ADIK IPAR SANGEAN
GENRE : COMEDY EROTIC
JUMLAH HALAMAN : 41 HALAMAN
HARGA : Rp 10.000
Meskipun aku
sudah menikah dengan suamiku sejak satu tahun yang lalu, namun sampai saat ini
aku masih belum hamil. Aku belum disibukkan dengan urusan mengurus anak.
Kesibukanku sehari-hari hanyalah mengurus rumah. Sejak kami menikah, mas Doni melarang
aku bekerja. Penghasilannya lebih dari cukup untuk kebutuhan kami sehari-hari.
Bosan sih sebenarnya, tapi aku menghormati keputusannya. Fokus mengurus rumah
dan suami juga menyenangkan kok.
Aku dan mas
Doni hanya tinggal berdua tanpa pembantu. Sebenarnya bisa saja kami memakai
jasa pembantu, tapi aku ingin menjadi istri yang mengurus rumah dan suamiku
sendiri. Toh rumah kami juga tidak terlalu besar. Kami sengaja tinggal di rumah
yang kecil karena kami hanya tinggal berdua.
Suatu hari,
mas Doni ingin mengajak adik laki-lakinya yang ada di desa untuk tinggal
bersama kami. Adik laki-lakinya itu baru lulus SMA. Dia tidak ingin kuliah dan
pengen langsung bekerja. Namun tentu saja karena hanya lulusan SMA, maka sangat
sulit untuk mendapatkan pekerjaan. Apalagi di perdesaan seperti tempat
tinggalnya, tentunya tidak banyak pekerjaan yang tersedia.
Mas Doni
kemudian menawarkan adiknya itu untuk bekerja di kantornya. Kebetulan di sana
ada lowongan sebagai Office Boy. Mas Doni sendiri punya jabatan yang cukup
bagus, jadi dia bisa dengan mudah memasukkan orang untuk bekerja di kantornya.
Namun aku salut padanya, meskipun dia punya jabatan, tapi dia memberikan
adiknya itu pekerjaan dari bawah. Dia ingin adiknya itu jadi pekerja keras.
Singkat
cerita, akhirnya adiknya mas Doni itu tinggal bersama kami. Ari namanya. Sudah
tiga hari Ari tinggal di sini, namun dia belum mulai bekerja. Dia baru bekerja
mulai tanggal satu bulan depan. Dengan demikan dia masih punya waktu luang
selama dua minggu. Mas Doni lalu meminta adiknya itu untuk membantu pekerjaan
rumah seperti menyapu, mengepel, serta mencuci piring. Dia tidak ingin adiknya
itu malas-malasan di rumahnya. Sekaligus sebagai latihan untuknya sebelum
beneran mulai bekerja.
Dari cerita
yang mas Doni sampaikan padaku, Ari itu orangnya emang pemalas. Mereka memang
sangat akrab karena mereka hanya dua bersaudara walaupun umur mereka berjarak 6
tahun. Tapi bedanya mas Doni itu rajin sedangkan Ari pemalas banget. Emang
kelihatan banget sih, kuliah aja gak mau. Beda banget dengan mas Doni yang
sukses punya jabatan bergengsi di kantornya. Selain beda sifat, penampilan
mereka juga berbeda. Ari jauh lebih dekil dibandingkan mas Doni. Suamiku itu
memang tidak terlalu ganteng sih, tapi setidaknya dia tajir, haha.
Mulut mas Doni
sampai berbusa menyuruh adiknya itu untuk bantu-bantu bersihin rumah, namun
karena memang dasarnya pemalas, Ari tidak mau menuruti perintah kakaknya.
Kerjaannya di rumah kebanyakan hanya menyantai dan ongkang-ongkang kaki saja.
Mas Doni sampai harus ngomel panjang lebar terlebih dahulu barulah adiknya itu
mau bergerak. Itupun kerjaannya banyak yang gak beres. Padahal dengan adanya
Ari, aku harap pekerjaanku di rumah bisa berkurang, tapi ternyata tidak. Heran
banget, katanya pengen kerja, tapi pemalas. Dia pengen duit? Tapi mana ada sih
orang kaya yang pemalas? Kecuali dapat warisan.
Bukan hanya
sekedar pemalas, ada satu lagi kelakuan gak ada akhlak anak tersebut. Yaitu
suka curi-curi pandang ke arahku. Aku sering memergoki dia memandangiku dengan
tatapan cabul. Apa mungkin karena pakaianku? Hmm... kalau di rumah aku biasanya
memang hanya pakai daster sih, atau baju kaos dan celana pendek. Kalau cuacanya
panas banget aku bahkan pakai tanktop. Namun untuk kelakuannya yang ini aku
mencoba untuk cuek saja. Meskipun awalnya risih, tapi kemudian kubiarkan saja.
Aku gak mau terlalu mikirin. Aku juga gak mau mengadu ke mas Doni, takut ada
ribut-ribut. Aku gak suka ribut-ribut. Dibawa santai aja, namanya juga cewek
cantik, wajar kan dilirik-lirik cowok. Yang penting tidak melampaui batas.
Saat ini, aku
dan mas Doni baru saja pulang belanja bulanan. Belanjaan kami sangat banyak.
Begitu sampai di rumah, mas Doni langsung memanggil adiknya itu untuk dimintai
tolong membereskan barang belanjaan. Tapi seperti biasa, Ari susah banget untuk
disuruh. Geraknya lama banget. Dengan malas-malasan akhirnya dia mau juga
membantu.
“Duh Ri, kamu
itu dengerin dong omongan mas Doni!” Ujarku pada Ari.
“Ini kan aku
lagi bantuin kak,” balasnya.
“Iya!! Udah
monyong-monyong mulut mas Doni baru kamu gerak!” Seruku kesal.
“Iya deh
iya... maaf,” ujarnya.
“Rajin dikit
napa sih!? Kan katanya mau kerja... Inisiatif dong, jangan tunggu disuruh dulu
baru gerak!”
“Iyaa....”
“Jangan iya
iya terus! Laksanakan!”
“Siap!
Laksanakan!” Ujarnya meniru gaya komandan upacara. Huh! Dia ini, malah dibawa
bercanda.
“Ishh...
dasar, ya udah kerjakan yang benar!”
“Okeee...”
balasnya. Aku geleng-geleng kepala. Benar-benar deh kelakuannya ini.
“Aku mau mandi
dulu, kamu tolong bantuin kak Mona bereskan barang belanjaan ya...” ujar mas
Doni kemudian.
“Baik,” sahut
Ari. Mas Doni lalu masuk ke kamar.
“Bentar ya,
kakak mau minum dulu,” ujarku pada Ari.
“Mau aku
ambilkan kak?” Tawarnya.
“Gak usah,”
balasku.
“Yah, katanya
aku disuruh inisiatif,” ujarnya cengengesan. Aku mendengus sebal.
Aku lalu
berjalan menuju dapur untuk mengambil minuman. Saat berjalan ke dapur, aku
merasa Ari memperhatikanku dari belakang. Benar saja, saat aku menoleh dia
ternyata sedang ngeliatin aku. Begitu aku memergokinya dia langsung sok sibuk
beres-beres barang belanjaan lagi. Geez!! Dia ngeliatin apaan sih? Bokongku!?
Celana jeans panjang yang aku pakai saat ini memang agak ketat sih.
Aku hanya
menahan rasa sebal. Setelah mengambil minuman, aku lalu kembali ke ruang tamu.
Sambil menikmati minuman, aku mengarahkan Ari meletakkan barang-barang
belanjaan. Seperti makanan dan buah-buahan diletakkan di kulkas. Sabun mandi,
pasta gigi dan keperluan mandi lainnya diletakkan di lemari gantung dekat
dapur, dan lain sebagainya.
“Kak, ini
diletakkan dimana?” Tanya Ari sambil mengangkat sehelai pakaian, yang ternyata
adalah celana dalam yang baru aku beli! Aku nyaris tersedak dibuatnya.
“E-eh... Itu
biarin aja!!” Seruku.
“M-maaf kak...
aku pikir apa tadi...” Ari meletakkan kembali celana dalam itu ke dalam kantong
belanjaan. Dia tampak salah tingkah. Dia sepertinya juga gak nyangka kalau itu
adalah celana dalam. Emang tadi dia pikir itu apaan? Kain lap??
Dia
melanjutkan lagi beres-beresnya, tapi aku lihat pandangannya melirik-lirik ke
arah kantong berisi celana dalamku itu. Dia mikirin apaan ya? Haha. Aku
tiba-tiba jadi kepengen menggodanya. Aku letakkan gelas minumanku ke atas meja.
“Gimana
menurut kamu?” Tanyaku padanya kemudian.
“Apanya kak?”
Dia balik bertanya. Entah beneran tidak paham atau pura-pura tidak paham.
“Celana dalam
kakak, bagus gak?” Tanyaku lagi.
“Eh...
ce-celana dalam?”
“Iya... celana
dalam yang kamu pegang barusan, celana dalam yang belum kakak pake tapi udah
kamu pegang-pegang itu,” ujarku. Ari semakin salah tingkah. Ingin tertawa aku
melihat ekspresi wajahnya.
“I..itu... gak
tahu juga sih kak bagus atau gak.” jawabnya.
“Kok gak tahu
sih? Kan barusan udah lihat, juga udah kamu pegang kan?” Ujarku dengan nada
menggoda.
“Iya...
i..itu... soalnya belum kak Mona pakai sih, kalau udah kak Mona pakai baru deh
aku bisa nilai bagus atau gak, hehe,” balasnya.
Ya ampun!! Aku
gak nyangka dia nekat berkata seperti itu! Berani juga dia. Namun dia tampaknya
takut aku marah setelah dia berkata seperti itu. Tapi aku gak marah kok. Kan
aku memang sengaja menggoda dia. Lucu aja liat ekspresinya, haha.
“Hmm... kakak
mau sih... tapi kakak takut nanti kamu malah dihajar mas Doni, hihihi...”
ujarku tertawa. Tampangnya makin gak karuan mendengar perkataanku, haha. Tentu
saja aku hanya bercanda. Mana mungkin aku sengaja memakai celana dalam itu
untuk diperlihatkan di hadapannya.
“I-iya juga
sih kak, duh... padahal aku pengen lihat kakak memakainya biar bisa nilai bagus
atau gak, hehehe,” ujarnya. Astaga, dia ternyata terus meladeni omonganku.
“Iya dek,
sayang sekali, hihihi... Dah ah, kakak mau mandi juga,” ujarku kemudian
bangkit, lalu mengambil kantong belanjaan berisi dalamanku itu.
“Mau langsung
dipakai ya kak?” Tanyanya masih membahas celana dalam. Dia sepertinya berharap
banget ya? Hahaha.
“Iya dong,
tapi kakak mau tanya mas Doni aja, gak jadi tanya kamu, hihi... Dahhh... tolong
bereskan sisanya ya...” ujarku. Aku kemudian berlalu begitu saja dan masuk ke
kamar, meninggalkan adik iparku itu sendirian.
Saat aku ke
kamar, tampak mas Doni sudah selesai mandi. Akupun memutuskan untuk mandi juga.
Setelah selesai mandi, aku yang masih mengenakan handuk kimono naik ke tempat
tidur. Yang mana di sana ada Mas Doni yang sedang rebahan di tempat tidur
sambil menonton tv.
“Mas, si Ari
bakal tinggal di sini terus?” Tanyaku pada mas Doni.
“Kenapa? Kamu
gak suka ya dia tinggal di sini?” Mas Doni balik bertanya padaku.
“Aku sih gak
keberatan dia tinggal di sini, tapi coba aja dia itu rajin dan mau
bantu-bantu,” jawabku.
“Yaahh...
memang susah dia itu, dia terlalu dimanjakan sama ibu dan bapak, makanya
sekarang jadi pemalas... Kalau nanti sudah bekerja masih seperti itu, dia
terpaksa mas keluarkan, masih banyak orang rajin yang butuh pekerjaan,” terang
mas Doni. Benar sih. Lagian dia bakal bikin malu mas Doni nanti kalau
kerjaannya gak becus dan malas-malasan.
“Hmm... Masih
ada waktu dua minggu lagi kan sebelum dia masuk kerja? Besok aku coba ngomong
sama dia lagi deh... Semoga saja dia mau berubah,” ujarku.
“Okeeee, tapi
gak usah terlalu berharap, kalau dia memang tidak bisa dikasih tahu, nanti mas
suruh dia balik ke kampung”
“Hahaha, oke
oke...”
“Hmm...
sayang... mas kepengen nih...” ujar mas Doni kemudian.
“Eh, eh, kok
tiba-tiba?”
“Gak tiba-tiba
kok, dari tadi mas udah nafsu liat kamu, tapi kamu malah bahas Ari.”
“Oh, gituuu,
hihihi...” Aku tertawa kecil. Mas Doni kemudian mendekati diriku dan langsung
menciumku. Handuk kimonoku lalu dilepaskannya.
***
Keesokan
harinya setelah mas Doni berangkat bekerja, akupun mengajak Ari bicara. Aku
menasehatinya, menceramahinya, berkhotbah, atau apapun namanya itu supaya dia
mau berubah. Dia hanya mengiyakan saja, tapi aku tahu kalau dia tidak serius.
“Ya udah,
sekarang mau kamu apa?” Ujarku kemudian.
“Mau makan
kak, lapar nih.” jawabnya sembrono.
“Serius dong
kamu!!”
“Iya iya...
aku bakal rajin.”
“Beneran?
Janji?”
“Hmmmm...” Dia
tampak keberatan.
“Huh! Ya udah
gini deh, kalau kamu mau berubah, kakak bakal kasih kamu hadiah,” ujarku
kemudian.
“Hadiah?”
“Iya.”
“Apa kak
hadiahnya?”
“Apa ya...
kamu maunya apa?”
“Hmm apa ya?”
“Apaan?”
Tanyaku lagi.
“Belum tau nih
kak, bingung mau minta apaan,” jawabnya.
“Ya udah,
kalau gitu kamu kerja dulu, beres-beres rumah sambil kamu pikirkan mau hadiah
apa,” ujarku padanya.
“Iya deh...”
“Sip! Yang
benar kerjanya... kakak bakal terus ngawasin kamu!”
“Iya iyaa....”
Ari kemudian
mulai beres-beres rumah. Dia menuruti perkataanku. Dia baru boleh nyantai kalau
seluruh pekerjaannya sudah selesai. Sejauh ini dia melakukan pekerjaannya
dengan cukup baik. Aku senang melihatnya. Memang seharusnya begitu, tinggal di
rumah orang itu gak boleh malas-malasan. Jangan hanya sekedar numpang makan dan
numpang tempat tinggal. Lagian dia juga harus berubah kalau mau bekerja. Dia
gak akan bisa bekerja kalau dia masih malas-malasan seperti itu. Aku juga gak
mau dia jadi beban pikiran mas Doni. Yahh... walaupun harus diiming-imingi
hadiah, tapi setidaknya dia sekarang mau berubah. Setelah sepanjang hari
beres-beres rumah, Ari akhirnya selesai juga.
“Jadi kamu mau
minta hadiah apa?” Tanyaku padanya.
“Hmmm... apa
aja boleh?”
“Tergantung
mintanya apa, tapi kakak usahakan, emang kamu mau minta apa?” Tanyaku lagi. Aku
kok jadi deg-degkan ya memikirkan apa kira-kira yang akan dia minta.
“Aku... aku
boleh pinjam celana dalam kakak?” Ujarnya. Aku kaget mendengarnya.
“Hah?”
“B-boleh gak
kak?” Dia bertanya ragu-ragu takut aku marah.
“Celana dalam
kakak? Untuk apa sih?”
“Untuk...
anu... untuk itu...” Dia bingung dan grogi menjawabnya.
“Untuk apa?
Yang jelas!!” Seruku.
“Untuk bahan
coli aku! Aku nafsu sama kak Mona! Aku suka ngebayangin kak Mona! Jadi tolong
pinjamin celana dalam kakak ke aku untuk aku pejuin!!” Serunya.
Dia
mengatakannya dengan jelas dan tegas. Tanpa malu dia mengatakan itu padaku.
Justru aku yang malu mendengarnya. Aku rasa wajahku memerah saat ini saking
malunya. Emang gak ada akhlak nih anak!
“Arii... kamu
ini....”
“E..ehh...
K-kalau gak boleh juga gak papa kak,” Ari kembali grogi setelah mengatakan itu.
Aku tadi sempat pengen marah mendengarnya, tapi setelah kupikir-pikir ya
sudahlah. Aku hargai keterusterangannya.
“Tapi kamu
harus janji setelah ini gak boleh malas-malasan lagi,” ujarku.
“Iya kak, aku
janji!”
“Harus rajin
bantu-bantu, jangan tunggu disuruh dulu baru gerak,” lanjutku.
“Iya kak”
“Ya sudah
kalau gitu, nanti kakak pinjamin,” ujarku.
“Ugh!! Makasih
kak!!! Kak Mona memang yang terbaik!!” Dia berteriak kesenangan. Aku tersenyum
kecil.
“Sekarang kamu
mandi dulu, terus istirahat,” suruhku.
“Oke kak, aku
tunggu ya hadiahnya, hehe...” balasnya. Diapun kembali ke kamarnya.
Huh! Ya ampun
anak itu. Laknat sekali permintaannya. Dia ingin celana dalamku untuk bahan
colinya. Dia bahkan berani memintanya terus terang seperti itu. Apa dia tidak
mengerti kalau aku ini adalah istri abangnya yang seharusnya dia hormati? Namun
anehnya aku justru tidak marah. Meskipun sangat kurang ajar, tapi entah kenapa
aku malah mengabulkan permintaannya. Yaaah... semoga saja dengan begitu dia
beneran berubah jadi rajin.
Aku kemudian
pergi ke kamarku. Aku langsung membuka lemari pakaian. Dari laci lemari aku
ambil sehelai celana dalamku yang berwarna hitam. Aku kemudian pergi ke kamar
Ari. Aku masuk tanpa mengetuk pintu. Astaga! Ternyata Ari baru saja selesai
mandi. Dia sedang bugil sambil handukan.
“K-kak Mona!!”
Ujarnya kaget, sekaget diriku.
“Eh, sorry...
Kakak cuma mau ngasih ini,” ujarku melemparkan celana dalamku ke arahnya.
Dengan gesit Ari menangkapnya.
“Makasih kak,
hehe...” ucapnya.
“Silahkan kamu
gunakan sepuasnya!” Ujarku.
“Ini mau
langsung aku gunakan kok, hehe,” ujarnya cengengesan.
Dia lalu
mencium celana dalamku dan menghirupnya dalam-dalam. Duh, aku merinding
melihatnya memperlakukan celana dalamku seperti itu. Tampak penisnya langsung
jadi tegang. Aku berusaha membuang muka, tapi mataku gak bisa lepas dari
selangkangannya. Penisnya lebih gede dari mas Doni, serta lebih hitam.
“Ari...”
“Ya kak?”
“Besok kamu
bantu beres-beres rumah lagi ya nanti kakak kasih lagi,” ujarku.
“Beneran kak?
Asiiikk!! Hehehe,” ujarnya senang sekali. Aku tersenyum. Tanpa berkata apapun
lagi aku kemudian keluar dari kamarnya, meninggalkan Ari yang sedang
bersenang-senang dengan celana dalamku. Semoga keputusanmu ini tepat Mona!
Posting Komentar
0 Komentar