SKANDAL
SINOPSIS:
Nayla
Wulandari mengikat tali sepatunya yang terurai. Wajah jelitanya yang hanya
mengenakan make-up tipis dibanjiri oleh peluh yang turun tak kenal ampun. Sorot
matahari pagi makin lama makin menyengat ibarat pijatan kesegaran yang mengingatkan
bahwa pagi mulai beralih menjadi siang. Meski derai panas menerpa, untungnya
alam juga berbaik hati menghadirkan hamparan pepohonan menghijau yang menjadi
pelindung senyap dengan payung teduh yang rindang dan tenang, bahkan memberikan
semilir angin tambahan dengan kibasan dedaunan yang menyejukkan.
“Huff.”
Nayla menarik
napas panjang, lalu menghelanya melalui mulut. Ia menyeka peluh dengan punggung
tangan. Hari ini rasanya dia lebih lelah dari biasanya, padahal Nay dan
suaminya sudah sangat terbiasa berolahraga setiap minggu pagi.
Tempat mereka
berdua berolahraga pagi adalah sebuah jalan raya yang menghubungkan dua komplek
perumahan elit. Lokasinya yang adem dengan banyaknya pepohonan rimbun di kanan
kiri jalan, jalurnya yang panjang, dan luasnya area membuat tempat yang pada
hari minggu pagi menerapkan aturan car free day ini ramai dikunjungi oleh para
penggemar olahraga. Ada yang berlari, ada yang jalan santai, ada yang
bersepeda, ada juga yang bermain skateboard – lengkap dengan penjaja makanan,
minuman, bahkan sekarang ada pula mobil yang secara khusus datang sebagai
bengkel sepeda dadakan.
Napas Nay
terasa sangat berat hari ini, mungkin karena dia kurang fit, mungkin karena
semalam Adek rewel dan minta susu terus jadi dia beberapa kali terbangun. Nay
mencoba membenahi kuncir kuda rambutnya dan melongok jauh ke depan meski poni
rambutnya beberapa kali jatuh menghalangi pandangan. Ia mencari sosok suaminya
yang sudah jalan terlebih dahulu. Tapi Mas Arul sama sekali tak terlihat.
Suaminya sudah terlalu jauh di depan bersama dengan keponakan mereka –
berlarian di tepian trotoar kompleks pertokoan.
Wanita berusia
pertengahan dua puluhan itu berpikir mungkin sebaiknya ia kembali saja ke
tempat mobil mereka diparkir. Daripada pingsan di tengah jalan, kan? Nay pun
mengambil ponsel yang ia simpan di slingbag-nya. Si cantik itu menekan tombol
demi tombol untuk mengirimkan pesan melalui WhatsApp kepada sang suami. Hanya
centang satu. Pasti Mas Arul, panggilan dari Syahrul, masih berlari mengitari
kompleks. Dia tidak akan sempat mengangkat ponselnya. Nayla pun berbalik menuju
lokasi mobil mereka diparkir. Saat hendak memasukkan ponsel kembali ke dalam
tas, Nay meleset.
Klotak!
Ponsel baru
berharga jutaan itu berkenalan dengan sisi tepi paving block trotoar, sebelum
akhirnya jatuh ke parit kering di sampingnya. Ponsel dan paving block jelas
bukan kawan akrab, ibarat orang jatuh cinta – ketika bertemu pasti ada luka.
“Mati aku.”
Desis Nayla sambil buru-buru hendak mengambil ponselnya.
Stupid, Nay!
Gimana sih kamu bisa ceroboh banget?! Kalau sampai layarnya retak lagi kayak
ponsel kemarin gimana? Mas Arul sih tidak pernah marah, tapi apa kamu tega
membuatnya merogoh kocek untuk membeli ponsel baru lagi meski belum ada
sebulan?! Duuuh, mudah-mudahan tidak apa-apa. Gimana sih caranya buang sial dan
ceroboh? Saat Nayla hendak menunduk, ia sudah didahului oleh orang lain.
Seseorang
dengan tangan kencang dan berisi. Tangan seorang pria. Pria bertangan kekar itu
mengambil ponsel, menepuk debu yang menempel dengan lembut, lalu menyerahkannya
pada Nay sembari bertongkat lutut. Ia sempat melirak-lirik kondisi ponsel itu.
“Hape-mu jatuh
tapi dari luar sepertinya tidak ada yang rusak, masih seratus persen.”
Nay
mengulurkan tangan untuk menerima ponsel itu dan memeriksanya sekilas sembari
menarik napas lega. Duh, ada-ada saja. Pakai drama jatuh ponsel segala. Untung
tidak rusak, bisa copot jantungnya.
“Te-Terima
kasih. Saya...” Mata Nay hampir meloncat saat ia melihat siapa yang sudah
menolongnya.
“Hah!? Kok
dia?”
Pria itu memberikan
ponsel pada Nayla yang bengong ratusan jurus. Semenit berasa setahun rasanya
saat mulut Nay menganga lebar ketika ia mengenali orang yang baru saja
mengambilkan ponselnya yang jatuh.
“Ini ga
mungkin ah! Kenapa bisa dia yang mengambilkan ponselnya? Kok bisa-bisanya dia
ada di sini?”
“Ajaib!
Amazing! Ga bakal ada yang percaya!”
Si cantik
bertubuh semampai itu memang sungguh tidak habis pikir, bagaimana mungkin? Di
antara ratusan juta jiwa manusia yang ada di Indonesia, bagaimana bisa ia
kembali bertemu dengannya?
“Te-terima
kasih, Pak.” Ya. Nayla memanggilnya Pak. Tidak salah lagi, Nay kenal sekali
dengan pria ini. Orang yang dulu pernah hadir dalam hidupnya dan tak akan
pernah ia lupakan karena orang dia hampir saja membuatnya dropout dari kampus.
Bram Kusmara. Pak Bram Kusmara. Pak Bram.
Bertahun-tahun
yang lalu Pak Bram adalah dosen Nayla di salah satu kampus swasta, Pak Bram
pula yang menjadi dosen pembimbing tugas akhirnya. Orang yang berulang kali
memaki-makinya saat Nay belum juga membereskan paper-nya yang berantakan
padahal waktu penyerahan tugas akhir sudah sangat mepet. Dulu Nay bahkan
terancam gagal mengikuti sidang pendadaran gara-gara Pak Bram beranggapan kalau
bahasan masalah yang dibeberkan Nay masih belum sempurna tanpa disertai referensi
pendahulu yang sesuai. Ya kali orang macam Nay bisa bikin skripsi sempurna. Mau
bikin landasan teori aja mesti konsultasi ke dukun.
“Sehat, Nay?”
Mata Nay yang
indah makin bulat membulat seperti rembulan purnama sempurna. Tuh kan! Hal-hal
ganjil satu persatu bermunculan. Bagaimana mungkin? Bagaimana mungkin Pak Bram
yang punya puluhan mahasiswa bimbingan tiap semester ternyata masih hapal
namanya?
“Di-dia
masih ingat namaku?”
Pak Bram masih
berdada bidang, dengan wajah dingin dan tatapan mata tajam yang tak pernah
berubah sejak dari zaman Nay kuliah. Saat ini ia mengenakan baju olahraga khas
biker dengan celana pendek ketat yang memamerkan badannya yang kekar.
Pak Bram masih
terlihat sama seperti saat mereka terakhir bertemu, saat bimbingan skripsi. Tak
ada yang berubah dari wajahnya. Bagaimana bisa? Apa orang ini minum air dari
pancuran awet muda? Untuk pria yang usianya mungkin dua kali lipat dari Nay,
dia terlihat sangat segar dan sehat - kelihatan juga kalau Pak Bram sering
keluar masuk gym. Badannya yang tinggi besar mengintimidasi Nayla yang mungil
seperti anak ayam ketemu musang.
“Sa-saya
sehat, Pak.” Nay memaksakan senyum sungkan.
“Syukurlah.”
“Ba-bapak
sehat?”
“Iya. Lumayan
sehat, masih agak mampet hidungnya karena seminggu kemarin pilek. Tapi sekarang
sudah bisa olahraga.” Pak Bram tersenyum.
“Asyik ya di
sini, kalau pagi banyak yang berolahraga pagi.”
“Demi apa
dia bisa tersenyum!”
“Iya, Pak.
Banyak.”
Geli Nay
melihat Pak Bram dalam kesehariannya begini, hilang sudah semua image seramnya.
Dulu Pak Bram dikenal sebagai dosen yang killer. Tidak ada mahasiswa yang mau
bimbingan TA sama dia kecuali yang daftar bimbingannya telat jadi mau tidak mau
dapet dospem Pak Bram, tentunya salah satu yang telat mendaftar adalah Nayla.
Pak Bram tiba-tiba mengerutkan kening dan menyatukan alis saat menatap
wajah jelita Nayla, ada kekhawatiran di matanya. Nayla pun jadi kikuk, karena
Pak Bram tiba-tiba saja menatap sangat tajam dan mendekat padanya. Nay tersipu.
“Eh? Kenapa,
Pak?”
“Kamu mimisan,
Nay.”
“Hah!?” Nay
menyentuh lubang hidungnya dengan siku jari telunjuk. Saat ia memeriksa siku
jari, benar ada darah segar di sana. Mimisannya cukup deras. Wajah Nay berubah,
ia mulai panik.
Pak Bram
bergerak cepat, dengan cekatan ia menggandeng Nayla ke pinggir untuk duduk di
tepian pembatas antara trotoar dan dinding tempat pepohonan ditanam. Mantan
dosen Nayla itu lantas mengeluarkan tissue demi tissue yang diambil entah
darimana. Kalau saja tidak sedang mimisan, Nayla ingin bercanda kalau Pak Bram
ini sebenarnya punya kantong ajaibnya Doraemon.
“Hal pertama
yang harus dilakukan kalau kamu sedang mimisan, adalah menundukkan kepala.”
kata Pak Bram dengan lembut.
“Tujuannya
supaya darah itu tidak mengalir ke saluran pernapasan.” Nay mengikuti
petunjuknya.
“Sekarang bungkukkan
badan ke depan, supaya darah itu juga tidak mengalir ke tenggorokan. Jangan
lupa cubit cuping hidung kamu dan bernafas menggunakan mulut dulu. Tidak perlu
khawatir, kayaknya kamu mimisan ini cuma gara-gara kecapekan aja, wajah kamu
juga pucat.” Nayla kembali mengikuti petunjuk Pak Bram.
Si cantik itu
masih bingung harus bersikap bagaimana sementara mantan dosennya membersihkan
hidungnya dari darah dengan telaten. Tissue digunakan untuk membersihkan bagian
antara hidung dan bibir. Dengan lembut Pak Bram membersihkan tanpa sekalipun
Nay protes. Entah kenapa dia hanya terdiam pasrah. Saat itulah pikiran Nayla
mengambang, menjelajah ke suatu masa yang telah lalu, ke dalam batin yang dalam
pada sebuah kenangan yang terlupa, pada dinding rak memori yang berdebu. Jauh
ke dalam sebuah masa, pada suatu ketika.
Posting Komentar
0 Komentar