SIN CITY
SINOPSIS:
Jujur,
sebenarnya aku masih mencintai Kota ini. Sangat sangat mencintai! Bagaimana
tidak? Dari semenjak aku lahir, hingga tumbuh dewasa menjadi wanita matang
berusia dua puluh enam seperti sekarang, aku selalu tinggal di kota tersebut.
Sekolah, kuliah, bekerja, pahit dan manis kehidupan, semua kuterehkan di kota
ini. Darah dan jiwaku seakan telah menyatu dengan kota kesayanganku itu. Tak
ada alasan bagiku untuk membenci dan pindah meninggalkan kota ini! Tidak ada!
Kecuali,
hingga tiba di hari ini dimana aku berusaha untuk tak menangis di dalam
mobilku. Semua ini salahku. Bagai seorang perempuan yang telah membuat aib di
sebuah desa, ia harus pergi. Pergi, dan hilang seperti angin. Maafkan aku,
semuanya. Maaf, maaf, maaf!
Oh, God, ingin
rasanya aku bunuh diri kala akhirnya aku terima kenyataan jika kota ini sudah
tidak mencintaiku lagi. Aku merasa sudah tak dikehendaki lagi di kota ini.
Maksudku, lingkunganku, teman-temanku, tetanggaku, bahkan Keluargaku. Yah,
semua. Semua menganggapku perempuan hina yang tak pantas lagi untuk dijadikan
relasi. Alasannya? Uhmm, bisakah kita membicarakannya nanti? Yang jelas, karena
semua itu pulalah diriku kini dengan berat hati mengemudikan Toyota CRV hitamku jauh menuju ke arah utara, ke Ibu
Kota Negara, Metropole.
Aku ingin,
maaf, ralat, aku TERPAKSA harus menjalani hidup serta lembaran baru di tempat
lain demi kesehatan plus kewarasan jiwaku. Aku khawatir menjadi gila menghadapi
hari-hariku di Conigli City, dimana semua orang mengutukku di belakang dan
menatapku jijik layaknya diriku seorang pelacur! Lebay? Oh, ayolah, meski
mereka semua tetap tersenyum, aku tau kok, arti sorotan mata mereka yang
mengejek, yang melihatku seperti barang rendahan!
Dan, hujan pun
mulai turun. Aku menurukan laju kendaraan kemudian menyalakan wiper.
Kupandangi dengan penuh nostalgia sepanjang jarak pandang jalan dihadapan
mataku. Hari masih pagi, pukul 07.33. Waktu yang tidak biasa, bukan, untuk
gemericik air turun dari langit? Ah, apakah Conigli City menangisi kepergianku?
Sebab, pasti, hatiku pun menangis meninggalkan kota yang amat kucintai itu.
Oh ya, anyway,
gerbang tol Metropole masih sekitar 50 kilometer lagi. Aku mengganti suara
radio yang bercerocos tak jelas dengan sederetan playlist lagu City Pop Maria
Takeuchi dari flashdisk-ku yang terpasang. Supaya aku gak ngantuk, ijinkan aku
bercerita panjang mengenai diriku beserta kehidupanku yang berakhir tak
menyenangkan. Tak seindah harapan.
Namaku, Cathy
Amalia Sofianti. Biasa dipanggil Cass, namun lebih banyak orang memanggil Cathy
saja. Walau usiaku kini sudah menginjak 26 tahun, aku sering disangka masih
anak kuliahan. Tak aneh, sebab wajahku memang dikaruniai tekstur yang cukup
awet muda, huhu. Tapi ironisnya, kelakuanku malah bandel dan ‘cepet tua’. Maksudku,
bukan ngebanggain sih, nyesel malah, kalau faktanya aku sudah mengenal seks dan
kehilangan keperawananku dari sejak kelas dua SMP.
Ewww, seks?
Haruskah aku langsung menceritakan seks secepat itu? Ya, penting! Kalian
penting untuk mengetahui hal tersebut, karena dari situlah awalnya segala
kerusakan diri serta moralku dimulai. Dari sejak itulah aku tumbuh menjadi
gadis nakal nan ceria yang tak risih digoda lelaki!
Semua dimulai
dari SMP, gara-gara guru olah raga gantengku yang mencabuliku serta
memanfaatkan kepolosanku yang serba ingin tahu. Semenjak kegadisanku
direnggutnya kala itu, aku jadi ‘gila’ dan ketagihan seks. Maka, jika di SMU
atau lingkungan kampus tempat kuliahku selanjutnya aku dikenal sebagai si ‘Bitchy’,
si ‘Slutty’, atau cewek mesum yang ‘bisa diajak’, kalian tahu siapa
Iblis penjerumus kesucianku. Mind that. Aku tidak jadi binal seperti ini
begitu saja.
Liar, party,
party, dan party, itulah corak warna warni kehidupanku dari remaja hingga
dewasa muda umur dua puluhan. Aku sering dikelilingi laki-laki, dan tentu saja
niat mereka mendekatiku tidak hanya sekedar berteman. Yeah, aku tahu mereka
menginginkan tubuhku. Aku pun begitu, senang untuk bertualang serta mencicipi
tiap rasa sentuhan dan pelukan pria-pria tampan yang beruntung kupilih diajak
tidur. Hidupku terus berlangsung seperti itu, hingga aku merasa agak monoton
dan menginginkan suasana baru. Aku ingin berhenti dan bertobat. Aku ingin
mencoba untuk hidup serius dan normal seperti wanita-wanita bahagia lainnya,
yang menikah dan mempunyai anak.
Menikah? Yeah,
itulah keputusan besar yang kuambil tepat di usia 22 tak lama setelah aku lulus
dan bekerja. Adalah seorang pria bernama Farhan yang meminangku dan mengajaku
ke pelaminan. Aku pun bersedia karena aku memang mencintai Farhan dan
menginginkannya sepenuh hati. Meski dia bukan dari keluarga kaya, aku terpesona
oleh sifatnya yang setia, pekerja keras dan gigih untuk membahagiakanku.
Tipikal lelaki baik yang jauh dari sifatku.
Memasuki
jenjang pernikahan, tentu aku berusaha menjadi istri yang baik, wanita yang baik.
Party, dugem, bersenang-senang bersama teman, semua mampu aku hentikan. Namun
entah mengapa, ada satu yang amat sulit kutanggulangi. Yaitu, libido seksual
tinggi serta hasrat kebetinaan liarku. Inilah awal dari bencana. Satu tahun,
yeah, seriously, hanya satu tahun setelah Farhan menikahiku, akhirnya aku
tersadar bahwa aku belum mampu mengemban tanggung jawab sebagai seorang istri. Aku
melakukan kesalahan yang amat fatal. Kesalahan yang bisa aku mengerti kalau
Farhan tidak mau mengampuni.
Di suatu malam,
aku khilaf membawa teman kuliahku dulu yang sering meniduriku serta memuaskan
tubuhku ke dalam rumah. Kami bercinta tanpa malu di ruang tengah di atas sofa
TV tempat aku dan Farhan sering bercengkerama. Farhan, yang entah mengapa mungkin
aibku sedang dibongkar oleh Tuhan, hari itu pulang cepat, memergokiku dengan
mata kepalanya sendiri di sana. Aku telanjang, mengangkang, ditindihi serta
digagahi liang kemaluanku oleh teman lamaku tersebut di depan Farhan. Jelas,
suamiku itu sontak mengamuk. Dia menghajar temanku habis-habisan. Aku hanya
bisa menangis dan bersimpuh memeluk kaki suamiku. Farhan bisu terdiam. Dia tak
berkata sepatah pun kata lalu pergi meninggalkanku dalam lumuran keringat zina.
Hari terus
berlanjut, diliputi kesunyian beku yang dingin bagai badai es. Semenjak
kejadian itu, kami mencoba bertahan, tapi suasana rumah menjadi ringkih. Farhan
jadi hemat berbicara padaku. Dia jarang menyentuhku lagi. Padahal, kami belum
dikaruniai anak dan aku sangat menginginkan Farhan menghamiliku. Akhirnya, keadaan
pun memaksa kami untuk menyerah. Farhan memutuskan cerai. Aku hanya bisa
tertunduk malu dan menyesali perbuatanku. Resmi, kami berpisah setelah hanya
satu tahun menjalani bahtera pernikahan.
Sungguh, ini
terasa berat buatku, karena percayalahaku masih sangat mencintai Farhan dan
merasa bersalah. Aku menjadi janda di usia 23 akibat catatan buruk kenakalanku
sendiri. Selanjutnya? Bisa ditebak. Gosip serta kabar panas pun menyebar secara
ganas di Conigli City. Jangankan orang-orang yang memang benci sejak dulu,
bahkan teman-teman atau keluargaku sendiri seperti menjaga jarak denganku.
Yeah, aku tak bisa menyalahkan mereka juga, sih. Memang berat berada di depanku
dan membelaku perihal perkara perzinahanku ini. Dan, akibatnya…
Ya, di sinilah
aku sekarang, di tengah perjalananku menuju kehidupan baru di Ibukota. Oke,
cukup sampai di situ dulu. Aku melihat jam tangan dan mempercepat laju
kendaraan. Hujan tampaknya sudah mulai reda. Hari ini, jadwalku bakal sibuk.
Aku harus mendatangi sahabat kuliah lamaku di lokasi gedung yang bakal menjadi
tempat kerja baruku. Aku berhutang budi padanya, karena dialah yang telah
berjasa memasukan aku ke sana. Well, sebelum itu, aku harus mengunjungi
kamar apartemen baruku dahulu, untuk menaruh barang-barang serta mandi. Yosh! Ganbatte!
Posting Komentar
0 Komentar