ONE NIGHT STAND

 


SINOPSIS :

Bagas bertemu dengan Farah, kakak dari istrinya ketika sedang melakukan perjalanan bisnis. Sebuah kebetulan yang harus diselesaikan di atas ranjang, tanpa ada niat, tanpa ada rencana, semuanya berawal dari one night stand.

GENRE : DRAMA EROTIS

FORMAT : FILE PDF

JUMLAH HALAMAN : 48 HALAMAN

HARGA : Rp 10.000


PROLOG

“Panggilan terakhir kepada penumpang pesawat Garuda Indonesia dengan nomor penerbangan GA tiga nol empat, silahkan masuk ke pesawat melalui pintu tujuh belas.”

“This is a final call for all passengers of Garuda Indonesia flight number GA three zero four for destination to Surabaya, please boarding through gate seventeenth.”

Terdengar suara wanita menggema di seluruh bangunan terminal yang baru dan modern ini, memberikan pemberitahuan terakhir untuk naik ke pesawat yang akan kutumpangi sebelum pintu gerbang menuju pesawat ditutup. Kulihat antrian pemeriksaan boarding pass dan kartu identitas di pintu gerbang masih ada sekitar sembilan penumpang lagi yang mengantri.

“Loh, Bagas? ”

Tiba-tiba suara wanita memanggil namaku. Reflek aku menengok ke kanan dan ke kiri untuk mencari sumber suara itu. Tepat di arah belakangku berdiri seorang wanita berusia tiga puluh dua tahun, dengan tinggi sekitar seratus lima puluh tiga dan berat empat puluh empat kilogram, berkulit coklat eksotis, yang saat ini menggunakan pakaian rok selutut warna biru tua dengan atasan kemeja putih yang dipadu dengan blazer senada dengan bawahannya.

“Eh ada Mbak Farah, mau kemana Mbak?” Jawabku membalas sapaannya.

 “Mau ke Surabaya.” Sahutnya.

“Lah bareng dong?! Gue juga mau ke Surabaya!” ucapku sambil tanganku menunjuk ke arah pintu pemeriksaan masuk pesawat.

“Bukan yang ini, Gue masih nanti sejam lagi. Ngga kebagian tiket yang setengah tujuh.” sahut Mbak Farah.

“Ooo gitu. Rencana berapa hari Mbak di Surabaya?” Tanyaku.

“Cuma tiga hari kok, kamis juga udah balik. Elo sendiri berapa hari?”

Tentative Mbak, yang pasti sih besok masih di sana.” Jawabku. Kulihat lagi antrian di pintu pemeriksaan masuk pesawat tinggal dua penumpang lagi, aku pun berkata ke Mbak Farah,

“Gue duluan ya Mbak, udah final call nih. Nanti kabar-kabaran ya?” Basa-basiku.

Bye Mbak” Lanjutku.

“Ok, bye. Hati-hati ya!” Jawabnya diiringi senyumannya yang manis.

Kulangkahkan kakiku menuju pintu pemeriksaan boarding pass dan disambut sapaan serta senyuman dari petugasnya yang menurutku cantik, kubalas sapaan dan senyumannya sambil menyodorkan boarding pass dan KTP milikku.

Di pesawat, aku duduk di bangku nomor 46K, bangku paling belakang di ujung dekat jendela kanan pesawat. Bangku itu merupakan bangku favoritku. Karena menurut statistik, penumpang yang duduk di bagian belakang pesawat mempunyai tingkat keselamatan lebih tinggi daripada penumpang yang duduk di bagian depan atau tengah apabila terjadi kecelakaan.

Selain itu juga, bagian belakang ini sering kosong jarang peminatnya, sehingga para pramugari dapat ikut duduk di deret bangku belakang pada saat istirahat sebelum menjalankan tugasnya lagi melayani penumpang. Hal ini dapat aku manfaatkan untuk sekedar mengobrol dan berkenalan dengan mereka, iseng-iseng siapa tahu ada yang nyangkut hehehe.

Tampaknya harapanku hari ini belum bisa terkabul, karena terlihat bangku sebelah kiriku sudah ditempati penumpang lainnya. Setelah selesai memasang sabuk pengaman, aku kabari Risa, istriku, kalau pesawat yang aku tumpangi akan segera lepas landas, tidak lupa juga kuceritakan kalau tadi aku sempat bertemu dengan kakaknya, Mbak Farah. Selanjutnya segera aku nonaktifkan ponselku.

***

Kurebahkan diriku di kasur kamar hotel setelah seharian berkutat dengan rapat dan rapat. Kepejamkan mata sejenak sambil menikmati empuknya kasur ini. Kamar masih terasa hangat, karena belum beberapa lama pendingin udaranya dinyalakan.

Kuraih ponselku untuk melihat kembali beberapa pesan yang belum sempat aku baca karena kesibukanku seharian ini. Ada satu pesan ternyata dari Mbak Farah. Terlihat dilayar ponsel pesan itu diterima jam lima belas lewat tiga puluh enam menit. Sudah hampir tiga jam yang lalu. Kubuka pesan itu dan tertulis,

Malam ini nginap di mana Bagas?

 Jadinya nginap di hotel X, Mbak. Mbak Farah sendiri nginap di mana? Sorry Mbak telat bales, sibuk rapat seharian tadi

Tulisku dan segera kupencet tombol ‘kirim’ di ponselku. Aku pun melanjutkan kembali membaca pesan-pesan lainnya yang belum aku baca, lalu mengirimkan kabar ke istriku kalau aku sudah berada di hotel. Tak lama kemudian ponselku bergetar, menandakan ada pesan baru yang masuk.

Wah ngga begitu jauh donk dari hotel Gue. Gue di hotel Y. Elo udah acara belum malam ini? Kalo belum, temenin Gue makan yuk? Laper nih

 Bunyi pesan dari Mbak Farah. Aku cukup bingung juga menjawab pesan dari Mbak Farah. Karena sejujurnya aku merencanakan untuk istirahat aja di kamar hotel malam ini, mempersiapkan energi untuk kegiatan besok. Yapi tidak enak juga menolak ajakan kakak iparku. Ya sudahlah iyakan aja, toh jarang juga aku bisa ketemu berdua gini dengan Mbak Farah.

Boleh Mbak. Mau di mana makannya? Tapi traktir Gue yaa? Hehehe

Bunyi pesan balasanku ke Mbak Farah.

Traktir mah gampang. Di Ice Cream Z aja. Gue lagi pengen es krim. Jam delapan ya? Gue langsung tunggu di sana

Tulis pesannya.

Ok Mbak

Balasku singkat. Aku pun bangkit dari tempat tidur menuju kamar mandi, untuk segera membersihkan diri, karena waktuku tidak lebih dari dua puluh menit untuk datang ke lokasi yang ditentukan.

***

Setibanya di Ice Cream Z, terlihat dari jauh Mbak Farah melampaikan tangannya sambil berdiri, memberi isyarat kepadaku untuk menuju ke tempatnya. Dia memakai pakain casual, rok ketat warna krem selutut yang membuat pinggul dan bongkahan pantatnya semakin jelas terlihat, dipadu dengan kaos ketat warna hitam dengan kerah V, sehingga terlihat belahan payudaranya yang kira-kira berukuran 34C.

Mbak Farah ini memang cantik, tapi memang bukan tipeku. Dengan rambut sebahu, kulit kecoklatan. Wajahnya mirip dengan istriku, Risa. Tapi yang ini versi kulit lebih gelap, postur lebih pendek, payudara yang lebih besar tentunya. Payudara besar milik Mbak Farah ini sudah terlihat sejak dia SMP, ini salah satu daya tarik dirinya.

Banyak teman-temanku dulu yang bersaing berusaha mendapatkannya. Dia pernah menjadi presenter kemudian menjadi pembawa berita di salah satu tv nasional kepunyaan taipan negeri ini. Aku sudah mengenalnya sejak kecil, termasuk Risa, istriku. Rumah orang tuaku dulu dan rumah mertuaku masih satu perumahan dan masih dalam satu RW tetapi beda RT.

Mbak Farah menikah dengan salah satu sahabatku, Hari. Hari merupakan sahabatku sejak kecil. Umurku dengan Hari selisih satu tahun di bawahku. Sedangkan dengan Mbak Farah selisihnya denganku hanya tiga tahun lebih muda. Aku memanggilnya Mbak, sebagai penghormatanku karena aku menikahi adiknya.

Rumahku dengan rumah Hari hanya terpaut dua rumah. Banyak kenakalan-kenakalan masa anak-anak dan remaja kami lakukan bersama. Mulai dari bermain petasan, mencuri mangga milik tetangga, bermain kartu, bahkan minum minuman beralkohol.

Saat ini Mbak Farah dan Hari sudah diberi dua orang anak yang masing-masing berumur lima dan tiga tahun, dan tinggal di rumah sendiri sekitar lima belas kilometer dari rumahku saat ini.

Mbak Farah mengambil tempat di sudut kanan bagian luar teras bangunan. Malam ini Ice Cream Z tidak terlalu ramai, masih terlihat beberapa meja yang masih kosong. Sehingga dari tempat kami berada ke tempat pengunjung lainnya masih terpisahkan satu meja lagi.

“Udah dari tadi Mbak?” Sapaku duluan.

“Ngga kok, paling sepuluh menitan lah” jawabnya.

“Elo mau pesen apa? Gue udah pesen duluan tadi. Udah kelaperan soalnya hehehe…” lanjutnya. Kemudian dia pun memberikan isyarat ke arah pelayan untuk meminta menu.

Setelah melihat-lihat menu, aku memutuskan memesan pizza dan es krim strowberi, dan meminta supaya pesananku tidak terlalu lama datangnya, karena perutku juga sudah cukup lapar.

“Kok sendirian aja Mbak? Orang kantor yang lain ngga ikut?” tanyaku.

“Iya nih, harusnya sih sama boss Gue. Tapi boss Guenya mendadak ada acara lain hari ini, jadi baru bisa ke sini besok pagi. Nah Elo sendiri kok ngga ada yang nemenin?” tanyanya balik kepadaku.

“Ooo gitu. Kalo Gue emang kemana-mana jarang ngajak temen. Biar lebih leluasa dan bebas mau ngapain aja hehehe…” jawabku.

“Hayooo bebas ngapain emangnya nih? Gue bilangin Risa ya!” sahutnya.

“Yaa bebas, kan udah gede ini hehehe”, jawabku sambil nyengir. Tiba-tiba ponsel di kantong kanan celanaku bergetar. Aku keluarkan dari kantong, dan terlihat nama istriku muncul di ponselku.

“Wah panjang umur nih, baru juga diomongin.” sahutku ke Mbak Farah, sambil ku geser layar sentuh ponsel untuk menerima telepon dari istriku.

“Mana sini biar Gue yang jawab!” tiba-tiba Mbak Farah menyahut sambil tangannya meraih ponselku kemudian didekatkan ke telinganya.

“Halo, laki lo Gue pinjem dulu ya.” itu kalimat pertama yang terucap dari bibir Mbak Farah. Selanjutnya aku tak mengerti lagi apa yang sedang mereka bicarakan di telepon. Satu dua kali, namaku disebut dalam obrolannya.

Sambil menunggu Mbak Farah teleponan dengan istriku dan pesanan makanan datang, aku ambil ponselku yang satu lagi dari kantong kiri celanaku. Kubuka aplikasi permainan favoritku, yaitu permainan kartu capsa susun. Tidak lama kemudian pesanan Mbak Farah datang disusul dengan pesananku.

“Nih, udah.” tiba-tiba Mbak Farah menyodorkan ponselku kepadaku. Langsung kuraih ponselku dan mendekatkannya ke telinga kiriku.

“Halo, halo, lah udah dimatiin handphonenya?” sahutku.

“Hehehe iya.” jawabnya tanpa berdosa.

“Trus ngapain dong Risa telepon kalo ngga ngobrol ama Gue?! Hadeeuuhh!” sahutku.

“Udaah, gampang nelpon mah. Makan dulu. Udah laper Gue!”, ucap Mbak Farah.

Kemudian aku kembali memasukkan kedua ponselku ke kantong celanaku, setelah sebelumnya aku keluar dari aplikasi permainan capsa susun di ponselku yang satunya. Kami pun mulai memakan makanan yang kami pesan. Di sela-sela aktifitas kami makan, kami mengobrol ngalor ngidul tentang perkembangan dinamika kantor kami masing-masing, dan juga tentang berita-berita terhangat yang sedang trend saat ini. Sambil mengobrol, sesekali aku curi-curi pandang ke arah bongkahan padat yang menyembul dari bajunya, yang terlihat jelas sedikit belahan payudaranya, sehingga sedikit banyak membuat diriku ingin meremasnya dan menghisap payudaranya.

“Elo abis ini mau kemana?” tanya Mbak Farah tiba-tiba membuyarkan pikiran kotorku.

“Ngga kemana-mana Mbak, paling langsung ke hotel.” jawabku.

“Lanjutin ngobrol di hotel Gue aja yuk? Di sini banyak nyamuk nih.” sahut Mbak Farah disertai tepukan tangan kirinya ke kakinya.

“Ngga jauh kok hotelnya, sekitar 200 meteran lah. Kita jalan kaki aja.”’ lanjutnya lagi.

“Mm.. bolehlah. Ngga jauh kan? lagi lemes nih Gue!” sahutku.

“Kaya abis ngapain aja Lo lemes hehehe…” tanggapnya disertai senyum yang penuh arti.

“Bentar Gue bayar dulu.” sahutnya disertai lambaian tangan ke pelayan untuk meminta tagihan makanan yang telah kami makan.

Tidak lama kemudian, pelayan membawakan tagihan dan disodorkannya tagihan itu ke Mbak Farah. Sebelum Mbak Farah sempat mengambil tagihan itu, aku langsung menyambar mengambilnya dari tangan pelayan. Karena bagiku, pantangan untuk dibayarin makan oleh wanita, walaupun wanita itu sudah berjanji akan menraktirku.

“Udaah santai aja Mbak, kan sekali-sekali ini bayarin Mbak hehehe…” sahutku.

“Duh jadi Gue yang ngga enak nih. Tau gitu Gue cari tempat makan yang mahalan hehehe…” sahut Mbak Farah.

“Nah justru itu, Gue cuma mampunya bayarin yang di sini.” jawabku sambil nyengir kuda. Aku pun mengambil tiga lembar uang limah puluh ribuan dari dompetku dan menyerahkannya kepada pelayan.

 “Nih Mas, nanti ambil aja kembaliannya.” kataku kepada pelayan.

“Terima kasih Pak.” jawab pelayan itu.

“Yuk Mbak!” ajakku ke Mbak Farah, aku bangkit dari dudukku. Kami pun melangkah keluar Kedai Ice Cream Z.



Posting Komentar

0 Komentar