RANJANG BIRAHI (PART 7 - PART 9)
SINOPSIS :
Kamar VIP
tempat Hendra dirawat mulai terlihat membosankan bagi Alya, dia ingin segera
pulang dan membawa suaminya meninggalkan kamar rumah sakit yang berbau obat ini
untuk kembali menjalani hidup bersama di rumah sendiri. Ibu muda yang cantik
itu duduk termenung di samping jendela kamar sambil melamun, pandangannya tak
berpindah dari halaman rumah sakit yang asri dan dipenuhi pepohonan menghijau,
walaupun hari sudah gelap tapi pemandangan taman tetap terlihat karena nyala
terang lampu hias di taman. Malam mulai menggelayut dan gelap menyelimuti hari.
Pandangan Alya beralih dari satu lampu ke lampu yang lain, setelah bosan ia
beralih memperhatikan pepohonan tinggi yang menunduk seakan tertidur lelap di
tengah malam yang sunyi.
Pikiran Alya
termenung lebih jauh lagi, seperti apa kehidupan mereka selanjutnya dengan
keadaan Mas Hendra yang seperti ini? Separuh tubuhnya sudah lumpuh, masa
penyembuhannya akan berlangsung lama, belum lagi pengaruh psikisnya pada Mas
Hendra dan keluarga mereka. Pekerjaan Mas Hendra memang masih bisa dikerjakan
dari rumah melalui internet bahkan perusahaan Mas Hendra sudah mengatakan opsi
pekerjaan tersebut bisa dikerjakan oleh Mas Hendra selama sakitnya. Mereka
tidak akan memecat Hendra, melainkan tetap memperkerjakannya walaupun tetap
berada di rumah karena kemampuan Hendra memang tidak ada duanya dan dia sangat
dibutuhkan untuk tetap bekerja. Walaupun begitu, akan tetap butuh waktu bagi
mereka semua untuk menyesuaikan diri.
Alya menatap
keluar halaman dengan pandangan yang makin mengabur. Bagaimana dengan dia
sendiri? Kuatkah dia menghadapi semua masalah demi masalah yang makin lama
makin besar dan meremukkan seluruh jiwaraganya? Kuatkah dia untuk terus berada
di samping suaminya sementara hidupnya terus berada di bawah ancaman pria tua
busuk seperti Bejo Suharso? Keluhan pelan keluar dari mulut Alya, wanita cantik
itu hanya bisa berharap ini semua segera berakhir.
Terdengar
ketukan pelan dari pintu, Alya melirik ke jam dinding, siapa gerangan yang
mengetuk jam segini? Jam bezuk sudah lewat dan Alya tidak menunggu siapapun
termasuk Dodit, Anis ataupun Lidya sementara Opi sudah dititipkan pada Bu Bejo.
Siapa yang malam ini datang? Susterkah? Jarang sekali suster masuk ke dalam
ruangan jam segini, biasanya mereka datang hampir tengah malam.
“Halo… halo…
kamu sendirian ya sayang? Bagus! Ayo kita bersenang-senang!”
Alya hampir
menjerit ketika sosok gemuk Bejo Suharso masuk ke dalam kamar sambil
menyeringai. Dengan bantuan tangannya sendiri, Alya membekap mulut agar tidak menjerit
dan menimbulkan kegaduhan. Pak Bejo datang seorang diri, pria tua itu bahkan
dengan berani menggeser kursi yang ada untuk memalang pintu kamar, siapapun
yang hendak masuk akan kesulitan membuka pintu kecuali kursi itu disingkirkan.
Alya meringkuk ketakutan di pojok ruangan. Berulang kali wanita cantik itu
melirik ke arah suaminya yang masih lelap. Kepada siapa Alya harus minta
pertolongan? Keringat deras mengalir di dahinya.
“Ayo… ayo…
tidak usah takut. Ini aku, sayang. Kekasihmu tercinta.” Bejo berjalan tegap ke
arah istri Hendra yang pucat pasi dan ketakutan, kangen sekali rasanya dia pada
si molek ini. Alya menggeleng.
“Jangan
mendekat! Jangan mendekat!!”
Alya bangkit
dan mencoba melarikan diri, tapi tangan besar Pak Bejo lebih cekatan dari gerakan
Alya yang panik. Dengan satu sentakan, Alya dilempar kembali ke pembaringan di
samping tempat tidur Hendra yang masih terlelap. Di kamar VIP itu, memang
disediakan satu pembaringan untuk tamu penunggu pasien.
“Jika kau mau
semua ini berakhir, diam dan layani aku.” bisik Pak Bejo mengancam.
***
Lidya tidak
bisa tidur malam ini, saat makan malam tadi Andi mengatakan kalau dia harus
pergi lagi selama seminggu ke luar kota. Suaminya itu mengatakan kalau ternyata
ada beberapa pekerjaan kantor yang belum tuntas diselesaikan saat dia ke dinas
di sana seminggu yang lalu. Karena pekerjaan itu sifatnya mendesak, besok Andi
harus segera terbang lagi kesana dan membereskannya.
Sebenarnya
bukan perpisahan selama seminggu dengan Andi yang membebani batin Lidya, melainkan
rasa takutnya kembali berdua saja dengan ayah mertuanya yang cabul. Pantas saja
Pak Hasan memaksa Lidya menjadi budaknya seminggu ini, ternyata mertuanya itu
sudah lebih dahulu tahu kalau Andi akan pergi dinas lagi selama seminggu.
Membayangkan senyum ejekan menggaris di bibir Pak Hasan, ingin rasanya Lidya
menamparnya. Menjijikkan sekali! Orang yang tadinya dianut sebagai pengganti
orang tua, malah menjebloskannya ke lembah hina.
“Mass…,” Lidya
menggelayut manja di pundak suaminya yang baru saja naik ke ranjang.
“Apa perginya
tidak bisa ditunda? Mas Andi kan baru saja pulang, belum sampai seminggu di
rumah sudah pergi lagi.”
“Maaf sayang,
tidak bisa, aku tetap harus pergi besok. Kamu tahu sendiri kan ini sudah masuk
jadwal rutin akhir tahun anggaran, pekerjaan di daerah menumpuk sementara teman
kerjaku malah cuti karena istrinya melahirkan, tidak ada orang lain lagi selain
aku yang bisa mengerjakannya, padahal rencananya bulan depan bos besar akan
datang dari Singapore, reportnya harus segera selesai dalam minggu ini.” bisik
Andi yang sudah mulai memejamkan mata, dia lelah sekali hari ini.
“Terus aku
bagaimana?” desah Lidya lagi.
“Kamu
bagaimana gimana? Kamu ya di rumah aja, aku kan cuma seminggu, nggak lama, lagi
pula ada Bapak di rumah. Dia bisa menemani kamu selama aku pergi, kamu tidak
perlu takut kesepian, kalau butuh jalan-jalan tolong temani Bapak
keliling-keliling cari kontrakan baru. Siapa tahu bapak bosan di rumah terus.”
Lidya
merengut, kalau diberi kesempatan dan diperbolehkan, dia justru ingin menghajar
mertuanya yang dengan biadab telah memperkosa dan mempermalukannya itu, tapi
Lidya tentu saja tidak mungkin melakukannya.
“Aku kan masih
kangen,” rayu Lidya manja sambil menciumi bagian belakang leher suaminya. “baru
beberapa hari kamu di rumah… malam ini… kamu… kita…” Andi yang tertidur sambil
membelakangi Lidya geli diciumi oleh istrinya, diapun membalikkan badan.
“Aduh sayang, jangan sekarang ya… aku capek
sekali.”
Setelah
mendorong Lidya agar menjauh sedikit, Andi kembali berbalik dan terlelap. Lidya
mencibir dengan kesal.
***
“Apa mau Pak
Bejo?” tanya Alya geram. Dia menyimpan kekhawatiran pada tatapan mesum lelaki
tua itu.
“Buka
resleting celanaku!” perintah Pak Bejo.
“Sinting!
Gila! Pak Bejo pikir ini dimana? Ini rumah sakit! Bagaimana nanti kalau ada
orang masuk?” Alya mengeluarkan keringat dingin karena tegang.
“Lagipula aku
tidak mau melakukannya di depan Mas Hendra!!” tambah Alya. Si cantik itu
mencoba mengelak dengan segala cara namun pergelangan tangannya dipegang erat
oleh Pak Bejo. Alya buru-buru mencari cara lain untuk meloloskan diri dari
situasi gawat ini.
“Aku akan
layani Pak Bejo kalau kita sudah sampai rumah nanti! Tidak di sini, tidak
sekarang! Pokoknya aku tidak mau!”
“Aku tidak
peduli. Kamu pikir selama ini aku tidak mengamati kegiatan di rumah sakit ini?
Aku lebih pintar dari yang kau kira, sayang. Suster tidak akan datang ke kamar
ini dalam waktu seperempat jam ke depan dan sekarang bukan jam bezuk, jadi
tidak akan ada orang lain di sini kecuali kita berdua, Mbak Alyaku yang cantik
jelita.” Pak Bejo terkekeh digdaya,
“Coba lihat
suamimu itu. Kasihan sekali kan kalau sampai arah infusnya berbalik? Darahnya
akan tersedot ke atas… hehehe. Kau sadar tidak, mudah sekali kalau aku ingin
menyakiti orang-orang yang kamu cintai kapanpun aku mau. Kalau tidak ingin Mas
Hendra kucelakai sampai mampus di tempat ini juga, sebaiknya kau segera buka
resleting celanaku dan sedot kontolku sampai aku puas!”
Alya menatap
Pak Bejo tak percaya, ia memutar otak mencoba mencari jalan keluar dari situasi
yang sedang ia hadapi, tapi memang tidak ada jalan lain yang aman baginya
kecuali melayani kemauan bajingan tua ini. Keselamatan Mas Hendra lebih penting
dari martabatnya yang sudah tak ada harganya lagi. Alya akhirnya menurut, ia
jongkok ke bawah, membuka kancing lalu menarik turun kait resleting celana Pak
Bejo. Setelah dibuka, Alya menarik turun celana panjang berikut celana dalam
yang dikenakan oleh pria tua itu sampai ke betis. Kemaluan Pak Bejo yang besar
dan panjang meloncat keluar dari celana dalam yang ia kenakan dan menampar pipi
mulus Alya.
Ingin sekali
rasanya Alya menendang kantung kemaluan Pak Bejo dan melarikan diri dari
ruangan ini, tapi melihat Hendra yang lelap tak berdaya Alya tahu ia harus
tunduk dan menuruti semua kemauan Pak Bejo. pria tua itu menjambak rambut Alya
dan menariknya ke belakang, wajah Alya menengadah ke atas dan bertatapan mata
langsung dengan mata jalang Pak Bejo.
Wajah takluk
Alya membuat Pak Bejo tersenyum puas. Dengan jari-jari nakalnya, pria tua itu
memainkan rambut indah Alya lalu dengan kasar dia mendorong wajah Alya
mendekati kemaluannya.
“Sedot.” Bisik
Pak Bejo, suaranya pelan namun tegas.
Alya tahu, dia
harus segera melayani kemauan Pak Bejo saat ini juga atau pria tua yang jahat
itu akan menghajarnya seperti beberapa waktu yang lalu. Pak Bejo memang tidak
berperasaan, dia menyuruh Alya mengoral kemaluannya tepat di hadapan sang suami
yang masih lelap, belum lagi kalau ada suster yang datang. Benar-benar nekat
orang tua tak tahu malu ini. Mereka berada cukup dekat dengan ranjang penunggu
pasien tempat Alya biasa tidur menemani Hendra.
“Kamu mau
ketahuan orang? Mumpung sepi, cepat sedot.” Gertak Pak Bejo sekali lagi.
Alya melirik
ke arah Hendra yang masih terlelap, lalu menatap sengit mata Pak Bejo. Alya
mencondongkan badan ke depan dan membuka mulutnya perlahan. Si cantik itu
menelan batang kemaluan Pak Bejo dan memainkan lidah di sekitar ujung
gundulnya. Alya memegang kontol Pak Bejo dengan lembut dan mengocoknya
perlahan. Si cantik itu mendorong Pak Bejo agar tidur terlentang di ranjang
penunggu pasien dan ia mulai menjilati seluruh batang kemaluan lelaki tua itu,
mulai dari kantungnya, lalu batang, sampai ke atas. Jilatan lidah Alya membuat
Pak Bejo terangsang dan belingsatan, enak sekali rasanya.
Nafas Pak Bejo
kian berat, ia sangat menyukai perasaan berkuasa seperti ini. Ia merasa seperti
seorang raja yang sedang dilayani oleh selirnya. Saat ini pria tua itu tahu
apapun yang ia perintahkan pasti akan dilaksanakan ibu muda yang seksi itu.
Membayangkan wanita secantik Alya melakukan hal-hal yang memalukan membuat Pak
Bejo terangsang. Kontolnya langsung ngaceng, bahkan akan meledak mengeluarkan
air mani seandainya tidak ditahan-tahannya.
Lama kelamaan,
seluruh batang pelir Pak Bejo sudah tertelan oleh Alya, kepalanya naik turun
bersama gerakan mulutnya mengocok kemaluan sang lelaki tua dari ujung gundul
sampai kantung kemaluan. Pak Bejo memiringkan kepala Alya dan menyibakkan
rambut yang menutup wajah cantiknya. Ia ingin melihat langsung kontolnya keluar
masuk bibir mungil wanita secantik Alya, pemandangan indah itu membuatnya
semakin terangsang.
Benar saja,
hanya beberapa detik melihat Alya mengoral kemaluannya, Pak Bejo sudah siap
mencapai klimaks. Pria tua itu mengencangkan cengkramannya pada rambut Alya dan
menggerakkan kepala wanita jelita itu seraya memompakan penisnya ke dalam mulut
Alya. Si cantik itu memberontak sesaat, tapi tatapan galak Pak Bejo meluruhkan
niatnya, nyali Alya menciut dan Pak Bejo pun membentaknya galak.
“Ayo dikulum
terus! Kenapa berhenti?”
Walau kesal
dan jengkel tapi Alya tak melawan sedikitpun. Si cantik itu melumat kontol Pak
Bejo seiring gerakan sang pria tua menggiling kemaluannya memasuki tenggorokan
Alya dengan gerakan yang sangat cepat sampai-sampai si cantik itu tak sempat
menarik nafas. Lama kelamaan sodokannya makin cepat dan pendek sementara nafas
Pak Bejo terdengar mendengus-dengus. Alya yakin pria tua itu pasti akan segera
mencapai puncak kenikmatan.
“Mainkan
kantungku,” lenguh Pak Bejo sambil menggemeretakkan gigi.
Pria itu masih
terus menyodokkan kemaluannya ke mulut Alya. Begitu jari-jari lembut Alya
menyentuh kantung kemaluannya, Pak Bejo tidak kuat lagi, ia langsung mencapai
klimaks dengan cepat. Diiringi lenguhan panjang, Pak Bejo menyemprotkan cairan
cintanya. Pria tua itu memaksa Alya menerima semua semprotan pejuh dengan
mulutnya, tangan Pak Bejo bahkan memegang kepala Alya erat-erat agar si cantik
itu menelan semua semprotan air maninya tanpa ada yang tersisa. “Telan!” desak
Pak Bejo melihat Alya enggan menerima air maninya, perintah Pak Bejo terpaksa
dituruti oleh ibu muda yang cantik itu karena takut dan ia ingin sesegera
mungkin mengakhiri sesi oral seks dengan orang tua bejat itu.
Merasakan
penisnya dikulum dan pejuhnya ditelan mentah-mentah oleh Alya membuat Pak Bejo
sangat puas. Setelah penis Pak Bejo menembakkan peluru pejuhnya yang terakhir,
pria tua itu meringis dan menarik penisnya dari kuluman Alya. Beberapa tetes
air mani kental ikut terbawa saat ia menarik kemaluannya. “Bersihkan kontolku.”
Perintah pria tua itu.
Dengan
hati-hati Alya menjilat dan menelan setiap tetes pejuh yang membasahi kemaluan
Pak Bejo. Bibir si cantik itu belepotan air mani sang pria tua, Alya memang
sengaja tidak menelan seluruh cairan yang keluar dari kemaluan Pak Bejo karena
jijik, pejuh putih kental menetes dari sela-sela mulutnya dan jatuh di atas
lantai. Pak Bejo menepuk-nepuk kepala Alya dan mengenakan kembali celananya
dengan penuh kepuasan.
“Memang enak
seponganmu, Mbak Alya,” kata Pak Bejo.
“Mungkin Mas
Hendra bisa sembuh dari lumpuhnya dan bangun dari tempat tidur kalau kau sepong
terus tiap hari.”
Sambil tertawa
terbahak-bahak Pak Bejo melangkah pergi meninggalkan kamar tempat Hendra
dirawat, Alya menatap kepergian orang tua bejat itu dengan penuh kebencian.
Beberapa orang suster yang sedang duduk beristirahat di ruang administrasi
menatap heran langkah jumawa dan senyum sumringah Pak Bejo meninggalkan
bangsal, baru kali ini ada orang yang tertawa terbahak-bahak usai mengunjungi
pasien yang sakit parah, keterlaluan sekali orang ini.
Sepeninggal Pak Bejo, Alya membersihkan lantai yang basah oleh air mani dengan tissue dan mencuci mulutnya di kamar mandi. Tanpa sepengetahuan Alya yang telah masuk ke kamar mandi, setetes air mata mengalir di pipi Hendra.
***
Posting Komentar
0 Komentar