan bodo amat dengan trend yang sedang ada. Tapi setidaknya aku punya beberapa hal yang bisa dibanggakan. Saat ini aku menjabat sebagai Marketing Supervisor di salah satu start up yang sudah besar di sini, dan sejak umur 20 tahun, aku sudah bisa membeli mobil, keyboard dan amplifier, serta sebuah komputer gaming full set sendiri, ya meskipun saat itu beli mobilnya 80% uangku, 20% uang Papa. Yup, dari jaman kuliah aku sudah bisa mencari uang sendiri dari hasil ngamen dan kerja freelance sebagai copywriter.

 

Jam 06.15

Sekarang aku sudah rapi. Pasang headset, ambil kunci motor, dan siap berangkat ke kantor.

“Eits jangan pakai motor. Hari ini pulang jam berapa?” Tiba tiba mama menarik tasku.

“Lah kenapa ma? Hari ini ya sama jam 5 pulangnya.”

“Nah pas. Kamu bawa mobil aja ya. Nanti jam 6 mampir bandara, jemput si Vania.”

“HAH? VANIA?” Tanyaku sedikit berteriak.

“Dia kok tiba tiba pulang?”

“Dia cuman numpang sampe besok. Besok kan Pakde Bude baru pulang dari Medan. Kalo Vania langsung pulang ke rumahnya. Kamu tau sendiri, Pakde Bude mu kan ngga mau kalo Vania sendirian di rumah. Besok mereka pulang dari Medan langsung jemput Vania di sini kok, terus mereka langsung pulang ke rumahnya. Udah sana berangkat, ini bekalnya.”

Aku heran kenapa banyak orang seusiaku yang malu jika dibawakan bekal oleh ibunya. Padahal itu salah satu cara penghematan. Dan lagipula, itu masakan seorang ibu! Tidak ada tandingannya!

“Yaudah deh. Ini mama ke bandara naik apa? Sekalian aku anter?”

“Gausah. Papa mama naik taxi aja. Udah pesen juga kok.”

“Oke deh. Aku berangkat dulu, Pa, Ma.” Kuambil tangan kedua orang tuaku dan menciumnya.

Seperti pesan para orang tua, pamit lah ke orang tuamu sebelum berangkat ke manapun. Terutama kalau pamit untuk mengejar pendidikan dan mengejar rezeki. Mobil ku nyalakan, tak lupa ku sambungkan bluetooth mobil dan bluetooth handphone.

Open spotify - select hard/rock playlist- now I am ready to rock this day!

Jam 07.15

Mobil sudah terparkir rapi, kuambil tas dan rantang di jok belakang. Aku berjalan masuk kantor. Pintu dibuka oleh security.

“Pagi, mas Dhito. Pagi seperti biasa ya?”

“Pagi, pak Rahman. Iyo wes biasane, pak. Daripada telat kan mending dateng duluan. Masuk dulu, pak. Monggo.”

Monggo, mas.”

Aku ingat, ketika baru masuk, awal awal jadi staff di sini, aku dipanggil “Bapak” oleh semua security dan OB. Yang di mana itu adalah peraturan kantor. Tapi selang seminggu kemudian, aku memaksa mereka untuk sekedar memanggil “Mas” saja, atau perlu panggil nama sekalian. Pikirku, buat apa aku dipanggil “Bapak”?

Ruanganku sudah siap untuk aku huni selama seharian. Tanganku sudah berada di gagang pintu. Lalu terdengar teriakan yang selalu memekakakan telinga.

“PAGI, MAS DHITO!”

Sumber teriakan itu berasal dari mulut seorang wanita berusia 23 tahun. Dia imut, berbadan pendek, tapi mempunyai bentuk tubuh yang sangat ideal.

“Lah, Cindy? Tumben banget kamu jam segini sudah datang? Biasanya juga mepet jam 8.”

“Iya nih, Mas. Kemarin lupa banget aku ngeprint berkas berkas promosi yang mau dikirim ke kampus kampus. Jadi tadi aku jam setengah 7 an udah nyampe sini terus langsung ngeprint semuanya. Tapi ini udah selesai semua kok, mas. Hehehe…”

Tawa kecil itu, senyuman itu, dan mulut itu. Selalu membuatku teringat kejadian di awal awal dia menjadi staff baru di sini. Di mana pertama kali aku menjamah bibir, dan seluruh badannya. Membongkar sebuah rahasia pribadi yang selalu dia pendam dan dia sembunyikan dibalik tingkah laku dan jilbab yang selalu dia pakai ke manapun dia pergi serta pakaian yang tidak mencetak lekuk tubuhnya. Ah. Rasanya terlalu panjang jika aku ceritakan di sini.

“Halah kamu ini. Orang deadlinenya kan masih nanti sore. Kenapa buru buru?” Jawabku sambil berjalan masuk ke ruangan lalu menaruh semua barangku di atas meja. Aku duduk di kursi lalu menyalakan komputer. Cindy mengikutiku dan duduk di kursi depan mejaku.

“Ya kan ngga enak aja, mas. Biar hari ini kerjanya cuman dikit gitu niatnya. Eh malah lupa.”

Cindy sudah setahun di sini. Dia menggantikan aku sebagai Content Writer ketika aku diangkat menjadi Marketing Supervisor. Salah satu yang aku suka dari kinerjanya adalah tanggung jawabnya. Dia jarang sekali melebihi deadline. Bahkan hampir tidak pernah. Misal deadline di hari Senin, maka hari Minggu sore softcopy kerjaannya sudah dikirim ke email ku dan Managerku.

“Mas, pagi ini mau ngapain?”

“Ya biasa. Abis ini paling mau bikin kopi terus ngerokok dulu.”

“Hehe. Mas, yuk ke atas.” Dia menawarkan sesuatu yang sangat tidak aku duga. Dengan senyum manis, nada manja, dan mata yang merayu.

“Masih pagi woy! Ngawur nih. Baru kali ini lho kamu ngajak pagi pagi gini.”

“Ke atas”, kode yang hanya berlaku untukku dan Cindy. Kode untuk suatu tempat. Suatu sudut di tangga darurat, tempatku untuk menyendiri dan merokok, di antara lantai 4 dan lantai 5, tempat yang jarang dilewati oleh staff lain, tempat di mana menjadi saksi bisu cerita ku dan Cindy selama hampir setahun ini.

“Mas. Bentar aja. Please. Udah gatel dari kemarin.” Dia masih merayu sambil mencubit pelan lenganku.

“Gitu kenapa kemarin ngga bilang?”

“Ih kan kemarin aku nungguin kamu, mas. Tapi aku gatau kamu meeting dulu sampe malem. Kalo aku nungguin kamu kan dikira yang enggak enggak. Lah kok aku lupa mau ngechat kamu pas di kantor. Pas nyampe kosan aku ketiduran. Bangun bangun udah jam 10 malem. Apesnya lagi pulsa abis, paketan abis, wifi kosan juga mati!”

Selain tanggung jawab yang aku suka, hal lain yang aku suka dari anak ini adalah keagresifannya. Apalagi agresifnya hanya ke aku! Ya, dia ke orang lain sangat biasa saja. Tidak menunjukkan bahwa dia bisa seliar ini. Bahkan ketika lagi nongkrong sama anak kantor dan lagi ngobrolin sesuatu yang dewasa, dia berakting seolah dia tidak paham apa yang sedang dibicarakan. Wajah manja Cindy seakan membuat peniskumeronta,

“Sudah terima saja tawarannya! Ini masih pagi, aku masih fresh!”

“Ya sudah, kamu ke sana dulu.”

“Ihihihih siap, mas.”

Cindy lalu berlari kecil menuju tempat rahasia kami. Tidak lama aku juga mengikutinya. Untuk menghindari kecurigaan, kami tidak pernah masuk ke tangga darurat berbarengan. Cindy masuk dari lantai 4, dan aku masuk dari lantai 5. Di tempat kecil itu Cindy sudah bersiap dengan membuka resleting celananya. Serta kaitan bra yang sudah terlepas.

Belum ada 5 detik kami bertemu, Cindy sudah melumat bibirku. Kami beradu lidah. Tanganku berpetualang di balik kemejanya. Memijat lembut dadanya dan bermain dengan kedua putingnya. Lalu tanpa komando, Cindy sudah meraba celanaku dan membuka resleting celanaku. Aku duduk di tangga, membiarkan Cindy melumasi penisku. Celana yang sudah terbuka sedikit membuat tanganku mudah untuk meraba liang kewanitaannya. Sudah sedikit basah.

Jariku langsung menggesek vagina Cindy. Setelah cukup basah, kumasukkan 2 jariku dan membuat Cindy kehilangan arah ketika mengoral penisku. Begitupun dengan aku. Aku menggelinjang parah karena mulut Cindy. Campuran antara hangat, licin, dan kenikmatan. Kepalanya naik turun semakin tidak beraturan ketika aku mempercepat tempo jariku. Tidak ada 10 menit, Cindy sudah berhenti

“Udah nih, mas. Udah basah. Yuk!” Cindy mengeluarkan tanganku sambil tetap mengocok lembut penisku.

Cindy lalu menungging di tangga. Biasanya penisku akan kugesekkan dulu ketika sudah di posisi ini. Namun apa daya, ini di kantor, kami sedang quickie, dan sebentar lagi orang oran pasti akan segera datang. Tidak pikir panjang aku langsung membenamkan penisku ke dalam vaginanya.

“Arghh, mas!” Segera kututup mulut Cindy agar tidak mengerang semakin keras.

Satu tangan menutup mulut, satu tangan lagi meremas payudara Cindy tanpa ampun. Payudaranya yang kenyal, indah, dan sangat imut, serta puting yang berwarna pink. Membuatku tidak bisa berhenti bermain main mereka.

Plak!

Tanganku mendarat sedikit kasar di pantat putihnya. Kulirik jam tanganku. 07.52.

“Gila, ini 3 menit lagi biasanya rame yang dateng nih!” Pikirku dalam hati.

“Cin, aku keluarin ya. Udah jam segini. Sini cium dulu.”

“Engghh, iya, mas. Aduh geli, mas. Cepetin!” Tempo gerakan langsung aku cepatkan. Kepala Cindy mengarah ke belakang. Bibir kami bertemu, untuk beradu, serta untuk menutup mulut Cindy agar tidak terdengar erangannya.

“ENGHHH!”

Kurasakan Cindy sudah keluar, erangannya tertahan oleh bibirku. Segara kulepas penisku. Cindy sudah paham. Dia membalikkan badan dan menyambut penisku. Dikulum habis penisku dan membiarkan aku membuang calon anak anakku di dalam kerongkongannya.

“Ah, you are so good, Cin. Gini ya rasanya main pagi pagi.”

Cindy hanya tersenyum manja, Kami segera berdiri dan merapikan pakaian kami. Sudah pasti aku selesai duluan, karena aku hanya butuh merapikan celana saja. Sedangkan Cindy masih harus merapikan celana dan bra nya.

Now, who’s my bad girl, huh?” Godaku sambil meraba payudaranya.

“Hihihihi apasih, mas. Bentar dong, orang lagi ngerapihin baju malah diberantakin lagi.”



Posting Komentar

0 Komentar