SANG PERAWAN

 


SINOPSIS :

Zahra gadis cantik berjilbab harus menerima kutukan aneh dimana setiap calon suaminya yang akan menikahinya meinggal dengan cara-cara misterius. Apakah Zahra akan menjadi perawan seumur hidup ? Atau ada cara untuk menghilangkan kutukan itu?

FORMAT : PDF Book Series

GENRE : HORROR EROTIC

JUMLAH HALAMAN : 113 HALAMAN

HARGA : Rp 15.000


PROLOG

Tirai putih transparan melambai pelan seirama mengikuti arah angin yang menerobos melalui celah-celah jendela. Di dalamnya sebuah kamar dibiarkan gelap tanpa penerangan, terkesan dingin, kelam, dan sunyi. Sinar keemasan matahari sore yang menembus melalui kaca menjadi satu-satunya sumber cahaya. Cahaya yang mengenai salah satu sisi wajah sayu sesosok wanita yang tengah menunduk muram di tepian ranjang. Tangan putihnya gemetar, mencengkeram erat dada terbungkus jilbab hitam yang ia kenakan. Kedua bahunya bergetar naik-turun diikuti sayup-sayup suara isakan yang memecah hening.

Debrina Zahra merasakan sesak memenuhi ruang di dadanya, perasaan percampuran antara hancur berkeping, marah, kehilangan, dan duka mendalam. Lagi, ini sudah ketiga kali. Calon suaminya mati mengenaskan, Hasan terseret ombak lautan, Ikhsan jatuh dari tebing gunung, tercabik binatang buas. Kini Deri tertabrak kereta, terbelah─hancur, menorehkan luka di tempat yang sama. Ia menggigit bibir bawah yang mulai terasa perih, menahan kuat-kuat isakan agar tidak menjadi jeritan, namun itu hanya menambah rasa sakit yang tak bisa lagi ia kuasai. Pertahanan itupun runtuh tanpa disadari. Debrina menjerit, menjerit sekuat mungkin meluapkan rasa sakit yang tak bisa ia gambarkan dengan sederhana.

Kerabat di luar kamar panik berdatangan ingin masuk dan melihatnya, namun tertahan pintu yang terkunci rapat, ketat, tiada akses. Permintaan untuk dibukakan pun tak diindahkan wanita yang sedang dirundung duka. Yang bisa mereka lakukan dari luaran pintu hanya memberi nasehat, kekuatan agar ia tak berbuat nekat. Jujur saja itu semua tak ada artinya bagi Debrina sekarang. Masih lekat dalam ingatan, siang kemarin pria nahas yang dikenalkan Ayahnya pada suatu pertemuan itu datang ke rumah, mengenakan setelan mahal berwarna abu, rambut tersisir rapi menawan, dan aroma ambergris menguar dari kulit tan-nya yang maskulin. Wajahnya memancarkan senyum cemerlang luar biasa di mata Debrina, seolah memaksanya untuk terus jatuh cinta setiap hari pada pria yang sama.

Didampingi kedua orang tua dan kerabat dekat pria bernama itu Deri melamarnya. Hari itu Debrina mengenakan setelan berwarna merah pastel mulai dari ujung kepala sampai ujung kaki, tak ketinggalan make-up tipis bernuansa peach natural yang membuat kecantikan alami Debrina semakin bersinar. Pertukaran cincin dilakukan di depan kedua keluarga. Tak ada keraguan di hati si gadis cantik bermata bundar untuk menerima lamaran Deri. Ia mengangguk malu, kemudian kedua sudut bibir tipis Debrina terangkat menatapi wajah-wajah yang tersenyum lega melihatnya memakai cincin berukir nama Deri di sisi belakangnya, pertanda ia sudah diikat tak resmi oleh pria yang merasa paling beruntung itu.

Deri adalah pemuda baik, dewasa, penyabar, dan penyayang, mempunyai karir bagus di sebuah perusahaan asing, tipe ideal di kalangan wanita. Semua setuju Deri pasangan sempurna jika disandingkan dengan Debrina, seorang desainer muda yang mandiri. Wanita cantik berkulit putih bersih bak salju, jika tersenyum pipinya bersemu merah seperti buah persik. Setiap hari tubuhnya dibalut pakain besar dan tertutup bebas dari pandangan buruk, aura kedamaian saat ia berbicara selalu terpancar bagai sihir siapapun yang diajaknya berdialog. Dia juga wanita soleha yang sangat menjaga ibadah.

Kedua belah pihak-pun sudah memutuskan pernikahan akan dilaksanakan tiga minggu dari sekarang. Setelah beberapa saat menyelesaikan sesi obrolan ramah-tamah antar kedua keluarga lantas keluarga Deri berpamitan pulang. Tidak ada firasat buruk. Hanya Deri yang berdiri terlalu lama menatap tunangannya, membuat wanita ini salah tingkah kemudian malu-malu menegur agar tidak melakukan hal itu. Tidak, tidak apa-apa hanya saja yang Debrina tau menatap lama-lama orang yang belum halal baginya adalah sebuah dosa.

"Aku ingin melihatmu lebih lama sebelum hari pingitan ini dimulai. Hanya ingin menyimpan lebih banyak ekspresimu, lalu akan aku ingat jika rindu."

Pria itu tersenyum, Debrina tersipu dengan hati berbunga. Namun kegiatan merayu itu harus berakhir saat Ayah Deri mengajaknya segera pulang dan masuk ke mobil. Saat itu Debrina hanya menatap punggung Deri yang perlahan menghilang dari iris matanya dalam diam. Satu jam kemudian kabar duka datang bagai petir yang menyambar tepat di atas kepala. Petaka yang tak ingin ia dengar. Rombongan Deri mengalami kecelakaan pemuda itu terlempar dari mobil, tubuhnya terseret kereta sejauh seratus meter terpisah-pisah mengenaskan.

Kata orang itu sengkala. Perias wisuda Debrina melihat tanda di punggungnya, Wanita itu lalu menyebar gossip bahwa Debrina wanita pembawa bencana, Deri mati karena ingin menikahinya. Gunjingan itu terus terngiang di telinga, menambah rasa nyeri bertubi dihatinya. Debrina bangkit menghapus air mata di pipi, berjalan ke meja rias dan mematut diri di depan cermin. Di sana hanya terpantul bayangan wanita dengan tinggi sekitar 155cm, hijab lebar dan pakaian yang besar seolah menelan tubuhnya yang mungil.

SET!

Dengan kasar ia menarik kerudungnya hingga terbuang ke lantai, Debrina menangis tersedu membiarkan rambut sepanjang punggung itu tergerai kusut. Kemudian dengan kasar pula mempreteli terusan beserta pakaian dalamnya hingga ia bisa melihat sendiri tubuh telanjang bulatnya di dalam cermin. Ia amati penampilanya apa ia pantas disebut pembawa kematian untuk orang lain? Ingin Debrina teriakkan, tidak ada hal keji yang bisa dilakukan wanita lemah, berwajah sendu, dengan kelopak mata yang membengkak, dan tubuh yang lemah di dalam cermin itu! Tapi kenapa orang-orang menyebutnya pembunuh?! Memangnya apa yang bisa dilakukan wanita yang bahkan bibirnya gemetar hanya karna menatap pantulan diri sendiri yang terlihat menyedihkan? Apa yang bisa ia lakukan untuk menyakiti orang lain?

Tangan Debrina perlahan naik menyentuh punggung kanan yang hangat lalu berbalik ke samping menghadapkan ke depan cermin, ia ingin melihat tanda yang ada pada punggungnya. Saat tangan Debrina beralih turun ke lengan ia bisa melihat sebuah tanda lahir berwarna hitam sebesar uang logam, tanda lahir yang membuatnya disebut wanita bahu lawehan. Air mata Debrina meleleh deras, hanya karna tanda itukah dia terkutuk? Hanya dengan itukah dia bisa membunuh laki-laki tak bersalah? Jika memang iya, apa semua akan berakhir jika dia merusak tanda itu?

Lantas ia mengambil pisau cutter dari dalam laci, menempelkan di pundak benda bermata tajam namun tak punya hati itu. Ia sudah memperkirakan mungkin hanya dengan sekali sayatan dalam tanda terkutuk itu akan hilang dan tidak akan ada yang menyalahkannya lagi. Debrina sudah tidak bisa memfungsikan otaknya dengan baik, pikirannya sudah dipenuhi segala kebuntuan, dia tak menemui jalan kecuali mati. Keberaniannya terkumpul. Meski awalnya ragu ia siap membayar nyawa menyusul ketiga calon suaminya. Ia pun memejam disusul lelehan airmata yang mengalir di pipi, lalu menekan pisaunya.

BRAK!!

"DEBRINA!!"

Di sisi luar dari balik tirai berlatarkan langit senja, bayangan hitam berdiri di sana. Kedua mata merah bersinar jahat menatap ke dalam, kemudian perlahan hilang terbawa angin.

***

Udara malam menembus ke dalam kamar gelap dan sunyi melalui jendela, membawa aroma primrose bersamaan dengan cahaya rembulan yang jatuh menyinari tubuh lemah yang berbaring menyamping di balik selimut cokelat. Lelah di tubuhnya berangsur membaik setelah seharian terus menangis dan berakhir pada percobaan bunuh diri , tubuh itu hanya mengulat tatkala angin membelai rambutnya lembut, terlalu nyaman hingga ia tak mau bangun dari posisinya sekarang. Sampai sebuah suara memanggilnya pelan.

"Debrina."

Dalam lelap alisnya tertaut, suara itu seperti sangat ia kenali. Namun rasa lelah membuat matanya sulit dibuka walau sangat ingin.

"Debrina."

Lagi, entah untuk yang berapa kali. Mata itu perlahan terbuka, bekas kesedihan masih nampak di sana, sayu sedikit membengkak mengurangi nilai sempurna Debrina. Namun ia tidak menemukan siapapun di sana. Hanya kamar sunyi dan suara serangga malam yang terdengar mendominasi.

"Hei." Bahunya disentuh.

Debrina lantas terlonjak dan bangun. Jantung berdegup keras, napasnya tercekat tatkala melihat sosok Deri sudah duduk di pinggir ranjang. Ia tatapi sosok itu tak percaya, Deri yang sehat tanpa kekurangan satu apapun.

"D-deri?" Deri menatap Debrina heran, seolah bertanya apa yang salah?

"Deri?" Debrina menyentuh pipi Deri, kulit itu terasa hangat pertanda laki-laki hidup. Air matanya meleleh, betapa ia bersyukur sudah bangun dari mimpi buruk. Mimpi di mana Deri mati mengenaskan.

"Kau mimpi buruk?" Deri menyentuh kepala Debrina mengelus pelan. Gadis itu mengangguk ragu. Lantas Deri memeluknya.

 "Ceritakan padaku apa yang terjadi, jangan takut aku di sini."

Hangat, Deri tidak pernah memeluknya selama ini karena Debrina menghindari sentuhan dengan laki-laki yang belum haknya. Tapi kali ini berbeda, ia sangat takut jika melihat kenyataan bahwa calon suaminya mati lagi.

"Aku... aku bermimpi," Kata Debrina gemetar.

"Kau meninggalkanku. Kau mati. Me-mengenaskan." Namun ia lega saat mendengar jantung Deri yang masih berdenyut tenang.

"Hm? Mengenaskan?" Gumam Deri tidak percaya.

"Seperti apa?"

"Kau tertabrak kereta."

"Itu memang mengerikan. Apa kau sangat sedih jika aku benar-benar mati?" Debrina mengeratkan pelukan.

"Tentu saja, tentu saja. Aku mungkin tidak bisa hidup tanpa Deri, aku takut hidup sendiri tanpamu."

"Aku pun tidak mau jika pergi tanpa Debrina. Lantas bagaimana jika mulai sekarang kita pergi bersama?" Debrina mengernyit.

"Pergi ke mana? Bukankah sebentar lagi kita akan menikah? Memang aku akan pergi tinggal bersamamu."

"Tidak Debrina, aku sendirian. Aku kesepian di rumah baruku."

"Rumah baru?" Mendadak Debrina merasakan kejanggalan, jantung Deri berhenti berdenyut, tubuh yang ia peluk terasa dingin.

Ragu Debrina mengangkat wajah untuk menatap Deri. Pria itu menatap kosong ke depan, wajahnya pucat. "De-deri?" Debrina menelan ludah, beringsut mundur, perasaan takut tiba-tiba menyelimuti, itu bukan Derinya. Di dalam kepalanya seolah ada alarm yang memerintahkan untuk segera pergi. Namun sebelum ia benar-benar pergi sosok itu menoleh cepat ke arahnya.

"HIYAAAAA!!!!"

Debrina menjerit ketakutan, yang ia lihat bukan Deri yang ia kenal. Melainkan sosok Deri yang lain, wajah buruk rupa menyeramkan, bahkan seumur hidup baru kali ini Debrina melihat wajah seburuk itu.

"Temani aku Debrina." Sosok Deri bicara, kemudian bangkit mendekati Debrina, menambah kengerian yang ia rasakan.

"Tidaaaak! Tidaaaak...!! Pergi! Kau bukan Deri! Bukan!" Debrina histeris memejamkan mata, tangannya menghalau makhluk yang ingin menyentuhnya.

"Aku kesepian, temani aku." Seolah tuli makhluk seram tersebut mendekat, mengulurkan tangan menyentuhnya.

"KYAAAAAAA!!!"

"Debrina! Debrina! Bangun sayang, ini Umi!"

"Umii...ummi.." Debrina yang terbangun dan melompat memeluk Ibunya. Mimpi barusan benar-benar seperti kenyataan.

"Tenang sayang, Ummi ada di sini untukmu. Kau aman." Wanita itu memeluk penuh sayang kepada putri satu-satunya yang ia miliki. Ia usap rambut basah itu menenangkan.

"Deri marah padaku ummi...dia ingin Debrina ikut, tapi dia bukan Deri yang kukenal. Debrina takut ummi..."

"Sssst... tidak apa-apa, kau baik-baik saja. Deri sudah tenang di surga. Itu cuma mimpi sayang." Debrina mengangguk di pelukan Ibunya.

"Sekarang kita berdoa, ummi temani." Sekali lagi Debrina mengangguk patuh.



Posting Komentar

0 Komentar