THE LUST REVENGE
SINOPSIS :
Kisah seorang pria dengan masa lalu kelam yang menyimpan dendam akibat perselingkuhan istrinya dan mengakibatkan hancurnya rumah tangganya. Sang istri dan selingkuhannya tak menyadari jika pria ini memiliki kemampuan untuk membalas perbuatan mereka berkali-kali lipat lebih kejam.
PROLOG
Apa yang
sangat menyakitkan di dalam hidup ini? Tidak lain dan tidak bukan adalah
dikhianati. Itulah yang dirasakan Arief Gagah Suroso. Dia gemetar mendapatkan
surat dari pengadilan agama tentang gugatan cerai dari istrinya. Seminggu lagi jadwal
sidang tersebut. Apa dia harus datang? Sebenarnya, semuanya sudah diketahui
bahwa niatan istrinya menggugat cerai dirinya hanyalah kedok untuk
menyembunyikan perselingkuhan wanita itu dengan ustadz yang setiap minggu
didatanginya di kajian rutin.
Jannah
Hanifah, nama yang akan terus diingat dalam seluruh hidup Arief. Masih teringat
bagaimana dulu dia meminang istrinya dengan baik-baik ke kedua orang tuanya.
Dengan berbekal tekad untuk menjalin keluarga sakinah mawadah warahmah hingga
akhir hayat. Rasanya sungguh ini adalah kekecewaan yang mendalam. Setelah lima
tahun berumah tangga, nyatanya hanya cukup lima tahun kebersamaan itu.
Selebihnya adalah derita dan kesengsaraan atas nama cinta.
Rasanya Arief
sudah tidak sanggup untuk menahan diri lagi. Dia tidak mau mendatangi panggilan
dari Pengadilan Agama itu. Kalau istrinya ingin cerai ya biarkan saja. Namun,
bagaimana dengan anak mereka? Bagaimana dengan Khalil? Dia masih kecil. Tidak
mungkin Arief akan membiarkan bocah itu tinggal dengan istri tukang selingkuh
itu. Tidak mungkin akan membiarkan anak mereka dididik oleh seorang
pengkhianat. Khalil tidak boleh dibiarkan tinggal bersama Jannah. Dia harus
dididik dengan baik agar tidak seperti ibunya.
Malam itu
hujan. Suhu ruangan menjadi lebih dingin, seiring dengan masuknya angin dingin
dari pintu jendela. Arief beranjak menutup daun jendela hingga yakin sudah
dikunci. Di atas ranjang, tampak anak semata wayangnya sedang tidur pulas
memeluk guling. Dilihatnya jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 23.00 WIB.
Sudah pasti istrinya tidak akan pulang malam ini. Perempuan itu pasti sedang
tidur bersama ustadz brengsek itu.
Untuk
meyakinkan diri, Arief membuka layar ponselnya. Dia pun membuka aplikasi "Track
your phone" yang terinstall di ponsel. Aplikasi itu bisa memberitahu
letak posisi terakhir seseorang. Dia tidak terkejut dengan hasil yang akan dia
peroleh saat melacak posisi terakhir istrinya ada di mana. Tadi dia mendapatkan
chat kalau malam ini akan tinggal di rumah orang tuanya. Benarkah demikian?
Setelah
aplikasi dibuka. Dia pun mendapati dimana posisi terakhir Jannah berada. Ada di
Hotel Grand National. Arief hanya tersenyum sinis. Dia tangkap screenshot
layarnya, setelah itu dia coba untuk memanggil istrinya. Agak lama untuk
diangkat. Setelah beberapa detik berlalu akhirnya istrinya pun mengangkatnya.
"Ya,
Assalaamu'alaikum," sapa istrinya,
"Ada apa
mas?"
Terdengar
suara berisik di seberang sana. Arief sudah membayangkan yang tidak-tidak.
Suara napas istrinya juga terengah-engah.
"Aku
sudah terima suratnya," jawab Arief.
Tiba-tiba
suara telepon istrinya hening. Seolah-olah waktu itu kejadiannya benar-benar
tiba-tiba dan mendadak berhenti. Suara napas istrinya juga berhenti. Entah apa
yang terjadi di sana.
"Trus?"
tanya Jannah.
"Umi
sudah bulat ingin cerai?"
"Iya."
"Apa
alasan umi?"
"Bukankah
sudah berkali-kali kita bahas ini...uhff...! Kita sudah beda prinsip,
....ehm... kita beda segalanya. Lagipula... sam..pai... sekarang mas juga belum
bisa memberikan ....apa yang aku ....inginkan..." lagi-lagi terdengar
suara gaduh dan napas istrinya tersengal-sengal seperti menahan sesuatu.
Arief makin
marah, tapi dia mencoba untuk menahan diri. Dia bukan orang bodoh yang bisa
ditipu begitu saja. Arief menghela napas perlahan-lahan untuk meredakan
emosinya. Dia pun bertanya kepada istrinya,
"Umi
masih cinta mas tidak?"Lama jawaban dari Jannah.
"Ahhh..."
terdengar desahan istrinya.
Arief masih
menunggu. Dia sudah mengira apa yang terjadi di sana seperti apa, jadi tak
perlu dia bertanya.
"Umi masih cinta mas tidak?"
diulangnya pertanyaan Arief.
"Maaf,
mas," terdengar suara Jannah menarik napas dalam-dalam seperti baru saja
lari marathon.
"Sedang
angkat-angkat tadi. Kalau ingin Umi kembali ke mas, syaratnya gampang. Penuhi
keinginan Umi."
"Begitukah?"
tanya Arief sambil mendesah.
"Iya, Mas
tahu sendiri sekarang pendidikan mahal, Khalil butuh biaya sekolah, rumah,
kehidupan setiap hari dan hutang mas itu sudah seabrek. Umi juga kan yang
akhirnya cari duit sana sini? Umi juga yang kerja sudah tiga bulan Umi menutupi
keuangan keluarga kita. Sedangkan, Mas? Mas tidak ada sumbangsih sama sekali!
Mas mikir nggak? Umi juga perlu nafkah!"
"Tapi mas
juga ngasih ke kamu bukan? Seluruh gaji mas sudah kukasih. Mas bahkan nyaris
tiap hari ke kantor nggak bawa uang dan nahan lapar sampai pulang ke rumah. Itu
pun di rumah kalau masih untung ada makanan, biasanya juga sudah habis! Umi
kemana selama ini?"
"Mas yang
kemana selama ini? Setiap hari kerja pagi sampai malam, trus capek tidur. Aku
juga butuh perhatian mas!" Arief terdiam sejenak. Dia mendesah lagi.
"Memangnya
selama ini perhatianku kurang? Setiap kamu sakit, akulah yang merawat. Akulah
yang menahan lapar sebelum aku melihat kalian makan aku tidak akan makan.
Akulah yang rela mengubur cita-citaku hanya untuk kalian. Kau kira aku
kemana?"
"Mas juga
perlu ingat, mas pernah dekat dengan perempuan lain. Si Azizah itu atau siapa
namanya. Mas kira aku tidak tahu? Mas masih suka ama dia kan? ngaku saja! Mas
begitu baik ama dia, tapi sama aku? Mas lebih mengkhawatirkan si Azizah itu
daripaada aku. Aku juga perlu dikhawatirkan mas."
Ada alasan
lain kenapa Arief lebih perhatian ke Azizah. Memang salahnya tidak cerita ke
istrinya, tapi itu bukan alasan yang sebenarnya. Arief sudah tidak lagi melihat
celah istrinya untuk bisa mencabut gugatan cerai itu.
"Kau tak
memikirkan bagaimana Khalil nanti hidup tanpa kebersamaan orang tua?"
tanya Arief.
"Mas,
orang tua Khalil masih hidup. Kita cuma pisah saja. Kita bisa saling
mengasuhnya. Kita cerai dengan baik-baik. Hak asuh biar Khalil yang memilihnya
nanti kalau sudah cukup umur, sementara Khalil bersamaku," jawab Jannah,
"Jangan
khawatir, aku bisa mendidik Khalil."
"Kau
sudah bertekad bulat untuk hal ini?" tanya Arief sekali lagi,
"Ini
pertanyaan terkahirku. Sebab, setelah ini kau tidak akan melihatku lagi sebagai
Arief yang kau kenal.”
"Maksud
mas?"
"Aku akan
sangat berbeda," jawab Arief,
"Makanya,
aku bertanya kepadamu, kau sudah bertekad bulat menggugat ceraiku?"
"Iya, aku
sudah bertekad bulat. Tidak ada yang aku ragukan," jawab Jannah.
"Berapa
lama kau sudah memikirkan ini?" tanya Arief.
"Cukup
lama," jawab Jannah,
"Daripada kita saling menyakiti, ini
jalan yang terbaik." Arief berkata,
"Baiklah. Kau yang memilihnya. Salam
kepada ustadz Tholib di situ, agar beliau bisa menjagamu dengan baik."
"Hah?
Maksud mas? mas...." suara Jannah terputus. Arief telah menutup
teleponnya. Arief tersenyum sinis. Dikiranya selama ini Jannah tidak tahu kalau
berselingkuh.
Sementara itu
di tempat lain Jannah gemetar menggenggam ponselnya. Tubuhnya ada di atas
ranjang tanpa sehelai benang pun sementara itu di sebelahnya ada seseorang yang
tadi disebut oleh suaminya, ustadz Thalib. Guru pengajian mereka selama ini,
sekaligus juga teman Jannah saat kuliah dulu. Mustahil perselingkuhan mereka
diketahui Arief? Sejak kapan?
Jannah panik.
Dia mencoba menghubungi Arief sekali lagi, tetapi tidak diangkat atau direject.
Jannah khawatir. Dia buru-buru pergi ke kamar mandi yang ada di kamar hotel
untuk membersihkan dirinya dari bau sperma yang melekat di tubuhnya. Melihat
gelagat Jannah, Thalib pun menghampirinya di kamar mandi.
"Ada
apa?" tanya Thalib.
"Sepertinya
suamiku tahu kita selingkuh," jawab Jannah yang saat itu sudah berada di
guyuran shower.
"Ya bagus
dong."
"Bagus
bagaimana? Dia tahu kita selingkuh!"
"Artinya
dia sudah tidak mempedulikanmu. Kalau dia tahu kita selingkuh, kenapa dia tidak
memperjuangkanmu? Kenapa dia diam saja seolah-olah membiarkan istri yang
dicintainya ini dimiliki oleh orang lain?"
Jannah memijat
kepalanya. Thalib pun mendekati perempuan itu, lalu menaikkan dagunya. Mereka
berciuman di bawah guyuran shower.
"Mas,
kita harus mikirin masalah ini," ucap Jannah.
"Tak usah
khawatir. Apa yang kau inginkan selama ini akan aku beri. Apapun. Kau tak perlu
memikirkan suamimu yang tidak berguna itu," kata Thalib sambil kembali
memagut Jannah. Tangan kasarnya kembali meremas payudara Jannah dengan lembut.
Jannah pun akhirnya terbuai birahi saat bibir Thalib mulai mengecupi leher.
"Ohhh...
jangan Mas ustadz...ahh...!" desah Jannah lirih.
Terlambat,
kaki Jannah telah dinaikkan, lalu batang besar berurat mulai menyeruak masuk
lagi ke dalam liang surgawinya. Jannah tersentak lalu memeluk leher ustadz
tersebut. Mereka pun berciuman sambil bergoyang di bawah guyuran shower. Sekali
lagi desirah nafsu terlarang pun direngkuh dua insan ini lagi. Jannah sudah
hilang pikiran, dia tak tahu lagi harus bagaimana dengan keadaan ini. Memang
ada benarnya apa yang dikatakan ustadz Thalib. Kalau memang Arief mencintainya
setidaknya akan memperjuangkan dirinya, bukan malah membiarkan. Arief sudah
tidak mencintainya lagi.
Kedua insan
lain jenis ini kembali merengkuh letupan-letupan birahi, berpacu untuk bisa
merengkuh tetesan-tetesan kenikmatan. Thalib memeluk erat istri orang ini
dengan pinggulnya yang terus menusuk dengan kecepatan tinggi. Sungguh tidak ada
yang bisa lebih memabukkan selain tubuh Jannah. Tubuh perempuan yang sudah dia
idam-idamkan semenjak kuliah dulu. Selingkuh adalah dosa besar dan
pengkhianatan terbesar bagi Arief. Dan ini adalah cerita bagaimana Arief
membalas mereka.
Posting Komentar
0 Komentar