SANG PERAWAN
SINOPSIS :
Tirai putih
transparan melambai pelan seirama mengikuti arah angin yang menerobos melalui
celah-celah jendela. Di dalamnya sebuah kamar dibiarkan gelap tanpa penerangan,
terkesan dingin, kelam, dan sunyi. Sinar keemasan matahari sore yang menembus
melalui kaca menjadi satu-satunya sumber cahaya. Cahaya yang mengenai salah
satu sisi wajah sayu sesosok wanita yang tengah menunduk muram di tepian
ranjang. Tangan putihnya gemetar, mencengkeram erat dada terbungkus jilbab
hitam yang ia kenakan. Kedua bahunya bergetar naik-turun diikuti sayup-sayup
suara isakan yang memecah hening.
Debrina Zahra
merasakan sesak memenuhi ruang di dadanya, perasaan percampuran antara hancur
berkeping, marah, kehilangan, dan duka mendalam. Lagi, ini sudah ketiga kali.
Calon suaminya mati mengenaskan, Hasan terseret ombak lautan, Ikhsan jatuh dari
tebing gunung, tercabik binatang buas. Kini Deri tertabrak kereta,
terbelah─hancur, menorehkan luka di tempat yang sama. Ia menggigit bibir bawah
yang mulai terasa perih, menahan kuat-kuat isakan agar tidak menjadi jeritan,
namun itu hanya menambah rasa sakit yang tak bisa lagi ia kuasai. Pertahanan
itupun runtuh tanpa disadari. Debrina menjerit, menjerit sekuat mungkin
meluapkan rasa sakit yang tak bisa ia gambarkan dengan sederhana.
Kerabat di
luar kamar panik berdatangan ingin masuk dan melihatnya, namun tertahan pintu
yang terkunci rapat, ketat, tiada akses. Permintaan untuk dibukakan pun tak
diindahkan wanita yang sedang dirundung duka. Yang bisa mereka lakukan dari
luaran pintu hanya memberi nasehat, kekuatan agar ia tak berbuat nekat. Jujur
saja itu semua tak ada artinya bagi Debrina sekarang. Masih lekat dalam
ingatan, siang kemarin pria nahas yang dikenalkan Ayahnya pada suatu pertemuan
itu datang ke rumah, mengenakan setelan mahal berwarna abu, rambut tersisir
rapi menawan, dan aroma ambergris menguar dari kulit tan-nya yang maskulin.
Wajahnya memancarkan senyum cemerlang luar biasa di mata Debrina, seolah
memaksanya untuk terus jatuh cinta setiap hari pada pria yang sama.
Didampingi
kedua orang tua dan kerabat dekat pria bernama itu Deri melamarnya. Hari itu
Debrina mengenakan setelan berwarna merah pastel mulai dari ujung kepala sampai
ujung kaki, tak ketinggalan make-up tipis bernuansa peach natural yang membuat
kecantikan alami Debrina semakin bersinar. Pertukaran cincin dilakukan di depan
kedua keluarga. Tak ada keraguan di hati si gadis cantik bermata bundar untuk
menerima lamaran Deri. Ia mengangguk malu, kemudian kedua sudut bibir tipis
Debrina terangkat menatapi wajah-wajah yang tersenyum lega melihatnya memakai
cincin berukir nama Deri di sisi belakangnya, pertanda ia sudah diikat tak
resmi oleh pria yang merasa paling beruntung itu.
Deri adalah
pemuda baik, dewasa, penyabar, dan penyayang, mempunyai karir bagus di sebuah
perusahaan asing, tipe ideal di kalangan wanita. Semua setuju Deri pasangan
sempurna jika disandingkan dengan Debrina, seorang desainer muda yang mandiri.
Wanita cantik berkulit putih bersih bak salju, jika tersenyum pipinya bersemu
merah seperti buah persik. Setiap hari tubuhnya dibalut pakain besar dan
tertutup bebas dari pandangan buruk, aura kedamaian saat ia berbicara selalu
terpancar bagai sihir siapapun yang diajaknya berdialog. Dia juga wanita soleha
yang sangat menjaga ibadah.
Kedua belah
pihak-pun sudah memutuskan pernikahan akan dilaksanakan tiga minggu dari
sekarang. Setelah beberapa saat menyelesaikan sesi obrolan ramah-tamah antar
kedua keluarga lantas keluarga Deri berpamitan pulang. Tidak ada firasat buruk.
Hanya Deri yang berdiri terlalu lama menatap tunangannya, membuat wanita ini
salah tingkah kemudian malu-malu menegur agar tidak melakukan hal itu. Tidak,
tidak apa-apa hanya saja yang Debrina tau menatap lama-lama orang yang belum
halal baginya adalah sebuah dosa.
"Aku
ingin melihatmu lebih lama sebelum hari pingitan ini dimulai. Hanya ingin
menyimpan lebih banyak ekspresimu, lalu akan aku ingat jika rindu."
Pria itu
tersenyum, Debrina tersipu dengan hati berbunga. Namun kegiatan merayu itu
harus berakhir saat Ayah Deri mengajaknya segera pulang dan masuk ke mobil.
Saat itu Debrina hanya menatap punggung Deri yang perlahan menghilang dari iris
matanya dalam diam. Satu jam kemudian kabar duka datang bagai petir yang
menyambar tepat di atas kepala. Petaka yang tak ingin ia dengar. Rombongan Deri
mengalami kecelakaan pemuda itu terlempar dari mobil, tubuhnya terseret kereta
sejauh seratus meter terpisah-pisah mengenaskan.
Kata orang itu
sengkala. Perias wisuda Debrina melihat tanda di punggungnya, Wanita itu lalu
menyebar gossip bahwa Debrina wanita pembawa bencana, Deri mati karena ingin
menikahinya. Gunjingan itu terus terngiang di telinga, menambah rasa nyeri
bertubi dihatinya. Debrina bangkit menghapus air mata di pipi, berjalan ke meja
rias dan mematut diri di depan cermin. Di sana hanya terpantul bayangan wanita
dengan tinggi sekitar 155cm, hijab lebar dan pakaian yang besar seolah menelan
tubuhnya yang mungil.
SET!
Dengan kasar
ia menarik kerudungnya hingga terbuang ke lantai, Debrina menangis tersedu
membiarkan rambut sepanjang punggung itu tergerai kusut. Kemudian dengan kasar
pula mempreteli terusan beserta pakaian dalamnya hingga ia bisa melihat sendiri
tubuh telanjang bulatnya di dalam cermin. Ia amati penampilanya apa ia pantas
disebut pembawa kematian untuk orang lain? Ingin Debrina teriakkan, tidak ada
hal keji yang bisa dilakukan wanita lemah, berwajah sendu, dengan kelopak mata
yang membengkak, dan tubuh yang lemah di dalam cermin itu! Tapi kenapa
orang-orang menyebutnya pembunuh?! Memangnya apa yang bisa dilakukan wanita
yang bahkan bibirnya gemetar hanya karna menatap pantulan diri sendiri yang
terlihat menyedihkan? Apa yang bisa ia lakukan untuk menyakiti orang lain?
Tangan Debrina
perlahan naik menyentuh punggung kanan yang hangat lalu berbalik ke samping
menghadapkan ke depan cermin, ia ingin melihat tanda yang ada pada punggungnya.
Saat tangan Debrina beralih turun ke lengan ia bisa melihat sebuah tanda lahir
berwarna hitam sebesar uang logam, tanda lahir yang membuatnya disebut wanita
bahu lawehan. Air mata Debrina meleleh deras, hanya karna tanda itukah dia
terkutuk? Hanya dengan itukah dia bisa membunuh laki-laki tak bersalah? Jika
memang iya, apa semua akan berakhir jika dia merusak tanda itu?
Lantas ia
mengambil pisau cutter dari dalam laci, menempelkan di pundak benda bermata
tajam namun tak punya hati itu. Ia sudah memperkirakan mungkin hanya dengan
sekali sayatan dalam tanda terkutuk itu akan hilang dan tidak akan ada yang
menyalahkannya lagi. Debrina sudah tidak bisa memfungsikan otaknya dengan baik,
pikirannya sudah dipenuhi segala kebuntuan, dia tak menemui jalan kecuali mati.
Keberaniannya terkumpul. Meski awalnya ragu ia siap membayar nyawa menyusul
ketiga calon suaminya. Ia pun memejam disusul lelehan airmata yang mengalir di
pipi, lalu menekan pisaunya.
BRAK!!
"DEBRINA!!"
Di sisi luar
dari balik tirai berlatarkan langit senja, bayangan hitam berdiri di sana.
Kedua mata merah bersinar jahat menatap ke dalam, kemudian perlahan hilang
terbawa angin.
***
Udara malam
menembus ke dalam kamar gelap dan sunyi melalui jendela, membawa aroma primrose
bersamaan dengan cahaya rembulan yang jatuh menyinari tubuh lemah yang
berbaring menyamping di balik selimut cokelat. Lelah di tubuhnya berangsur
membaik setelah seharian terus menangis dan berakhir pada percobaan bunuh diri
, tubuh itu hanya mengulat tatkala angin membelai rambutnya lembut, terlalu
nyaman hingga ia tak mau bangun dari posisinya sekarang. Sampai sebuah suara
memanggilnya pelan.
"Debrina."
Dalam lelap
alisnya tertaut, suara itu seperti sangat ia kenali. Namun rasa lelah membuat
matanya sulit dibuka walau sangat ingin.
"Debrina."
Lagi, entah
untuk yang berapa kali. Mata itu perlahan terbuka, bekas kesedihan masih nampak
di sana, sayu sedikit membengkak mengurangi nilai sempurna Debrina. Namun ia tidak
menemukan siapapun di sana. Hanya kamar sunyi dan suara serangga malam yang
terdengar mendominasi.
"Hei."
Bahunya disentuh.
Debrina lantas
terlonjak dan bangun. Jantung berdegup keras, napasnya tercekat tatkala melihat
sosok Deri sudah duduk di pinggir ranjang. Ia tatapi sosok itu tak percaya,
Deri yang sehat tanpa kekurangan satu apapun.
"D-deri?"
Deri menatap Debrina heran, seolah bertanya apa yang salah?
"Deri?"
Debrina menyentuh pipi Deri, kulit itu terasa hangat pertanda laki-laki hidup.
Air matanya meleleh, betapa ia bersyukur sudah bangun dari mimpi buruk. Mimpi
di mana Deri mati mengenaskan.
"Kau
mimpi buruk?" Deri menyentuh kepala Debrina mengelus pelan. Gadis itu
mengangguk ragu. Lantas Deri memeluknya.
"Ceritakan padaku apa yang terjadi, jangan
takut aku di sini."
Hangat, Deri
tidak pernah memeluknya selama ini karena Debrina menghindari sentuhan dengan
laki-laki yang belum haknya. Tapi kali ini berbeda, ia sangat takut jika
melihat kenyataan bahwa calon suaminya mati lagi.
"Aku...
aku bermimpi," Kata Debrina gemetar.
"Kau
meninggalkanku. Kau mati. Me-mengenaskan." Namun ia lega saat mendengar
jantung Deri yang masih berdenyut tenang.
"Hm?
Mengenaskan?" Gumam Deri tidak percaya.
"Seperti
apa?"
"Kau
tertabrak kereta."
"Itu
memang mengerikan. Apa kau sangat sedih jika aku benar-benar mati?" Debrina
mengeratkan pelukan.
"Tentu
saja, tentu saja. Aku mungkin tidak bisa hidup tanpa Deri, aku takut hidup
sendiri tanpamu."
"Aku pun
tidak mau jika pergi tanpa Debrina. Lantas bagaimana jika mulai sekarang kita
pergi bersama?" Debrina mengernyit.
"Pergi ke
mana? Bukankah sebentar lagi kita akan menikah? Memang aku akan pergi tinggal
bersamamu."
"Tidak
Debrina, aku sendirian. Aku kesepian di rumah baruku."
"Rumah
baru?" Mendadak Debrina merasakan kejanggalan, jantung Deri berhenti
berdenyut, tubuh yang ia peluk terasa dingin.
Ragu Debrina
mengangkat wajah untuk menatap Deri. Pria itu menatap kosong ke depan, wajahnya
pucat. "De-deri?" Debrina menelan ludah, beringsut mundur, perasaan
takut tiba-tiba menyelimuti, itu bukan Derinya. Di dalam kepalanya seolah ada
alarm yang memerintahkan untuk segera pergi. Namun sebelum ia benar-benar pergi
sosok itu menoleh cepat ke arahnya.
"HIYAAAAA!!!!"
Debrina
menjerit ketakutan, yang ia lihat bukan Deri yang ia kenal. Melainkan sosok
Deri yang lain, wajah buruk rupa menyeramkan, bahkan seumur hidup baru kali ini
Debrina melihat wajah seburuk itu.
"Temani
aku Debrina." Sosok Deri bicara, kemudian bangkit mendekati Debrina,
menambah kengerian yang ia rasakan.
"Tidaaaak!
Tidaaaak...!! Pergi! Kau bukan Deri! Bukan!" Debrina histeris memejamkan
mata, tangannya menghalau makhluk yang ingin menyentuhnya.
"Aku
kesepian, temani aku." Seolah tuli makhluk seram tersebut mendekat,
mengulurkan tangan menyentuhnya.
"KYAAAAAAA!!!"
"Debrina!
Debrina! Bangun sayang, ini Umi!"
"Umii...ummi.."
Debrina yang terbangun dan melompat memeluk Ibunya. Mimpi barusan benar-benar
seperti kenyataan.
"Tenang
sayang, Ummi ada di sini untukmu. Kau aman." Wanita itu memeluk penuh sayang
kepada putri satu-satunya yang ia miliki. Ia usap rambut basah itu menenangkan.
"Deri
marah padaku ummi...dia ingin Debrina ikut, tapi dia bukan Deri yang kukenal.
Debrina takut ummi..."
"Sssst...
tidak apa-apa, kau baik-baik saja. Deri sudah tenang di surga. Itu cuma mimpi
sayang." Debrina mengangguk di pelukan Ibunya.
"Sekarang
kita berdoa, ummi temani." Sekali lagi Debrina mengangguk patuh.
Posting Komentar
0 Komentar