ILUSI

 


SINOPSIS :

Ariel dan Sophie tersesat di sebuah tempat yang sangat asing, tempat dimana mereka bisa mengexplore fantasy sex mereka tanpa batas, tanpa aturan.

FORMAT : PDF Book Series

JUMLAH HALAMAN : 72 HALAMAN

HARGA : Rp 10.000


PROLOG

Sekitar beberapa menit lalu aku meninggalkan rumah orang tuaku di Bandung. Walau beberapa waktu belakangan ini terkadang aku dan pacarku kerap terlibat beberapa perselisihan kecil, sepertinya ayah tetap tolerir atas hubunganku dengan janda dua anak ini, bahkan usianya jauh diatasku. Wanita cantik berdarah Jerman yang sekarang tengah duduk disampingku dengan tatapan kedepan, tepatnya kearah kaca depan mobil yang tengah kami kendarai ini. Entah apa yang dilamunkannya.

"Eh, Ril kamu pernah ngebayangin enggak, kalau kita nih...maksudnya para pekerja seni, memiliki suatu tempat khusus yang luas dan tentunya lengkap dengan prasarana yang kita butuhkan dalam berkarya, dan yang paling penting kita dapat bebas sebebas-bebasnya dalam berkreasi, tanpa terikat oleh batasan-batasan yang dibuat oleh birokrat." Kali ini lamunannya telah terpecah, berganti dengan paparan dari khayalannya itu. Ah, tidak terlalu sinis kalau aku sebut itu sebagai khayalan, baiklah "harapan" aku rasa lebih tepat.

"Seperti Hollywood maksudmu?" Ujarku, sambil pandanganku tetap kearah jalan raya didepanku. Jalan disini memiliki banyak tikungan tajam, sehingga aku tetap harus berkonsentrasi dalam memegang kemudi.

"Yah, semacam itulah. Mmm..tapi tidak, menurutku Hollywood tidak bisa dikatakan bebas, mereka terlalu banyak disusupi berbagai macam kepentingan, terutama kepentingan bisnis dan komersil, jadi menurutku mereka belum merdeka secara utuh." Paparnya, sambil sesekali mengamati smartphone ditangannya.

"Namanya juga industri hiburan, tentu mereka harus komersil. Kalau tidak begitu, bagaimana bisa mempertahankan eksistensi mereka, sedangan untuk menghasilkan sebuah karya saja perlu dana, belum lagi....."

"Iya...iya...aku tau itu, yang sedang aku bicarakan ini adalah sebatas berandai-andai belaka, sebagai insan seni yang butuh penyaluran secara utuh, tanpa harus ada intervensi dari pihak produser." Potongnya.

"Insan seni ni yeee...!" Godaku.

"Jangan ngeledek kamu, walaupun aku cuma tergolong sebagai artis kelas ecek-ecek yang belum pernah mendapatkan penghargaan apapun, tapi aku memiliki segudang ide dikepalaku ini yang butuh penyaluran."

"Iya deh, iya. Tapi aku enggak pernah menganggap kamu sebagai artis kelas ecek-ecek kok." Kali ini dia terdiam, pandangannya menatap malas kearah jendela disamping kirinya, sementara kedua tangannya dilipat didadanya, dan itu berlangsung untuk beberapa saat.

Apa dia tersinggung dengan sindiranku tadi. Aku akui memang, bahwa sebagai artis peran, dia masih belum bisa berbuat banyak. Dalam artian di bebeberapa sinetron dan layar lebarnya belum satupun yang berhasil mendongkrak namanya sebagai artis peran yang diperhitungkan. Apalagi mendapatkan penghargaan resmi. Tapi aku akui bahwa dia memiliki semangat yang tinggi, didalam kepalanya seperti ada sesuatu yang ingin sekali dia wujudkan dalam sebuah karya. Namun ya itu tadi, tidak adanya sarana dan prasarana yang mendukungnya. Mengharapkan produser sepertinya sulit. Kapasitas kekasihku ini belum dapat merangsang kepercayaan produser. Kalau untuk dunia model, aku akui itu adalah lahannya. Namun sepertinya usia yang telah menginjak kepala empat, dunia model sudah tak lagi bisa diharapkan terlalu banyak.

Didalam industri hiburan memang selera pasarlah yang memegang peranan. Dan suka atau tidak, sebagai pekerja seni kita harus menyesuaikannya, jika tidak maka kita akan habis. Lain ceritanya kalau berkarya hanya sekedar hobby belaka, sedangkan orang seperti aku, dan juga pacarku ini, berseni adalah sebagai profesi, tempat mencari nafkah.

Seperti halnya aku yang adalah seorang musisi. Kalau ingin menuruti ego, aku juga ingin membuat musik yang aku sukai, yaitu jenis musik bergenre progresive rock dengan arasement yang njlimet, seperti musiknya Yes, Pink floyd, Emerson Lake Palmer, atau Genesis. Tapi kalau aku nekat buat yang seperti itu, siapa yang mau dengar. Produser mana yang mau bunuh diri dengan menggelontorkan modal tanpa hasil. Ujung-ujungnya, terpaksalah aku harus menyingkirkan dulu rasa idialisku

Didalam dunia entertainment, pacarku ini memang jauh lebih dulu memulai ketimbang aku. Mungkin disaat usiaku masih anak-anak dia telah terjun didunia model. Bahkan ditahun 1987 dia telah bermain didalam film layar lebar. Tapi bukan berarti aku lebih minim pengalaman dari pada dia. Sebagai publik figur aku telah banyak makan asam garam didunia hiburan, mulai dari yang manis sampai yang paling getir sekalipun, bahkan hingga aku jatuh terpuruk kedalam lembah yang paling hina, yaitu jeruji penjara.

Mungkin di negeri ini baru akulah orangnya yang dihukum penjara hanya karena merekam adegan bercintaku dengan pacarku sebelumnya. Kalau dipikir-pikir apalah salahku itu. Yang aku lakukan tidak merugikan orang lain, bahkan aku juga tidak mempublikasikannya, justru pihak lainlah yang melakukan itu. Tapi hukum berkata lain, aku harus rela menjadi penghuni hotel prodeo selama dua tahun, dan itu aku jalani dengan tegar, dan tanpa sekalipun menyogok pihak lapas agar aku bisa berada diluar tahanan seperti yang kerap dilakukan oleh Gayus tambunan, teman senasibku di lapas Suka Miskin. Dan saat selesai masa tahananku, aku keluar dengan langkah tegap, dan kembali berkarya. Sukurlah, dalam waktu singkat kejayaan yang telah terpuruk dapat kuraih kembali.

"Kira-kira di negeri ini bisa enggak ya, hal seperti itu terwujud?" Setelah beberapa menit dia terdiam, kembali dia membuka suara.

"Apanya?" Jawabku.

"Ah, kamu ini, yang aku bahas tadi, wadah untuk kita berkreasi dengan bebas."

"Owwhh tentang holiwut-holiwutan itu? Gak tau juga ya? Kayaknya sulit. Kalau menurutmu, kapan ya kira-kira bisa terwujud ?" Justru aku yang malah balik bertanya, sepertinya dia kurang puas dengan reaksiku yang hanya seperti itu.

"Sampai mati kali." Jawabnya malas, dengan nada yang sedikit sinis. Lalu kembali seperti tadi, melipatkan tangan didada sambil menatap malas kearah jendela samping.

"Sampai mati? Mungkin juga sih." Balasku, seraya kubuka jendela disampingku. Kuambil sebatang rokok dan kuselipkan dibibir. Tapi dimana tadi pematik kuletakan? Ah,sial! Ternyata ada dibawah kursi, terpaksalah aku harus menunduk untuk meraihnya.

BRRAAAAAAKKKK....!

Kurasakan benturan yang sangat keras, yang membuatku membatalkan niat untuk meraih pematik.

"Apa itu?! Apa itu barusan?!" Panikku, seraya kuhentikan kenderaan.

"Apaan sih?" Heran pacarku.

"Suara benturan keras tadi, kayaknya kita menghantam sesuatu." Sambungku.

"Ngaco kamu! Dari tadi tenang-tenang aja kok." Ujarnya, sekarang malah aku yang merasa heran, namun aku mencoba untuk tetap santai.

"Owwhhh, ya sudah kalau begitu." Apa iya dia tidak merasakannya, suara benturan itu begitu keras, bahkan getarannya seperti membuat remuk badanku.

"Kamu enggak apa-apa Ril?" Dia sepertinya heran melihat sikapku.

"Kamu gak ngedrug kan?" Tanyanya lagi, sambil memandang curiga kewajahku.

"Ngaco kamu! Sejak kapan aku suka barang begituan?!" Akhirnya kuputuskan menepi sebentar, sekedar untuk menghisap sebatang rokok.

***

Sekitar sepuluh menit setelah itu, mobil kami melintasi daerah pedesaan yang cukup indah. Tapi entah di desa mana tepatnya, aku tak terlalu paham. Rumah-rumahnya tertata rapi, serta lingkungannya tampak bersih dan hijau oleh rumput dan pepohonan. Dan yang paling menakjubkan adalah bunga-bunga beraneka warna tampak tumbuh hampir disemua lahan. Baru kali ini aku melihat alam pedesaan begitu indah seperti ini. Dan, eh, apa itu? Sepertinya sebuah kafe, aku rasa tak ada salahnya untuk mampir sekedar ngopi disana.

"Shop, kita ngopi dulu ya ?" Tawarku kepada pacarku.

"Boleh, keliatannya enak nih tempatnya." Setujunya, yang sepertinya juga kagum dengan keindahan alam didesa ini.

"Ini namanya daerah apa sih, apa daerah wisata?"

"Aku juga gak begitu tau, perasaan baru kali ini aku lihat. Bisa jadi ini memang kawasan wisata yang baru dibuka."

"Ah, kamu ini, besar di Bandung tapi gak tau daerah sini, perasaan jaraknya gak terlalu jauh dari rumahmu." Yang dikatakan pacarku memang masuk akal. Tapi sungguh mati, aku memang belum pernah melihat tempat ini sebelumnya. Jalan rayanya yang sepi memudahkan aku berbalik arah untuk kembali menemukan kafe yang kami lihat barusan.

***

Expresso Kafe itulah yang tertulis pada plang didepan kafe, seraya kuparkirkan mobilku dihalamannya. Seperti biasa, saat ditempat umum seperti ini, aku dan juga pacarku selalu mengenakan topi dan kaca mata hitam untuk sekedar mengurangi perhatian khalayak agar tak terpusat pada kami. Karena sebagai manusia biasa, tentu kami juga butuh privasi.

Kafe yang cukup bersih, dengan penataan ruang yang apik dan artistic. Pada dindingnya dipenuhi photo-photo artis tanah air dari masa ke masa, yang aku kenal disitu ada photo Bing slamet, Gesang, kelompok musik The Rollies, The Mercies, serta beberapa artis film seperti Soekarno M noor, Benjamin S, Citra Dewi, Didi Petet, Dicky Zulkarnaen, Bagyo dan masih banyak lagi. Walaupun tanpa pendingin ruangan, tempat ini cukup nyaman dan tidak panas. Sepertinya penataan sirkulasi udaranya dirancang dengan cermat, sehingga bisa menghasilkan kenyamanan alami seperti ini tanpa harus mengandalkan AC. Aku dan pacarku duduk dikursi agak pojok, tentunya dengan maksud agar tidak terlalu menarik perhatian pengunjung.

"Selamat datang, ada yang bisa dibantu?" Seorang wanita pelayan kafe menghampiri kami. Seragam yang dikenakannya cukup modis untuk ukuran kafe di wilayah sekelas kota kabupaten seperti ini. Dengan pakaian ala France-Maid, seperti pelayan-pelayan dirumah bangsawan Eropa dalam film-film barat. Aku mengamati sejenak kartu menu diatas meja. Akhirnya kuputuskan untuk memesan kopi dan kue donat.

"Kamu pesan apa Shop?" Tanyaku pada pacarku.

"Samain aja lah." Jawabnya dengan tak acuh. Perhatiannya lebih ditujukan pada orang-orang disekitar kafe.

"Kopi dua, sama donatnya empat."

Setelah mencatat pada buku notes yang dipegangnya, pelayan itu melangkah pergi. Masih sempat kulihat gerakan bokongnya yang terbalut rok hitam dengan tinggi diatas lutut, sehingga paha mulusnya juga terekspose. Sepatu hak tinggi menambah menarik penampilannya. Hmmm bodi yang indah, tak kalah dengan model-model ibu kota.

"Udaaaahh! Jangan dipelototin terus, emangnya aku gak tau, apa yang ada dibalik kaca mata hitammu itu?" Ah, sial, rupanya pacarku memperhatikan juga.

"Ah, bisa aja kamu." Seraya kualihkan pandanganku kearah lain.

"Eh Ril, coba deh kamu perhatikan sekumpulan pengunjung dimeja seberang itu, sepertinya gak asing deh. Coba kamu amati baik-baik, barangkali kamu lebih familiar. Yang aku tau pasti cuma yang satu itu, mirip sekali dengan Olga Saputra." Ujar pacarku setengah berbisik.

Sepertinya memang betul, mereka mirip sekali dengan selebritis tanah air, ada yang mirip Olga, presenter yang  sudah meninggal ditengah masa jayanya. Sedang yang itu mirip Benjamin S, tapi yang satu itu mirip siapa ya? Ah, sepertinya Gito Rollies, rocker gaek yang juga telah almarhum itu. sepertinya si peniru ini mengambil sempel Gito versi mudanya, dengan rambut kribo lebat. Dan yang satu lagi, seorang pria berambut gimbal dengan topi ala Bob Marley. Ah, sepertinya adalah duplikatnya Mbah Surip, musisi nyentrik yang meninggal dunia disaat karirnya tengah meroket, tapi duplikatnya ini terlalu muda, sehingga tampak kurang mirip. Ah, aku rasa mereka hanyalah sekumpulan anak muda komunitas mirip selebritis yang tengah berkumpul mencari perhatian.

"Ah, biasa, paling anak-anak komunitas mirip artis lagi cari perhatian." Jawabku.

"Tapi yang mirip Olga itu kenapa pas banget sih, dari suaranya sampai gayanya juga pas. Hebat banget tuh anak, bisa niru sampai sebegitunya." Komentar pacarku.

 Benar juga sih, kenapa si Olga palsu ini demikian mirip, begitu pula dengan si Benjamin palsu itu, yang sangat mirip dengan Benjamin versi tahun 70an, dengan celana cutbray, rambut agak gondrong dan berjambul, dan saat dia berbicara jambulnya itu seperti ikut bergerak-gerak. Tapi mengapa selama ini mereka belum pernah terekspose dimedia, terutama televisi. Selama ini cukup banyak aku saksikan di TV tentang orang-orang yang mirip Benjamin, tapi tak ada yang sesempurna ini.

Ah, siapa lagi itu pelayan kafe dimeja sebelah, yang tengah sibuk mengelap meja. Sepertinya aku tak asing dengan sosok ini. Ah, tak salah lagi dia sangat mirip dengan Nike ardila. Artis cantik serba bisa yang tewas ditengah masa keemasannya akibat kecelakaan lalu lintas pada pertengahan tahun 90an. Aku sangat familier sekali dengan sosok itu, sosok yang diam-diam aku idolakan disaat aku masih ABG. Untuk beberapa saat aku terpana dengan penampilannya yang begitu mirip dengan idolaku itu, sebelum akhirnya pacarku mencubit pahaku.

"Makan tuh, Nike Ardilla palsumu." Ujarnya pelan.

"Aaahh, enggak, Aku cuma kaget aja, ada orang yang mirip Nike sesempurna itu, bahkan dia hanyalah seorang pelayan kafe." Ujarku, membela diri.

"Sekarang, apa kamu juga masih berpikir kalau dia juga bagian dari komunitas yang kamu sebutkan tadi?" Ah, benar juga ya, kalau dia bagian dari kumpulan pemuda itu, kenapa juga dia justru adalah seorang pelayan disini.

Sekarang aku baru ingat, bisa jadi kafe ini memang memiliki konsep seperti itu. Yaitu menyuguhkan sosok-sosok artis legendaris tanah air yang telah almarhum, sekedar untuk bernostalgia. Jadi sekumpulan pemuda itu memang sengaja ditempatkan disitu oleh pengelola. Toh jaman sekarang, berbagai kiat dilakukan untuk menjaring pengunjung, ada kafe berkonsep horror, ada yang berkonsep detektif, sepak bola, tentara dan masih banyak lagi. Dan kali ini berkonsep "menghidupkan" kembali artis-artis legenda yang telah wafat, konsep yang cukup menarik.

Pelayan yang tadi padanya kupesan kopi dan makanan telah kembali, kali ini dengan baki berisikan dua cangkir kopi dan sepiring kue. Ah, aku baru nyadar, ternyata dia mirip dengan biduan Alda, ya Alda risma, penyanyi yang menurut rumor tewas akibat overdosis.

"Selamat menikmati." Ujarnya, setelah meletakan pesanan kami.

"Makasih mbak, anda mirip sekali dengan Alda." Sapaku, sekedar beramah tamah, yang hanya dijawab dengan senyum dingin, seraya ngeloyor pergi. Keberadaan "satpam" disampingku membuatku tak berani lagi menatap bokong yang dibalut rok yang tingginya sebatas paha itu.

"Tempatnya asik juga buat nongkrong." Gumamku, sambil mengeluarkan sebatang rokok dari bungkusnya, lalu kuselipkan dibibir.

Pematik? Ah, sial seingatku masih dimobil. Untuk balik ke mobil terlalu jauh,  lebih baik kupinjam saja dari artis-artis palsu itu, toh mereka juga tengah merokok, kecuali si banci itu.

"Bisa pinjam koreknya mas?" Pintaku, kepada empat orang yang berkumpul dalam satu kursi itu.

"Aahh, ma'de rodok lu !Tampang aje keren, korek kagak punye! Nih lu pake, awas jangan lu telen!" Ujar orang yang mirip Benjamin. Ah, bener-bener gila, gaya dan cara ngomongnya sangat mirip dengan Benjamin S yang beberapa filmnya sering aku tonton.

"Ketinggalan dimobil." Jawabku, sambil menyalakan rokok.

"Terima kasih.Oh ya, anda sangat mirip Bang Ben." Ujarku, sambil menyerahkan pematik jenis Zippo kepadanya.

"Ah, muke gile lu! Terserah ape kate lu aje lah! Ngomong-ngomong, itu gaco'anlu boto juga ye? Kaya noni-noni Belande, pinter juga lu cari cewek." Sial, sebuah ucapan yang kurang sopan bagi orang yang belum saling kenal. Namun aku tetap menanggapinya dengan senyum. Bisa jadi dia hanya sekedar menunjukan kebolehannya dalam menirukan gaya Benjamin S.

"Oke semuanya, terimakasih." Ucapku, seraya kembali kemeja kami.

"Selamat datang ya bro." kali ini suara serak-serak basah dari Gito rollies palsu, yang menyapaku sambil mengangkat telapak tangannya. Yang tentunya aku balas dengan cara yang sama pula.




Posting Komentar

0 Komentar