SKANDAL

 


SINOPSIS:

SINOPSIS:

Pertemuannya dengan mantan dosen ketika berkuliah dulu membuat rumah tangga Nayla diujung tanduk. Kegilaan masa muda yang dulu tak tersalurkan justru sekarang menjadu bumerang tatkala Nayla bermain nafsu serta birahi bersama sang mantan dosen.

GENRE : DRAMA EROTIC

FORMAT : FILE PDF

JUMLAH HALAMAN : 106 HALAMAN

HARGA : Rp 10.000


PROLOG

Nayla Wulandari mengikat tali sepatunya yang terurai. Wajah jelitanya yang hanya mengenakan make-up tipis dibanjiri oleh peluh yang turun tak kenal ampun. Sorot matahari pagi makin lama makin menyengat ibarat pijatan kesegaran yang mengingatkan bahwa pagi mulai beralih menjadi siang. Meski derai panas menerpa, untungnya alam juga berbaik hati menghadirkan hamparan pepohonan menghijau yang menjadi pelindung senyap dengan payung teduh yang rindang dan tenang, bahkan memberikan semilir angin tambahan dengan kibasan dedaunan yang menyejukkan.

“Huff.”

Nayla menarik napas panjang, lalu menghelanya melalui mulut. Ia menyeka peluh dengan punggung tangan. Hari ini rasanya dia lebih lelah dari biasanya, padahal Nay dan suaminya sudah sangat terbiasa berolahraga setiap minggu pagi.

Tempat mereka berdua berolahraga pagi adalah sebuah jalan raya yang menghubungkan dua komplek perumahan elit. Lokasinya yang adem dengan banyaknya pepohonan rimbun di kanan kiri jalan, jalurnya yang panjang, dan luasnya area membuat tempat yang pada hari minggu pagi menerapkan aturan car free day ini ramai dikunjungi oleh para penggemar olahraga. Ada yang berlari, ada yang jalan santai, ada yang bersepeda, ada juga yang bermain skateboard – lengkap dengan penjaja makanan, minuman, bahkan sekarang ada pula mobil yang secara khusus datang sebagai bengkel sepeda dadakan.

Napas Nay terasa sangat berat hari ini, mungkin karena dia kurang fit, mungkin karena semalam Adek rewel dan minta susu terus jadi dia beberapa kali terbangun. Nay mencoba membenahi kuncir kuda rambutnya dan melongok jauh ke depan meski poni rambutnya beberapa kali jatuh menghalangi pandangan. Ia mencari sosok suaminya yang sudah jalan terlebih dahulu. Tapi Mas Arul sama sekali tak terlihat. Suaminya sudah terlalu jauh di depan bersama dengan keponakan mereka – berlarian di tepian trotoar kompleks pertokoan.

Wanita berusia pertengahan dua puluhan itu berpikir mungkin sebaiknya ia kembali saja ke tempat mobil mereka diparkir. Daripada pingsan di tengah jalan, kan? Nay pun mengambil ponsel yang ia simpan di slingbag-nya. Si cantik itu menekan tombol demi tombol untuk mengirimkan pesan melalui WhatsApp kepada sang suami. Hanya centang satu. Pasti Mas Arul, panggilan dari Syahrul, masih berlari mengitari kompleks. Dia tidak akan sempat mengangkat ponselnya. Nayla pun berbalik menuju lokasi mobil mereka diparkir. Saat hendak memasukkan ponsel kembali ke dalam tas, Nay meleset.

Klotak!

Ponsel baru berharga jutaan itu berkenalan dengan sisi tepi paving block trotoar, sebelum akhirnya jatuh ke parit kering di sampingnya. Ponsel dan paving block jelas bukan kawan akrab, ibarat orang jatuh cinta – ketika bertemu pasti ada luka.

“Mati aku.” Desis Nayla sambil buru-buru hendak mengambil ponselnya.

Stupid, Nay! Gimana sih kamu bisa ceroboh banget?! Kalau sampai layarnya retak lagi kayak ponsel kemarin gimana? Mas Arul sih tidak pernah marah, tapi apa kamu tega membuatnya merogoh kocek untuk membeli ponsel baru lagi meski belum ada sebulan?! Duuuh, mudah-mudahan tidak apa-apa. Gimana sih caranya buang sial dan ceroboh? Saat Nayla hendak menunduk, ia sudah didahului oleh orang lain.

Seseorang dengan tangan kencang dan berisi. Tangan seorang pria. Pria bertangan kekar itu mengambil ponsel, menepuk debu yang menempel dengan lembut, lalu menyerahkannya pada Nay sembari bertongkat lutut. Ia sempat melirak-lirik kondisi ponsel itu.

“Hape-mu jatuh tapi dari luar sepertinya tidak ada yang rusak, masih seratus persen.”

Nay mengulurkan tangan untuk menerima ponsel itu dan memeriksanya sekilas sembari menarik napas lega. Duh, ada-ada saja. Pakai drama jatuh ponsel segala. Untung tidak rusak, bisa copot jantungnya.

“Te-Terima kasih. Saya...” Mata Nay hampir meloncat saat ia melihat siapa yang sudah menolongnya.

“Hah!? Kok dia?”

Pria itu memberikan ponsel pada Nayla yang bengong ratusan jurus. Semenit berasa setahun rasanya saat mulut Nay menganga lebar ketika ia mengenali orang yang baru saja mengambilkan ponselnya yang jatuh.

“Ini ga mungkin ah! Kenapa bisa dia yang mengambilkan ponselnya? Kok bisa-bisanya dia ada di sini?”

“Ajaib! Amazing! Ga bakal ada yang percaya!”

Si cantik bertubuh semampai itu memang sungguh tidak habis pikir, bagaimana mungkin? Di antara ratusan juta jiwa manusia yang ada di Indonesia, bagaimana bisa ia kembali bertemu dengannya?

“Te-terima kasih, Pak.” Ya. Nayla memanggilnya Pak. Tidak salah lagi, Nay kenal sekali dengan pria ini. Orang yang dulu pernah hadir dalam hidupnya dan tak akan pernah ia lupakan karena orang dia hampir saja membuatnya dropout dari kampus. Bram Kusmara. Pak Bram Kusmara. Pak Bram.

Bertahun-tahun yang lalu Pak Bram adalah dosen Nayla di salah satu kampus swasta, Pak Bram pula yang menjadi dosen pembimbing tugas akhirnya. Orang yang berulang kali memaki-makinya saat Nay belum juga membereskan paper-nya yang berantakan padahal waktu penyerahan tugas akhir sudah sangat mepet. Dulu Nay bahkan terancam gagal mengikuti sidang pendadaran gara-gara Pak Bram beranggapan kalau bahasan masalah yang dibeberkan Nay masih belum sempurna tanpa disertai referensi pendahulu yang sesuai. Ya kali orang macam Nay bisa bikin skripsi sempurna. Mau bikin landasan teori aja mesti konsultasi ke dukun.

“Sehat, Nay?”

Mata Nay yang indah makin bulat membulat seperti rembulan purnama sempurna. Tuh kan! Hal-hal ganjil satu persatu bermunculan. Bagaimana mungkin? Bagaimana mungkin Pak Bram yang punya puluhan mahasiswa bimbingan tiap semester ternyata masih hapal namanya?

“Di-dia masih ingat namaku?”

Pak Bram masih berdada bidang, dengan wajah dingin dan tatapan mata tajam yang tak pernah berubah sejak dari zaman Nay kuliah. Saat ini ia mengenakan baju olahraga khas biker dengan celana pendek ketat yang memamerkan badannya yang kekar.

Pak Bram masih terlihat sama seperti saat mereka terakhir bertemu, saat bimbingan skripsi. Tak ada yang berubah dari wajahnya. Bagaimana bisa? Apa orang ini minum air dari pancuran awet muda? Untuk pria yang usianya mungkin dua kali lipat dari Nay, dia terlihat sangat segar dan sehat - kelihatan juga kalau Pak Bram sering keluar masuk gym. Badannya yang tinggi besar mengintimidasi Nayla yang mungil seperti anak ayam ketemu musang.

“Sa-saya sehat, Pak.” Nay memaksakan senyum sungkan.

“Syukurlah.”

“Ba-bapak sehat?”

“Iya. Lumayan sehat, masih agak mampet hidungnya karena seminggu kemarin pilek. Tapi sekarang sudah bisa olahraga.” Pak Bram tersenyum.

“Asyik ya di sini, kalau pagi banyak yang berolahraga pagi.”

“Demi apa dia bisa tersenyum!”

“Iya, Pak. Banyak.”

Geli Nay melihat Pak Bram dalam kesehariannya begini, hilang sudah semua image seramnya. Dulu Pak Bram dikenal sebagai dosen yang killer. Tidak ada mahasiswa yang mau bimbingan TA sama dia kecuali yang daftar bimbingannya telat jadi mau tidak mau dapet dospem Pak Bram, tentunya salah satu yang telat mendaftar adalah Nayla. Pak Bram tiba-tiba mengerutkan kening dan menyatukan alis saat menatap wajah jelita Nayla, ada kekhawatiran di matanya. Nayla pun jadi kikuk, karena Pak Bram tiba-tiba saja menatap sangat tajam dan mendekat padanya. Nay tersipu.

“Eh? Kenapa, Pak?”

“Kamu mimisan, Nay.”

“Hah!?” Nay menyentuh lubang hidungnya dengan siku jari telunjuk. Saat ia memeriksa siku jari, benar ada darah segar di sana. Mimisannya cukup deras. Wajah Nay berubah, ia mulai panik.

Pak Bram bergerak cepat, dengan cekatan ia menggandeng Nayla ke pinggir untuk duduk di tepian pembatas antara trotoar dan dinding tempat pepohonan ditanam. Mantan dosen Nayla itu lantas mengeluarkan tissue demi tissue yang diambil entah darimana. Kalau saja tidak sedang mimisan, Nayla ingin bercanda kalau Pak Bram ini sebenarnya punya kantong ajaibnya Doraemon.

“Hal pertama yang harus dilakukan kalau kamu sedang mimisan, adalah menundukkan kepala.” kata Pak Bram dengan lembut.

“Tujuannya supaya darah itu tidak mengalir ke saluran pernapasan.” Nay mengikuti petunjuknya.

“Sekarang bungkukkan badan ke depan, supaya darah itu juga tidak mengalir ke tenggorokan. Jangan lupa cubit cuping hidung kamu dan bernafas menggunakan mulut dulu. Tidak perlu khawatir, kayaknya kamu mimisan ini cuma gara-gara kecapekan aja, wajah kamu juga pucat.” Nayla kembali mengikuti petunjuk Pak Bram.

Si cantik itu masih bingung harus bersikap bagaimana sementara mantan dosennya membersihkan hidungnya dari darah dengan telaten. Tissue digunakan untuk membersihkan bagian antara hidung dan bibir. Dengan lembut Pak Bram membersihkan tanpa sekalipun Nay protes. Entah kenapa dia hanya terdiam pasrah. Saat itulah pikiran Nayla mengambang, menjelajah ke suatu masa yang telah lalu, ke dalam batin yang dalam pada sebuah kenangan yang terlupa, pada dinding rak memori yang berdebu. Jauh ke dalam sebuah masa, pada suatu ketika.



Posting Komentar

0 Komentar