SERDADU
SINOPSIS:
“What the
hell, kenapa kamu tidak bisa mengatur vice president agar meninjau
pos kami?” bentakku dalam bahasa Inggris kepada seorang anggota Secret
Service bernama Billy. Billy pria berkebangsaan Amerika, memiliki postur gagah
dan hidung mancung. Dia berdiri tegak mengenakan kacamata hitam pekat dengan earphone
menempel di telinga. Tubuh Billy lebih dari 190 cm. Sedangkan tubuhku yang
hanya setinggi 170 cm tampak seperti anak kecil ketika berhadapan dengannya.
“Lettu Dewi, come
on, apa yang membuatku harus memperpanjang waktu kunjungan vice
president? Apalagi hanya demi mengunjungi pos kalian? Memangnya siapa
kalian?” Sudah cukup. Kalimat tadi menyentuh sisi sensitifitas hati seorang
wanita militer sepertiku.
“Don’t fuck
with me!” telunjukku mengacung tinggi,
“Apa katamu?
Kamu mau melecehkan negara kami, hah?”
Bukan
main-main, aku masih mengenakan seragam loreng cokelat pasukan perdamaian PBB
ketika membentak seorang Secret Service. Baret biru laut dengan logo United
Nation menempel erat di kepala. Pada bagian bawah, sepatu boot hitam tampak
mengkilap terkena terik mentari dan membuatku terlihat garang.
Sebenarnya aku
tidak sendiri. Empat orang rekan kontingen Indonesia berdiri mengamati kami di
belakang, mereka adalah Letnan Susi, Sersan Anton, Sersan David, serta Sersan
Hamzah. Letnan Susi, rekan satu angkatanku di akademi. Seorang perwira wanita
berkulit putih khas Sunda. Karena warna kulitnya, Susi biasa dipanggil Amoy.
Cara bicaranya sangat blak-blakan, topik apapun mampu dibahas secara bebas.
Sersan Anton,
anak buah pletonku, berusia tiga puluh lima tahun dan memiliki tatapan mata
setajam elang. Tepat di samping Anton, berdiri juga Sersan David, driver
spesialis kami. Laki-laki berkepribadian tenang. Cocok menjadi driver militer
karena selain tenang cara mengemudinya, dia juga sangat handal dalam bermanuver
pada situasi pertempuran. Terakhir ada Sersan Hamzah. Laki-laki bertubuh hitam
keling, karena sejak pertama kali menjadi tentara, ia terus-menerus bertugas di
lapangan. Anak buahku rata-rata berusia 35 tahun. Mereka jauh lebih tua dari
aku dan Susi yang baru memasuki usia 27 tahun. Tapi karena pangkat, aku dan
Susi menjadi atasan mereka.
“Memangnya
kalian ada di bagian mana pada peta dunia?” balas laki-laki anggota Secret
Service itu tidak mau kalah.
Sial baginya
karena aku, Letnan Satu Dewi, paling tidak suka diremehkan. Apalagi ketika
lambang bendera merah putih tertempel di lengan bajuku, tidak seorangpun boleh
meremehkan negaraku.
“Goddamn
it! Kamu menghina negaraku lagi! Jangan main-main! Kamu tidak akan lolos
dari ini! Akan kulaporkan kau pada atasanmu, atas tindak pelecehan kepada
negara lain!” tukasku. Susi bergerak maju bersama tiga orang anak buah kami.
Susi tahu persis reputasiku sebagai perwira wanita bermulut pedas. Namun,
sebelum si amoy dapat melerai, seorang pria bule berseragam militer lain datang
mendekat.
“Ada apa,
Billy?”
Suara itu
berasal dari seorang tentara bule yang memiliki tubuh lebih tinggi daripada
Billy. Bila ditaksir, mungkin tingginya mencapai 195 cm. Bahunya tampak lebar
seperti perenang bertubuh kekar dihiasi wajah tampan berbola mata biru.
Sebersit lesung pipit terpahat di pipinya. Lambang Trident Poseidon yang
melekat di pakaian pria tampan membuatku terkesima. Dia adalah seorang Navy
Seal. Pasukan Elite Angkatan Laut Amerika.
“Sir,
wanita ini memaksa agar vice president berkunjung ke pos mereka,” Billy
menjawab sambil memberikan hormat sebagaimana layaknya bawahan kepada atasan.
Pria berbola
mata biru itu mengenakan tanda pangkat seorang Letkol. Pangkat Perwira
menengah. Jauh di atas pangkatku. Nama Erick tertera pada bagian atas bajunya.
Berdasarkan peraturan kehidupan militer, aku wajib bersikap hormat kepada sang
perwira. Tapi setiap emosi melanda, akal sehat selalu meninggalkanku. Alih-alih
menghormat kepada perwira kekar yang usianya kutaksir hampir memasuki kepala
empat namun terlihat masih sangat bugar ini, aku justru berdiri tegak dengan
sikap tubuh menantang. Hanya Susi dan tiga anak buah kami yang menghormat kepadanya.
“Terima
kasih,” ucap Letkol Navy Seal setelah melihat Susi dan rekan lainku
menghormat. Perwira tampan itu melihat sikap kurang ajarku, tapi tidak tampak
sedikitpun kemarahan dalam dirinya. Perwira bernama Erick hanya mengangguk dan
menatapku dari ujung kepala sampai ujung kaki.
“Kenapa VP
tidak boleh ke pos kami?” tanyaku sebagai upaya merespon kalimat Billy.
“Kami sudah
delapan bulan di sini, lebih lama dari tentara perdamaian negara mana pun,
termasuk tentara Amerika.”
“Letnan kamu
sadar, aku bisa saja menamparmu di sini untuk menghentikan segala bullshit
yang kamu ucapkan?” tukas Billy.
“Damn it!
Kamu mau menamparku? Coba saja kalau kamu berani. Ayo!” Aku maju menantang.
Sersan Anton dan Hamzah mencoba membelaku bersamaan. Melihat keadaan menjadi sedemikian
runyam, perwira kekar bernama Erick merentangkan tangan kepada rekan-rekanku.
Dia berkata,
“Kalian,
tenanglah! Semua terkendali! Biarkan aku, Billy dan Letnan Dewi membereskan
segala kesalahpahaman kami ini!” Karisma Letkol Erick membuat seluruh rekanku
tersihir untuk mematuhi ucapannya, termasuk Susi. Ia terdiam, bahkan tampak
terpukau.
“Nona, kupikir
masalah ini bisa diselesaikan secara baik-baik,” perwira berlesung pipit
mendekatiku. Aroma parfumnya menonjolkan pesona maskulinitas nan pekat. Simbol
eliksir tubuh laki-laki jantan.
“Tidak bisa!
Dia telah menghina negaraku!” selain mudah marah, aku juga terkenal sebagai
wanita yang tidak mau kalah dalam perdebatan.
“Percayalah,
aku kenal Billy. Dia pernah menjadi bawahanku di Seal. Billy bukan orang
yang suka melecehkan siapa pun, apalagi sebuah negara besar seperti kalian.”
Erik menatap lurus mataku sebelum melanjutkan,
“Bukankah kau
juga seorang anggota Pasukan Khusus, jika kulihat dari lencanamu, Letnan?”
“Ya, sama
sepertimu, aku juga seorang Navy Seal di negaraku.” Perwira berbola mata biru
mengernyitkan dahi.
“Kamu seorang Seal?”
“Ya, memang
kenapa? Apakah wanita tidak boleh menjadi seorang anggota Navy Seal?”
“Well,
tidak di Amerika.”
“Kalau begitu
negaramu masih kalah dalam menjunjung emansipasi wanita dari negaraku.”
“Jaga sopan
santunmu!” Billy memotong. Aku tahu ucapanku ketika berbicara dengan atasannya
sangat tidak sopan. Akan tetapi, seperti inilah karakterku. Kalau sudah
berdebat, Letnan Dewi akan terus berdebat sampai menang.
“Sudahlah,”
Letkol tampan menyela kami lagi.
“Anggaplah ini
impas.”
“Impas apanya?
Enak saja!”
“Maksudku,
tudingan saling melecehkan antar negara tadi! Kita anggap impas saja.” Erik
menawarkan.
“Tidak! Enak
saja!”
“Well,
kamu, aku, dan Billy, kita sama-sama Seal. Minimal itu persamaan yang
membuat kita bisa berdamai.” Letkol Erick memegang bahu kami berdua dan
mendekatkan kami sebagai isyarat mendamaikan.
“Lagi pula ini
aspirasi berharga bagi kami, bahwa wanita juga layak menjadi seorang anggota
pasukan khusus.” Billy dan aku sudah sama-sama berhadap-hadapan.
“Ayo Billy,
tidak ada salahnya kamu menyampaikan permohonan maaf kepada Letnan Dewi yang
cantik ini!” Kalimat gombal. Khas laki-laki.
Menurutku,
standar kecantikan bagi bule setampan Erik atau Billy pasti berbeda. Mereka
lebih memandang wanita blonde berpinggang ramping dan tubuh layaknya model
victoria secret sebagai gambaran wanita cantik. Sedangkan aku, jauh dari
gambaran wanita seperti itu. Sejak dulu aku selalu beranggapan sebagai wanita,
pesonaku biasa saja. Padahal cukup banyak orang berkata padaku, bahwa wajahku
sangatlah cantik dengan ciri khas hitam manis berhidung mancung dan bibir
sensual. Tapi aku tidak pernah mau mempercayai pendapat orang lain.
“Jangan coba
merayuku!” tukasku.
“Oh tidak! Aku
tidak sedang merayumu. Kamu memang cantik, dan sudah selayaknya Billy
mengajukan permohonan maaf. Sekarang juga!” kalimat terakhir dilontarkan Erick
sambil sedikit membentak. Billy langsung patuh. Dia menyodorkan tangan.
“Nona Dewi,
aku minta maaf.” Aku buang muka kesal. Tidak semudah itu.
“Ayo, Wi,
maafkanlah dia!” Susi datang mendekat sembari memaksa tanganku untuk
bersalaman.
“Apa-apaan
sih, Kamu?” protesku.
“Ayolah,
terima permintaan maafnya!” Sedikit dipaksa, akhirnya aku menyambut tangan
Billy, lalu kami saling berjabat tangan. Letkol tampan tersenyum melihat
tingkah laku kami berdua yang seperti anak kecil.
“Ini sebuah
kemajuan besar.” kata Erick.
“Tapi salaman
ini belum memenuhi permintaanku!”
“Apa
permintaanmu?”
“Aku ingin VP
mengunjungi pos kami!” Pegangan tangan Susi di lengan terasa semakin kuat. Dia
mencengkeramku. Apakah permintaanku ini terlalu berlebihan? Billy sudah siap
memprotesku. Sedari tadi dialah yang paling keras menentang rencanaku.
“Sudah,”
perwira kekar berlesung pipit menyadari ini dan memotongnya di tengah jalan.
“Aku akan
mencoba menyampaikan kepada pimpinan Secret Service di sini agar VP
mengunjungi pos kalian!”
“Tapi
bagaimana? Bagaimana kalau kau ingkar janji, dan vice president tidak
mengunjungi pos kami?” tanyaku.
“Hei jaga
ucapanmu. Sadarkah kamu sedang bicara dengan seorang perwira berpangkat lebih
tinggi darimu?” anggota Secret Service berkacamata hitam terpancing.
“Aku tidak
bicara denganmu, son of a Bitch!” tunjukku tepat di mukanya. Susi
langsung menarikku agar tidak terpancing lagi.
“Ayolah!
Kalian berdua seperti kucing dan anjing,” untuk pertama kali perwira berlesung
pipit terlihat gusar menghadapi tingkah kami. “Ini janjiku Letnan, kalau memang
nanti VP tidak berkunjung ke pos kalian, maka aku berhutang padamu.”
“Serius?
Jangan sampai kamu tidak menepati janji, Letkol! Jika tidak, kamu akan ...”
“Hush, Kamu
keterlaluan, tahu!” Susi menginjak sepatuku.
“Ahh ... Susi!
Apa-apaan kamu?” si amoy menginjak dengan kuat sekali sebelum aku selesai
bicara. Kuku kakiku bisa copot karena injakannya. Erick menepuk Susi di bahu
sambil memberikan senyum lebar sebelum bicara,
“Jangan begitu
kasihan kaki temanmu!” Diajak senyum oleh perwira kekar, temanku langsung
tersipu malu. Rona merah muncul di pipinya. Benar-benar gampang dibuat ‘ge-er’
temanku ini. Letkol tampan beralih kepadaku kemudian berkata,
“Aku selalu serius, Letnan Dewi! Sekarang
kembalilah bersama rekan-rekanmu! Kamu bisa memegang ucapanku.” Aku memandang
mata Letkol Erick sekali lagi. Wajar saja Susi dibuat tersipu olehnya.
Laki-laki ini memang sangat mempesona.
Posting Komentar
0 Komentar