KANJENG RATU

 


SINOPSIS :

Tipu daya Kanjeng Ratu untuk lolos dari cengkraman sang Mahapatih harus dibayar mahal karena semua rencananya berantakan dan mengakibatkan banyak bencana. Kanjeng ratu bahkan harus sampai menjadi budak birahi pasukan kerajaan yang dipimpin oleh sang Mahapatih.

FORMAT : PDF Book Series

GENRE : DRAMA -ROMANTIC SEX-KAMASUTRA-ORGY SEX-3SOME SEX

JUMLAH HALAMAN : 70 HALAMAN

HARGA : Rp 10.000


PROLOG

Semenjak ibuku tiada, aku adalah satu-satunya orang yang berhak berdiri di samping singgasana ayahku: Maharaja Lingga Buana, raja dari segala raja di tanah Pajajaran. Tapi sekarang, seorang wanita telah berdiri menggantikan posisiku. Dia bukan seorang ratu, bukan pula seorang selir. Berasal dari tanah Sunda pun tidak. Mungkin hal tersebut tidak terdengar seperti jabatan penting. Tapi jangan salah, tanpa titahnya, panglima perang pun tak bisa menginjakkan kaki di istana Majapahit. Dia cukup berkuasa. Makanya aku harus bersabar dengan keberadaannya jika ingin rakyatku selamat.

Bahkan jika aku renungkan, sebetulnya penderitaan yang kualami tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan apa yang menimpa ayahku. Dia seorang raja yang kehilangan wibawa! Sejak kehadiran wanita ini, nyaris semua keputusan kerajaan Sunda harus melalui persetujuannya. Jika tidak, nasib kerajaan Pajajaran yang jadi taruhannya. Inikah yang namanya bertahan hidup? Kami harus menahan diri bukan hanya demi keselamatan nyawa kami, tapi juga demi keselamatan nyawa puluhan ribu rakyat Sunda.

Gusti… Jika memang kehadiran wanita ini bisa menjamin keselamatan negeriku dari serangan Gajah Mada yang terkenal beringas itu, maka kesabaran kami adalah harga yang sangat murah.

***

“Lapor, Gusti Prabu!” ucap seorang pengawal yang baru saja masuk.

“Pasukan Gajah Mada sudah tiba dengan damai, di pelataran istana.”

“Undang Mahapatih ke sini!” ucap wanita itu. Lagi-lagi, semua instruksi keluar dari mulutnya begitu saja, seolah dialah sang tuan rumah.

Pengawal tadi pergi untuk kemudian kembali bersama seorang pria dengan badan paling besar yang pernah kulihat. Inikah alasannya dia mendapat gelar Gajah? Bunyi langkahnya berdegap lebih keras dari debar jantung kami semua. Tak ada tombak di tangan atau keris yang tersemat di pinggangnya, tapi aura membunuhnya terasa sangat mengintimidasi. Bahkan beberapa panglima terbaik kerajaan Sunda yang ada di ruangan ini hanya bisa terpana. Seolah mereka tahu pasti akan kalah meskipun menyerang Gajah Mada secara tiba-tiba.

“Selamat datang di kerajaan Sunda, Mahapatih!” sambut wanita ini.

“Hatiku senang sekali bisa bertemu denganmu lagi!”

“Salam sejahtera Kanjeng!” jawab Gajah Mada dengan suara yang sangat berat. Ternyata bukan hanya tubuhnya yang besar, tapi suaranya pun menggelegar.

“Dari sekian banyak wilayah di Nusantara, sungguh aku tidak menyangka justru akan bertemu dengan Kanjeng kembali di sini.”

Kulihat, Gajah Mada tidak tersenyum sama sekali. Entah karena wataknya memang seperti itu, atau dia pun tidak menyukai kehadiran wanita ini juga?

“Bagaimana kabar kerajaan-kerajaan di pulau Andalas?”

“Palembang dan kerajaan lainnya sudah takluk dan bersumpah setia kepada Majapahit. Dan kedatanganku ke tanah Pasundan adalah untuk membuat Kerajaan Sunda melakukan hal yang sama.”

“Kalau begitu beristirahatlah Mahapatih, karena engkau tidak perlu lagi berperang dengan kerajaan Sunda untuk mewujudkan hal itu.”

“Apa yang sudah kau lakukan pada kerajaan ini Kanjeng Reisa?”

“Bukan aku yang melakukannya, Mahapatih. Tapi Raja Sunda di sebelahku ini,” ujar wanita itu sambil meremas bahu ayahku.

“Dia ternyata memiliki otak yang cerdas dan hati yang mulia. Dia bisa menyusun strategi menghindari perang untuk menyelamatkan nyawa rakyatnya.”

“Dengan cara?” Bukannya segera menjawab, Kanjeng Reisa malah tersenyum kecil. Cukup lama untuk membuat Gajah Mada kesal karena digantung oleh ketidaktahuan.

“Perang itu… bukanlah satu-satunya jalan untuk menyatukan kerajaan, Mahapatih,” terang Kanjeng Reisa pelan-pelan dengan nada meremehkan. Seolah jenderal perang di hadapannya adalah orang pandir paling bodoh sedunia.

“Aku tahu itu Kanjeng Reisa!” ujar Gajah Mada geram.

“Jika sudah tahu, lalu kenapa kau selalu saja memilih untuk menyerang dan membumihanguskan semua kerajaan?” tanya Kanjeng Reisa menyebalkan.

“Ah, sudahlah kita tidak usah membicarakan perang lagi. Sebaiknya aku segera menyampaikan tugas baru untukmu.”

“Maaf jika penolakanku terdengar lancang. Tapi aku hanya menerima perintah langsung dari paduka Maharaja Hayam Wuruk, bukan dari seorang pengurus istana.”

“Oh, ini perintah langsung dari Maharaja Hayam Wuruk,” jawabnya sambil menunjukkan keris emas. Senjata kecil yang jadi tanda bahwa pesan yang keluar dari mulut pemegangnya setara dengan titah raja.

Mungkin ini sebabnya Gajah Mada tidak menyukai Kanjeng Reisa. Perempuan menyebalkan ini memang sengaja memancing emosinya. Dia bisa saja mengeluarkan keris emas itu sejak awal, tapi dia sengaja baru mengeluarkannya sekarang sehingga Gajah Mada terkesan meragukan titah raja. Aku yang awalnya takut dengan kekuasaan Kanjeng Reisa, kini justru jauh lebih takut dengan kecerdasannya. Hanya dalam beberapa kalimat saja, dia bisa membuat patih hebat seperti Gajah Mada jadi diliputi rasa bersalah.

“Dengan senang hati akan kulaksanakan titah Maharaja Hayam Wuruk,” jawab Gajah Mada sambil menunduk, meski kurasa agak terpaksa.

“Bagus jika kamu sudah paham. Tugasmu adalah mengiringi rombongan kerajaan Sunda untuk pergi ke Majapahit,” ucap Kanjeng Reisa.

Meski masih menunduk, namun mata Gajah Mada melirik ke arah Kanjeng Reisa. Mungkin hatinya merasa keberatan. Sebab mengawal rombongan bukanlah tugas yang tepat untuk mahapatih sekaliber dirinya.

“Apakah engkau keberatan, Mahapatih?” tanya Kanjeng Reisa, lagi-lagi dengan nada merendahkan.

“Berat maupun ringan tugasnya, jika Maharaja sudah berkehendak maka dengan senang hati akan aku laksanakan,” jawab Gajah Mada datar.

“Memang sudah seharusnya kau bersenang hati, karena ini tugas berat, lho! Kau diminta mengawal rombongan calon ratu Majapahit.”

 Calon ratu Majapahit? Mata Gajah Mada terbelalak mendengar kabar itu. Dia langsung mengalihkan pandangan matanya ke arahku. Bahuku seketika terasa dingin. Aku langsung buang muka agar tidak perlu bertatapan mata dengannya. Gajah Mada kini beralih menatap tajam ke ayahku yang duduk di singgasana, tepat di samping Kanjeng Reisa. Tatapannya sinis dan penuh benci. Seolah menganggap ayahku adalah raja tua dan lemah yang memilih untuk mengorbankan anak gadis semata wayangnya ketimbang pergi berperang seperti pria sejati. Raja yang takut mati. Raja pengecut yang bisa-bisanya menyalahgunakan kekuasaan untuk menyelamatkan diri sendiri.

Ditatap sinis oleh panglima perang yang penuh aura membunuh, ayahku pun gugup. Tapi dia memaksakan diri untuk tetap tegar meski jelas-jelas seluruh tubuhnya gemetar. Masalahnya, dia menyadari apa yang dituduhkan oleh tatapan Gajah Mada. Bahkan lebih parah. Sebab ayahku memang mengorbankan putrinya. Meski perempuan, aku lumayan pembangkang. Dan salah satu hal yang paling dikenal dari seorang Dyah Pitaloka Citaresmi selain kecantikannya adalah sifatnya yang ingin bebas mengambil keputusan.

Mungkin karena aku tidak punya sosok ratu sebagai ibu, makanya aku cukup sering melawan norma. Aku mau bebas memilih sendiri pelajaran-pelajaran yang kusuka, aku mau bebas berpakaian dan bepergian. Aku juga ingin bebas menentukan kapan aku akan menikah, bahkan bebas menentukan sendiri siapa calon suamiku kelak. Tapi takdir berkata lain. Aku bukan hanya dipaksa menikah di saat aku belum merasa siap. Aku pun dipaksa menikah dengan alasan demi keselamatan puluhan ribu rakyatku. Tentu hal ini membuat beban besar jadi bertumpu di pundakku. Jika sebelumnya penolakan pernikahan hanya akan membuat jengkel beberapa petinggi istana. Kini aku bisa jadi musuh terbesar sepanjang masa kerajaan Sunda jika menolak menikah dengan raja Majapahit.

“Begitu rupanya ya..” ujar Gajah Mada keceplosan.

“Hahahaha…” Kanjeng Reisa tertawa melecehkan. “Kamu baru sadar strategi raja Sunda yang kumaksud?”

Gajah Mada menjawab pertanyaan retoris itu dengan senyuman sinis. Memberi kode bahwa canda yang Kanjeng Reisa lontarkan sudah melampaui batas kesabaran Gajah Mada.

“Hmm.. Ehmm.. baiklah jika kita semua sudah sama-sama paham. Saya akan memberikan kewenangan kepada Mahapatih Gajah Mada untuk menentukan cara terbaik untuk bepergian. Harap diingat, Maharaja Hayam Wuruk ingin pesta pernikahan dilangsungkan pada purnama berikutnya.”

“Dengan hormat, boleh saya bertanya kepada Raja Sunda?” pinta Gajah Mada.

“Silakan Mahapatih,” jawab Kanjeng Reisa.

“Raja dan Puteri adalah kaum terpelajar. Mereka dapat berbicara bahasa Jawa meski sedikit-sedikit. Jika ada yang kurang dapat dipahami, aku akan menerjemahkannya untuk kalian.”

“Raja Sunda dan puteri, apakah akan keberatan jika kita pergi secara berkuda?” tanya Gajah Mada secara singkat, jelas, dan padat.

“Sebab jika Maharaja Hayam Wuruk ingin melangsungkan pesta pernikahan pada purnama berikutnya, maka kita hanya punya waktu beberapa hari saja.”

“Bukankah berlayar akan lebih cepat?” tanya Kanjeng Reisa agak waswas.

“Kemarin aku bisa sampai ke kerajaan Sunda dalam waktu yang cukup singkat dengan berlayar.”

“Dengan hormat, Kanjeng bisa sampai dengan cepat karena di musim ini angin laut sedang berhembus ke barat,” terang Gajah Mada. “Jika kita ke Majapahit menggunakan kapal, kita akan berlayar melawan angin. Perjalanan akan jauh lebih lambat. Belum lagi kita tetap harus berkuda untuk pergi ke pelabuhan Sunda Kelapa. Sangat memakan waktu.”

“Tapi jika berkuda, berarti kita hanya akan membawa sepersepuluh pasukanmu saja, Mahapatih!” lanjut Kanjeng Reisa lagi.

“Tidak kah itu berbahaya?”

“Aku bahkan hanya berniat membawa 10 orang terbaikku saja.”

“Apa kau gila?” Kanjeng Reisa naik pitam.

“Kau punya tugas mengawal calon ratu Majapahit! Bukan upeti hewan ternak!”

“Aku sadar betul tanggungjawabku, Kanjeng!” jawab Gajah Mada dengan kalem.

“Berkuda dalam rombongan kecil akan memudahkan kita untuk bergerak lebih cepat karena kita tidak perlu memutari gunung. Ingat, kita harus mengejar waktu! Lagipula 10 orang terbaikku punya kekuatan yang setara dengan 1.000 prajurit!”

“Aku tahu pasukanmu adalah yang terkuat di seantero jagat. Tapi kau yakin ini adalah jalan yang terbaik? Kita perlu waspada dengan macan dan perampok gunung!”

“Tenang saja, kita tidak akan bermalam di gunung. Lagipula aku jamin, pasukanku siap berkorban nyawa demi keselamatan rombongan raja dan puteri Sunda.”

“Hmm.. Mahapatih.. Kau tahu kan… aku.. tidak pandai berkuda.”

“Kau bisa berkuda bersamaku, Kanjeng. Dengan begitu aku bisa melindungimu dengan nyawaku.”

“Ah.. ya… baiklah jika itu keinginanmu.. Aku.. hmm..akan berkuda bersamamu.”

“Satu pengecualian,” sahut Gajah Mada tiba-tiba.

“Aku akan berkuda bersama raja atau puteri Sunda, andai mereka tidak bisa berkuda.” Kanjeng Reisa langsung menoleh ke arahku dan ayahku. Seolah berharap kami berdua pandai berkuda.

“Tenang mahapatih,” jawabku.

“Aku dan ayahanda Maharaja Lingga Buana cukup piawai berkuda.” Mata Kanjeng Reisa langsung berbinar mendengar jawabanku. Sementara mata Gajah Mada langsung terbelalak. Kenapa sih orang ini? Aku tahu suaraku halus dan merdu, tapi kurasa wajahnya tidak perlu sekaget itu, kan?



Posting Komentar

0 Komentar