3SOME
SINOPSIS
“Besok jadinya
berangkat jam berapa?”, tanya Risa kepadaku yang sedang melepas pakaian kerjaku
di kamar kami.
“Yaa biasa,
jam enam-an.” jawabku.
“Bukan,
berangkat ke pantainya.” kata Risa lagi.
“Pantai??”,
tanyaku disambut dengan lemparan bantal ke arah kepalaku.
Blugh
Bantal itu sukses mendarat di wajahku.
“Tuh kaan kamu
lupa lagi. Itu acara ultahnya dede. Kamu tuh ya, acara ulang tahun anaknya
sendiri kok bisa lupa?! Padahal aku udah pesen itu resort dari lima bulan yang
lalu. Heeehhh!” cerocos Risa.
“Ooo itu, aku
inget kok, cuma belum konek aja tadi hehehe..” kataku berkilah.
“Aku nyusul
aja nanti. Ngga dapet cuti. Ada rapat yang ngga bisa aku tinggal. Kamu mau
nunggu aku atau bawa mobil sendiri?” kataku.
“Emang
selesainya jam berapa?” tanya Risa.
“Agak malem
sih.” jawabku.
“Yaah jangan
malem-malem dong.” kata Risa lagi.
“Kalo mau,
kamu bareng papa mama kamu aja. Nanti barang-barang aku yang bawa.” saranku.
“Ngga bisa,
penuh. Mbak Farah bareng Papa. Soalnya Hari ngga bisa ikut, pulang ke Sumatera
jenguk bapaknya masuk rumah sakit.” jawab Risa.
“Kalo sama Papa
Mama aku aja gimana? Biar nanti aku yang telepon.” kataku lagi.
“Ya udah, tapi
kamu besok jangan sampe malem banget ya.” ucap Risa.
“Iya iya.” kataku.
“Trus nasib
pipi gimana ini?” tanyaku sambil menggoyang-goyangkan badanku sehingga penisku
yang masih layu ikut bergoyang ke kanan dan ke kiri.
“Nasib buruk.
Mimi masih dapet.” katanya acuh tak acuh sambil berkutat dengan ponselnya.
“Apes dah.
Sabar ya nak…” kataku sambil mengelus-elus kepala penisku diringi lirikan Risa
yang cekikikan.
Pipi dan mimi
adalah nama panggilan kami kepada alat kelamin kami masing-masing. Kami
menamainya saat masa pacaran dulu, terinspirasi dari panggilan sayang pasangan
selebritis tanah air yang saat ini sudah bercerai. Mungkin kalian akan
bertanya, mengapa tidak dilanjut dengan oral seks saja? Tapi inilah kami,
kehidupan seks kami seperti itu. Untuk urusan seks, Risa sangatlah
konvensional. Dalam kehidupan seks kami yang sudah lebih dari dua belas tahun,
bisa dihitung dengan jari tangan kami melakukan oral seks.
Dia merasa
risih kalau aku memberikan oral seks di vaginanya. Sedangkan Risa berhenti
mengoral penisku sejak aku tak bisa menahan ejakulasiku di dalam mulutnya tanpa
memberitahunya terlebih dahulu, sehingga membuat dia tersedak sampai
mengeluarkan air mata. Sejak saat itu, dia tetap menolak mengoral penisku
walaupun aku rayu dengan cara apapun.
***
Keesokan
harinya, aku baru bisa sampai di rumahku sekitar jam dua belas malam. Maklum, keadaan
lalu lintas saat Jumat malam memang sungguh ajaib. Kemacetan dimana-mana,
bahkan sampai hampir tengah malam sekalipun. Aku segera ke kamar mandi untuk
bersih-bersih tubuhku. Selesai mandi, kumasukkan tas-tas dan barang lainnya
yang sudah disiapkan Risa untuk aku bawa. Sekitar jam tiga dini hari aku sampai
di resort tujuanku. Lokasinya di salah satu pantai wilayah Jawa bagian
Barat.
Resort
ini milik perusahaan tempat istriku bekerja. Para karyawannya dapat meminjam resort
tanpa dikenakan biaya, kecuali untuk makanan yang disiapkan oleh pengelola
resort ini. Ada sekitar 8 vila yang cukup besar di sini. Bagiku sangat lengkap
fasilitasnya. Ada kolam renang, lapangan tenis, dan arena bermain anak-anak,
yang semuanya berada di dekat pantai tidak jauh dari resort tempat kami
menginap.
Masing-masing
bangunan resort terdiri dari dua tingkat. Empat bangunan saling berjajar
dan empat bangunan lainnya berdiri berhadapan tepat di seberangnya dipisahkan
dengan jalan selebar delapan meter. Jarak antar resort yang berdampingan
agak jauh, sekitar 20 meter. Sedangkan untuk bangunan pengelola resort
ini yang juga dipakai sebagai tempat memasak makanan yang pengunjung pesan
berada di dekat pintu masuk komplek resort ini.
Kami
mendapatkan resort yang letaknya paling dekat dengan pantai. Bangunan
dengan luas sekitar dua ratus meter persegi ini terdiri dari empat kamar. Dua
kamar di atas, dan dua kamar di bawah yang tiap-tiap kamar terdapat kamar mandi
di dalamnya. Ruang keluarga di bawah cukup luas, sekitar 36 meter persegi.
Terdapat sofa
besar yang dapat dimuati delapan orang dengan televisi di depannya. Di
sampingnya merupakan ruang makan menyatu dengan dapur yang terdapat meja makan
dengan kursi sebanyak delapan juga. Antara ruang keluarga dan ruang makan tanpa
sekat, pemisahnya hanya undakan kecil setinggi 15 sentimeter.
Aku masuk resort
yang tidak dikunci, karena resort ini memang keamanannya terjamin.
Kulihat dua orang asisten rumah tanggaku dan seorang asisten rumah tangga Mbak
Farah tidur di ruangan keluarga. Salah satu asisten rumah tanggaku terjaga
begitu aku masuk ke dalam resort. Dia ikut membantuku menurunkan
barang-barang dari mobilku.
Sesampainya di
atas, kubuka pintu kamar dan terlihat istri dan anak-anakku sedang tertidur di
atas salah satu tempat tidur. Kamar ini cukup luas sekitar 4 kali 7 meter.
Terdapat dua tempat tidur ukuran queen size yang dihimpitkan satu sama
lain. Di atas tempat tidur itu terdapat dua pasang jendela yang menghadap
langsung ke tempat bermain anak dan arah pantai. Sedangkan kamar mandinya
berhadapan dengan pintu kamar agak ke kanan sedikit sejajar dengan posisi
tempat tidur, dan dari pintu kamar ke kanan terdapat lorong yang menuju balkon
kamar yang berada bagian depan resort. Risa terbangun karena aktivitasku yang
meletakkan barang-barang di lantai kamar.
“Kok malem
amat Yang?” tanya Risa.
“Iya, tadi
macet banget mau ke rumahnya.” jawabku.
“Kok dapetnya
di kamer ini?” tanyaku.
“Kita sekamar
sama Hana. Soalnya masih pada punya bayi. Anak-anaknya Mbak Farah kan udah pada
gedean, kalo campur sama bayi malah repot nantinya. Jadinya Mbak Farah di kamar
seberang. Papa Mama semuanya di kamar bawah.” jawab Risa.
“Trus Hana
sekeluarga kapan datengnya?” tanyaku lagi.
“Hana besok
subuh baru berangkat dari rumahnya.” jawab Risa lagi.
“Udah sana
kamu bersih-bersih dulu trus bobo.” Lantas aku ke kamar mandi dan mengganti
pakaian untuk tidur. Lalu aku mengambil posisi tidur di samping Risa, dan tidur
sambil memeluk dirinya.
Pagi harinya
sekitar pukul tujuh, aku terbangun oleh suara tangisan bayi. Kubuka mataku dan
kulihat Hana yang saat ini memutuskan untuk berhijab, sedang menimang-nimang
Ari, anaknya, berusaha untuk meredakan tangis Ari.
“Hai Mas.”
sapa Hana.
“Tuh ada Pakde
Bagas, Ari salim. Gimana salimnya?” lanjut Hana kepada anaknya tetap mencoba
menenangkannya.
“Eh Elo Han.
Sini Ari, sini salim sama pakde.” kataku sambil bangkit dari tidurku. Tapi Ari
tetap menangis digendongan ibunya.
“Ari kenapa, Han?”
tanyaku.
“Kayanya haus
Mas, mau nenen.” jawab Hana.
“Assalamualaikum.”
terdengar suara dari arah pintu kamar.
“Wa’alaikumsalam.”
jawabku dan Hana berbarengan. Rupanya Doni, suami Hana, masuk ke kamar sambil
membawa beberapa tas, diikuti di belakangnya ada asisten rumah tangga Hana
dengan membawa beberapa tentengan juga.
“Sehat, Don?” tanyaku
basa-basi disertai uluran tangan untuk berjabat tangan.
“Alhamdulillah
sehat Mas” kata Doni sambil menyambut jabat tanganku.
“Yowis Gue
turun dulu. Itu si Ari haus mau nenen.” kataku.
“Ok Mas.” kata
Doni.
“Maaf Mas,
jadi gangguin tidurnya.” tambah Hana.
“Gapapa kok.”
jawabku.
Aku bergegas
keluar kamar dan menuju ruang makan di lantai bawah. Kulihat di ruang makan dan
ruang keluarga sudah ramai dengan aktifitas keluargaku. Kulihat Risa sedang
sarapan di meja makan bersama ibuku, ibu mertuaku, dan Mbak Farah. Sedangkan
ayahku dan ayah mertuaku sedang ngobrol di ruang keluarga.
Risa
menyuruhku untuk ikut gabung dengannya. Lalu dia pun mengambilkan makanan untuk
sarapanku. Pagi ini kami habiskan waktu dengan bermain bersama di tepi pantai.
Menikmati deburan ombak dan pemandangan gunung anak krakatau. Kemudian
dilanjutkan dengan berenang di kolam renang yang tidak jauh dari pantai.
Kami selesai
berenang sekitar pukul sepuluh pagi. Sesampainya di resort, Risa dan
kedua asisten rumah tanggaku memandikan kedua anakku. Aku menunggu antrian
mandi di ruang televisi samping kamar yang ditempati Mbak Farah, seberang kamar
yang aku tempati. Di sini terdapat sofa yang bisa diduduki oleh tiga orang dan
dua kasur tambahan ukuran nomor empat untuk tempat tidur aku dan Doni saat
malam tiba, karena tidak memungkinkan untuk kami berdua tidur bersama istri dan
anak-anak kami.
Luas lantai di
lantai atas ini tidak penuh sampai luas seluruh bangunan, karena tidak sampai
menutupi ruang keluarga di bawah. Sebagai pembatas, terdapat pagar pengaman
dari besi setinggi satu meter. Sehingga dari lantai atas ini bisa melihat
langsung ke ruang keluarga di bawah dengan bebasnya.
Kumainkan
remote televisi mencari tayangan tivi kabel yang menarik. Saat asik menikmati
tayangan televisi, kedua anakku lari berhamburan dari arah kamar yang mereka
tempati menuju ke arahku.
“Ayah ayah
ayah!” kata mereka berdua. Kusambut mereka dengan pelukan dan kuciumi kepala
mereka.
“Udah jangan
lama-lama meluknya, ayah masih bau belum mandi.” terdengar suara Risa dari arah
pintu kamar. Kubuka pintu kamar mandi dan kulihat sudah ada istriku yang
melepas pakaian dalamnya yang basah setelah berenang tadi. Risa sedikit
terkejut saat aku masuk.
“Kaget, kirain
siapa.” katanya.
Terlihat tubuh
putih sedikit berbulu halus milik Risa. Ada sedikit selulit di bagian luar
kedua pahanya dan di bagian bawah bongkahan pantatnya yang montok. Tinggi
badannya sekitar seratus lima puluh tujuh sentimeter, dengan berat sekitar lima
puluh dua kilogram. Tidak seramping dahulu saat menikah yang sekitar empat
puluh satu kilogram.
Maklum,
badannya sudah pernah dua kali berisi anak-anakku. Rambutnya lurus sedikit
bergelombang dan berwarna hitam kemerahan. Seperti yang pernah disebutkan pada
cerita sebelumnya, Risa ini yang paling cantik dari saudari-saudarinya. Semasa
kuliah, entah ini suatu pujian atau ejekkan, Risa sempat dipanggil Miyabi oleh
teman-temannya.
Kamar mandinya
cukup besar dengan ukuran dua meter kali dua setengah meter. Ada bathtube
dengan shower di bagian atas salah satu ujung panjang bathtube,
dan closet berjarak setengah meter di dekatnya. Aku pun membuka seluruh
pakaianku dan menggantungkan di gantungan pakaian di balik pintu. Risa menuju
bathtube terlebih dahulu. Dia pun menggeser keran air ke atas dan shower mengeluarkan
air yang langsung membasahi tubuhnya. Risa mengambil sikat gigi dan pasta gigi
dari tas perlengkapan mandi yang digantungkan disamping pipa shower.
Aku
menyusulnya menuju bathtube dan mengambil posisi di belakang tubuhnya.
Siraman air dari shower turut membasahi tubuhku. Langsung kupeluk tubuh Risa
dari belakang. Sengaja kutempelkan batang penisku yang mulai mengeras ke
belahan pantat Risa.
“Mau mimii…” kataku
merajuk.
“Di sini?”
tanya Risa.
“Yaiyalah,
masa di taman?” jawabku asal.
“Hehehe bentar
sikat gigi dulu.” kata Risa lagi.
Sambil
menunggu Risa menggosok giginya, jari tangan kananku ikut menggosok belahan
vagina Risa, sementara tangan kiriku meremas-remas kedua payudara Risa dan
memilin putingnya.
Hembusan nafas
Risa menjadi semakin berat. Vaginanya terasa basah okeh lendir kenikmatannya.
Kusandarkan tubuh Risa ke dinding, lalu kuciumi lehernya sebelah kiri, terus
turun ke bawah ke arah payudaranya yang berukuran tiga puluh empat b. Putingnya
yang sebesar ujung kelingkingku dan berwarna cokelat tua, sudah mengeras.
Setelah puas
bermain dengan putingnya, kulanjutkan kecupanku ke bagian bawah payudara Risa.
Kukecup perlahan-lahan perutnya yang sedikit membuncit, terus ke bawah ke
pusarnya, kemudian ke arah bekas jahitan sisa melahirkan kedua anakku, dan
sampai lah aku pada rambut-rambut halus di atas vaginanya. Tidak ada penolakkan
dari Risa sampai saat ini.
Terlihat
vagina Risa yang ditumbuhi rambut-rambut yang tercukur rapih. Bibir vaginanya
sudah sedikit terbuka bekas permainan jari tanganku tadi. Langsung lidahku
menyeruak labia minora vaginanya dan menyapu klitorisnya. Dilanjutkan dengan
hisapan mulutku terhadap klitoris Risa yang sudah mengeras. “Klotak”, bunyi
benturan pinggiran bathtube dengan sikat gigi yang tadi Risa pakai.
Melihat Risa
yang semakin terangsang, kaki kirinya kunaikkan ke pinggir bathtube yang
menempel pada dinding, sehingga aku semakin leluasa untuk menikmati vagina Risa
yang sudah lama tidak aku lakukan. Disertai guyuran air dari shower, lidahku
semakin liar bermain di mulut vagina Risa. Ujung lidahku mengacak-acak bagian
dalam vaginanya diselingi dengan hisapan-hisapan kuat di klitorisnya.
Rintihan Risa
semakin lama semakin keras, dan tak lama kemudian badannya mulai
mengejang-ngejang disertai semburan cairan hangat dari dalam vaginanya. Tidak
banyak memang, tapi cukup membuat lidahku merasakan rasanya yang gurih. Ini
yang aku lupakan, ternyata Risa seorang squirter juga, sama seperti dua
saudarinya.
“Kamu apain
mimi Yang? Enak banget!” kata Risa.
“Enak kan? Kamu
sih ngga mau mimi aku jilatin.” jawabku sambil bangkit untuk mencium bibirnya. Kami
pun berciuman dibawah siraman air dari shower. Tangan kanan Risa memainkan
batang penisku yang sudah sangat siap untuk melaksanakan tugasnya.
“Mimi mau pipi…” pinta Risa.
Lalu kupinta
Risa untuk menghadap dinding tempat shower berada dan kusuruh dia menunduk
sementara tangan kanannya berpegangan pada dinding shower, dan tangan kananku
sedikit menekan punggungnya agar menekuk ke bawah, sehingga pantatnya yang
montok semakin menungging dan posisi lubang kenikmatannya semakin jelas
kulihat.
Kunaikkan kaki
kananku ke pinggiran bathtube di samping kaki kanan Risa. Lalu kuposisikan
batang penisku ke bibir lubang kenikmatannya yang sudah penuh lendir. Kumainkan
sebentar kepala penisku ke bibir vaginanya. Kemudian perlahan-lahan kumasukkan
kepala penisku ke lubang vagina Risa. Mili demi mili kunikmati masuknya batang
penisku ke dalam lubang kenikmatan yang hangat ini.
Posisi kedua
tanganku memgang pinggul kanan dan kiri Risa, lalu kugerakkan pinggulku
sehingga membuat batang penisku beranjak keluar dari vagina Risa, disertai
menyeruaknya bibir vagina Risa yang sempat melesak ke dalam akibat hujaman
penisku. Tidak sampai setengah batang penisku keluar, kuhujamkan kembali batang
penisku ke dalam lubang kenikmatan Risa.
Risa memang
sedikit berisik kala bercinta, apalagi menjelang dia mendapatkan orgasme.
Kadang kala jika kami bercinta di rumahku dan sedang ada keluarga yang
menginap, aku pun kewalahan membekap mulutnya dengan bibirku atau dengan
tanganku agar suaranya tidak mengganggu mereka.
Plak
Plak
Plak
Bunyi pangkal
pahaku beradu dengan pantatnya dipadu dengan siraman air dari shower menambah
erotisme dalam bercinta. Tangan kananku tidak tinggal diam, sambil tetap menggoyangkan
pinggulku, kusap-usap kulit punggung Risa yang ditumbuhi sedikit bulu, lalu
menjalar ke arah payudara kanan Risa yang ikut bergoyang seirama dengan
hujaman-hujaman penisku ke dalam vaginanya.
Kuremas-remas
payudara kanannya, kupilin-pilin putingnya yang sudah mengeras, dilanjutkan
renasan kembali di payudaranya. Puas bermain di payudaranya, kembali tanganku
mengusap punggungnya kemudian beralih ke arah pantat kanannya dan kuremas
pantatnya yang montok, lalu
Plak
Kuberikan tamparan di pantat kanan Risa. Tidak
sampai disitu, kuusap-usap pantat kanannya, kutempatkan ibu jari kananku di
permukaan anus Risa. Kumainkan ibu jari kananku dengan mengusap berputar di
permukaan anusnya, sementara tangan kiriku masih setia berada di pinggul kiri
Risa, ikut membantu hujaman-hujaman batang penisku ke dalam lubang kenikmatan
Risa. Batang penisku terus mengaduk-aduk lubang vaginanya.
Posting Komentar
0 Komentar