SEJENIS

 


GENRE : DRAMA EROTIC

JUMLAH HALAMAN : 32 HALAMAN

HARGA : Rp 10.000

Suasana cafe itu tampak lenggang, selain aku hanya ada sepasang kekasih yang duduk berdempetan, bahkan berpelukan, seakan bila mereka terpisah sedikit saja ada sebagian dari mereka yang mati. Mereka saling tatap dengan mesra, dengan pandangan yang membuatku iri setengah mati. Aku hanya bisa mengaduk banana milkshake pesananku. Gadis pujaanku akhirnya tiba, ia memandang ke sekeliling isi cafe hingga akhirnya ia melihatku di sudut ruangan, senyum indah langsung merekah di bibirnya yang mungil ketika ia berjalan menghampiriku.

“Aduh sori telat, biasa, macet. Kamu udah nunggu lama?” Pipinya merona merah dan nafasnya sedikit memburu, aku tahu ia berjalan terburu-buru, ia tidak suka membuat seseorang menunggu, apalagi aku.

“Nggak kok, baru juga dateng. Jadi udah kepikiran mau beli apa?” kataku sambil menyedot milkshake. Hari itu ia memakai rok jeans yang cukup pendek,dengan tank top warna biru yang dipadu dengan jaket.

“Kayaknya beli jam tangan aja. Kan pas banget tuh buat hadiah ulang tahunnya Rindra.” wajah cantiknya kembali tersenyum.

Nama gadis itu adalah Rani, usianya  21 tahun. Orang tuanya dari Jawa tulen, tapi kulit Rani amat terang dan logat Jawa sama sekali tidak terdengar dari nada bicaranya. Meski gaya bicaranya amat lemah lembut dan sopan yang mengingatkanku akan putri keraton.

Apa ia cantik? Wow banget. Kecantikan yang bisa membuat Rama melupakan Shinta sekalipun.  Apa tubuhnya indah? Sangat.  Bentuk tubuh seperti miliknya akan menginspirasi para pelukis pemuja keindahan alam untuk terus menggoreskan kuasnya.

Apa semua itu yang membuatku jatuh cinta padanya? Bukan, aku jatuh cinta padanya karena takdir yang mengharuskanku. Takdir yang memaksaku untuk satu kampus dan bersahabat dengannya. Takdir pula yang memaksaku untuk selalu melihatnya kemanapun mataku memandang. Kurasa takdir pula yang membisikan nama Rani ditelingaku dan menitipkan asa dihatiku.

“I love you…” kataku perlahan, tapi cukup untuk terdengar olehnya. Ia tersenyum cantik sekali.

“I Love you too” bisiknya perlahan.

Entah apa yang membuatku jatuh cinta kepadanya. Mungkin caranya mengernyitkan hidung jika sedang bosan, mungkin selera humornya, atau sikap tubuhnya ketika aku sedang berbicara dengannya seakan tidak ada hal yang lebih menarik baginya selain mendengarkan lanturanku yang tidak jelas juntrungannya, atau malah caranya mengibaskan rambut ketika kegerahan.

 Aku tidak tahu, dan juga tidak peduli. Ketika aku pertama kali bilang terus terang bahwa aku mencintainya, Rani melihatku dengan pandangan aneh, lalu ekpresi kebingungan muncul di wajahnya. Ia pun lalu berjalan pergi tanpa bilang apa-apa. Keesokan harinya kami kembali bertemu di kampus, aku tersenyum jengah, ia juga. Aku mendekatinya dan ia tidak berjalan pergi.

Kami tidak pernah berbicara tentang status hubungan kami, kami biarkan mengalir begitu saja seperti seharusnya. Kami berbicara melalui mata, bertukar pikiran melalui sentuhan, dan melebur jiwa kami hanya dengan senyuman. Tanpa perlu membuang nafas dan menggetarkan tenggorokan. Kami tahu bahwa meskipun kami tak bisa bersama, hanya simfoni namaku yang bergema di hati Rani, dan hanya lukisan Rani yang tergambar di hatiku.

Rani sudah memiliki seorang pacar, namanya Rindra. Ia tampan, gaul, dan putra seorang pengusaha kaya raya yang diragukan kehalalan sumber penghasilannya. Menurutmu Rindra kah yang menyebabkan aku dan Rani tidak bisa bersatu? Bukan, kami tidak bisa bersatu juga karena takdir, takdir yang memaksaku lahir dari rahim perempuan Tionghoa, takdir yang memaksaku memiki dua nama yang salah satunya adalah Lena Dewanti, dan takdir yang memaksaku terlahir dengan vagina dan bukannya penis. Sebelum bertemu dengannya aku adalah seorang gadis yang “normal”, menjerit histeris ketika melihat boyband idolaku, tergagap ketika harus mengobrol dengan lelaki keren dan ganteng, dan memiliki impian untuk menikah lalu menjadi seorang ibu.

Dan segalanya belum berubah.  Aku bukan pecinta kaum sejenis, aku mencintai Rani. Bukan karena ia perempuan, tapi karena ia adalah Rani, karena memang aku tidak bisa tidak mencintainya. Masyarakat itu egois, keras kepala, dan tanpa ampun. Segala yang ia pandang tak sesuai dan tak ia sukai, akan ia gilas sampai habis. Dikecam,dihina, dipermalukan, sampai akhirnya dibasmi, adalah nasib bagi mereka yang berani berdiri menentang masyarakat dan berteriak “Inilah aku!”

Jadi aku dan Rani merunduk dalam-dalam, hidup dengan topeng kepalsuan menutupi wajah kami yang sebenarnya, dan pura-pura mengikuti dogma yang menghimpit hidup kami, dan menciptakan “seragam” yang tak bisa kami lepas selamanya. Tapi kami tidak sepenuhnya menyerah, sebab setiap kali lampu sorot masyarakat itu melewati kami, kami pun melepas topeng masing-masing dan menikmati hidup seperti yang dimaksud oleh takdir.

“Perempuan itu diciptakan untuk laki-laki! Bukan untuk sesama jenis!” seseorang pernah berkomentar didepan kami, dan kami saling bertukar senyum menertawakan kebodohannya.

“Yuk kita berangkat. Ntar abis belanja, kita jadi nonton kan?” katanya memutus lamunanku. Aku mengangguk dan kamipun beranjak.

***

Ada sesuatu dari kegelapan bisokop yang selalu membuatku tenang dan tentram. Mungkin karena ditengah-tengah kegelapan itu, aku bisa menjadi diriku yang sebenarnya, tanpa ada yang menghakimi dan menotok jidatku sambil bilang “Pendosa!”. Aku sudah lupa film apa yang waktu itu kami tonton. Yang kuingat adalah kami berdua saling berpegangan tangan dengan erat. Aku meletakkan tanganku ke pahanya yang tak tertutup. Lalu beberapa menit kemudian aku menyelusupkan tanganku di antara kedua kakinya.

Rani bergerak secara perlahan mengusapkan tangannya ke bagian dalam pahaku. Kulepaskan desahan kecil ketika Rani menemukan apa yang diinginkannya. Sementara kami berpura-pura menonton film, kumainkan rabaanku di gundukan bukit yang masih tertutup celana dalam itu. Tanganku menyusuri belahannya dan kugosok pelan sampai terasa celana dalam itu sedikit basah, sementara ujung jari Rani bergeser naik dan turun di bagian yang sama dari celana dalam milikku, mendorong kain yang tipis itu ke dalamku.

Akupun membalasnya dengan menyingkapkan bagian depan celana dalamnya dan menyelipkan dua jariku ke dalam vaginanya. Kudorong lembut melaluil bibir vaginanya yang mungil, terasa benar-benar hangat dan lembut di dalam dan aku bisa merasakan otot-ototnya berkontraksi seakan memijat perlahan jariku. Tidak butuh waktu lama sebelum kami berdua mulai kehausan dan dahaga akan satu sama lain. Kami mulai bernafas kencang dan berat.

”Len, kita pulang sekarang yuk…” kata Rani dengan nafas sedikit memburu.

“Ayo.” bisikku balik didekat telinganya, sedangkan hidungku menghirup aroma tubuh Rani yang segar.

Kugenggam tangannya dan menariknya keluar dari bioskop. Kami sudah tidak peduli pada sisa film yang belum kami tonton itu. Mobilku berjalan menembus lalu lintas Jakarta yang padat merayap, serasa seabad rasanya sebelum kami akhirnya sampai kerumah Rani. Begitu sampai dan memarkirkan mobilku di carport, kami praktis berlari ke kamar Rani, benar-benar tak sabar untuk melanjutkan perbuatan yang terpaksa kami tinggalkan. Untunglah seperti biasa rumahnya kosong, kecuali dua pembantunya yang seperti biasa tinggal di belakang.

 Begitu kami memasuki kamar, Rani langsung mengunci pintu kamar itu. Dengan tidak sabar, aku menarik tangannya dan mengajaknya duduk dipinggir tempat tidurnya. Kami pun duduk saling berhadapan di atas ranjang, wajah amat berdekatan. Dengan segera, aku memagut bibir Rani yang merekah di depanku. Lidahku menyelusup melalui celah mulutnya yang terbuka dan lidahnya mempermainkan lidahku, mengulumnya dengan lembut. Aku pun membalas mengulum lidahnya dengan hangat.

Tanganku perlahan-lahan merayapi permukaan pahanya, yang lembut, dan halus, dengan sebuah gerakan yang indah Rani menopangkan kedua tangannya ke belakang. Dua bukit di dadanya yang membusung bergerak turun naik mengikuti irama nafasnya seolah-olah sedang mengundangku untuk segera menikmati isinya , dibalik kaus ketat yang dipakai olehnya.

Untuk sesaat aku menarik kepalaku dan memandangi wajah rani,tanganku membelai rambutnya dengan lembut, kemudian merayapi pipinya yang merona kemerahan,  aku mencoba memikirkan sebuah sensasi kenikmatan yang baru sedikit saja aku cicipi. Terasa sebuah perasaan aneh mengalir di sekujur tubuhku saat lidah kita saling bersentuhan. Apakah ini yang dinamakan cinta? Ataukah ini nafsu birahi? Aku tidak tahu. Aku cuma orang bodoh yang terombang-ambing oleh gelombang yang bergelora di dalam hatiku,

 “I cannot even separate love from lust….”


Posting Komentar

0 Komentar