ILUSI
SINOPSIS :
Sekitar
beberapa menit lalu aku meninggalkan rumah orang tuaku di Bandung. Walau
beberapa waktu belakangan ini terkadang aku dan pacarku kerap terlibat beberapa
perselisihan kecil, sepertinya ayah tetap tolerir atas hubunganku dengan janda
dua anak ini, bahkan usianya jauh diatasku. Wanita cantik berdarah Jerman yang
sekarang tengah duduk disampingku dengan tatapan kedepan, tepatnya kearah kaca
depan mobil yang tengah kami kendarai ini. Entah apa yang dilamunkannya.
"Eh, Ril kamu
pernah ngebayangin enggak, kalau kita nih...maksudnya para pekerja seni,
memiliki suatu tempat khusus yang luas dan tentunya lengkap dengan prasarana
yang kita butuhkan dalam berkarya, dan yang paling penting kita dapat bebas
sebebas-bebasnya dalam berkreasi, tanpa terikat oleh batasan-batasan yang
dibuat oleh birokrat." Kali ini lamunannya telah terpecah, berganti dengan
paparan dari khayalannya itu. Ah, tidak terlalu sinis kalau aku sebut itu
sebagai khayalan, baiklah "harapan" aku rasa lebih tepat.
"Seperti Hollywood
maksudmu?" Ujarku, sambil pandanganku tetap kearah jalan raya didepanku.
Jalan disini memiliki banyak tikungan tajam, sehingga aku tetap harus
berkonsentrasi dalam memegang kemudi.
"Yah,
semacam itulah. Mmm..tapi tidak, menurutku Hollywood tidak bisa
dikatakan bebas, mereka terlalu banyak disusupi berbagai macam kepentingan,
terutama kepentingan bisnis dan komersil, jadi menurutku mereka belum merdeka
secara utuh." Paparnya, sambil sesekali mengamati smartphone
ditangannya.
"Namanya
juga industri hiburan, tentu mereka harus komersil. Kalau tidak begitu,
bagaimana bisa mempertahankan eksistensi mereka, sedangan untuk menghasilkan
sebuah karya saja perlu dana, belum lagi....."
"Iya...iya...aku
tau itu, yang sedang aku bicarakan ini adalah sebatas berandai-andai belaka,
sebagai insan seni yang butuh penyaluran secara utuh, tanpa harus ada
intervensi dari pihak produser." Potongnya.
"Insan
seni ni yeee...!" Godaku.
"Jangan
ngeledek kamu, walaupun aku cuma tergolong sebagai artis kelas ecek-ecek yang
belum pernah mendapatkan penghargaan apapun, tapi aku memiliki segudang ide
dikepalaku ini yang butuh penyaluran."
"Iya deh,
iya. Tapi aku enggak pernah menganggap kamu sebagai artis kelas ecek-ecek kok."
Kali ini dia terdiam, pandangannya menatap malas kearah jendela disamping
kirinya, sementara kedua tangannya dilipat didadanya, dan itu berlangsung untuk
beberapa saat.
Apa dia
tersinggung dengan sindiranku tadi. Aku akui memang, bahwa sebagai artis peran,
dia masih belum bisa berbuat banyak. Dalam artian di bebeberapa sinetron dan
layar lebarnya belum satupun yang berhasil mendongkrak namanya sebagai artis
peran yang diperhitungkan. Apalagi mendapatkan penghargaan resmi. Tapi aku akui
bahwa dia memiliki semangat yang tinggi, didalam kepalanya seperti ada sesuatu
yang ingin sekali dia wujudkan dalam sebuah karya. Namun ya itu tadi, tidak
adanya sarana dan prasarana yang mendukungnya. Mengharapkan produser sepertinya
sulit. Kapasitas kekasihku ini belum dapat merangsang kepercayaan produser. Kalau
untuk dunia model, aku akui itu adalah lahannya. Namun sepertinya usia yang
telah menginjak kepala empat, dunia model sudah tak lagi bisa diharapkan
terlalu banyak.
Didalam
industri hiburan memang selera pasarlah yang memegang peranan. Dan suka atau
tidak, sebagai pekerja seni kita harus menyesuaikannya, jika tidak maka kita
akan habis. Lain ceritanya kalau berkarya hanya sekedar hobby belaka, sedangkan
orang seperti aku, dan juga pacarku ini, berseni adalah sebagai profesi, tempat
mencari nafkah.
Seperti halnya
aku yang adalah seorang musisi. Kalau ingin menuruti ego, aku juga ingin
membuat musik yang aku sukai, yaitu jenis musik bergenre progresive rock
dengan arasement yang njlimet, seperti musiknya Yes, Pink floyd,
Emerson Lake Palmer, atau Genesis. Tapi kalau aku nekat buat yang seperti
itu, siapa yang mau dengar. Produser mana yang mau bunuh diri dengan
menggelontorkan modal tanpa hasil. Ujung-ujungnya, terpaksalah aku harus
menyingkirkan dulu rasa idialisku
Didalam dunia entertainment,
pacarku ini memang jauh lebih dulu memulai ketimbang aku. Mungkin disaat usiaku
masih anak-anak dia telah terjun didunia model. Bahkan ditahun 1987 dia telah
bermain didalam film layar lebar. Tapi bukan berarti aku lebih minim pengalaman
dari pada dia. Sebagai publik figur aku telah banyak makan asam garam didunia
hiburan, mulai dari yang manis sampai yang paling getir sekalipun, bahkan
hingga aku jatuh terpuruk kedalam lembah yang paling hina, yaitu jeruji
penjara.
Mungkin di
negeri ini baru akulah orangnya yang dihukum penjara hanya karena merekam adegan
bercintaku dengan pacarku sebelumnya. Kalau dipikir-pikir apalah salahku itu.
Yang aku lakukan tidak merugikan orang lain, bahkan aku juga tidak
mempublikasikannya, justru pihak lainlah yang melakukan itu. Tapi hukum berkata
lain, aku harus rela menjadi penghuni hotel prodeo selama dua tahun, dan itu
aku jalani dengan tegar, dan tanpa sekalipun menyogok pihak lapas agar aku bisa
berada diluar tahanan seperti yang kerap dilakukan oleh Gayus tambunan, teman
senasibku di lapas Suka Miskin. Dan saat selesai masa tahananku, aku keluar
dengan langkah tegap, dan kembali berkarya. Sukurlah, dalam waktu singkat
kejayaan yang telah terpuruk dapat kuraih kembali.
"Kira-kira
di negeri ini bisa enggak ya, hal seperti itu terwujud?" Setelah beberapa
menit dia terdiam, kembali dia membuka suara.
"Apanya?"
Jawabku.
"Ah, kamu
ini, yang aku bahas tadi, wadah untuk kita berkreasi dengan bebas."
"Owwhh tentang
holiwut-holiwutan itu? Gak tau juga ya? Kayaknya sulit. Kalau menurutmu, kapan
ya kira-kira bisa terwujud ?" Justru aku yang malah balik bertanya,
sepertinya dia kurang puas dengan reaksiku yang hanya seperti itu.
"Sampai
mati kali." Jawabnya malas, dengan nada yang sedikit sinis. Lalu kembali
seperti tadi, melipatkan tangan didada sambil menatap malas kearah jendela
samping.
"Sampai
mati? Mungkin juga sih." Balasku, seraya kubuka jendela disampingku.
Kuambil sebatang rokok dan kuselipkan dibibir. Tapi dimana tadi pematik
kuletakan? Ah,sial! Ternyata ada dibawah kursi, terpaksalah aku harus menunduk
untuk meraihnya.
BRRAAAAAAKKKK....!
Kurasakan
benturan yang sangat keras, yang membuatku membatalkan niat untuk meraih
pematik.
"Apa itu?!
Apa itu barusan?!" Panikku, seraya kuhentikan kenderaan.
"Apaan
sih?" Heran pacarku.
"Suara
benturan keras tadi, kayaknya kita menghantam sesuatu." Sambungku.
"Ngaco
kamu! Dari tadi tenang-tenang aja kok." Ujarnya, sekarang malah aku yang
merasa heran, namun aku mencoba untuk tetap santai.
"Owwhhh, ya
sudah kalau begitu." Apa iya dia tidak merasakannya, suara benturan itu
begitu keras, bahkan getarannya seperti membuat remuk badanku.
"Kamu
enggak apa-apa Ril?" Dia sepertinya heran melihat sikapku.
"Kamu gak
ngedrug kan?" Tanyanya lagi, sambil memandang curiga kewajahku.
"Ngaco kamu!
Sejak kapan aku suka barang begituan?!" Akhirnya kuputuskan menepi
sebentar, sekedar untuk menghisap sebatang rokok.
***
Sekitar
sepuluh menit setelah itu, mobil kami melintasi daerah pedesaan yang cukup
indah. Tapi entah di desa mana tepatnya, aku tak terlalu paham. Rumah-rumahnya
tertata rapi, serta lingkungannya tampak bersih dan hijau oleh rumput dan
pepohonan. Dan yang paling menakjubkan adalah bunga-bunga beraneka warna tampak
tumbuh hampir disemua lahan. Baru kali ini aku melihat alam pedesaan begitu
indah seperti ini. Dan, eh, apa itu? Sepertinya sebuah kafe, aku rasa tak ada
salahnya untuk mampir sekedar ngopi disana.
"Shop, kita
ngopi dulu ya ?" Tawarku kepada pacarku.
"Boleh,
keliatannya enak nih tempatnya." Setujunya, yang sepertinya juga kagum
dengan keindahan alam didesa ini.
"Ini namanya
daerah apa sih, apa daerah wisata?"
"Aku juga
gak begitu tau, perasaan baru kali ini aku lihat. Bisa jadi ini memang kawasan
wisata yang baru dibuka."
"Ah, kamu
ini, besar di Bandung tapi gak tau daerah sini, perasaan jaraknya gak terlalu
jauh dari rumahmu." Yang dikatakan pacarku memang masuk akal. Tapi sungguh
mati, aku memang belum pernah melihat tempat ini sebelumnya. Jalan rayanya yang
sepi memudahkan aku berbalik arah untuk kembali menemukan kafe yang kami lihat
barusan.
***
Expresso Kafe
itulah yang tertulis pada plang didepan kafe, seraya kuparkirkan mobilku
dihalamannya. Seperti biasa, saat ditempat umum seperti ini, aku dan juga
pacarku selalu mengenakan topi dan kaca mata hitam untuk sekedar mengurangi
perhatian khalayak agar tak terpusat pada kami. Karena sebagai manusia biasa,
tentu kami juga butuh privasi.
Kafe yang
cukup bersih, dengan penataan ruang yang apik dan artistic. Pada dindingnya
dipenuhi photo-photo artis tanah air dari masa ke masa, yang aku kenal disitu
ada photo Bing slamet, Gesang, kelompok musik The Rollies, The Mercies, serta
beberapa artis film seperti Soekarno M noor, Benjamin S, Citra Dewi, Didi
Petet, Dicky Zulkarnaen, Bagyo dan masih banyak lagi. Walaupun tanpa pendingin
ruangan, tempat ini cukup nyaman dan tidak panas. Sepertinya penataan sirkulasi
udaranya dirancang dengan cermat, sehingga bisa menghasilkan kenyamanan alami
seperti ini tanpa harus mengandalkan AC. Aku dan pacarku duduk dikursi agak
pojok, tentunya dengan maksud agar tidak terlalu menarik perhatian pengunjung.
"Selamat
datang, ada yang bisa dibantu?" Seorang wanita pelayan kafe menghampiri
kami. Seragam yang dikenakannya cukup modis untuk ukuran kafe di wilayah
sekelas kota kabupaten seperti ini. Dengan pakaian ala France-Maid,
seperti pelayan-pelayan dirumah bangsawan Eropa dalam film-film barat. Aku
mengamati sejenak kartu menu diatas meja. Akhirnya kuputuskan untuk memesan
kopi dan kue donat.
"Kamu
pesan apa Shop?" Tanyaku pada pacarku.
"Samain
aja lah." Jawabnya dengan tak acuh. Perhatiannya lebih ditujukan pada
orang-orang disekitar kafe.
"Kopi
dua, sama donatnya empat."
Setelah
mencatat pada buku notes yang dipegangnya, pelayan itu melangkah pergi. Masih
sempat kulihat gerakan bokongnya yang terbalut rok hitam dengan tinggi diatas
lutut, sehingga paha mulusnya juga terekspose. Sepatu hak tinggi menambah
menarik penampilannya. Hmmm bodi yang indah, tak kalah dengan model-model ibu
kota.
"Udaaaahh!
Jangan dipelototin terus, emangnya aku gak tau, apa yang ada dibalik kaca mata
hitammu itu?" Ah, sial, rupanya pacarku memperhatikan juga.
"Ah, bisa
aja kamu." Seraya kualihkan pandanganku kearah lain.
"Eh Ril,
coba deh kamu perhatikan sekumpulan pengunjung dimeja seberang itu, sepertinya
gak asing deh. Coba kamu amati baik-baik, barangkali kamu lebih familiar. Yang
aku tau pasti cuma yang satu itu, mirip sekali dengan Olga Saputra." Ujar
pacarku setengah berbisik.
Sepertinya
memang betul, mereka mirip sekali dengan selebritis tanah air, ada yang mirip
Olga, presenter yang sudah meninggal
ditengah masa jayanya. Sedang yang itu mirip Benjamin S, tapi yang satu itu
mirip siapa ya? Ah, sepertinya Gito Rollies, rocker gaek yang juga telah
almarhum itu. sepertinya si peniru ini mengambil sempel Gito versi mudanya,
dengan rambut kribo lebat. Dan yang satu lagi, seorang pria berambut gimbal
dengan topi ala Bob Marley. Ah, sepertinya adalah duplikatnya Mbah Surip,
musisi nyentrik yang meninggal dunia disaat karirnya tengah meroket, tapi
duplikatnya ini terlalu muda, sehingga tampak kurang mirip. Ah, aku rasa mereka
hanyalah sekumpulan anak muda komunitas mirip selebritis yang tengah berkumpul
mencari perhatian.
"Ah,
biasa, paling anak-anak komunitas mirip artis lagi cari perhatian." Jawabku.
"Tapi
yang mirip Olga itu kenapa pas banget sih, dari suaranya sampai gayanya juga
pas. Hebat banget tuh anak, bisa niru sampai sebegitunya." Komentar
pacarku.
Benar juga sih, kenapa si Olga palsu ini
demikian mirip, begitu pula dengan si Benjamin palsu itu, yang sangat mirip
dengan Benjamin versi tahun 70an, dengan celana cutbray, rambut agak
gondrong dan berjambul, dan saat dia berbicara jambulnya itu seperti ikut
bergerak-gerak. Tapi mengapa selama ini mereka belum pernah terekspose dimedia,
terutama televisi. Selama ini cukup banyak aku saksikan di TV tentang
orang-orang yang mirip Benjamin, tapi tak ada yang sesempurna ini.
Ah, siapa lagi
itu pelayan kafe dimeja sebelah, yang tengah sibuk mengelap meja. Sepertinya
aku tak asing dengan sosok ini. Ah, tak salah lagi dia sangat mirip dengan Nike
ardila. Artis cantik serba bisa yang tewas ditengah masa keemasannya akibat
kecelakaan lalu lintas pada pertengahan tahun 90an. Aku sangat familier sekali
dengan sosok itu, sosok yang diam-diam aku idolakan disaat aku masih ABG. Untuk
beberapa saat aku terpana dengan penampilannya yang begitu mirip dengan idolaku
itu, sebelum akhirnya pacarku mencubit pahaku.
"Makan
tuh, Nike Ardilla palsumu." Ujarnya pelan.
"Aaahh,
enggak, Aku cuma kaget aja, ada orang yang mirip Nike sesempurna itu, bahkan
dia hanyalah seorang pelayan kafe." Ujarku, membela diri.
"Sekarang,
apa kamu juga masih berpikir kalau dia juga bagian dari komunitas yang kamu
sebutkan tadi?" Ah, benar juga ya, kalau dia bagian dari kumpulan pemuda
itu, kenapa juga dia justru adalah seorang pelayan disini.
Sekarang aku
baru ingat, bisa jadi kafe ini memang memiliki konsep seperti itu. Yaitu
menyuguhkan sosok-sosok artis legendaris tanah air yang telah almarhum, sekedar
untuk bernostalgia. Jadi sekumpulan pemuda itu memang sengaja ditempatkan
disitu oleh pengelola. Toh jaman sekarang, berbagai kiat dilakukan untuk
menjaring pengunjung, ada kafe berkonsep horror, ada yang berkonsep detektif,
sepak bola, tentara dan masih banyak lagi. Dan kali ini berkonsep
"menghidupkan" kembali artis-artis legenda yang telah wafat, konsep
yang cukup menarik.
Pelayan yang
tadi padanya kupesan kopi dan makanan telah kembali, kali ini dengan baki
berisikan dua cangkir kopi dan sepiring kue. Ah, aku baru nyadar, ternyata dia
mirip dengan biduan Alda, ya Alda risma, penyanyi yang menurut rumor tewas
akibat overdosis.
"Selamat
menikmati." Ujarnya, setelah meletakan pesanan kami.
"Makasih
mbak, anda mirip sekali dengan Alda." Sapaku, sekedar beramah tamah, yang
hanya dijawab dengan senyum dingin, seraya ngeloyor pergi. Keberadaan
"satpam" disampingku membuatku tak berani lagi menatap bokong yang
dibalut rok yang tingginya sebatas paha itu.
"Tempatnya
asik juga buat nongkrong." Gumamku, sambil mengeluarkan sebatang rokok
dari bungkusnya, lalu kuselipkan dibibir.
Pematik? Ah,
sial seingatku masih dimobil. Untuk balik ke mobil terlalu jauh, lebih baik kupinjam saja dari artis-artis
palsu itu, toh mereka juga tengah merokok, kecuali si banci itu.
"Bisa
pinjam koreknya mas?" Pintaku, kepada empat orang yang berkumpul dalam
satu kursi itu.
"Aahh,
ma'de rodok lu !Tampang aje keren, korek kagak punye! Nih lu pake, awas jangan
lu telen!" Ujar orang yang mirip Benjamin. Ah, bener-bener gila, gaya dan
cara ngomongnya sangat mirip dengan Benjamin S yang beberapa filmnya sering aku
tonton.
"Ketinggalan
dimobil." Jawabku, sambil menyalakan rokok.
"Terima
kasih.Oh ya, anda sangat mirip Bang Ben." Ujarku, sambil menyerahkan
pematik jenis Zippo kepadanya.
"Ah, muke
gile lu! Terserah ape kate lu aje lah! Ngomong-ngomong, itu gaco'anlu boto juga
ye? Kaya noni-noni Belande, pinter juga lu cari cewek." Sial, sebuah
ucapan yang kurang sopan bagi orang yang belum saling kenal. Namun aku tetap
menanggapinya dengan senyum. Bisa jadi dia hanya sekedar menunjukan
kebolehannya dalam menirukan gaya Benjamin S.
"Oke
semuanya, terimakasih." Ucapku, seraya kembali kemeja kami.
"Selamat
datang ya bro." kali ini suara serak-serak basah dari Gito rollies palsu,
yang menyapaku sambil mengangkat telapak tangannya. Yang tentunya aku balas
dengan cara yang sama pula.
Posting Komentar
0 Komentar