GAIRAH TERLARANG

 


GENRE : DRAMA EROTIC

JUMLAH HALAMAN : 684 HALAMAN

HARGA : Rp 60.000


PART 1

Namaku Johan Irawan, saat ini Aku sedang duduk di sebuah bus yang melaju melintasi pinggiran kota Jakarta. Beberapa waktu lalu, tanggal 7 Desember, lima bulan setelah ulang tahun kedelapan belasku, aku dapat panggilan wawancara beasiswa di salah satu kampus terkenal di sini. Di terminal nanti aku bakal dijemput oleh sepupuku Maysa. Aku punya alamatnya, tetapi tahu sendiri kan kejamnya ibukota, jadi May, panggilan akrabnya, menawarkan untuk menjemputku.

Aku senang diijinkan numpang di apartemen Maysa, kalau tidak aku harus cari hotel buat menginap. Awalnya aku bakal ambil pilihan kedua, tapi minggu lalu pas aku bilang ke Ibu aku ada wawancara di Jakarta, dia teringat dengan Maysa dan menyarankan untuk telpon Maysa menanyakan apakah aku boleh numpang di apartemennya.

Maysa dua tahun lebih tua dariku, dan lebih dari enam tahun dia tinggal di rumah kami seperti kakak kandungku. Om Bambang, Ayahnya Maysa adalah kakak ibuku. Dia adalah seorang marketing dengan level tingkat tinggi di kantornya yang setelah dia menikah dan Maysa berumur satu tahun dipindah tugaskan ke Bali.

Ketika Maysa berusia enam tahun, Tante Joice, ibunya Maysa pergi berlayar dengan seorang teman dan baik mereka maupun kapalnya ga pernah ditemukan. Akhirnya, bertahun-tahun kemudian, dia dinyatakan meninggal. Om Bambang bilang dia ngga bisa kerja sambil ngurus anak, karena itulah Maysa tinggal enam tahun bersama kami. Dia berusia dua belas tahun ketika Om Bambang menikah untuk kedua kalinya, dengan seorang wanita yang baru berusia dua puluhan, dan tiba-tiba Maysa harus berpisah dengan kami.

Setelah Maysa kembali ke ayahnya, aku ngga tahu apakah kami bakal ketemu lagi. Ibuku dan Om Bambang ngga terlalu akur, tetapi entah bagaimana semuanya berjalan lancar dan aku bisa bertemu Maysa setahun sekali. Selama musim liburan sekolah, keluargaku mengunjungi rumah Maysa di Bali tentu dibiayai oleh Om Bambang. Om Bambang cukup kaya dan tinggal di sebuah rumah besar di tepi Danau Batur. Di belakang bangunan utama ada sebuah pondok kecil semacam bungalow. Dua minggu pertama liburan sekolah, pondok itu selalu kami tempati. Ibu selalu ikut dengan kami, biasanya Ayah juga kalau dia bisa dapat cuti.

Hatiku selalu bergetar saat aku melihat Maysa disekitaku. Setiap tahun dia tumbuh, makin cantik. Tiap tahun kami malu-malu saat ketemu, dan setiap tahun pula kami berakhir dengan air mata saat harus berpisah.

Selama masa remajanya dia akan menulis surat cinta yang ingin dia kirim sehingga aku bisa membacanya dan berkomentar sebelum dia mengirimnya. Selama beberapa tahun, surat-surat konyol itu akan tiba dengan amplop balasan dan sudah menjadi tugasku untuk membuat komentar dan mengirimkannya kembali. Ketika Maysa mencapai usia lima belas tahun, surat-surat berhenti tiba-tiba seperti ketika mereka mulai.

Dua tahun yang lalu dia meninggalkan rumahnya di Bali dan kuliah di Jakarta jurusan Seni dan, yang sekarang juga ingin aku lakukan. Segera setelah dia kuliah di Jakarta, dan tepat setelah Ayahku meninggal, surat-surat mulai berdatangan lagi menceritakan tentang kuliahnya dan teman-teman yang dia temui.

Liburan kami ke Bali masih berlanjut, tetapi Maysa jarang ada di sana sekarang. Hanya sekali, dua tahun lalu, dia pulang, itupun cuma dua hari. Kami melakukan hal yang sama seperti biasa, tetapi bagiku rasanya beda. Dia sudah mandiri, tumbuh dewasa, dan aku merasakan jarak di antara kami.

Karena itulah aku malas menelponnya, tetapi suatu saat Ibuku sudah habis kesabaran dan menelepon Maysa, dia tahu aku ngga bakalan mau telpon Maysa. Ibu ngobrol paling ngga sepuluh menit, tertawa lalu dia berkata,

"Tunggu May, Johan mau minta tolong." dan memberikan telepon kepadaku.

"Hai May." kataku. Kami sudah terbiasa memanggil nama saja sejak kecil.

"Hai Jo, senang dengar suaramu. Sudah lama banget kita ngga ketemu!”

"Iya…" kataku.

“Ada yang mau aku tanyain. Aku mau ke Jakarta Jumat depan untuk wawancara beasiswa, kalau boleh aku mau numpang di tempatmu. Tapi kalau misalnya ngga bisa ngga papa, aku bisa cari…"

"Jo, itu bakal seru!" dia menyelaku.

"Aku benaran senang deh. Seni rupa? Mengikuti jejakku kalau gitu?"

"Ya, tapi pasti ngga sejago kamu, tapi minatnya ke jurusan itu sih." Kami ngobrol sebentar dan Maysa berjanji akan jemput di terminal dan mengantar aku keliling kota. Aku menutup telepon diiringi tatapan Ibuku.

"Jadi?" Tanya Ibu.

"Dia bilang sebaiknya aku nginep di apartemennya sekalian sampai Minggu, biar bisa ngobrol lama. Gimana menurut Ibu? Aku akan minta ijin ke Mas Jarwo Kamis sore dan Jumat libur lalu kembali lagi hari Minggu." Ibu sempat berpikir sebentar, tapi aku tahu dia bakal setuju, dan dia mengangguk sambil tersenyum.

"Makasih Bu. Aku tahu kalau aku kuliah di sana aku harus ninggalin Ibu dan Nadia, tapi aku pingin banget bisa kuliah."

"Ibu tahu kamu pingin banget kuliah, Johan. Nanti kita pikirkan lagi gimana baiknya. Ibu sudah berhasil sebelumnya, pas ayahmu meninggal, dan Ibu bisa menyesuaikan diri. Ibu ngga ingin kamu tinggal di sini hanya buat jagain kami. Kamu harus mengejar mimpimu."

Kami tinggal di rumah kecil peninggalan Ayah di pinggiran Kabupaten Purworejo. Tapi aku harus bilang sebenarnya dia bukan ayah kandungku. Ibu hamil saat SMA dan drop out untuk menikah pada usia 16 tahun. Dia baru berusia 17 tiga bulan waktu aku lahir. Pada saat Ibu berusia dua puluh tahun ayah kandungku meninggalkannya dan dia membesarkan aku sendirian selama dua tahun. Pria yang lalu aku panggil Ayah bertemu dan menikahinya ketika dia berusia dua puluh tiga. Meskipun aku masih muda, aku bisa merasakan Ayah tiriku sangat menyayangi kami.

Sampai kemudian seorang pengemudi mabuk menerobos lampu merah dan menabrak tepat di pintu mobil Ayah. Dia dinyatakan meninggal di tempat kejadian dan pada usia lima belas tahun aku berdiri di tengah hujan di pemakamannya, memegang tangan adik perempuanku, putri kandung ayah. Klaim asuransi tidak besar dan Ibu menggunakan sebagian besar uangnya untuk mengamankan cicilan rumah dan biaya sekolah kami sambil bekerja serabutan.

Aku menyelesaikan SMA dan kami duduk dan membahas masa depanku. Aku suka melukis dan menggambar dan aku ingin mengikuti sepupuku Maysa yang kuliah Seni di Jakarta dan sekarang sudah di tahun ketiganya. Kami duduk hingga larut malam, dan mendiskusikan apakah aku harus kuliah atau tidak.

Meskipun ingin melanjutkan studi, aku ngga ingin meninggalkan Ibu dan Nadia sendiri di sini. Sebaliknya, Ibu ngga mau menahanku. Akhirnya aku memutuskan untuk menunda kuliah satu tahun. Aku kerja membantu Mas Jarwo seorang kontraktor tetanggaku. Dia selalu kekurangan karyawan dan langsung menerimaku bekerja saat tahu aku butuh pekerjaan. Aku sudah membaca tentang berbagai perguruan tinggi, tetapi yang ingin aku tuju adalah ke Jakarta, sama seperti Maysa dan utamanya karena aku bisa dapat beasiswa penuh di sana.

Dan akhirnya aku ada di sini, lima menit dari terminal tujuan bus. Sedikit gugup menghadapi interview beasiswa nanti, tetapi juga karena akan bertemu Maysa lagi.

Aku sedikit naksir Maysa sejak masa remajaku, tapi untungnya dia sepertinya ngga pernah menyadarinya. Ketika dia tumbuh dan berkembang, aku sering tanpa sadar memperhatikan bentuk tubuhnya yang mulai tumbuh. Dia pasti tahu aku melakukan itu, tetapi dia ngga pernah mengatakan apa pun apalagi marah. Ketika aku dewasa aku secara sadar berusaha untuk berhenti, tetapi pada saat yang sama Maysa berkembang menjadi wanita dewasa dan makin hari makin cantik dan menarik.

Maysa bertinggi badan 164 cm, hanya beberapa senti lebih pendek dariku. Bertubuh langsing dengan pinggang ramping. Tapi, yang paling menarik perhatian adalah dadanya. Ngga terlalu besar tetapi benar-benar terlihat bulat, kencang dan padat. Bus tiba di terminal dan aku mengambil koper lamaku. Aku mengikuti antrian di bus dan melangkah keluar dan melihat sekeliling.

"Johan!" aku berbalik untuk melihat Maysa melambai padaku.

Rambutnya lebih panjang dari yang terakhir kulihat. Dia berlari menyeberang dan langsung memelukku. Wow, dadanya langsung terasa menekan dadaku, terasa jelas bahkan melalui jaket yang kupakai. Maysa meletakkan tangannya di pundakku dan melangkah mundur, menatapku dari kepala sampai kekaki.

"Ya ampun, sejak kapan kamu jadi kekar gini?" Aku tersenyum dan mengangkat bahu. Maysa menggelengkan kepalanya,

"Wah bakal banyak yang naksir nih di kampus nanti." Dia mengandeng tanganku dan menarikku kearah pintu keluar

"Ayo, kamu pasti capek kan?"

***

Kamar Maysa berada di lantai empat sebuah komplek Apartemen dan cukup mewah. Dia membuka pintu dan membawaku masuk.

"Istanaku!" katanya. Ruang tamu cukup kecil, dan di bagian tengah terdapat sofa besar.

"Maaf ya kayaknya kamu harus tidur di sofa." Kata Maysa.

"Ngga papa kok, sofa ini keliatan lebih nyaman dari kasurku di rumah." kataku.

Area dapur kecil terselip di salah satu sudut dengan jendela besar yang menghadap ke taman. Di sudut lain dinding jauh ruang tamu adalah meja kecil dengan sebuah komputer diatasnya. Di depan meja berdiri sebuah tripod dengan kamera SLR terpasang di atasnya.

"Boleh lihat?" Aku bertanya.

"Tentu," Maysa mengangguk. "Kamu ngerti kamera?"

"Sedikit, tapi ngga pernah punya type ini." Aku melepasnya dari tripod dan menyalakannya.

Aku berbalik dan fokus pada Maysa di mana dia membuat kopi di dapur. Aku mengubah kamera menjadi vertikal dan diperbesar sehingga hanya kepala dan bahunya yang memenuhi bingkai.

"Mau difoto, nona?" Maysa hanya tersenyum dan saat aku menekan tombol dia tertawa,

"Hei, kirain cuma main-main!" Aku melihat hasil fotonya. Lumayan, untuk pertama kali pakai kamera ini.

"Sangat bagus!" kataku.

"Itu kamera pinjaman dari kampus, aku boleh pinjam selama yang aku mau. Kita kan ngga selalu bisa duduk berjam-jam pas harus membuat gambar. Jadi aku ambil foto suatu objek terus nanti baru disalin jadi sketsa." Maysa menunjuk ke jendela gelap apartemennya.

"Taman di luar sana bagus." katanya.

"Kamu akan bisa melihatnya di pagi hari. Itu alasan aku memilih tempat ini. Kecil tapi pemandangannya luar biasa." Di seberang area dapur ada dua pintu yang menutupi setengah dinding. Maysa menunjuk ke pintu yang lebih jauh,

"Kamarku," katanya, lalu yang lain,

"Kamar mandi, tapi kuncinya rusak”

"Bagus," kataku. Maysa tertawa,

"Tapi kan ngga ada orang lain di sini."

"Kecuali aku." Dia memelukku dan tertawa,

 "Kamu sepupu favoritku, Jo!" katanya. "Kamu bukan orang lain." dan dia tertawa lagi.

Aku meletakkan tas kecilku di samping sofa dan duduk, melepas sepatu ketsku lalu berbaring. Sofa ini terasa nyaman dan luas. Panjangnya pasti dua meter lebih, cukup mencolok di ruang tamu kecil itu. Aku melipat kakiku agar Maysa bisa duduk di ujung

"Kamu pasti masih capek, jadi malam ini kita ngga usah kemana-mana ya? Aku akan masak dan kamu bisa istirahat lebih awal. Supaya besok keliatan segar saat interview. Pasti seru kalau kamu diterima di sini, kita bisa tinggal bareng lagi."

"Aku sempat lihat kampus lain, tetapi di sini pilihan pertamaku. Bagus kan kampus disini?"

"Bagus banget. Kayaknya salah satu yang terbaik di Indonesia."

“Tapi kuliahmu sudah hampir selesai kan? Kita tetap jarang ketemuan deh.”

"Aku berencana untuk lanjut S2, dan ditawari jadi asisten dosen, jadi aku akan tetap di sini buat ngawasin kamu, biar ngga bikin ulah."

Malam itu kami hanya makan spageti instan, tapi karena lapar rasanya jadi luar biasa enak. Tak berapa lama setelah kami selesai makan, telepon Maysa berbunyi. Maysa bangkit dan pergi ke telepon dan membawanya kembali ke meja dapur. Aku cuma bisa mendengar obrolan dari pihaknya.

"Feb, Hai ... ya, dia di sini sekarang ..." Maysa mendengarkan dan kemudian tertawa,

"Ya, dia ... Ga, ga malam ini, kita akan mengejar ... Ya, dia akan berada di sini besok ... lihat besok deh... ga ... mungkin ... oke, bye. " Maysa meletakkan telepon di atas meja dan kembali duduk di sofa.

"Teman?" Aku bertanya.

"Ya."

"Kamu ngga perlu batalin janji karena aku di sini." kataku.

"Itu ngga masalah," katanya. "Selain itu, aku ingin ngobrol sama kamu. Kita sudah lama ngga ketemu kan?"

"Aku ngga ingin mengganggu."

"Ngga kok."

"Kapan kamu janjian sama temanmu? Malam ini? Besok?" Aku bertanya.

"Bukan janjian sih, Febi cuma ngajak jalan aja. Bukan sesuatu yang penting kok.”

"Aku capek malam ini," kataku, "Tapi kalau besok sih ngga masalah, itu kalau boleh ikut." Maysa tertawa.

"Aku ngga yakin kamu suka tempatnya Jo, tapi kita lihat lagi besok deh."

"Oh…oke…" kataku, kayaknya aku lancang karena mau ikut. Maysa mungkin ingin jalan sama teman-temannya, tanpa harus bawa sepupunya yang dari kampung. Ngga keren. Aku ngerasa Maysa sedikit jengkel dari getaran suaranya. Beberapa menit berlalu, lalu Maysa menghela nafas dan meletakkan tangannya di atas tanganku.

"Maaf, aku ngga bermaksud bikin kamu merasa bersalah."

"Ngga papa kok," kataku. Dia menarik napas dalam-dalam dan menatapku. "

Bukan gitu, Jo. Aku cuma ngga mau kamu mengira..." Dia ragu-ragu, menunggu lama, lalu berkata,

"Kamu tahu aku lesbian, kan?"

"Hah…???"

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

PART 2

"Kupikir kamu tahu." katanya. Aku menggelengkan kepala antara kaget dan ngga percaya.

"Aku mau ajak kamu ketemu temenku besok, tapi kamu mungkin ga cocok sama tempat kami janjian. Kamu cowok normal, kan?" Aku mengangguk.

"Jo, mukamu merah!" Maysa menyeringai.

"Yah ... cuma ... kita belum pernah ngobrol soal ini sebelumnya, kan? Kaget aja tadi." Maysa mengulurkan tangan dan meremas tanganku lagi.

 "Aku sayang kamu Jo, bukan ke arah situ sih. Tetapi kalau suatu saat aku tiba-tiba bisa suka cowo, kamu yang pertama akan aku hubungi, oke?" Aku ga bisa bilang apa-apa, dan Maysa tertawa ngakak,

"Kalau mukamu lebih merah lagi, pasti bakal meledak tuh!" Maysa berdiri dan mulai membersihkan piring.

"Ayo, bantu aku nyuci piring, abis itu kita nyantai sambil cerita-cerita lagi."

Kami duduk di ujung sofa yang besar dengan kaki kami terulur ke satu sama lain tumpang tindih. Itu cara kami duduk ketika masih anak-anak, ketika Maysa masih tinggal bareng kami di Purworejo. Rasanya benar-benar nyaman, dan menenangkan.

"Sekarang, aku mau melihat contoh gambar yang kamu bawa untuk besok." Kata Maysa.

“Harus ya? Aku ngga yakin hasilnya bagus."

"Tapi kamu sudah bawa kan?"

"Bawa sih."

"Sini aku lihat, cuz!"

Aku memutar badan dan meraih tas koperku, membungkuk di atas lengan sofa, membuka ritsletingnya dan mengeluarkan sebuah map kecil yang berisi contoh gambarku. Aku berbalik dan dengan ragu menyerahkannya ke Maysa. Dia melepas ikatannya dan membuka tiap halaman satu persatu, meMayingkan kepala ke satu sisi dan mulai membolak-balik gambarku. Dia, berhenti di beberapa gambar dan butuh waktu lebih lama sebelum melanjutkan ke gambar lain. Aku duduk diam, menunggu. Akhirnya dia menutup map itu dan mengikatnya lagi.

"Apa aku bakal diketawain di kampus?" Tanyaku. Maysa menggelengkan kepalanya.

"Bagus kok. Sebagian masih polos, tapi itu menunjukkan kamu kurang pengalaman, tetapi kelihatannya kamu punya bakat dan itu yang penting."

"Kamu serius, May?" Dia mengangguk.

"Kamu pasti bisa." Aku tersenyum.

"Semoga. Aku jadi makin pingin kuliah disini sekarang." Maysa tersenyum,

 "Aku juga, Jo." Lalu dia menambahkan,

"Kamu tadi bawa banyak sketsa wajah, lengan, kaki, tangan yang biasa. Tetapi ngga ada satupun yang satu badan utuh. Sudah pernah menggambar hidup? Menggambar langsung model manusia di depan kelas gitu?"

"Mana ada yang kayak gitu di Purworejo?" Aku tertawa.

"Menggambar hidup itu favoritku. Aku suka menggambar orang." Kata Maysa lalu terdiam sebentar,

"Kau sudah delapan belas tahun sekarang, kan? " tambahnya. Aku mengangguk.

"Besok kamu boleh ikut aku kalau kamu mau."

"Terima kasih," kataku. Maysa tertawa,

"Terima kasih besok aja, setelah kamu tau kita kemana." Kami ngobrol sampai aku mulai menguap. Maysa memperhatikan dan kemudian menepuk kakiku.

"Tidur sana, kamu udah cape keliatannya." Aku mengangguk,

"Aku sudah ngantuk banget." kataku.

"Ya udah kamu pake kamar mandi duluan.” katanya,

"Aku mau ganti baju dulu di kamar."

Aku sikat gigi dan mencuci muka. Maysa masih di kamarnya, tetapi sudah meletakkan bantal dan selimut di sofa, jadi aku melepas baju dan celana jinsku dan tidur cuma pakai celana pendek. Aku baru saja mulai memejamkan mata saat Maysa berjalan keluar dari kamarnya ke kamar mandi. Dia sudah ganti baju dan cuma pakai tanktop putih kecil dan hotpants biru, seksi banget. Maysa sadar aku ngeliatin dia dan aku langsung pura-pura lihat ke arah lain. Dia ketawa,

 "Ngga apa-apa Jo, liatin aja kalau mau. Aku ngga keberatan kok." Lalu dia menambahkan.

"Aku ngga pernah merasa keberatan dari dulu." Dia tahu aku suka ngeliatin dia dari jauh tiap liburan di Bali. Aku tahu mukaku pasti sudah merah lagi.

Maysa masuk ke kamar mandi dan aku mendengar gemericik air. Dia keluar lalu mematikan lampu utama, menyisakan cahaya redup dari kamarnya. Dia mendekat ke sofa dan berlutut di sampingku, membungkuk dan mencium pipiku lalu menempelkan jidatnya ke bibirku. Aku bisa mencium bau sabun di wajahnya dan sampo di rambutnya.

"Tidur nyenyak, Jo. Semoga beruntung besok pagi."

Aku bangun sebelum jam tujuh dan mencoba bergerak setenang mungkin, masuk ke kamar mandi dan mandi. Saat aku keluar, aku memakai celana kain hitam dan kemeja lengan panjang biru yang sudah disetrika oleh Ibu. Aku berdiri di kamar mandi, mengikat dasi di depan cermin ketika Maysa masuk.

"Pagi. Bisa keluar bentar ngga? Kebelet pipis nih."

"Oh, ok." kataku, melesat keluar melalui pintu. Saat Maysa keluar, dia menatapku.

“Astaga, kamu jangan pakai itu!" Dia berkata. Aku melihat ke bawah.

 "Lho, kenapa kalau pakai baju ini?"

"Di sini kampus seni, Jo. Sekolah seni ngga seperti tempat lain, penampilan kasual adalah bagian dari gaya hidup. Pakai lagi jeans yang kemarin. Kemejanya ngga papa, tapi digulung aja lengannya dan ngga usah pakai dasi."

"Kata Ibu ini biar keliatan pintar." kataku.

"Pinter ngga dipakai di sini. Lagian dia ngga bakal tau kamu pakai baju apa kan. Aku pingin kamu berhasil dalam wawancara ini, Jo. Percaya deh sama aku."

"Ya, kalau kamu yakin," kataku. Aku meraih celana jinsku dan kembali ke kamar mandi untuk berganti pakaian.

Kami berangkat ke kampus bareng, dan Maysa memaksa untuk mengantar sampai ke depan ruang interview. Sampai di depan ruang 307, Maysa mengintip ke dalam dari kaca di pintu lalu tersenyum dan bilang,

"Yang interview kamu nanti Mas Ricky."

"Kamu kenal?"

"Dia dosenku semester lalu. Ayo, aku anterin masuk. "

"Yakin? Emang boleh?"

"Tenang aja, Mas Ricky salah satu dosen favorit disini. Dia baru lulus dari sini beberapa tahun lalu, karena itu dia akrab banget sama mahasiswa sini dan ga mau dipanggil Pak." Maysa lalu dengan singkat memperkenalkan aku sebagai adiknya.

“Apa dia sejago kamu, May?”

“Belum, Mas, tapi nanti dia bakal lebih jago dari aku.” Jawab Maysa. Lalu Maysa keluar dengan janji untuk bertemu aku dua jam lagi di luar pintu masuk utama.

***

Dua jam kemudian aku melihat Maysa menunggu di depan gerbang dan saat dia melihat aku, dia melompat-lompat, persis seperti anak kecil.

"Gimana?"

"Gimana apanya?"

"Gimana hasilnya? Diterima ngga?"

"Kayaknya sih bagus," kataku.

"Mas Ricky bilang akan dikabari dalam beberapa minggu."

"Emang gitu sih prosesnya," katanya,

"Tapi gimana menurutmu sendiri?"

"Aku cocok sih. Aku suka tempatnya. Aku suka gambaran kuliahnya."

"Berapa lama tadi di dalam?" dia bertanya.

"Ini baru selesai langsung ke sini," kataku.

"Sekitar sepuluh menit lalu." Maysa melompat-lompat lagi, lalu memelukku erat-erat.

"Ya ampun, Jo, itu pertanda bagus! Ngga ada yang pernah diinterview selama itu kecuali mereka bakal diterima. Ayo, malam ini kita rayain."

"Tapi, apa ngga mending nunggu pengumuman hasilnya dulu?"

"Dasar…" kata Maysa,

"Pasti diterima lah. Ayo!"

Kami naik bus kembali ke apartemennya dan Maysa membuatkan makan siang. Aku harus menceritakan ulang detail interviewku tadi ke Maysa. Saat kami selesai tanpa sadar sudah jam 3 sore.

"Wow, cepet banget udah jam segini. Jo, aku mau mandi sebelum kita pergi. Kamu mau mandi lagi ngga?"

"Aku tadi kan sudah mandi." Maysa mencondongkan tubuh ke arahku dan mengendus-endus, mengernyitkan hidungnya,

"Bau keringat, bro. Ntar mandi lagi setelahku." Aku mengangkat lenganku dan mengendus,

"Ya, emang rada bau dikit sih.”

Maysa melompat ke kamarnya dan beberapa menit kemudian keluar lagi memakai jubah satin putih dengan tali di pinggang menuju ke kamar mandi. Maysa mandi cukup lama, tetapi saat dia keluar dia keliatan luar biasa cantik. Masih cuma memakai jubah satin yang tadi kulitnya terlihat putih, dan bercahaya.

"Giliranmu!" katanya.

Aku bangkit dan masuk ke kamar mandi yang penuh aroma harum. Aku baru mandi selama lima menit ketika aku mendengar pintu terbuka.

"Permisi!" Maysa berteriak,

"Janji ngga ngintip, aku lupa lipstikku. Ya ampun! Maaf aku melihat." Aku berdiri tegang tidak berani bergerak di kamar mandi, menghadap ke dinding.

"Ya ampun Jo, badanmu bagus banget."

"Ya, memang." kataku ke ubin.

"Serius, aku ngga bohong. Hampir bikin aku suka sama cowo."

"Cuma hampir?" Aku bercanda. Dia tertawa,

"Iya, hampir aja." katanya, dan aku mendengar pintu tertutup. Aku menghela napas lega, mulai membilas diri dan mendengar pintu terbuka lagi.

"Jo, besok aku mau minta tolong. Tolong banget."

"Boleh, apapun yang kamu mau." kataku, berbalik untuk menyembunyikan bagian depanku.

"Aku ingin menggambarmu." kata Maysa.

"Oke." Pintunya tertutup lagi. Sekali lagi aku menghela napas, tepat saat pintu terbuka untuk ketiga kalinya.

"Telanjang, tentu saja." kata Maysa, dan pintu tertutup dan ga terbuka lagi.

Aku mematikan pancuran dan melangkah keluar, dengan handuk kering. Aku melihat ke bawah ke penisku yang sudah mengeras dari tadi. Sial, kupikir, Maysa mungkin ga nafsu sama cowo, tapi kan bukan berarti cowo ga nafsu sama dia. Aku melanjutkan berpakaian, bercukur, dan keluar dari kamar mandi.

Maysa duduk di sofa. Dia sudah pakai gaun biru tua panjang dengan motif putih kecil di atasnya. Gaun itu model kancing di depan dan potongannya cukup rendah yang menunjukkan belahan dadanya, panjang sampai antara lutut dan pergelangan kaki. Rambutnya diikat keatas sehingga lehernya yang jenjang terbuka. Bibirnya pucat berwarna natural, dan dia menggunakan eyeliner.

"Wow, May, kamu kelihatan cantik!" kataku.

"Terima kasih. Yuk kita berangkat."

"Eh, ya, yuk."

Aku memakai sepatuku dan melangkah keluar. Maysa menyusupkan tangannya di sikuku dan mengandengku keluar. Kami berjalan kaki dari apartemen menuju ke sebuah komplek ruko yang tidak terlalu jauh dari apartemen Maysa. Kami berjalan ke ruko paling ujung lalu turun melalui tangga ke semacam ruang bawah tanah yang pintunya dijaga seorang berbadan besar. Maysa tampaknya sudah dikenal dan disapa oleh penjaga itu.

"Boleh bawa temen baru ngga, Mas?"

"Boleh aja. Tapi dia sudah tahu kan di sini tempat macam apa?"

"Tahu kok." kata Maysa acuh tak acuh, menandatangani buku tamu sebelum membawaku ke sebuah ruangan besar, diterangi lampu redup dengan panggung kecil di satu ujung, dilengkapi dengan drum dan gitar, tetapi ga ada pemusiknya.

"Kamu biasa nongkrong disini?" Aku bertanya.

"Biasanya," kata Maysa.

"Kamu ngga papa kan, Jo?"

"Ini klub gay, kan?" Aku bertanya. Maysa mengangguk.

"Termasuk cowo?" Dia tersenyum.

"Beberapa, tapi kamu aman kok, kebanyakan aku sudah kenal dan nanti aku kasih tau ke mereka kalau kamu cowo normal."

"Bagus." kataku, dan baru sadar kalau suaraku terdengar tegang.

"Maysa!" Seorang gadis muda menjerit dan mendatangi kami, meraih bahu Maysa dan tanpa basa-basi mencium bibir Maysa.

"Apa ini dia?" wanita itu bertanya. Maysa mengangguk.

"Iya. Jo, kenalin ini Febi, Febi ini Johan."

Aku mengulurkan tangan, tetapi Febi meraih pundakku lalu karena dia jauh lebih pendek, menarik leherku menunduk agar bisa menciumku di mulut. Wow, batinku. Lipstiknya terasa seperti ceri, dan ini pengalaman pertamaku ciuman di bibir.

"Hai, Jo. Udah lama gue pingin ketemu elo sejak Maysa cerita kalau elo ada disini. Ayo, kita beli minum."

"Eh, emang boleh?" tanyaku.

"Oh, boleh lah, siapa yang ngelarang?" kata Febi.

Aku memandangi Maysa dan dia hanya mengangkat bahu dan tersenyum. Febi mengandeng kedua tangan kami dan menarik kami ke meja bar untuk memesan minum. Bartendernya seorang pria berusia 40 tahunan berambut pink dan memakai singlet jaring-jaring hitam ketat. Febi pesan koktail buat dia dan Maysa, serta bir untukku. Aku berdiri memandang sekeliling ruangan, berusaha ngga merhatiin bartender yang dari tadi masih melihat ke arahku.

Untungnya, isi ruangan itu sembilan puluh persen cewe. Aku ngga masalah dengan orientasi seksual orang lain, tetapi kan serem juga kalau seruangan sama banyak cowo gay yang agresif. Aku cowo normal. Kalau lihat dua cewe yang ciuman atau malah grepe-grepe satu sama lain aku juga nafsu. Tapi kalau dua cowo bermesraan.. eh.. mending jangan dibayangin lah. Tapi di sini aku cuma ikut Maysa dan aku ngga mau dia kapok sudah mengajak aku. Ini adalah kotanya, tempat nongkrongnya, aku akan menyesuaikan diri asal ngga ada sesuatu yang aneh-aneh. Kami menemukan meja yang masih kosong dan duduk di sana.

"May, Lo bilang dia ganteng, tapi wow!" Aku merasakan wajah memerah. Masa sih Maysa cerita ke temen-temennya kalau aku ganteng?

"Dan ya ampun, imut banget sih!" Febi menjerit karena melihat wajahku memerah.

"Jadi pingin diremes terus dicaplok deh?" Mereka berdua ketawa.

Febi memaksaku untuk cerita tentang tempat asalku, sekolahku, cita-citaku, dan aku pelan-pelan sudah mulai nyaman ngobrol dengannya. Dia ceria dan rada konyol, tetapi kelihatan kalau dia orang yang tulus ke orang lain. Kebalikan dari Maysa yang tinggi dan langsing, Febi pendek dan tubuhnya terlihat berisi. Rambutnya diwarna pirang dan sepasang payudara yang besar dibungkus oleh baju yang sangat ketat sehingga kelihatan dadanya hampir melompat keluar. Yang lebih mengagetkan, belakangan aku tahu ternyata dia dan Maysa pacaran.

Aku mulai rileks, menghabiskan sebotol bir dan merasa cukup pede untuk pesan satu botol lagi dari bar, bahkan mengobrol dengan bartender. Ini memang bukan pertama kali aku mengkonsumsi alkohol, tapi ngga terlalu sering juga sebelumnya. Saat aku kembali ke meja, gantian aku memaksa Febi untuk bercerita tentang dia. Maysa tersenyum kepadaku di seberang meja, sepertinya senang karena aku bisa akrab dengan Febi. Beberapa saat sebelum tengah malam, kami keluar dari klub dan pulang ke apartment Maysa, Febi juga ikut bersama kami.

Sofa itu cukup besar untuk menampung kami bertiga. Aku duduk di satu ujung, Maysa dan Febi meringkuk lain jauh dariku saling berpelukan. Mereka minum cukup banyak tadi dan sepertinya mabuk. Aku menyandarkan kepalaku di bantal dan memperhatikan mereka. Lengan mereka melingkari bahu satu sama lain dan mata mereka saling memandang. Febi meletakkan tangannya di pipi Maysa dan menarik wajahnya ke arahnya.

Aku cuma bisa memandang saat mereka mulai berciuman dan lama kelamaan ciumannya semakin panas. Aku yang juga sedikit terpengaruh alkohol terpesona dengan adegan didepanku. Mulut mereka terbuka dan aku melihat lidah mereka saling membelit satu sama lain. Tiba-tiba Maysa berhenti lalu duduk, ingat aku masih ada di sana. Dia tampak bingung, sama sekali lupa tentang aku. Febi mengulurkan tangan ke wajahnya lagi, tetapi Maysa menepisnya.

"Kita seharusnya ngga godain Johan yang malang, ntar dia kepingin lho." Katanya

Febi berbalik untuk menatapku. Aku melihat ada kancing yang terlepas di blusnya dan gerakan mengeser badan membuat kainnya tertarik makin lebar. Putingnya terlihat samar-samar menembus bahan tipis bajunya yang sepertinya basah karena keringat.

"Kita bisa kasih live show buat dia." kata Febi.

"Ga ah!" kata Maysa, melirik ke arahku dan mengangkat bahu.

"Maaf Jo, Febi tadi kebawa nafsu."

"Enak aja, Lu juga udah nafsu kan? Pindah ke kamar aja yuk, May." Ujar Febi. Maysa menatapku lagi dan aku mengangguk,

"Santai, May. Aku di sini aja tidur, aku sudah bilang ngga mau mengganggu."

Seandainya ngga mabuk, Maysa pasti akan membujuk Febi untuk pulang, tetapi karena dia mabuk, dan terlanjur nafsu, jadi dia cuma mengangguk dan menarik tangan Febi ke kamar tidur. Aku menunggu sebentar lalu bangkit untuk kencing, mematikan lampu, membuka kaso dan celana jinsku lalu berbaring di sofa hanya memakai celana pendek, menarik selimut menutupi badanku. Masih terbayang adegan panas yang baru saja kulihat tadi. Aku merasa penisku mulai mengeliat di dalam celana.

Aku tentu ngga mau melakukan yang aneh-aneh karena aku sedang numpang di tempat sepupuku sendiri. Aku menghela nafas panjang untuk menangkan diri dan memilih untuk tidur. Aku hampir berhasil saat aku mendengar rintihan dari arah pintu kamar.

"Acchh... yaaa.. shhh.. lagi disitu.. Yesss..!"

"Ssst!"

Terdengar gumaman, lalu sunyi selama lima menit. Tapi ga lama suara-suara kecil mulai terdengar keluar lagi. Derakan springbed, decak bibir saat berciuman, erangan yang lebih keras. Aku berguling dari satu sisi ke sisi yang lain dan menarik bantal menutupi telingaku mencoba memblokir suara masuk ke telinggaku. Setelah beberapa lama semuanya jadi sunyi. Aku mulai tertidur lagi sampai cahaya menerpa mataku saat pintu kamar terbuka. Aku mengintip ke seberang saat Febi keluar telanjang dari dalam kamar, untuk sesaat tubuhnya terlihat jelas olehku.

Payudaranya sangat besar, setidaknya 36D, pinggulnya lebar dan bulu kemaluannya dicukur bersih. Dia berjingkat menuju ke kamar mandi dan masuk ke dalam. Aku mendengar dia buang air kecil dan kemudian menyiram toilet. Dia berjingkat-jingkat kembali dan aku melihat pantatnya yang bulat terkena sinar lampu saat dia kembali, dan mendengar dia berteriak,

 "Goodnight Jo…." dan terkikik.

Aku baru bisa tidur setelah jam dua pagi, dan tidur sampai jam sembilan Sabtu pagi saat Febi keluar dari kamar dan meninggalkan apartemen Maysa. Langit tampak cerah dan sinar matahari menyinari tirai jendela. Aku bangkit, hanya memakai celana pendek dan berjalan-jalan di ruang tamu kecil sambil melihat koleksi buku-buku tentang Seni dan tumpukan map yang berisi gambar-gambar hitam putih yang sepertinya dibuat oleh Maysa. Maysa membuat suara di kamarnya dan kemudian keluar sambil mengikat jubahnya.

"Pagi bro! Bentar, aku pipis dulu." Dia berlari ke kamar mandi dan menutup pintu.

Aku terus menelusuri dan mulai mencari-cari di antara tumpukan Map. Aku memutuskan untuk memulai dari yang paling bawah karena aku berasumsi itu yang paling awal dibuat, jadi aku bisa lihat perkembangan Maysa. Bahkan yang paling awal ini jauh lebih bagus dibanding apa yang sudah aku buat, dan aku mulai berpikir apa aku benar-benar punya bakat setidaknya seperti Maysa. Aku selesai melihat halaman terakhir dan lalu menarik map lain yang terselip di bawah tumpukan kertas.

"Jangan! itu koleksi pribadi." Ucap Maysa. Aku berhenti dengan tangan masih memegang map itu,

"Maaf, aku ngga bermaksud bongkar-bongkar."

"Ngga apa-apa, cuma yang itu beda dari yang lain." Kata-katanya malah bikin aku penasaran, dan sebelum Maysa bisa mengambil map itu, aku membukanya.

"Wow!" kataku.

"Sudah dibilang jangan!" Kata Maysa.

Aku sedang melihat gambar seorang wanita muda, telanjang cuma memakai stoking putih, berbaring telentang di sofa. Tangannya menangkup bukit kemaluannya dan sebuah jari didorong masuk ke dalam vaginanya.

"Um, maaf, May…" kataku, menutup map.

"Ah, sial, udah terlanjur ketahuan juga!" dia mengumam lalu melanjutkan.

"Begitulah caraku membiayai kuliahku."

"Apa? Dengan jadi model….?" Aku terkejut.

"Bukan gitu, bego!" dia berkata,

"Dengan menggambar seperti itu. Aku dapat menghasilkan Rp 100.000 untuk satu sketsa seperti itu, beberapa lebih mahal malahan. Aku pernah jual satu seharga Rp 500.000."

"Wow. Jadi, sudah berapa banyak gambar yang pernah kamu buat?" Kekagetanku sekarang berubah jadi kagum.

"Ratusan," katanya.

"Aku menjual hasil gambarnya lewat internet."

"Emang ada yang beli?"

"Banyak orang yang menganggap gambar lukisan lebih erotis daripada foto. Yang jelas lebih erotis daripada pornografi," kata Maysa.

"Tapi.. tapi maksudku, ini juga pornografi, kan?"

"Ga juga. Atau seenggaknya, aku ga berpikir gitu. Gambar, lukisan, bahkan yang cuma sketsa, lebih misterius, mereka lebih bisa membuat orang berimajinasi." Dia merebut map dari tanganku dan menutupnya.

"Kalau kamu ngga masalah dengan itu, aku bisa tunjukin gambar yang lain. Tapi aku pikirin dulu, oke?"

"Oke." aku mengangguk.

"Ayo kita beli sarapan trus kita jalan-jalan keliling." Katanya. Saat kami berjalan mencari sarapan, aku tersadar sesuatu dan berkata,

"May, kenapa kamu butuh uang buat kuliah? Ayahmu orang kaya, kan?" Mulutnya sedikit merengut dan dia berkata,

"Aku ngga mau apa pun dari keparat itu!"

"May?" Aku tahu dia ngga akur sama ayahnya, tetapi kemarahannya ini cukup mengagetkan. Dia menggelengkan kepalanya dan memaksa senyum.

 "Lupakan aja, Jo. Aku bisa hidup sendiri, aku ngga butuh apa pun darinya." Kami kembali ke apartemen menjelang sore, wajah kami merah padam karena kepanasan, dan Maysa menyalakan AC dan membuat kopi.

"Laper ngga?" dia bertanya. Aku menggelengkan kepalaku,

"Ngga terlalu. Seharusnya sih laper tapi ngga pingin makan. Kopi aja cukup."

Setelah bikin kopi, Maysa duduk kembali di ujung sofa sambil menyeruput cangkirnya, menatapku. Aku masih terpesona oleh gambar erotisnya dan bertanya apa dia punya yang lain. Dia mengangguk,

"Ya, beberapa."

"Semua cewe?" Aku bertanya.

"Lebih baik gambar apa yang kita sudah hafal kan?" dia tertawa.

"Aku ga punya banyak kenalan cowo."

"Tapi kamu kan bisa... cari di internet atau... membayangkan gitu?"

"Aku lebih suka menggambar langsung pakai model. Pernah sih gambar model cowo telanjang, di kampus juga ada mata kuliahnya, tetapi susah nyari model cowo, karena kalau mereka sampai ereksi, mereka bakal dipecat. Jadi ya, sejauh ini cuma cewe. Meskipun aku tahu lebih banyak pembeli yang nyari gambar cowo."

"Masa sih?"

"Oh banyak, pembeli yang gay lebih banyak malah dibanding yang normal. Dan harganya juga lebih mahal. Tapi aku senang dengan apa yang kupunya sekarang. Kecuali ..." dia berhenti dan memalingkan muka. Aku minum kopiku sebentar, lalu berkata,

"Tadi malam katanya kamu mau menggambar aku. Apa maksudnya gambar kayak gitu?"

"Mungkin aku cuma kebawa suasana, karena kamu disini, terus aku ngeliat bentuk badanmu pas kamu mandi kemarin.."

"Kirain serius" kataku.

"Yah ... kalau kamu bersedia sih, aku mau aja. Tapi kamu nyaman ngga? Kamu tahu kan maksudku? Kamu nanti harus telanjang terus berpose didepanku?" Aku mengangkat bahu,

"Aku ngga tahu... dan ngga akan tahu kalau belum dicoba kan? Itu juga kalau kamu serius."

"Oke kalau kamu yakin" Dia menatapku dari atas cangkirnya.

"Terus aku harus...?" Aku merentangkan tangan aku.

"Kamu bisa buka baju di kamar mandi terus keluar ke sini, pakai handuk dulu juga boleh. Nanti aku arahin posenya. Tapi Jo, asal kamu beneran yakin aja sih tentang ini. Aku ngga mau maksa. " Aku mengangkat bahu lagi,

"Itung-itung ini sebagai pengganti ongkos sewa selama aku numpang di sini."

 Aku bangkit dan pergi ke kamar mandi sebelum salah satu dari kami berubah pikiran. Aku melepas kaosku, melepas celana jinsku dan kemudian setelah ragu-ragu sebentar lepas celana dalam. Aku menunduk dan menghela nafas lega bahwa burungku masih tenang-tenang dibawah sana. Bakal malu banget kalau belum apa-apa sudah ngaceng duluan. Ya semoga dia bisa jinak sampai selesai nanti.

Aku melilitkan salah satu handuk putih besar di pinggangku lalu keluar. Maysa sudah memindahkan tripod dan kamera lebih dekat ke sofa, dan menumpuk semua bantal di salah satu ujungnya. Dia menatapku dan tersenyum,

 "Aku cuma lihat sekilas kemarin, tapi aku ngga salah. Badanmu benar-benar keren, Jo. Aku ngga ingat kau punya otot seperti ini sebelumnya."

"Mungkin karena beberapa bulan ini aku kerja di kontraktor, jadi kuli bangunan." kataku.

"Bisa jadi," kata Maysa,

"Tapi ini bagus malahan. Ototmu kelihatan alami dan gedenya ngga berlebihan. " Aku mengangkat bahu, malu atas pujian itu.

"Aku mesti pose gimana nih?" Aku bertanya.

"Oke," Maysa berbicara dengan nada datar, mungkin dia mencoba membuat ini terkesan normal agar aku lebih nyaman.

"Lepaskan handuk dan duduk di bantal."

Aku menarik handuk dan menjatuhkannya, memperhatikan bahwa mata Maysa sempat melirik kebawah dan kemudian kembali ke wajahku dengan cepat. Aku duduk menyamping setengah berbaring di sofa dan bergeser sedikit ke belakang,

"Seperti ini?"

"Sedikit lebih rendah. Aku mau satu kakimu selonjor ke depan... ya, seperti itu. Sekarang, yang satunya nempel di sandaran belakang sofa jadi kakimu terpisah ... sedikit lagi, ya, seperti itu." Dia mengamati aku, matanya lebih fokus sekarang, memindai dari wajah ke kakiku lalu kembali.

"Letakkan tangan kananmu di belakang sofa ... ya, bagus ... Dan lengan satunya diatas pahamu ... bukan gitu, telapak tangannya rata, sedikit lagi... sedikit lagi ... bagus. "

Dia berdiri sejenak mengamati aku, lalu berlutut dan menyetel kamera. Saat dia berdiri lagi, dia memegang remote control kamera dan menekan dua kali.

"Buat jaga-jaga kalau aku bikin salah pas ngegambar, jadi aku foto. Kalau kamu pegel dan butuh break gerak-gerak aja, nanti bisa lihat pose sebelumnya dari hasil foto juga.”

"Emang butuh berapa lama ini?" Aku bertanya.

"Biasanya cuma sekitar sejam. Aku masih akan tambah-tambahin lagi setelah itu, tetapi buat sketsa awal ga akan terlalu lama. Sekarang, santai saja."

Maysa mengambil buku sketsa lalu duduk bersila di lantai. Dia melihat ke arahku, menarik garis di bukunya, melihat ke atas lagi berulang-ulang. Setelah sepuluh menit dia makin tenggelam dalam pekerjaannya, matanya terus-menerus melesat ke arahku dan kemudian kembali ke bawah.

Kira-kira lima belas menit kemudian aku mulai ga fokus. Aku mulai membayangkan betapa senangnya kalau aku diterima di kampus ini. Aku bisa ketemu Maysa tiap hari, bisa ngeliatin wajahnya yang cantik, kulitnya yang mulus, pinggangnya yang ramping, dadanya yang bulat. Lalu tanpa sadar aku mulai melirik ke arah Maysa. Kali ini dia ga sadar aku menatapnya.

Dia masih duduk dengan kaki bersila, pahanya yang ramping terbungkus celana jins biru. Dia memakai kaos berleher lebar yang sedikit turun saat dia menunduk, aku bisa melihat belahan dadanya yang dalam dan tali bra putih di bahunya. Saat itulah aku sadar penisku mulai mengeliat dan membesar. Maysa terus menggambar untuk sementara waktu, lalu saat dia melihat ke atas lagi, pensilnya berhenti bergerak dan dia cuma diam menatap penisku.

Shit.

 

 

 

 

 

PART 3

Aku melihat Maysa hanya menatapku, masih belum menggambar, lalu aku melirik ke bawah untuk melihat kemaluanku mulai bergerak tanpa bisa kukendalikan.

"Maaf…" kataku. Maysa mendongak padaku, dan pipinya tampak bersemu merah

 "Ngga papa."

"Kau harus memecatku," kataku dan tertawa malu.

"Kamu bilang gitu kan kalau modelnya ereksi." Dia tertawa lembut, lalu berkata,

"Jo, boleh ngga aku gambar kamu kayak gini?" Dan kemudian,

"Masih bisa lebih besar?" Aku melihat ke bawah.

"Ehm, masih."

"Wow," katanya.

"Aku belum pernah lihat penis yang lagi ereksi sedekat ini..." dia menatap, mencari kata-kata.

 "Indah."

Aku sadar aku jadi makin terangsang mendengar Maysa memuji penisku, dan penisku terayun ke atas dan sekarang bersandar di perutku, kepala jamur hampir mencapai pusarku.

"Maaf…" kataku,

"Sebaiknya aku pakai baju lagi." dan aku mulai duduk.

"Jangan…" Maysa mengangkat tangannya,

"Jangan berani-berani. Aku pingin gambar kamu, kayak gini..." Dia berhenti tiba-tiba dan menatap wajahku.

 "Boleh ngga, Jo? Boleh ngga aku gambar kamu kayak gini?"

"Aku.. ngga tahu, May, rasanya agak ... aneh?"

"Jo, ngga ada yang salah atau aneh saat orang terangsang. Ngga ada sama sekali."

"Tapi aku terangsang gini, di depanmu, sepupuku sendiri?"

"Aku ngga keberatan, Jo, beneran. Itu kalau kamu juga ngga masalah."

Aku ngga tahu harus bilang apa. Aku merasa ini salah telanjang didepan sepupuku sendiri, tapi juga sangat menggairahkan ereksi di depan Maysa, gadis yang sering mengisi khayalanku. Maysa menatapku lagi. Dia merobek halaman yang sudah dia kerjakan dan mulai membuat sketsa di halaman baru dengan cepat.

"Bisa tahan berapa lama, Jo?"

"Ga tahu, mungkin beberapa menit, mungkin satu jam. Tergantung."

"Tergantung?" dia berkata.

"Ya... tergantung seberapa terangsang aku."

"Sekarang kamu masih terangsang?" katanya, masih menggambar.

"Ya, rasanya sih masih. Maaf May, tapi aku merasa bersalah terangsang di depanmu ..."

"Ini salahku," kata Maysa.

"Seharusnya aku ngga biarin Febi nyium aku di depanmu semalam. Aku ngga tahu itu bikin kamu jadi gini, tapi aku rasanya tetap mau ngelanjutin ini. Aku yang harus minta maaf."

"Ya, mungkin karena itu," kataku, berharap dia akan percaya aku dan ga sadar kalau sebenarnya dia yang bikin aku terangsang. Maysa tertawa sambil terus menggambar.

 "Aku dengar itu salah satu fantasi cowok, ngeliat dua cewek bermesraan?" Aku mengangguk.

"Aku juga dengar," kataku, lalu,

 "May, kapan kamu pertama kali tahu kalau kamu suka sesama jenis?" Itu adalah pertanyaan yang sudah ingin aku tanyakan padanya sejak tau dia lesbian, tapi ga pernah ada kesempatan sebelumnya. Dia menatapku, menatap penisku.

"Kapan kamu pertama kali tahu kalau kamu cowo normal?"

"Itu beda kasus lah."

"Sama aja lah. Mungkin pertanyaan yang benar adalah, kapan kamu pertama kali tahu kamu suka cewe? Kayaknya sudah pasti kamu suka cewe kan ya." Dia tersenyum dan melirik pada kemaluanku.

"Saat aku ... sekitar dua belas tahun, kayaknya. Saat aku mulai ngeliat cewe bukan lagi sebagai sesuatu yang mengganggu, mulai ngeliat cewe sebagai sesuatu yang beda..." Maysa mengangguk, masih membuat sketsa, tangannya bergerak cepat.

 "Sama juga buat aku. Bedanya dalam kasusku, itu bukan cowo, tetapi cewe lain."

"Ribet ga sih?" Aku bertanya.

"Maksudku, kamu kan bakal berbagi kamar mandi di tempat umum, kamu nongkrong sama cewe, pasti ribet kan?"

"Banget. Kamu ga akan percaya susahnya nahan perasaan. Kamu ingat semua surat yang dulu kukirim ke kamu?" Aku mengangguk.

"Itu buat cewe-cewe yang aku taksir."

"Terus mereka bilang apa pas nerima suratmu?" Aku bertanya. Maysa tertawa.

"Aku ngga pernah mengirim satupun. Itu semua cuma cinta tak berbalas atau nafsu tak berbalas."

"Jadi, kapan kamu..."

"Kapan aku apa?" Dia menatapku, senyum bermain di bibirnya.

"Kamu tahu maksudku," kataku.

"Ga pernah, sampai aku datang ke sini," katanya.

"Suasananya beda, Jakarta beda, segala hal ada disini dan aku ngga merasa aneh lagi, ngga merasa sendiri, aku jadi sedikit.. liar."

"Oh ya? Liar gimana?" Maysa tertawa.

"Kamu pasti pingin tahu tentang hubungan sesama cewe, kan? Kayaknya ceritaku bisa bikin kamu makin penasaran. Aku simpan dulu sampai kalau aku mabuk banget, baru aku bakal cerita." Maysa menyelesaikan sketsanya dan merobek halamannya, bikin lagi yang baru.

"Jo ... mau ngga kamu, eh... mau ngga kamu megang penismu?"

"Apa?"

"Coba kamu pegang penismu, seperti kalo pas lagi masturbasi? Aku mau gambar kamu seperti itu. Ga papa kan?"

Aku merasa setengah terpesona sekarang, dan mulai menggengam batang kemaluanku. Maysa membuat sketsa, lalu mengambil kamera, mengambil foto beberapa kali dengan cepat.

"Coba gerakin sedikit ke atas dan ke bawah, aku mau lihat seperti apa itu."

Aku mulai mengosok penisku perlahan dari pangkal ke kepala. Kamera bersuara setiap kali Maysa memotret.Aku melirik ke bawah dan melihat cairan pelumas mulai keluar dari lubang kencingku dan menetes ke perutku. Maysa terkesiap.

"Ya ampun, Jo, apa kamu baru ejakulasi?" Meskipun aku sedang terangsang, aku tertawa.

"Bukan, May, itu bukan ejakulasi."

"Oh. Kupikir, kamu tadi ..." Aku ingat dia belum pernah melihat laki-laki ejakulasi, dan ngga akan bisa bedain.

"Warnanya beda kalau itu sperma. Warnanya putih, lebih banyak, lengket, dan akan muncrat lebih jauh dari itu."

"Oh…" kata Maysa lembut.

Aku memutuskan untuk melanjutkan. Aku pura-pura itu demi Maysa, supaya dia kenal tubuh pria, tetapi sebenarnya karena ngobrol dengannya dalam keadaan seperti ini bikin gairah birahiku makin meningkat.

"Itu yang disebut pelumas. Bening, dan akan keluar saat aku terangsang. Bakal terus begitu sampai aku benar-benar ejakulasi." Maysa mengangguk, masih mengawasi, dan aku sadar aku masih menggocok penisku sendiri dan berhenti.

"Eh, apa sudah cukup?" Aku bilang. Dia mulai menatapku lagi. Aku bisa melihat leher dan dadanya bersemu merah.

"Kamu boleh lanjutin kalau mau."

"Seharusnya aku berhenti dari tadi. Ini ngga benar, May." Kataku sambil duduk.

"Jo, aku minta maaf. Aku yang salah. Bikin kamu seperti ini. Aku benar-benar minta maaf, tapi bukannya kamu harus sampai ejakulasi?" Aku menggelengkan kepalaku,

"Aku ngga papa, May, beneran."

"Kamu bisa ke kamar mandi dan.. lanjutin di sana kalau mau." Aku tersenyum.

 "Itu akan aneh juga, May. Sama aja, ngga ada bedanya, toh kamu di sini tahu aku lagi ngapain di dalam sana."

"Oh, Aku ngga mikir sampai kesana. Ya udah kamu boleh lanjutin dimana aja tapi sebenarnya kalau boleh, aku mau lihat. Aku belum pernah lihat cowok ejakulasi. Aku bisa ambil beberapa foto, bikin beberapa sketsa." dia terdiam, mungkin sadar dia terlalu banyak bicara.

"Rasanya itu bakal lebih salah," kataku, tetapi walaupun mulutku bilang begitu, tanganku sudah bergerak lagi meremas lembut penisku dan mulai bergerak naik turun.

"Sudah kubilang Jo, ngga ada yang salah. Kalau kamu menikmati, dan ngga ada yang keberatan, maka ngga ada yang salah. Apa kamu mau ejakulasi di depanku?" dia menambahkan dengan suara pelan. Aku melanjutkan kocokanku, dan aku melihat Maysa menatap penisku.

"Apa kamu beneran pingin lihat?" Aku berbisik. Dia mengangguk. Cuma itu yang perlu aku tahu.

Aku terus mengosok sambil bersandar merosot di sofa, meresapi rasa mengelitik yang mulai muncul di sepanjang batang kemaluanku. Maysa bersimpuh dan mengangkat kamera, memotret beberapa kali lagi.

"Sudah lumayan lama, Jo," kata Maysa.

"Apa memang selalu lama?" Aku tertawa pelan.

"Ya ampun, itu benar-benar..." dia menggelengkan kepalanya

"Seksi?" lanjutnya. Setelah beberapa saat dia berkata,

"Tapi aku mau lihat kamu ejakulasi, Jo. Pikirin sesuatu yang seksi. Ingat yang dilakuin Febi sama aku tadi malam. Itu harusnya bikin cowo terangsang kan?"

"Iya," kataku.

"Kau pingin tahu apa yang dilakukan Febi di kamar ke aku?"

Aku menggelengkan kepala. Pingin sih, banget, tetapi rasanya akan melanggar privasi mereka. Sebaliknya aku mempercepat kocokanku, agar bisa orgasme, tapi ada sesuatu yang membuatku untuk ga pingin cepat-cepat orgasme; situasi, Maysa yang makin mendekat untuk mengamati lebih jelas apa yang kulakukan. Tiga menit berlalu dan Maysa meletakkan kamera di sampingnya dan lalu dengan perlahan melepas kaosnya, memperlihatkan payudaranya yang sempurna terkurung di dalam bra renda semi-transparan. Aku bisa melihat dengan jelas putingnya yang menonjol berwarna merah muda.

"Apa ini bisa membantu?" katanya lembut.

Aku menatap dengan kagum. Kulitnya putih susu dan halus. Bulatan payudaranya yang naik turun saat dia bernafas, mendorong kuat cup branya. Maysa mengangkat tangan kirinya dan menangkupnya di bawah payudara kanannya, membelai perlahan-lahan ke atas dan kemudian menyelipkan jari-jarinya ke dalam cup bra, menyentuh putingnya.

“Sudah cukup…” kataku, pemandangan itu bikin aku ngga bisa menahan lebih lama orgasmeku.

"Sekarang?" Maysa bertanya dengan lembut. Aku mengangguk dan mendengus.

"Sekarang...Uuuhh…!"

Aku mendongakkan kepalaku ke belakang ketika semburan pertama keluar dari penisku, menyembur jauh keatas sampai melewati bahuku lalu semburan berikutnya susul menyusul terasa hangat membasahi dada dan perutku. Selama itu aku hanya setengah mendengar suara klik-klik saat Maysa dengan cepat menekan tombol kamera. Setelah beberapa saat aku bisa merasakan tubuhku yang mengejang mulai reda, dan aku menghentikan kocokanku.

"WOW! Jo, itu luar biasa. Apa semburannya selalu sekuat itu?" Aku mengangguk lemah,

"Selalu."

Aku mulai merasa bersalah lagi, menyadari apa yang baru terjadi. Memaki diriku sendiri. Kalau sampai ini mengacaukan hubunganku dengan Maysa, aku akan menyesal seumur hidupku. Aku merasakan air mani mulai mengalir di sisi perutku dan berkata dengan cepat,

"May, handuknya."

Maysa sadar dari lamunannya dan melemparkan handuk padaku. Aku mengusapkannya di atas tubuhku dan mulai beranjak ke kamar mandi

"Rasanya aku harus mandi." kataku.

"Ide bagus," kata Maysa. Aku ngga bisa menebak apa yang dirasakan Maysa dari getaran dalam suaranya, aku takut aku sudah melewati batas. Ketika aku berjalan ke kamar mandi aku dengar suara klik saat Maysa mengambil lebih banyak foto. Aku melirik ke belakang.

"Maaf," dia tersenyum,

 "Pantatmu terlihat sangat seksi saat kamu berjalan ke sana, aku ngga bisa nahan diri."

"Tapi kamu kan ngga suka cowok," kataku.

"Sesuatu yang indah selalu bisa dikagumi, Jo. Dan pantatmu termasuk sesuatu yang indah."

"Gombal!" aku tertawa.

"Lapar?" Maysa bertanya, dan aku baru sadar aku kelaparan Aku mengangguk.

"Aku pesan chinese food gapapa kan?"

"Boleh," kataku, dan menutup pintu kamar mandi di belakangku.

Aku keramas dan menyabuni diriku sendiri, aku berdiri dibawah shower selama seperempat jam, membiarkan air mengalir di atas kepalaku, berharap itu bisa menghilangkan beberapa perasaan yang tertinggal di dada. Rasa bersalah, senang, takut, tapi sebagian besar rasa bersalah.

Aku dengar ketukan di pintu apartment dari kurir makanan. Aku tetap bertahan beberapa menit di kamar mandi, mengunting kuku, cukur jenggot, buka tutup keran wastafel, sampai akhirnya aku nngga bisa sembunyi di kamar mandi lebih lama lagi, jadi aku keluar dan berpakaian lalu melangkah ke ruang tamu. Kalau Maysa punya perasaan yang sama seperti yang aku rasakan, dia sama sekali ngga menunjukannya. Dia duduk di meja kecil, Laptop menyala, sambil makan dari kotak dengan sumpit.

“Sini," katanya,

"Aku cuma mindahin foto-foto." Dia menepuk-nepuk udara di sampingnya.

"Tarik kursi dan lihat."

Aku menyeret kursi dapur dan duduk di sebelahnya sambil makan, bersandar ke belakang. Satu per satu foto muncul di layar sebagai gambar kecil. Mereka memenuhi layar sampai ke bawah. Kelihatannya ada sekitar seratus atau lebih dan aku bisa melihat bahwa mayoritas adalah foto saat aku orgasme. Aku belum bisa melihat dengan detail, tetapi hanya gambar kecil yang bergulir membuat perutku mual. Apa yang sudah kulakukan tadi?

Akhirnya semua foto selesai dipindahkan, dan Maysa mengklik dua kali pada fotoku yang pertama. Itu menunjukkan aku pada awalnya, penis lembek dan menempel di pahaku. Aku berbalik dan kembali ke ruang tamu ke tempat Maysa meninggalkan sketsa-sketsa yang dibuatnya tadi, mengambilnya dan kembali ke kursi. Aku membandingkan foto di layar laptop dengan hasil gambar Maysa.

"Gambarmu jauh lebih bagus," kataku, menunjukkannya padanya. Dia meliriknya, kembali ke monitor.

"Iyalah," katanya, ngga ada nada bangga atau sombong di suaranya.

 "Aku sudah bilang kan tadi pagi. Sebuah gambar selalu lebih dari sekadar foto. Sebuah gambar menangkap bentuk asli, jiwa seseorang." Dia membuka laci di meja dan mengeluarkan selembar kertas kalkir tipis.

"Gini caranya," katanya, meletakkan kertas di atas monitor dan dengan cepat membuat garis sesuai garis luar objek yang terlihat di layar.

"Lalu aku pindahin ini ke kanvas dan menyelesaikan detailnya." Dia menurunkan kertas kalkir dan mengeser ke foto-foto lain. Aku melihat foto Maysa yang aku ambil saat mencoba kamera kemarin,

 "Coba lihat yang itu."

Dia mengklik dua kali dan fotonya muncul. Aku mengamatinya. Maysa tampak mempesona, cantik alami. Rasanya aku sudah memotretnya dengan baik, tetapi Maysa berkata, "Aku ga pernah mengira seperti itu penampilanku kalau di foto," dan melanjutkan. Aku mencoba untuk mengambil potongan ayam dari karton dengan sumpit dan selalu gagal.

"Ada garpu di dapur, Jo." kata Maysa. Aku bangkit dan mengambil garpu, lalu kembali.

Maysa sudah sampai ke bagian aku mulai ereksi. Dia berhenti pada beberapa gambar, mengamatinya sejenak dan menghapus semua yang ngga memenuhi standarnya, dan kemudian sampai di bagian pada waktu aku ejakulasi. Ada sekitar lima puluh foto yang diambil dengan buru-buru. Beberapa blur dan harus dihapus. Pada akhirnya tersisa beberapa gambar yang memenuhi standar Maysa. Dia membuka satu foto yang menunjukkan dada dan perutku yang belepotan sperma.

"Aku mau gambar yang ini, Jo. Boleh kan?"

"Kenapa?"

"Pingin aja. Dan ada alasan lain, tapi aku kasih taunya lain kali aja. Gapapa kan?" Aku mengangkat bahu. Sudah terlambat untuk keberatan sekarang.

"Gapapa sih." Dia bangkit berdiri dan menunduk untuk mencium pipiku.

"Terima kasih. Kayaknya aku harus mandi juga. Tinggalin aja karton makanannya, nanti aku beresin setelah mandi.”

Aku menghela nafas dan melanjutkan lagi makanku, lalu meraih laptop dan membuka lagi foto Maysa yang kemarin kupotret. Aku mengambil selembar kertas kalkir dan meletakkannya di atas monitor, meniru cara yang dicontohkan Maysa tadi, walaupun butuh waktu yang lebih lama.

Aku mengambil buku sketsaku dan memindahkan gambar ke sana, membuat garis-garis tipis dengan pensil. Aku menarik kursi agar bisa mengambar diatas meja, mengeluarkan pensil 4b dan mulai membuat garis yang lebih tebal, lalu detail wajahnya. Aku begitu asik dengan gambarku sehingga aku ga mendengar pintu kamar mandi terbuka dan baru sadar saat Maysa duduk di sebelahku dan membungkuk untuk melihat apa yang aku lakukan.

Tiba-tiba aku merasakan dadanya yang cuma tertutup jubah tidurnya menekan lenganku. Dia ngga pakai dalaman lagi setelah mandi, dan sekarang cuma memakai jubah tidur satin yang tipis.

"Itu bagus, Jo. Boleh aku lihat?" Maysa mengulurkan tangannya.

Aku menyerahkan buku gambar kepadanya. Dia memegangnya di pangkuannya, mempelajarinya selama beberapa menit, lalu berkata,

"Boleh aku tambahin?" sambil membuka telapak tangannya. Aku memberinya pensil.

"Ini beneran bagus, tetapi kamu perlu nambahin lebih banyak bayangan. Cahaya dan bayangan, itu yang bikin beda. Nih…" dia mencondongkan badan kedepan mendekatkan gambarku ke monitor dan pandanganku tertuju ke kaki panjangnya yang mulus, terbuka karena jubah tidurnya tersingkap dan memamerkan pahanya.

"Lihat, ada bayangan di sini dan di sini yang kamu lewatin." Dia mengambil pensil yang lebih lembut dan menggambar garis tebal lalu merentangkannya dengan jarinya, gerakan cepat yang pasti, menambahkan garis tegas pada tulang pipi.

"Banyak yang bilang tulang pipiku bagus. Sekarang kamu bisa lihat di gambarmu." Aku membungkuk dan melihat. Dia langsung membuat gambar itu tampak sepuluh kali lebih bagus. Dia mengembalikan kertas itu kepadaku.

"Sekarang kamu coba lagi."

Aku melihat layar, pada gambar aku, dan kemudian mencoba meniru apa yang dia lakukan, kali ini di sepanjang sisi hidungnya. Setelah selesai, aku bisa bilang kalau itu bikin gambarku lebih bagus, walaupun ngga sebagus yang dibuat Maysa.

"Karena itu kamu ke sini Jo, jadi kamu bisa belajar semua teknik gambar disini. Tapi ini.." dia menunjuk gambarku,

"Ini lebih bagus dari apa pun yang pernah kubuat sebelum aku datang ke sini."

"Thanks, May." Dia bangkit dan merapikan karton makanan kosong, lalu mengambilkan minum untukku.

"May, aku minta maaf soal yang tadi," kataku.

"Kenapa yang tadi?"

"Aku merasa bersalah karena ngelakuin itu di depanmu. Aku ngga mau kamu merasa..." Aku terdiam. Maysa meletakkan tangannya di punggung tanganku.

"Jo, Aku yang minta kamu untuk ngelakuin itu. Kamu sama sekali ngga salah. Aku malah senang punya kesempatan ngeliat kamu ngelakuin itu. Semua orang pernah masturbasi kan?.”

"Tapi aku terbawa suasana," kataku.

"Bagus. Aku malah senang kalau kamu terbawa suasana, karena aku belum pernah ngeliat itu, dan aku penasaran, dan itu bikin aku merasa sekarang kita jadi lebih dekat dibanding sebelumnya, lagian kalau bukan kamu yang nunjukkin ke aku, terus siapa lagi? " Dia tersenyum padaku dan aku merasa jantung aku berdetak kencang.

"Apa kamu yakin, May?"

"Yakin. Dan seandainya nanti kamu berpose untukku lagi, terus terangsang, aku berharap kamu bisa ngelakuin lagi kayak tadi." Aku meniup pipiku dan menggelengkan kepalaku.

"Wow..."

"Dan sekarang..," katanya, bangkit.

Dia berjalan ke sofa dan aku melihat tangannya bergerak ke depan pinggangnya dan tiba-tiba jubah satinnya sudah merosot dari bahunya dan jatuh di kakinya. Dia maju satu langkah lagi, pantatnya yang bulat sempurna bergerak lentur seirama langkahnya yang santai. Kakinya yang panjang tampak mulus dan bersih. Dia kembali menatapku.

"Kamu mau gambar aku sekarang?"

Aku cuma bisa menelan ludah dan kehilangan kata-kata. Dia berbalik ke arahku dan untuk pertama kalinya aku melihat keindahan payudaranya yang telanjang. Mereka kelihatan padat, melengkung ke atas dari perutnya yang rata ke ujung-ujung putingnya yang meruncing kedepan, lalu menekuk lagi keatas ke dadanya. Mataku memandang turun ke perutnya yang ramping, pusar, tulang pinggulnya, ke persimpangan pahanya di mana vagina yang dicukur bersih bersarang.

"Wow, apa semua lesbian mencukur bersih bulu kemaluannya?" tanyaku kagum.

"Semua lesbian?" katanya, mengerutkan kening, dan kemudian tertawa terbahak-bahak, membuat payudaranya bergoncang.

"Febi bilang semalam dia sengaja telanjang di depanmu."

"Ya..." kataku gugup.

"Ngga semua sih. Tapi aku dan Febi mencukurnya."

"Apa itu... apa itu... kenapa?" Dia tertawa lagi.

"Karena bagus aja. Itu bikin aku merasa seksi, bersih, dan itu bikin lebih sensitif. Oke? Kamu mau melongo seharian atau mau gambar aku?" Aku berdiri dan meraih buku sketsaku.

"Kamu mau kayak..."

"Terserah kamu, Aku kan modelnya, kamu pelukisnya. Kamu harus anggap aku ini objek, yang mau dibentuk jadi karya seni. Pikirin apa yang mau kamu gambar, dan arahin aku seperti yang kamu mau." Dia berdiri menunggu, kaki sedikit terbuka, punggung lurus, tangan bertumpu di pinggangnya.

Aku mengambil napas dalam-dalam dan berjalan mendekatinya, menatap, berjalan, memandangi semua bagian tubuhnya yang indah. Aku harus bisa secepatnya menemukan satu hal yang mau aku gambar sebelum jantungku yang berdegup kencang melompat dari dadaku. Tetapi aku belum tahu gimana caranya. Aku mencari kursi dan kuletakkan di depannya.

 "Duduk di situ," kataku. Dia melakukanya.

"Condongkan badan sedikit ke depan, tangan di atas lututmu, ya, seperti itu." Aku mengamatinya sejenak ketika dia memperhatikanku, tersenyum.

"Luruskan punggungmu. Sekarang condongkan badan sedikit ke depan, seolah-olah kamu sedang lihat sesuatu di sini. Ya, begitu." Dia tidak bergerak lagi, melirik ke arahku. Aku mengangguk.

Aku mengambil kursi lain dan duduk dua meter didepannya, mengamati sosoknya yang ada di depanku, dan mulai membuat sketsa. Aku bekerja pelan-pelan, dan hasilnya ga terlalu bagus, tetapi Maysa tetap sabar. Aku lihat dia beberapa kali memindahkan posisi duduknya supaya ga kaku lalu balik ke pose awal, tetapi saat itu aku sudah ada di duniaku sendiri memindahkan apa yang ada direkam oleh mata ke kertas gambar melalui tanganku. Akhirnya aku menegakkan tubuh dan meluruskan punggung yang pegal.

"Boleh aku lihat?"

Maysa bertanya, bangkit dan menepuk-nepuk pantatnya yang sepertinya pegal karena duduk terlalu lama. Payudaranya memantul ke atas dan ke bawah dan tiba-tiba aku ngeliat dia sebagai seorang wanita lagi. Dia melangkah kearahku dan mengambil sketsaku, berdiri di depanku saat dia mempelajarinya dan aku cuma bisa menatap vagina telanjangnya yang hanya berjarak beberapa centi di depanku.

Setelah satu menit, Maysa mundur dan kembali ke sofa, masih mempelajari sketsa itu. Aku mengambil jubahnya dan menjatuhkannya di pangkuannya, sekedar menutupi vaginanya dari pandangan. Supaya aku lebih mudah menahan diri, tetapi payudara sialan itu masih kelihatan jelas.

"Bagus ngga?" Aku bertanya.

"Bagus! Sangat bagus. Kamu berbakat, Jo." Dia mengembalikan sketsa itu dan bersandar di bantal.

“Ambilin minum dong Jo, badanku masih kaku." Dia mengeliat sebentar, merentangkan kakinya jauh kedepan dan merentangkan tangan keatas kepalanya, gerakan itu membuat jubahnya jatuh ke lantai. Aku bangkit dan mengambil segelas air, lalu kuberikan padanya.

"Makasih." Dia meneguk airnya dan aku melihat bahunya langsung relaks.

"Ahhh"… Dia mengambil dua tegukan lagi dan mengembalikan gelasnya.

"Mau aku ambilin jubahmu, May?" Dia menunduk, seakan-akan baru sadar kalau masih telanjang, lalu menyeringai,

 "Ga usah, lebih enak gini. Gapapa kan Jo? Kamu merasa terganggu ya kalau aku gini? "

"Oh ngga, ngga kok May, sama sekali ngga terganggu." Dia tertawa dan menggeliat lagi.

"Ok kalau gitu aku pasti bikin kamu terganggu, tapi beneran kamu mau aku pakai baju? Karena menurutku aku masih punya utang ke kamu." katanya.

"Oh ya?"

"Aku kan sudah lihat kamu masturbasi. Gimana kalau aku melakukan hal yang sama buatmu?" Mulutku ternganga.

"May?" Dia tertawa.

"Ekspresimu, Jo! Ya ampun. Harusnya emang gitu, kan?" Aku mencoba menarik napas, menggelengkan kepala, tapi lalu cuma mengangguk saat tahu ini bukan khayalan.

"Mmm bagus, Aku merasa seksi dan terangsang, aku bisa tuntasin sendiri di kamar, tapi kamu sudah mau masturbasi di depanku, jadi aku juga harus mau ngelakuin itu di depanmu." Dia memindahkan posisi duduknya lebih ke tengah.

"Duduk di sana, di atas beanbag. Aku ngga mau kamu terlalu dekat."

Aku melihat sekeliling dan menemukan beanbag biru tua menempel di dinding dekat meja. Aku bangkit dan berjalan, lalu duduk di sana. Maysa meluruskan kakinya ke bawah. Dia mengangkat satu tangan ke payudaranya dan melihat ke bawah saat dia mengusap puting payudaranya dengan ujung jari. Putingnya mencuat dan mengeras seketika. Dia menjepitnya di antara telunjuk dan jempol lalu memutarnya perlahan membuatnya makin menonjol. Dia meletakkan tangannya di bawah payudaranya dan mulai memijatnya.

Tangannya yang lain mulai meluncur ke bawah perutnya, berhenti sebentar di bawah pusar lalu berlanjut kebawah. Dia menangkup bukit kemaluannya dengan telapak tangan dan mendesah panjang.

“Achh..” Aku bisa melihat matanya jadi sayu dan bibirnya tersenyum.

Dia mengangkat telapak tangannya dan meletakkan dua jari di kedua sisi bibir vaginanya yang membukit lalu membelai dirinya sendiri dari paha ke klitoris, lalu menambahkan jari ketiga ke celah diantara pahanya. Dia menekan dengan jari tengah melewati bibir vaginanya dan aku bisa lihat vaginanya sudah sangat basah.

Tangannya yang lain membelai payudaranya, menarik-narik puting susu, membelai perut lalu kembali ke payudara dan lehernya. Dia mengangkat tangan dari kemaluannya dan mengarahkannya ke mulut, memasukkan tiga jari ke dalam mulutnya, membasahi mereka dengan air liur, lalu kembali ke bawah, menusuk lebih dalam ke vaginanya. Aku bisa mencium aroma khas vagina wanita dari seberang ruangan.

Putingnya sekarang sangat keras dan berdiri tegak. Aku bisa lihat klitorisnya yang besar muncul melalui bibir kemaluannya dan berdiri tegak menunggu dijamah. Dia mulai menggerakkan jarinya dengan serius, memasukkan dua jari ke dalam, jempolnya menggosok klitorisnya. Rona merah telah muncul di dada dan lehernya. Nafasnya mulai berat dan pendek.

"Maysa….Ceritain seperti apa rasanya." Kataku.

"Ohhh nikmat banget, Jo. Hangat, basah dan tiap kali jariku bergerak rasanya geli tapi nikmat…” dia berhenti, terengah-engah,

"Rasanya kayak mau kencing tapi bukan dan... " Dia membuka matanya tiba-tiba dan menatap ke arahku.

"Dan Jo, ngobrol sama kamu, nyeritain rasanya, bikin ini makin menggairahkan…" bisiknya, kagum dengan perasaan yang baru ditemuinya.

"Apa sudah hampir, May?"

"Hampir…" gumamnya,

"Ohh, bentar lagi ..." Jari-jarinya mulai dipercepat.

"Ahh..Enak," katanya,

"Dikit lagi...terasa...uhhnn ... terasa ... Auuhhhhhggg!"

Dia berteriak kencang dan mendorong tiga jarinya kedalam, pinggulnya terangkat keatas. Otot-otot di perut rampingnya tegang dan badannya mengejang, berkelojotan, matanya terpejam erat. Dadanya naik turun seirama nafasnya yang cepat.

Perlahan-lahan orgasmenya mereda, tanggannya terkulai diatas badannya lalu Maysa membuka mata, menatap langsung ke arahku dan dengan sengaja nunjukkin jari-jarinya yang basah karena cairan vaginanya. Dia masih bernapas dengan cepat, dan aku duduk terpesona, memandangi saat dia pulih dari hasrat birahi yang mereda.

"GILA!" kataku.

"Memang gila, Aku belum pernah orgasme kayak gitu seumur hidup. Makasih, Jo."

"Aku ngga ngapa-ngapain." Aku tertawa.

"Kamu tahu bukan gitu sebenarnya, Jo. Aku jadi horny banget lihat kamu masturbasi tadi, itu yang bikin beda." Aku menggelengkan kepalaku,

"Ini ngga aneh kan, May?" Dia tertawa.

"Ya, ini rada aneh. Tapi itu yang bikin seru, Jo! Ohhh," dia menggeliatkan badannya dengan cepat.

"Rasanya nikmat banget!" Dia duduk dan mengambil jubahnya dari lantai, berdiri dan memakainya, menutupi tubuhnya yang indah.

"Aku merasa enteng banget sekarang, fresh banget. Sekarang kita cuma punya waktu sampai pagi, Jo. Abis itu kamu sudah harus pulang. Aku bakal kangen pas kamu udah pulang."

"I’ll be back!" kataku menirukan suara arnold di film terminator.

Kami saling cerita tentang hal-hal dari tahun yang lalu, hal-hal dari tahun di masa depan yang ingin kami lakukan. Hampir tengah malam ketika dia bangkit, menyikat giginya, lalu menciumku dengan lembut di bibir dan berkata,

"Selamat malam Jo."

Aku melakukan hal yang sama, lalu membuka pakaian dan berbaring di sofa hanya memakai celana pendek seperti kemarin. Aku hampir tertidur saat pintu kamar terbuka dan aku mendongak untuk melihatnya berdiri disinari sinar lembut dari lampu samping tempat tidurnya.

"Jo?"

"Ya, May?"

"Kalau mau, kalau misal bakal lebih nyaman, kamu bisa tidur di kamar sama aku..." Aku menatapnya.

"Makasih May, tapi lebih baik aku tetap di sini."

"Ya sudah kalau gitu," katanya, dan aku mendengar senyum dalam suaranya.

"Met malam."

"'Malam." Pintunya tertutup. Apa yang barusan kutolak, aku ngga habis pikir. Dan kenapa aku tolak? Butuh waktu lama sampai aku berhasil tidur.

***

Cahaya pagi menerpa mataku saat Maysa membuka tirai dan sinar matahari memasuki ruangan. Dia bergerak di dapur memakai jubah pendeknya, bikin roti bakar, mengoreng telur. Aku duduk dan buru-buru mencari celana jinsku lalu tersadar, kenapa setelah apa yang terjadi kemarin, aku masih merasa malu. Aku menarik nafas dan bangkit hanya dengan celana pendekku.

"Pagi, tukang tidur," kata Maysa, tertawa.

"Tidur nyenyak?"

"Akhirnya."

"Ya, aku juga," katanya sedih, meletakkan piring di atas meja, menuang kopi.

 "Sini sarapan dulu." Aku mendekat dan duduk di seberangnya, ga sengaja jari kakiku menyentuh kakinya yang telanjang dan buru-buru kutarik kebelakang,

"Maaf."

"Ga perlu," katanya, Maysa dengan sengaja menempelkan telapak kakinya yang hangat di atas kakiku. Aku ingat dia dulu sering melakukan itu saat kami masih kecil.

"Makasih Jo," kata Maysa.

"Untuk?"

"Tadi malam. Nolak aku." Aku memandangnya.

 "Itu ngga gampang." kataku. Dia mengangguk.

"Aku tahu. Karena itu aku berterima kasih. Aku ngga tahu apa yang merasukiku. Aku bahkan ngga suka cowok, tetapi kalau misal kamu datang ke ranjangku tadi malam, mungkin aku akan biarin kamu meniduriku." Aku mengangguk.

"Dan aku juga mau kau ngelakuinnya. Gimanapun, aku mau. Tapi itu akan ngubah segalanya." Aku mengangguk lagi.

"Aku suka hidupku, Jo. Aku ngga mau itu berubah. Dan hubungan kita adalah bagian penting dari itu. Pagi ini hubungan kita lebih penting daripada dua hari yang lalu. Aku pikir kamu tahu itu semua, dan ternyata kamu lebih kuat dari aku. Makasih." Suaranya tercekat di tenggorokannya dan dia bangkit dengan cepat dan datang ke kursiku, menarik wajahku erat-erat ke payudaranya yang hangat, memeluk kepalaku, lalu dia mengangkat wajahku dan mencium lembut bibirku.

"Kita akan selalu jadi teman baik, May," kataku, dan ternyata suaraku juga bergetar. Mata Maysa basah.

"Aku tahu," katanya, dia tersenyum.

Kami selesai sarapan, dan tanpa terasa aku harus naik bus pulang. Maysa mengantarku kembali ke terminal, memelukku erat, menciumku sekali lagi dan kemudian melangkah pergi, menyeka matanya.

"Sampai jumpa tahun depan." katanya.

"Semoga.." kataku. Dia menggelengkan kepalanya.

"Enggak. Sampai jumpa tahun depan."

Bus membawaku pergi, kembali melewati perjalanan yang panjang menuju ke kampung halamanku.

 


Posting Komentar

0 Komentar