AFFAIR
SINOPSIS :
Seorang pria
duduk di belakang meja kebesarannya, raut wajah ambisius tergambar jelas di
wajah tampannya, menampakkan segala kekuasaan yang dimiliki pria tersebut.
Dialah Ricard Herlambang, seorang direktur keuangan dengan seluruh image-nya sebagai
pria tampan dan sukses di perusahaan Q&U Group. Setelah hampir tiga tahun
bekerja di salah satu anak perusahan yang berada di Singapura, saat ini Ricard
kembali ke negaranya sendiri dan bekerja di perusahaan utama. Segala keputusan
mengenai keuangan perusahaan, kini berada di bawah kendali pria berusia 40
tahun tersebut. Ricard adalah pimpinan yang dikenal keras, bahkan tidak segan
memecat anak buahnya.
Di seberang
meja besar sang direktur keuangan, seorang kepala sub divisi keuangan tengah
duduk tertunduk. Wajahnya begitu tegang, hatinya benar-benar menciut dan
merasakan ketakutan yang luar biasa. Kedua orang itu masih terdiam, sang kepala
sub divisi keuangan yang menundukkan kepala tidak berani memandang wajah
atasannya. Berbanding terbalik dengan Ricard yang tengah menatap orang di
depannya sangat tajam.
“Bapak Dimas
tau ? Apa kesalahan besar bapak?” Ricard berkata sarkastis. Kepala sub divisi
keuangan yang bernama Dimas Adi Nugroho tidak menjawab dan hanya tertunduk.
“Gak bisa
menjawab?” Sang direktur keuangan bangkit dari tempat duduknya, berjalan
mendekati Dimas.
“Bapak fikir
aku bicara dengan patung? Jangan diam saja! Bapak sudah membuat perusahaan
merugi besar! Bapak ini pimpinan, ada anggota yang harus bapak
pertanggungjawabkan kinerjanya !” Tatapan Ricard menusuk, seakan ingin
menelanjangi Dimas.
“Maafkan atas
keteledoran saya.” Perasaan tidak enak menyergap Dimas, merasa gelisah dan
takut untuk mendengar pernyataan berikutnya yang akan keluar.
“Maaf??? Apa
dengan kata maaf bisa memperbaiki ini semua??? Tidak bapak! Bapak harus
bertanggung jawab. Sekarang saya perintahkan untuk mengembalikan kerugian
perusahaan . Saya kasih waktu seminggu , jika gagal, bapak tau sendiri
akibatnya!” Kata-kata itu langsung membuat kepala Dimas terangkat. Dimas hanya
bisa memandang wajah atasannya sekarang, lidahnya terasa kelu, tenggorokkan
tercekat, tidak bersuara bukannya berarti dia setuju dengan perintah itu. Dia
hanya tidak tahu harus menanggapinya seperti apa.
“Keluarlah!”
Perintah Ricard kemudian.
Dimas keluar
dengan kepala yang tertunduk, matanya memerah, air mata yang ingin jatuh
ditahannya. Mengembalikan kerugian perusahaan dalam satu minggu adalah sesuatu
yang mustahil diwujudkan. Kondisi keuangan perusahaan sudah sangat terbatas
akibat kegiatan usaha yang tidak lagi berjalan normal. Kondisi ini diperparah
oleh terjadinya kebocoran keuangan perusahaan yang jumlahnya bernilai puluhan
milyar rupiah.
Dengan muka
kusut masai, Dimas membantingkan pantatnya ke kursi kerja lalu menyandarkan
tubuhnya pada sandaran kursi sembari melipat kedua tangannya di belakang
kepala. Kehancuran karirnya sudah di depan mata. Apa yang selama ini ia
takutkan akhirnya terjadi juga. Beberapa petinggi perusahaan telah menggunakan
uang perusahaan dengan skema pembiayaan start-up. Namun sebenarnya dana
itu dipakai untuk kepentingan pribadi mereka.
Jam antik
berdentang dengan bunyi yang rendah, mengisi keheningan ruangan. Jarum pendek
menunjuk angka lima dan jarum panjangnya menunjuk angka dua belas. Karena sudah
waktunya pulang, Dimas pun lantas merapikan meja kerjanya sebelum beranjak
pulang. Setelahnya, ia berjalan menuju lobby perusahaan sambil menelepon
seseorang dengan menggunakan smartphone-nya.
“Hallo Pah
.” Suara istri Dimas di seberang sana.
“Mamah udah di
lobby?” Tanya Dimas sambil mempercepat langkahnya.
“Barusan
nyampe. Mamah tunggu di tempat biasa ya?” Jawab sang istri yang sering kali
menjemput suaminya jika dia sedang suntuk di rumah seperti saat ini.
“Iya ...” Kata
Dimas singkat seraya memutuskan sambungan teleponnya.
Dimas bergerak
menuju pintu lift yang terbuka. Setelah berada di dalam lift, telunjuknya
memijit nomor satu dan tak lama berselang pria itu sampai di lantai satu.
Setiba di lantai satu, segera saja Dimas menghampiri istrinya yang tengah
berbincang-bincang dengan seseorang di bagian barat lobby perusahaan. Tiba-tiba
sepasang mata Dimas menyipit dan langkahnya pun melambat tatkala mendapati
Ricard, direktur keuangan yang tadi memarahinya, adalah orang yang menjadi
lawan bicara istrinya.
Dimas akhirnya
memutuskan untuk tidak mengganggu mereka. Laki-laki itu bergerak ke sebuah
pilar besar untuk menyembunyikan dirinya. Bukan apa-apa, Dimas tidak ingin
dimarahi lagi oleh Ricard, apalagi di depan istrinya. Sebagai laki-laki dia
tentu tidak ingin harga dirinya terinjak-injak. Hampir tiga menit, Dimas
berdiri di balik pilar dan baru kemudian menengok ke arah di mana istrinya
berada. Ternyata, Ricard sudah meninggalkan tempatnya. Buru-buru Dimas berjalan
menuju istrinya yang terlihat gelisah.
“Maaf, Papah
barusan sembunyi dulu, gak pengen ketemu pimpinan baru .” Dimas berucap pada
istrinya sesaat setelah berada dekatnya.
“Pimpinan
baru?” Istri Dimas bergumam dengan kening mengkerut tipis.
“Ya, dia
adalah direktur keuangan yang baru .Ngomong-ngomong, apa mamah kenal sama dia?”
Dimas mengakhiri ucapannya dengan sebuah pertanyaan.
“Baru saja
kenal, gak tau tuh. Dia ujug-ujug ngajak kenalan .” Jawab istri Dimas sambil
mengulum senyumnya yang tak bisa ia tahan.
“Hhhhmm, habis
mamah cantik sih!” Dimas menggombali istrinya. Memang tidak berlebihan,
istrinya yang telah dinikahinya setahun yang lalu bernama Karina, memiliki
paras yang cantik dan rupawan. Selain itu, di usianya yang menginjak 28 tahun,
Karina masih memiliki tubuh yang seksi disertai wajah dan postur tubuh layaknya
mirip anak SMA. Belum lagi ditunjang cara berpakaian yang up to date
mengikuti anak muda zaman sekarang. Hingga tidak heran jika banyak orang yang
tak percaya jika Karina sudah menikah dan berumur 28 tahun.
“Ihh ... Papah
! Ayo pulang !” Ucap sang istri manja seraya meraih tangan Dimas.
Keduanya
berjalan kaki menuju mobil yang terparkir tak jauh dari lobby perusahaan. Dimas
membiarkan istrinya berada di belakang kemudi sementara laki-laki itu duduk
kurang tenang di sebelahnya. Hiruk-pikuk suasana jalanan yang macet seolah
tidak berpengaruh sedikit pun ketika pikiran Dimas melayang pada kejadian di
kantornya tadi, bahkan ucapan Karina tidak sepenuhnya ia dengar.
“Papah kenapa
sih? Ngelamun terus?” Akhirnya Karina mengetahui kalau Dimas tidak fokus dengan
pembicaraannya.
“Papah punya
masalah .” Lirih Dimas seraya menghela nafas berat.
“Masalah apa?”
Tanya Karina terkejut sambil menoleh sekilas wajah suaminya yang memang tampak
lesu dan tidak bergairah.
“Fuuutthhh! Papah
kayaknya sebentar lagi dipecat .” Satu kalimat terlontar dari mulut Dimas
dengan suara yang berat. Karina pun terperanjat, untung saja ia masih bisa
fokus pada kemudinya.
“Dipecat?! Kok
bisa?!” Karina benar-benar terkejut. Wanita itu sampai menghentikan mobilnya di
pinggir jalan.
“Papah harus
bertanggung jawab atas kerugian perusahaan. Ini salah papah . Papah membiarkan
kecurangan terjadi, padahal papah tau, para petinggi perusahaan menggunakan
uang perusahaan secara illegal dan itu gak bisa papah cegah .” Dimas memutuskan
untuk berkata jujur kepada Karina.
Karina menatap
tajam ke arah Dimas mencoba menembus pikiran suaminya. Karina tidak menyangka
kalau orang yang sangat diandalkannya kini tersandung masalah yang begitu
berat. Terlihat oleh Karina wajah Dimas semakin pucat seperti tak ada darah
yang mengalir di sana.
“Maafkan papah.”
Lirih Dimas, begitu kalut bercampur takut yang teramat.
“Kenapa papah
membiarkan itu terjadi?” Tanya Karina dengan nada yang terdengar lembut namun
serius.
“Papah takut
dipecat makanya papah biarkan .” Jawab Dimas dengan suara yang sarat kejujuran.
Alasan Dimas
membuat Karina terhenyak, karena ia yakin kalau suaminya berkata apa adanya.
Dimas adalah korban konspirasi dan korupsi di perusahaannya. Kini perasaan
wanita itu berkecamuk hebat, semua perasaan bercampur, namun yang pasti
perasaan sedihlah yang paling dominan. Karina menggenggam tangan Dimas untuk
memberi ketenangan dan kekuatan karena Karina sadar kalau dukunganlah yang
diperlukan Dimas saat ini.
“Sudahlah, jangan
terlalu dipikirkan.” Ucap Karina lembut sembari menggoyang kecil jemari Dimas.
“Maafkan papah.”
Kembali Dimas mengungkapkan penyesalannya.
Karina
tersenyum, kemudian melajukan lagi mobil menuju rumah kediaman mereka dengan
perasaan yang tak menentu. Walau demikian, Karina tetap berusaha memperlihatkan
ketegaran dan semangat hidupnya. Berbeda dengan sang istri yang terus
memperlihatkan ketegaran, Dimas terlihat lebih lemah.
Posting Komentar
0 Komentar