RANJANG BIRAHI (PART 10 - PART 14) TAMAT
SINOPSIS :
Trilogi dan akhir cerita “RANJANG BIRAHI”
GENRE : DRAMA EROTIC
FORMAT : FILE PDF
JUMLAH HALAMAN : 309 HALAMAN
HARGA : Rp 30.000
BAB 10
“Apa?”
Lidya Safitri
terbelalak kaget. Bola matanya yang indah menatap suaminya yang saat itu tengah
membaca koran di ruang tamu. Kalau saja Lidya tidak mampu menguasai emosinya,
kopi yang ia bawakan untuk Andi akan tumpah.
“Apa kenapa, sayang?”
Andi balik melihat ke arah istrinya yang sedang berdiri kaku dengan heran.
“K - K - Kamu
barusan bilang apa??”
“Sudah panjang
lebar cerita ternyata masih harus diulang, makanya kalau ada orang ngomong itu
didengerin,” keluh Andi,
“Tadi aku
bilang, aku sudah menemukan rumah kontrakan yang bagus. Tempatnya tidak jauh
dari sini, fasilitas lumayan, harganya juga murah. Aku sudah ajak Bapak ke
sana, katanya sih cocok.”
Lidya
mengangguk, bukan kabar ini yang membuatnya kaget. Kabar ini justru membuatnya
senang sekali. Adalah kalimat-kalimat selanjutnya yang hampir membuat
jantungnya berhenti berdetak.
“Dalam waktu
dekat Bapak mau pindah ke sana.” Lanjut Andi,
“Tapi… kata
Bapak sebelum dia menempati rumah kontrakan yang baru, dia pengen balik
sebentar ke desa. Berpamitan, ziarah atau apalah…” Andi membalik halaman koran
yang ia baca sambil terus menerangkan hal yang sebenarnya baru saja ia
sampaikan pada Lidya,
“…berhubung
aku harus mengurus kontrakan baru Bapak ditambah kerjaan yang belum selesai di
kantor, maka kamu yang nganterin Bapak ke desa.” Inilah yang membuat Lidya
terkejut setengah mati.
“T - t - tapi,
mas… kenapa Bapak tidak pulang sendiri saja?”
“Ah, kamu
ini!” Andi menatap Lidya dengan tatapan mata galak. Pria itu paling benci kalau
Lidya tidak mau berkumpul atau menyatu dengan keluarganya.
“Bapak kan
sudah tua, kasihan dong harus pergi jauh seorang diri walaupun hanya untuk
sebentar. Biar bagaimana juga dia itu bapakku! Masa gitu aja kamu nggak mau?
Kalau saja aku ada waktu, aku yang akan mengantarkannya ke desa! Aku tidak akan
minta bantuanmu!”
“Bukan begitu.
Bapak kan masih kuat, Mas. Aku pikir…”
Lidya terus mencari celah untuk menghindar, si
cantik itu meletakkan kopi Andi di meja tanpa sedikitpun menatap matanya. Dia
tidak berani bertatapan mata langsung dengan suaminya, ia takut Andi akan
mencurigainya. Lidya tidak ingin suaminya tahu ayahnya sendiri hampir tiap hari
menidurinya. Lidya melanjutkan kalimatnya, ia mencoba mencari alasan yang tidak
akan menyinggung perasaan Andi.
“Aku juga
tidak yakin beliau mau aku temani pulang ke desa…” Andi mengeluarkan nafas
panjang.
“Aku kemarin
sudah ngobrol sama Bapak. Tadinya dia memang menolak ditemani siapa - siapa,
dia bilang tidak mau merepotkan. Tapi setelah aku bujuk lama-lama luluh juga.
Bapak akhirnya setuju kamu antar.”
Lidya
membalikkan tubuh untuk menyembunyikan wajahnya yang pucat pasi. Tubuhnya
bergetar ketakutan dan keringatnya mulai menetes. Andi memang tidak tahu kalau
Pak Hasan yang terhormat telah memperlakukan istrinya dengan tidak senonoh.
Bayangkan apa yang akan dilakukan lelaki tua cabul itu jika Andi memberikan
peluang bagi Pak Hasan untuk berdua saja dengannya?? Bagaimana ini? Apa yang
harus ia lakukan? Bagaimana menolaknya?
“Kapan Bapak
mau berangkat, Mas? Berapa lama di sana?” tanya Lidya dengan penuh harap. Tidak
ada gunanya melawan Andi kalau sedang seperti ini.
“Berangkat
besok lusa, naik bis. Mungkin sekitar empat hari, kalian menginap di rumah
sahabat Bapak di desa, namanya Pak Raka. Kebetulan yang punya rumah malah baru
pergi ke kota. Keluarganya juga kenal dengan aku kok, keluarga Pak Raka sudah
seperti keluarga kita sendiri, dulu waktu kecil aku sering tidur di rumah Pak
Raka.” jawab Andi sambil terus membaca korannya tanpa melirik sedikitpun ke
arah Lidya.
Lidya memejamkan
mata dan berusaha menahan geram. Sial.
***
Sudah hampir
setengah jam Lidya menunggu, ia melirik ke arah jam tangan cantik yang
melingkar di pergelangan tangan kirinya. Bis belum juga datang, padahal hari
sudah semakin larut. Jika mereka berangkat terlalu malam, mereka baru akan
sampai di desa esok siang. Perjalanan cukup jauh dan wanita cantik itu tidak
begitu suka berduaan saja dengan mertuanya untuk waktu yang cukup lama. Bus
malam yang akan membawa mereka pulang ke desa sudah dibeli tiketnya dan sudah
dijadwalkan akan berangkat dari tempat ini… setengah jam yang lalu.
Seorang lelaki
botak bertubuh gemuk berjalan pelan mendekati Lidya. Ia duduk di samping wanita
cantik itu sambil menikmati cemilan kacang yang sudah hampir habis. Mulutnya
terus berkomat - kamit mengunyah kacang.
“Bis itu pasti
datang, Nduk. Sabar saja.” Kata pria yang baru datang dengan tenang.
“Penjual
tiketnya bilang jalan macet, jadi busnya terlambat masuk terminal.”
Lidya
menggerutu. Walaupun tidak menyukai keterlambatan, dia justru berharap bis yang
mereka naiki tidak kunjung datang hingga tahun depan. Si manis itu beringsut
menjauh dari posisi duduk yang berdekatan dengan si pria gemuk yang sangat ia
benci hidup mati. Pria gemuk itu tentunya adalah ayah mertuanya yang bernama
Hasan. Lidya cukup kesal karena Andi tidak bisa menemani mereka, paling tidak
sampai bisnya datang. Andi malah hanya mengantar sampai pintu terminal dan buru
- buru berangkat ke kantor. Suaminya itu tidak tahu, dia tengah mengumpankan
anak ayam ke kandang buaya.
Pak Hasan
bukan orang bodoh, ia sadar Lidya berusaha menghindarinya. Pria tua mesum itu
melirik ke arah menantunya yang mempesona. Sungguh pemandangan indah yang tiada
duanya, rambut panjang yang indah, tubuh tinggi dengan kaki jenjang, kulit
putih mulus bagai pualam, lekukan tubuh menggiurkan, wajah cantik rupawan dan buah
dada yang sempurna. Seorang bidadari yang turun dari khayangan. Pria tua itu
tersenyum bangga, semua keindahan itu kini jadi miliknya, paling tidak untuk
empat hari ke depan. Pak Hasan terkekeh kalau mengingat anaknya yang bodoh.
Mudah sekali Andi ditipu. Pak Hasan berpura - pura tidak mau diantar Lidya
pulang ke kampung, padahal dalam hati ia ingin sekali membawa menantunya yang
molek itu dan menidurinya setiap hari di sana.
Hawa di desa
agak dingin dan berangin, pasti enak kalau tidur kelon dengan Lidya. Dengan
sedikit tipu daya, bukan dia yang merengek ingin membawa Lidya, malah Andi yang
memaksa dia mengajak si cantik itu. Ini mungkin yang dinamakan pucuk dicinta
ulam tiba. Pak Hasan pun berhasil mengajak Lidya menemaninya ke kampung.
Sambil
menghabiskan kacangnya, Pak Hasan mengamati kanan kiri. Beberapa orang di
terminal sepertinya tidak tahan untuk tidak melirik ke arah Lidya. Hampir semua
laki-laki yang ada di sana tidak mampu menjauhkan mata dari pesona menantunya,
tidak tua tidak muda. Bahkan ada beberapa orang laki-laki yang berjalan bersama
pasangannya melirik diam-diam ke arah si cantik itu. Geli juga Pak Hasan
melihat ekspresi benci seorang wanita melihat pasangannya ngiler melihat Lidya.
Dilihat dari
cara berpakaiannya kali ini sebenarnya Lidya tidak terlalu menampilkan
kemolekan tubuhnya, hanya saja karena dia memang terlampau menarik, orang
dengan mudah terpesona. Saat ini Lidya mengenakan baju putih kancing depan
berlengan panjang yang ditekuk hingga tiga perempat. Baju itu agak ketat
sehingga memperlihatkan lekuk tubuhnya namun tidak terlalu seksi. Seperti
biasa, Lidya melepas satu kancing teratas karena rasanya sesak dan
memperlihatkan sedikit saja belahan dada sentosa. Ia mengenakan rok pendek
selutut dengan warna abu - abu tua yang membalut pahanya yang mulus dan
memperjelas keindahan kakinya yang jenjang.
Menyadari
banyak laki - laki melirik ke arahnya Lidya memilih diam dan mengenakan
kacamata hitamnya, ia berpura - pura memperhatikan bis yang datang dan pergi dan
tidak menghiraukan mereka. Toh tidak ada gunanya ditanggapi. Lama kelamaan si
cantik itu melamun, benaknya melayang tak tentu arah. Lidya menyesalkan
kehidupan yang telah dikacaukan oleh ayah mertuanya yang mesum dan cabul. Ia
sudah mengkhianati suaminya dengan menyerahkan barangnya yang berharga pada Pak
Hasan. Belum lagi ketidakjelasan kakak - kakaknya yang juga entah bagaimana
nasibnya…
Sampai sejauh
ini ia sudah…
Terbangun dari
lamunan, Lidya baru menyadari kalau tangan gemuk Pak Hasan telah melingkar di
pundaknya dan beberapa kali memencet buah dadanya. Dengan risih Lidya
menggoyangkan badan untuk melepaskan kaitan lengan sang ayah mertua.
“Apaan sih
Bapak?!” Kata Lidya ketus, ia memasang muka masam,
“Ini tempat
umum. Jangan macam-macam.” Pak Hasan mencibir.
“Dulu kamu
pernah seperti ini di mal dan pasar, bahkan saat itu keadaan lebih parah. Apa
bedanya dengan terminal? Sama-sama tempat umum kan?”
“Pokoknya aku
nggak mau seperti dulu lagi… aku ini…”
“Jangan banyak
omong!!” tiba - tiba saja Pak Hasan menghardik dengan galak.
Lidya tercekat
kaget, dia tidak mengira Pak Hasan akan membentaknya. Satu hal yang ia takutkan
pada saat ini adalah mengundang perhatian orang sekitar. Melihat emosi Pak
Hasan meledak, Lidya mengalah karena melihat beberapa orang melirik ke arah
mereka. Dengan terpaksa ia membiarkan tubuhnya yang indah digerayangi sang
mertua.
Dengan berani
pria tua itu melingkarkan tangannya di pinggang ramping Lidya. Orang-orang yang
melihat akan menganggap kedua orang ini sebagai pasangan karena mesra sekali.
Rabaan tangan Pak Hasan melaju tanpa henti di tubuh Lidya, menggerayangi dan
menikmati setiap lekuk tubuhnya yang indah. Membuat iri mereka yang melihatnya,
bagaimana mungkin seorang pria botak, gemuk dan jelek seperti Pak Hasan bisa
menaklukan wanita seindah Lidya sungguh di luar daya khayal mereka. Untunglah
penderitaan Lidya tak berlangsung lama karena bus yang mereka tunggu-tunggu
akhirnya datang juga.
Pak Hasan
mendengus kesal melihat bus memasuki terminal, menganggu orang seneng aja, baru
seru malah masuk. Tapi beberapa saat kemudian pria tua itu terkekeh sambil
menepuk pantat Lidya dan berjalan mendahului menantunya ke tempat bus parkir. Lidya
kembali menggerutu.
***
Lidya dan Pak
Hasan menempuh perjalanan yang cukup panjang. Berangkat di sore hari dengan
menggunakan bus malam antar kota, mereka baru sampai di tujuan besok siang.
Karena bus penuh dan mereka berdua sedikit terlambat memesan tiket, Lidya dan
Pak Hasan mendapatkan tempat duduk di belakang, dekat dengan toilet dan sejajar
dengan pintu belakang. Lidya jelas kurang suka posisi duduknya ini sedangkan
Pak Hasan menganggapnya keberuntungan karena tidak akan ada gangguan selama
perjalanan. Posisi tempat duduk adalah 2 - 1, dua kursi di kiri dan 1 kursi di
kanan. Pak Hasan dan Lidya duduk berdampingan, pria tua itu memilih duduk di
dekat jendela.
Lidya yang
tidak biasa menempuh perjalanan jauh menggunakan bus malam merasa tidak nyaman
dengan jalan yang bergelombang tidak rata. Sayangnya hanya dia sendiri yang
sepertinya tidak merasa nyaman, penumpang lain tidur dengan nyenyak sepanjang
perjalanan. Keadaan di dalam bis sendiri sudah sangat gelap sejak lampu - lampu
dimatikan. Pak Hasan sudah tertidur sejak tadi, dengkurannya yang keras cukup
mengganggu Lidya. Kepala mertuanya itu disampirkan sengaja di bahu kanan Lidya,
ia tidur dengan enak sementara menantunya tak sedikitpun sanggup memejamkan
mata.
Untunglah
kelelahan yang menghinggap perempuan jelita itu akhirnya membuatnya terlelap.
Rasa capek yang amat sangat membuat Lidya bisa tertidur nyenyak. Beberapa jam
perjalanan berlalu, Pak Hasanlah yang terbangun terlebih dahulu, ia melirik jam
tangan dan menengok pemandangan di luar. Perjalanan masih jauh dan keadaan di
luar terlalu gelap untuk dinikmati. Pak Hasan mengangkat bahu dan tertawa
kecil, kalau pemandangan di luar tidak terlihat, sebaiknya menikmati saja
pemandangan indah yang ada di dalam.
Pak Hasan
menengok ke arah Lidya dan mengagumi kulit sang menantu, begitu halus dan
mulus, putih laksana pualam, bahkan di kala gelap seperti ini, putihnya kulit
Lidya seperti menyala. Bagian atas pakaian Lidya memperlihatkan sedikit balon
buah dadanya yang lumayan montok. Menggiurkan sekali, pikir Pak Hasan. Pikiran
kotornya mulai menggelora.
Posisi kursi
yang ada di belakang membuatnya bebas melakukan apapun karena tidak ada orang
lain duduk di samping kursi mereka, lagipula hampir semua orang tidur. Pak
Hasan menarik selimut kecil yang ia pakai turun ke bagian selangkangan dan
dengan pelan membuka kancing celananya sendiri. Pak Hasan mengeluarkan
kemaluannya sambil menyeringai lebar. Setelah mengeluarkan penisnya yang mulai
mengeras, tangan kanan Pak Hasan dengan nakal menjelajah ke bagian dada
perempuan cantik yang terlelap disampingnya, meremas pelan dan membelai buah
dadanya yang menggiurkan sementara tangan kirinya mulai membetot penisnya
sendiri.
Dengan berani
pria tua melepas beberapa kancing baju Lidya agar ia bisa lebih leluasa
menikmati buah dada sang menantu. Tangan keriput Pak Hasan makin tak terhalangi
setelah dua kancing atas baju Lidya dilepas. Ia kini menyelipkan tangan ke
bawah beha Lidya, meremas payudara montoknya dan memainkan puting yang makin
lama makin menegak dengan sesuka hati.
Pak Hasan
menyukai buah dada Lidya yang menurutnya berukuran sempurna, tidak terlalu
besar dan tidak terlalu kecil. Remasan pada payudara Lidya pas dengan tangkup
jemarinya. Kenyalnya balon buah dada sang menantu makin membuat Pak Hasan tak
tahan, beberapa kali ia mengenduskan hidung di buah dada Lidya, menikmati
baunya yang harum. Ia tak puas berhenti di payudara Lidya, Pak Hasan meraba
bagian lain seperti pantat bulat dan paha mulus sang menantu yang hanya
terlindungi oleh rok mininya.
Dengan gerakan
selembut yang ia bisa, jari-jari keriput Pak Hasan meraba paha Lidya, menaikkan
roknya sedikit demi sedikit sampai akhirnya ia mampu melihat lamat - lamat
celana dalam sang menantu dalam kegelapan. Gundukan berbelah yang ada di
selangkangan Lidya membuat Pak Hasan meneguk ludah, ia menarik bagian bawah
celana dalam Lidya ke samping, membuka akses utama menuju liang kewanitaan sang
menantu dan mulai memijat lembut bibir vagina sembari mencoba mencari
kelentitnya. Apa yang dilakukan Pak Hasan tentu membuat Lidya terbangun, masih
dengan mata yang setengah terpejam, si cantik itu berbisik pelan.
“Bapak? Apa
yang..?”
Pak Hasan
tidak menjawab, ia menengadah, menaikkan kepala dan mengenduskan hidung di pipi
sang menantu. Pak Hasan mencium pipi dan leher Lidya dengan lembut sambil
berbisik,
“Sudah, kamu
diam saja…..”
Gerakan jemari
nakal Pak Hasan yang menjelajah di selangkangannya membuat Lidya tersadar, mana
ada orang yang tidak bangun kalau dirangsang seperti ini.
“Esssst….,”
desahan pelan keluar dari mulut mungil Lidya. Ia tidak menyukai sedikitpun apa
yang dilakukan Pak Hasan, tapi ini… ini… enak sekali..,
“…ja… jangan…
essstt…” tolak Lidya. Ia menggelengkan kepala dan mendesah manja, entah
keenakan atau menolak.
Lidya mencoba
mendorong tangan Pak Hasan namun gerakannya seperti setengah hati, hal yang
justru membuat Pak Hasan meningkatkan serangannya dan membuat si cantik itu
merem melek. Tak perlu waktu lama bagi pria tua itu untuk bisa mengeluarkan
cairan pelumas yang segera meleleh keluar dan membasahi belahan liang cinta
Lidya. Cairan itu juga mulai membasahi jemari Pak Hasan yang berkuasa penuh di
memek menantunya. Lidya menggelengkan kepala dan terus menolak,
“…jangan…
jangan di sini… jangan…”
Ketika
menggelengkan kepala untuk mencoba menolak, mata Lidya tertumbuk pada gundukan
yang makin lama makin membesar di selimut yang menutup selangkangan mertuanya.
Lidya semakin tidak percaya, jangan - jangan mertuanya yang gila itu sudah
membuka celana? Tidak mungkin selimut itu menggunduk sebesar itu jika
kemaluannya masih ada di dalam celana. Sudah pasti kemaluannya sudah ada di
luar. Gila, mereka sedang berada di bus! Ada dua orang yang saat ini duduk di
depan mereka!
“Saatnya
mengulum sekarang, Nduk.” bisik Pak Hasan.
Mata indah si
cantik itu melotot! Lidya menggelengkan kepala semakin keras, ia tidak mau!
Jelas ia tidak mau! Ini gila! Mereka sedang dalam bus… dalam bus… yang gelap
dan sepi… dalam bus yang hampir seluruh penumpangnya tertidur. Lidya mencoba
melihat sekitarnya dalam kegelapan, orang yang berada di kursi - kursi terdekat
telah tidur.
“Hgghh!!!”
Lidya tercekat ketika ia merasakan sentakan di selangkangannya.
“Cepat kulum
penisku!!” bisikan galak mengagetkan Lidya, hardikan itu semakin mengena karena
pada saat yang bersamaan Pak Hasan menyentil klitorisnya.
Pria tua cabul
itu telah berhasil menemukan titik kelemahan Lidya. Tubuh wanita jelita itu
menggelinjang tanpa henti, kalau ia tidak segera mengulum penis sang mertua
bisa-bisa ia berteriak - teriak seperti orang gila karena Pak Hasan terus
menerus merangsang kelentitnya. Dengan takut Lidya melihat ke kursi sekitar
sebelum membungkukkan tubuhnya dan menarik selimut mertuanya. Penis tua Pak
Hasan langsung menyambut dengan tegak wanita cantik itu, Lidya bersyukur saat
itu gelap sehingga dia tidak harus menyaksikan penis keriput milik pria tua
cabul yang sudah sering memperkosanya. Dengan jemarinya yang lentik Lidya
meraih kemaluan Pak Hasan.
“Naaah…
begitu.” Pak Hasan menarik nafas penuh kepuasan.
Lidya
menurunkan kepala untuk mencapai kemaluan mertuanya. Pria tua itu mulai
merasakan lidah yang lembut memutari kemaluannya. Pak Hasan terkekeh keenakan.
Susah sekali menahan lenguhan jika Lidya menyepongnya seenak ini. Lidah sang
menantu naik turun di batang kemaluan Pak Hasan, merasakan setiap senti kulit
kemaluan yang telah keriput, menjilati urat yang menegang pada benda kebanggaan
Pak Hasan. Tidak perlu waktu lama bagi penis Pak Hasan untuk menegak seperti
tiang bendera dan sekeras kayu.
Namun ketika
Lidya tidak juga segera memasukkan penisnya ke dalam mulut, Pak Hasan mulai
gusar. Melepaskan tangan kanan dari selangkangan sang menantu, Pak Hasan meraih
bagian belakang kepala Lidya, menjambak rambutnya pelan dan menggiring bibirnya
ke penis keriput yang telah menunggu.
Lidya benci
sekali disuruh melakukan hal ini tanpa kesempatan untuk menolak. Karena dia
tidak ingin ada keributan terjadi di dalam bus, si cantik itu menurut saja apa
kehendak Pak Hasan. Pria tua itu terus saja mendorong kepala Lidya ke bawah,
melesakkan penisnya ke dalam mulut sang menantu sedikit demi sedikit. Lidya tak
mampu mengangkat kepalanya karena ditahan oleh Pak Hasan, itu sebabnya dia
membiarkan ayah mertuanya memasukkan kepala penisnya ke dalam mulut.
Makin lama
makin dalam penis itu melesak masuk. Pak Hasan bisa merasakan gerakan tubuh
Lidya yang meronta, mulut si cantik itu megap - megap mencari udara, ia mencoba
mencari nafas karena mulutnya penuh dijejali penis. Merasa kasihan, Pak Hasan
memberikan kesempatan pada Lidya untuk menarik nafas selama beberapa saat.
Lidya megap-megap ketika kepalanya diangkat ke atas dan berusaha menarik nafas
panjang. Tapi Pak Hasan belum puas, ia membiarkan Lidya menarik nafas sebelum
akhirnya melesakkan lagi penisnya dalam - dalam.
Tapi mungkin
Pak Hasan memasukkan penisnya terlalu dalam. Ketika sodokan kepala penis Pak
Hasan menyentuh dinding terdalam kerongkongan Lidya, si cantik itu tersedak!
Pak Hasan menjambak rambut Lidya dan untuk kedua kalinya ia melepaskan penisnya
dari dalam mulut sang menantu. Lidya memekik lirih ketika penis Pak Hasan lepas
dari bibirnya.
“Hak…! Hak…!”
Lidya terbatuk.
Bukannya
berhenti setelah Lidya tersedak, Pak Hasan justru kembali mendorong kepala si
jelita untuk melanjutkan sepongan pada kemaluannya. Lidya menatap Pak Hasan tak
percaya, mertuanya ini sudah gila atau benar-benar tidak punya perasaan! Untungnya
untuk yang kali ini Pak Hasan lebih lembut, Lidya pun melanjutkan sepongannya
dengan lebih pelan, ia mencoba menikmati kemaluan keriput yang sebelumnya
membuatnya merasa jijik. Pak Hasan membantu menantunya menyepong dengan
kecepatan tetap, lidah Lidya bergerak lincah menjilat batang dan ujung gundul
penis sang mertua sebelum akhirnya menelan batang kemaluan Pak Hasan.
“Harghhh!!”
Pak Hasan mencoba menahan kenikmatan yang diberikan oleh Lidya.
Setelah
beberapa saat lamanya mulut, lidah dan bibir Lidya bekerja tanpa henti, Pak
Hasan akhirnya bergetar… ia sudah tak kuat lagi! Sekali mengejang, penisnya
melontarkan semprotan demi semprotan cairan kental ke dalam mulut sang menantu.
Karena tidak bisa bernafas, Lidya terpaksa menelan cairan cinta sang mertua. Ia
memejamkan mata mencoba menahan diri agar tidak muntah.
Pak Hasan
menarik penisnya dari mulut Lidya dan melepaskan rambutnya. Si cantik itu
mengangkat kepalanya dan merasa lega. Akhirnya selesai juga… eh?!!
Lidya yang
mengira penderitaannya sudah berakhir ternyata salah besar. Jari nakal pria tua
yang juga mertuanya sendiri itu kini bergerak lincah memainkan bibir vaginanya!
Lidya memejamkan mata mencoba menahan rangsangan luar biasa. Tangan Lidya
mencoba mendorong tangan Pak Hasan tanpa hasil. Pria tua itu masih terlampau
kuat.
Pak Hasan puas
sekali melihat tubuh menantunya bergetar hebat mencoba menahan kenikmatan yang
terus menerus ia terima. Lidya berusaha menahan teriakannya dengan memejamkan
mata dan menutup mulut dengan tangannya. Ia menggelengkan kepala karena tak
kuat bertahan. Ia harus berteriak… ia ingin berteriak… ia tak tahan lagi!!! Lidya
menarik bajunya ke atas dan menggigitnya.
Akhirnya Lidya
mengejang beberapa kali. Matanya melotot dan ia berteriak tertahan sambil
menggigit baju untuk mengurangi suara. Cairan cinta meleleh dari dalam
vaginanya. Lidya menggigil sebelum akhirnya lemas. Pak Hasan tertawa dalam hati
melihat Lidya berusaha bertahan mati - matian agar tidak mengeluarkan suara.
Untuk terakhir kalinya tubuh Lidya mengejang hebat dan akhirnya lemas. Lidya
menatap benci ayah mertuanya, dia membalikkan badan dan merapikan pakaiannya. Pak
Hasan mengancingkan celananya dan menepuk kepala Lidya.
“Gitu dong,
Nduk.”
Posting Komentar
0 Komentar