KANJENG RATU
SINOPSIS :
Semenjak ibuku
tiada, aku adalah satu-satunya orang yang berhak berdiri di samping singgasana
ayahku: Maharaja Lingga Buana, raja dari segala raja di tanah Pajajaran. Tapi
sekarang, seorang wanita telah berdiri menggantikan posisiku. Dia bukan seorang
ratu, bukan pula seorang selir. Berasal dari tanah Sunda pun tidak. Mungkin hal
tersebut tidak terdengar seperti jabatan penting. Tapi jangan salah, tanpa
titahnya, panglima perang pun tak bisa menginjakkan kaki di istana Majapahit.
Dia cukup berkuasa. Makanya aku harus bersabar dengan keberadaannya jika ingin
rakyatku selamat.
Bahkan jika
aku renungkan, sebetulnya penderitaan yang kualami tidak ada apa-apanya jika
dibandingkan dengan apa yang menimpa ayahku. Dia seorang raja yang kehilangan
wibawa! Sejak kehadiran wanita ini, nyaris semua keputusan kerajaan Sunda harus
melalui persetujuannya. Jika tidak, nasib kerajaan Pajajaran yang jadi
taruhannya. Inikah yang namanya bertahan hidup? Kami harus menahan diri bukan
hanya demi keselamatan nyawa kami, tapi juga demi keselamatan nyawa puluhan
ribu rakyat Sunda.
Gusti… Jika
memang kehadiran wanita ini bisa menjamin keselamatan negeriku dari serangan
Gajah Mada yang terkenal beringas itu, maka kesabaran kami adalah harga yang
sangat murah.
***
“Lapor, Gusti
Prabu!” ucap seorang pengawal yang baru saja masuk.
“Pasukan Gajah
Mada sudah tiba dengan damai, di pelataran istana.”
“Undang
Mahapatih ke sini!” ucap wanita itu. Lagi-lagi, semua instruksi keluar dari
mulutnya begitu saja, seolah dialah sang tuan rumah.
Pengawal tadi
pergi untuk kemudian kembali bersama seorang pria dengan badan paling besar
yang pernah kulihat. Inikah alasannya dia mendapat gelar Gajah? Bunyi
langkahnya berdegap lebih keras dari debar jantung kami semua. Tak ada tombak
di tangan atau keris yang tersemat di pinggangnya, tapi aura membunuhnya terasa
sangat mengintimidasi. Bahkan beberapa panglima terbaik kerajaan Sunda yang ada
di ruangan ini hanya bisa terpana. Seolah mereka tahu pasti akan kalah meskipun
menyerang Gajah Mada secara tiba-tiba.
“Selamat
datang di kerajaan Sunda, Mahapatih!” sambut wanita ini.
“Hatiku senang
sekali bisa bertemu denganmu lagi!”
“Salam
sejahtera Kanjeng!” jawab Gajah Mada dengan suara yang sangat berat. Ternyata
bukan hanya tubuhnya yang besar, tapi suaranya pun menggelegar.
“Dari sekian
banyak wilayah di Nusantara, sungguh aku tidak menyangka justru akan bertemu
dengan Kanjeng kembali di sini.”
Kulihat, Gajah
Mada tidak tersenyum sama sekali. Entah karena wataknya memang seperti itu,
atau dia pun tidak menyukai kehadiran wanita ini juga?
“Bagaimana
kabar kerajaan-kerajaan di pulau Andalas?”
“Palembang dan
kerajaan lainnya sudah takluk dan bersumpah setia kepada Majapahit. Dan
kedatanganku ke tanah Pasundan adalah untuk membuat Kerajaan Sunda melakukan
hal yang sama.”
“Kalau begitu
beristirahatlah Mahapatih, karena engkau tidak perlu lagi berperang dengan
kerajaan Sunda untuk mewujudkan hal itu.”
“Apa yang
sudah kau lakukan pada kerajaan ini Kanjeng Reisa?”
“Bukan aku
yang melakukannya, Mahapatih. Tapi Raja Sunda di sebelahku ini,” ujar wanita
itu sambil meremas bahu ayahku.
“Dia ternyata
memiliki otak yang cerdas dan hati yang mulia. Dia bisa menyusun strategi
menghindari perang untuk menyelamatkan nyawa rakyatnya.”
“Dengan cara?”
Bukannya segera menjawab, Kanjeng Reisa malah tersenyum kecil. Cukup lama untuk
membuat Gajah Mada kesal karena digantung oleh ketidaktahuan.
“Perang itu…
bukanlah satu-satunya jalan untuk menyatukan kerajaan, Mahapatih,” terang
Kanjeng Reisa pelan-pelan dengan nada meremehkan. Seolah jenderal perang di
hadapannya adalah orang pandir paling bodoh sedunia.
“Aku tahu itu
Kanjeng Reisa!” ujar Gajah Mada geram.
“Jika sudah
tahu, lalu kenapa kau selalu saja memilih untuk menyerang dan membumihanguskan
semua kerajaan?” tanya Kanjeng Reisa menyebalkan.
“Ah, sudahlah
kita tidak usah membicarakan perang lagi. Sebaiknya aku segera menyampaikan
tugas baru untukmu.”
“Maaf jika
penolakanku terdengar lancang. Tapi aku hanya menerima perintah langsung dari
paduka Maharaja Hayam Wuruk, bukan dari seorang pengurus istana.”
“Oh, ini
perintah langsung dari Maharaja Hayam Wuruk,” jawabnya sambil menunjukkan keris
emas. Senjata kecil yang jadi tanda bahwa pesan yang keluar dari mulut
pemegangnya setara dengan titah raja.
Mungkin ini
sebabnya Gajah Mada tidak menyukai Kanjeng Reisa. Perempuan menyebalkan ini
memang sengaja memancing emosinya. Dia bisa saja mengeluarkan keris emas itu
sejak awal, tapi dia sengaja baru mengeluarkannya sekarang sehingga Gajah Mada
terkesan meragukan titah raja. Aku yang awalnya takut dengan kekuasaan Kanjeng
Reisa, kini justru jauh lebih takut dengan kecerdasannya. Hanya dalam beberapa
kalimat saja, dia bisa membuat patih hebat seperti Gajah Mada jadi diliputi
rasa bersalah.
“Dengan senang
hati akan kulaksanakan titah Maharaja Hayam Wuruk,” jawab Gajah Mada sambil
menunduk, meski kurasa agak terpaksa.
“Bagus jika
kamu sudah paham. Tugasmu adalah mengiringi rombongan kerajaan Sunda untuk
pergi ke Majapahit,” ucap Kanjeng Reisa.
Meski masih
menunduk, namun mata Gajah Mada melirik ke arah Kanjeng Reisa. Mungkin hatinya
merasa keberatan. Sebab mengawal rombongan bukanlah tugas yang tepat untuk
mahapatih sekaliber dirinya.
“Apakah engkau
keberatan, Mahapatih?” tanya Kanjeng Reisa, lagi-lagi dengan nada merendahkan.
“Berat maupun
ringan tugasnya, jika Maharaja sudah berkehendak maka dengan senang hati akan
aku laksanakan,” jawab Gajah Mada datar.
“Memang sudah
seharusnya kau bersenang hati, karena ini tugas berat, lho! Kau diminta
mengawal rombongan calon ratu Majapahit.”
Calon ratu Majapahit? Mata Gajah Mada
terbelalak mendengar kabar itu. Dia langsung mengalihkan pandangan matanya ke
arahku. Bahuku seketika terasa dingin. Aku langsung buang muka agar tidak perlu
bertatapan mata dengannya. Gajah Mada kini beralih menatap tajam ke ayahku yang
duduk di singgasana, tepat di samping Kanjeng Reisa. Tatapannya sinis dan penuh
benci. Seolah menganggap ayahku adalah raja tua dan lemah yang memilih untuk
mengorbankan anak gadis semata wayangnya ketimbang pergi berperang seperti pria
sejati. Raja yang takut mati. Raja pengecut yang bisa-bisanya menyalahgunakan
kekuasaan untuk menyelamatkan diri sendiri.
Ditatap sinis
oleh panglima perang yang penuh aura membunuh, ayahku pun gugup. Tapi dia
memaksakan diri untuk tetap tegar meski jelas-jelas seluruh tubuhnya gemetar.
Masalahnya, dia menyadari apa yang dituduhkan oleh tatapan Gajah Mada. Bahkan
lebih parah. Sebab ayahku memang mengorbankan putrinya. Meski perempuan, aku
lumayan pembangkang. Dan salah satu hal yang paling dikenal dari seorang Dyah
Pitaloka Citaresmi selain kecantikannya adalah sifatnya yang ingin bebas
mengambil keputusan.
Mungkin karena
aku tidak punya sosok ratu sebagai ibu, makanya aku cukup sering melawan norma.
Aku mau bebas memilih sendiri pelajaran-pelajaran yang kusuka, aku mau bebas
berpakaian dan bepergian. Aku juga ingin bebas menentukan kapan aku akan
menikah, bahkan bebas menentukan sendiri siapa calon suamiku kelak. Tapi takdir
berkata lain. Aku bukan hanya dipaksa menikah di saat aku belum merasa siap. Aku
pun dipaksa menikah dengan alasan demi keselamatan puluhan ribu rakyatku. Tentu
hal ini membuat beban besar jadi bertumpu di pundakku. Jika sebelumnya
penolakan pernikahan hanya akan membuat jengkel beberapa petinggi istana. Kini
aku bisa jadi musuh terbesar sepanjang masa kerajaan Sunda jika menolak menikah
dengan raja Majapahit.
“Begitu
rupanya ya..” ujar Gajah Mada keceplosan.
“Hahahaha…”
Kanjeng Reisa tertawa melecehkan. “Kamu baru sadar strategi raja Sunda yang
kumaksud?”
Gajah Mada
menjawab pertanyaan retoris itu dengan senyuman sinis. Memberi kode bahwa canda
yang Kanjeng Reisa lontarkan sudah melampaui batas kesabaran Gajah Mada.
“Hmm.. Ehmm..
baiklah jika kita semua sudah sama-sama paham. Saya akan memberikan kewenangan
kepada Mahapatih Gajah Mada untuk menentukan cara terbaik untuk bepergian.
Harap diingat, Maharaja Hayam Wuruk ingin pesta pernikahan dilangsungkan pada
purnama berikutnya.”
“Dengan
hormat, boleh saya bertanya kepada Raja Sunda?” pinta Gajah Mada.
“Silakan
Mahapatih,” jawab Kanjeng Reisa.
“Raja dan
Puteri adalah kaum terpelajar. Mereka dapat berbicara bahasa Jawa meski
sedikit-sedikit. Jika ada yang kurang dapat dipahami, aku akan menerjemahkannya
untuk kalian.”
“Raja Sunda
dan puteri, apakah akan keberatan jika kita pergi secara berkuda?” tanya Gajah
Mada secara singkat, jelas, dan padat.
“Sebab jika
Maharaja Hayam Wuruk ingin melangsungkan pesta pernikahan pada purnama
berikutnya, maka kita hanya punya waktu beberapa hari saja.”
“Bukankah
berlayar akan lebih cepat?” tanya Kanjeng Reisa agak waswas.
“Kemarin aku
bisa sampai ke kerajaan Sunda dalam waktu yang cukup singkat dengan berlayar.”
“Dengan
hormat, Kanjeng bisa sampai dengan cepat karena di musim ini angin laut sedang
berhembus ke barat,” terang Gajah Mada. “Jika kita ke Majapahit menggunakan
kapal, kita akan berlayar melawan angin. Perjalanan akan jauh lebih lambat.
Belum lagi kita tetap harus berkuda untuk pergi ke pelabuhan Sunda Kelapa.
Sangat memakan waktu.”
“Tapi jika
berkuda, berarti kita hanya akan membawa sepersepuluh pasukanmu saja,
Mahapatih!” lanjut Kanjeng Reisa lagi.
“Tidak kah itu
berbahaya?”
“Aku bahkan
hanya berniat membawa 10 orang terbaikku saja.”
“Apa kau
gila?” Kanjeng Reisa naik pitam.
“Kau punya
tugas mengawal calon ratu Majapahit! Bukan upeti hewan ternak!”
“Aku sadar
betul tanggungjawabku, Kanjeng!” jawab Gajah Mada dengan kalem.
“Berkuda dalam
rombongan kecil akan memudahkan kita untuk bergerak lebih cepat karena kita
tidak perlu memutari gunung. Ingat, kita harus mengejar waktu! Lagipula 10
orang terbaikku punya kekuatan yang setara dengan 1.000 prajurit!”
“Aku tahu
pasukanmu adalah yang terkuat di seantero jagat. Tapi kau yakin ini adalah
jalan yang terbaik? Kita perlu waspada dengan macan dan perampok gunung!”
“Tenang saja,
kita tidak akan bermalam di gunung. Lagipula aku jamin, pasukanku siap
berkorban nyawa demi keselamatan rombongan raja dan puteri Sunda.”
“Hmm..
Mahapatih.. Kau tahu kan… aku.. tidak pandai berkuda.”
“Kau bisa
berkuda bersamaku, Kanjeng. Dengan begitu aku bisa melindungimu dengan
nyawaku.”
“Ah.. ya…
baiklah jika itu keinginanmu.. Aku.. hmm..akan berkuda bersamamu.”
“Satu
pengecualian,” sahut Gajah Mada tiba-tiba.
“Aku akan
berkuda bersama raja atau puteri Sunda, andai mereka tidak bisa berkuda.” Kanjeng
Reisa langsung menoleh ke arahku dan ayahku. Seolah berharap kami berdua pandai
berkuda.
“Tenang
mahapatih,” jawabku.
“Aku dan
ayahanda Maharaja Lingga Buana cukup piawai berkuda.” Mata Kanjeng Reisa
langsung berbinar mendengar jawabanku. Sementara mata Gajah Mada langsung
terbelalak. Kenapa sih orang ini? Aku tahu suaraku halus dan merdu, tapi kurasa
wajahnya tidak perlu sekaget itu, kan?
Posting Komentar
0 Komentar