SERDADU

 


SINOPSIS:

Lettu Dewi adalah pasukan dari kontingen Indonesia yang dikirim untuk menjaga stabilitas keamanan di benua Afrika. Satu masa seorang anggota navy SEAL USA berhasil membuat Lettu Dewi jatuh hati, tapi belum sempat keduanya menikmati bunga-bunga asmara, Lettu Dewi malah menjadi sandera pemberontak pemerintah. Bagaimana kisah Lettu Dewi selanjutnya ? kalian bisa baca di versi lengkap PDF nya.

FORMAT : PDF Book Series

GENRE : ACTION - DRAMA - ROMANTIC SEX

JUMLAH HALAMAN : 118 HALAMAN

HARGA : Rp 15.000



PROLOG

“What the hell, kenapa kamu tidak bisa mengatur vice president agar meninjau pos kami?” bentakku dalam bahasa Inggris kepada seorang anggota Secret Service bernama Billy. Billy pria berkebangsaan Amerika, memiliki postur gagah dan hidung mancung. Dia berdiri tegak mengenakan kacamata hitam pekat dengan earphone menempel di telinga. Tubuh Billy lebih dari 190 cm. Sedangkan tubuhku yang hanya setinggi 170 cm tampak seperti anak kecil ketika berhadapan dengannya.

“Lettu Dewi, come on, apa yang membuatku harus memperpanjang waktu kunjungan vice president? Apalagi hanya demi mengunjungi pos kalian? Memangnya siapa kalian?” Sudah cukup. Kalimat tadi menyentuh sisi sensitifitas hati seorang wanita militer sepertiku.

“Don’t fuck with me!” telunjukku mengacung tinggi,

“Apa katamu? Kamu mau melecehkan negara kami, hah?”

Bukan main-main, aku masih mengenakan seragam loreng cokelat pasukan perdamaian PBB ketika membentak seorang Secret Service. Baret biru laut dengan logo United Nation menempel erat di kepala. Pada bagian bawah, sepatu boot hitam tampak mengkilap terkena terik mentari dan membuatku terlihat garang.

Sebenarnya aku tidak sendiri. Empat orang rekan kontingen Indonesia berdiri mengamati kami di belakang, mereka adalah Letnan Susi, Sersan Anton, Sersan David, serta Sersan Hamzah. Letnan Susi, rekan satu angkatanku di akademi. Seorang perwira wanita berkulit putih khas Sunda. Karena warna kulitnya, Susi biasa dipanggil Amoy. Cara bicaranya sangat blak-blakan, topik apapun mampu dibahas secara bebas.

Sersan Anton, anak buah pletonku, berusia tiga puluh lima tahun dan memiliki tatapan mata setajam elang. Tepat di samping Anton, berdiri juga Sersan David, driver spesialis kami. Laki-laki berkepribadian tenang. Cocok menjadi driver militer karena selain tenang cara mengemudinya, dia juga sangat handal dalam bermanuver pada situasi pertempuran. Terakhir ada Sersan Hamzah. Laki-laki bertubuh hitam keling, karena sejak pertama kali menjadi tentara, ia terus-menerus bertugas di lapangan. Anak buahku rata-rata berusia 35 tahun. Mereka jauh lebih tua dari aku dan Susi yang baru memasuki usia 27 tahun. Tapi karena pangkat, aku dan Susi menjadi atasan mereka.

“Memangnya kalian ada di bagian mana pada peta dunia?” balas laki-laki anggota Secret Service itu tidak mau kalah.

Sial baginya karena aku, Letnan Satu Dewi, paling tidak suka diremehkan. Apalagi ketika lambang bendera merah putih tertempel di lengan bajuku, tidak seorangpun boleh meremehkan negaraku.

“Goddamn it! Kamu menghina negaraku lagi! Jangan main-main! Kamu tidak akan lolos dari ini! Akan kulaporkan kau pada atasanmu, atas tindak pelecehan kepada negara lain!” tukasku. Susi bergerak maju bersama tiga orang anak buah kami. Susi tahu persis reputasiku sebagai perwira wanita bermulut pedas. Namun, sebelum si amoy dapat melerai, seorang pria bule berseragam militer lain datang mendekat.

“Ada apa, Billy?”

Suara itu berasal dari seorang tentara bule yang memiliki tubuh lebih tinggi daripada Billy. Bila ditaksir, mungkin tingginya mencapai 195 cm. Bahunya tampak lebar seperti perenang bertubuh kekar dihiasi wajah tampan berbola mata biru. Sebersit lesung pipit terpahat di pipinya. Lambang Trident Poseidon yang melekat di pakaian pria tampan membuatku terkesima. Dia adalah seorang Navy Seal. Pasukan Elite Angkatan Laut Amerika.

Sir, wanita ini memaksa agar vice president berkunjung ke pos mereka,” Billy menjawab sambil memberikan hormat sebagaimana layaknya bawahan kepada atasan.

Pria berbola mata biru itu mengenakan tanda pangkat seorang Letkol. Pangkat Perwira menengah. Jauh di atas pangkatku. Nama Erick tertera pada bagian atas bajunya. Berdasarkan peraturan kehidupan militer, aku wajib bersikap hormat kepada sang perwira. Tapi setiap emosi melanda, akal sehat selalu meninggalkanku. Alih-alih menghormat kepada perwira kekar yang usianya kutaksir hampir memasuki kepala empat namun terlihat masih sangat bugar ini, aku justru berdiri tegak dengan sikap tubuh menantang. Hanya Susi dan tiga anak buah kami yang menghormat kepadanya.

“Terima kasih,” ucap Letkol Navy Seal setelah melihat Susi dan rekan lainku menghormat. Perwira tampan itu melihat sikap kurang ajarku, tapi tidak tampak sedikitpun kemarahan dalam dirinya. Perwira bernama Erick hanya mengangguk dan menatapku dari ujung kepala sampai ujung kaki.

“Kenapa VP tidak boleh ke pos kami?” tanyaku sebagai upaya merespon kalimat Billy.

“Kami sudah delapan bulan di sini, lebih lama dari tentara perdamaian negara mana pun, termasuk tentara Amerika.”

“Letnan kamu sadar, aku bisa saja menamparmu di sini untuk menghentikan segala bullshit yang kamu ucapkan?” tukas Billy.

Damn it! Kamu mau menamparku? Coba saja kalau kamu berani. Ayo!” Aku maju menantang. Sersan Anton dan Hamzah mencoba membelaku bersamaan. Melihat keadaan menjadi sedemikian runyam, perwira kekar bernama Erick merentangkan tangan kepada rekan-rekanku. Dia berkata,

“Kalian, tenanglah! Semua terkendali! Biarkan aku, Billy dan Letnan Dewi membereskan segala kesalahpahaman kami ini!” Karisma Letkol Erick membuat seluruh rekanku tersihir untuk mematuhi ucapannya, termasuk Susi. Ia terdiam, bahkan tampak terpukau.

“Nona, kupikir masalah ini bisa diselesaikan secara baik-baik,” perwira berlesung pipit mendekatiku. Aroma parfumnya menonjolkan pesona maskulinitas nan pekat. Simbol eliksir tubuh laki-laki jantan.

“Tidak bisa! Dia telah menghina negaraku!” selain mudah marah, aku juga terkenal sebagai wanita yang tidak mau kalah dalam perdebatan.

“Percayalah, aku kenal Billy. Dia pernah menjadi bawahanku di Seal. Billy bukan orang yang suka melecehkan siapa pun, apalagi sebuah negara besar seperti kalian.” Erik menatap lurus mataku sebelum melanjutkan,

“Bukankah kau juga seorang anggota Pasukan Khusus, jika kulihat dari lencanamu, Letnan?”

“Ya, sama sepertimu, aku juga seorang Navy Seal di negaraku.” Perwira berbola mata biru mengernyitkan dahi.

“Kamu seorang Seal?”

“Ya, memang kenapa? Apakah wanita tidak boleh menjadi seorang anggota Navy Seal?”

Well, tidak di Amerika.”

“Kalau begitu negaramu masih kalah dalam menjunjung emansipasi wanita dari negaraku.”

“Jaga sopan santunmu!” Billy memotong. Aku tahu ucapanku ketika berbicara dengan atasannya sangat tidak sopan. Akan tetapi, seperti inilah karakterku. Kalau sudah berdebat, Letnan Dewi akan terus berdebat sampai menang.

“Sudahlah,” Letkol tampan menyela kami lagi.

“Anggaplah ini impas.”

“Impas apanya? Enak saja!”

“Maksudku, tudingan saling melecehkan antar negara tadi! Kita anggap impas saja.” Erik menawarkan.

“Tidak! Enak saja!”

 

Well, kamu, aku, dan Billy, kita sama-sama Seal. Minimal itu persamaan yang membuat kita bisa berdamai.” Letkol Erick memegang bahu kami berdua dan mendekatkan kami sebagai isyarat mendamaikan.

“Lagi pula ini aspirasi berharga bagi kami, bahwa wanita juga layak menjadi seorang anggota pasukan khusus.” Billy dan aku sudah sama-sama berhadap-hadapan.

“Ayo Billy, tidak ada salahnya kamu menyampaikan permohonan maaf kepada Letnan Dewi yang cantik ini!” Kalimat gombal. Khas laki-laki.

Menurutku, standar kecantikan bagi bule setampan Erik atau Billy pasti berbeda. Mereka lebih memandang wanita blonde berpinggang ramping dan tubuh layaknya model victoria secret sebagai gambaran wanita cantik. Sedangkan aku, jauh dari gambaran wanita seperti itu. Sejak dulu aku selalu beranggapan sebagai wanita, pesonaku biasa saja. Padahal cukup banyak orang berkata padaku, bahwa wajahku sangatlah cantik dengan ciri khas hitam manis berhidung mancung dan bibir sensual. Tapi aku tidak pernah mau mempercayai pendapat orang lain.

“Jangan coba merayuku!” tukasku.

“Oh tidak! Aku tidak sedang merayumu. Kamu memang cantik, dan sudah selayaknya Billy mengajukan permohonan maaf. Sekarang juga!” kalimat terakhir dilontarkan Erick sambil sedikit membentak. Billy langsung patuh. Dia menyodorkan tangan.

“Nona Dewi, aku minta maaf.” Aku buang muka kesal. Tidak semudah itu.

“Ayo, Wi, maafkanlah dia!” Susi datang mendekat sembari memaksa tanganku untuk bersalaman.

“Apa-apaan sih, Kamu?” protesku.

“Ayolah, terima permintaan maafnya!” Sedikit dipaksa, akhirnya aku menyambut tangan Billy, lalu kami saling berjabat tangan. Letkol tampan tersenyum melihat tingkah laku kami berdua yang seperti anak kecil.

“Ini sebuah kemajuan besar.” kata Erick.

“Tapi salaman ini belum memenuhi permintaanku!”

“Apa permintaanmu?”

“Aku ingin VP mengunjungi pos kami!” Pegangan tangan Susi di lengan terasa semakin kuat. Dia mencengkeramku. Apakah permintaanku ini terlalu berlebihan? Billy sudah siap memprotesku. Sedari tadi dialah yang paling keras menentang rencanaku.

“Sudah,” perwira kekar berlesung pipit menyadari ini dan memotongnya di tengah jalan.

“Aku akan mencoba menyampaikan kepada pimpinan Secret Service di sini agar VP mengunjungi pos kalian!”

“Tapi bagaimana? Bagaimana kalau kau ingkar janji, dan vice president tidak mengunjungi pos kami?” tanyaku.

“Hei jaga ucapanmu. Sadarkah kamu sedang bicara dengan seorang perwira berpangkat lebih tinggi darimu?” anggota Secret Service berkacamata hitam terpancing.

“Aku tidak bicara denganmu, son of a Bitch!” tunjukku tepat di mukanya. Susi langsung menarikku agar tidak terpancing lagi.

“Ayolah! Kalian berdua seperti kucing dan anjing,” untuk pertama kali perwira berlesung pipit terlihat gusar menghadapi tingkah kami. “Ini janjiku Letnan, kalau memang nanti VP tidak berkunjung ke pos kalian, maka aku berhutang padamu.”

“Serius? Jangan sampai kamu tidak menepati janji, Letkol! Jika tidak, kamu akan ...”

“Hush, Kamu keterlaluan, tahu!” Susi menginjak sepatuku.

“Ahh ... Susi! Apa-apaan kamu?” si amoy menginjak dengan kuat sekali sebelum aku selesai bicara. Kuku kakiku bisa copot karena injakannya. Erick menepuk Susi di bahu sambil memberikan senyum lebar sebelum bicara,

“Jangan begitu kasihan kaki temanmu!” Diajak senyum oleh perwira kekar, temanku langsung tersipu malu. Rona merah muncul di pipinya. Benar-benar gampang dibuat ‘ge-er’ temanku ini. Letkol tampan beralih kepadaku kemudian berkata,

 “Aku selalu serius, Letnan Dewi! Sekarang kembalilah bersama rekan-rekanmu! Kamu bisa memegang ucapanku.” Aku memandang mata Letkol Erick sekali lagi. Wajar saja Susi dibuat tersipu olehnya. Laki-laki ini memang sangat mempesona.



Posting Komentar

0 Komentar