SENGGAMA CINTA

 


GENRE : DRAMA EROTIC

JUMLAH HALAMAN : 76 HALAMAN


PART 1

Pikiran Rendra melayang tidak karuan, seperti gerak jari tangannya yang hanya menggesek-gesek pinggir keyboard wireless yang teronggok di pangkuannya. Layar monitor di hadapannya tidak menunjukan gerakan apapun karena lelaki berkelopak mata lebar itu urung mengetik. Dia lebih sering terdiam dengan kedip mata pelan sambil menarik nafas panjang.

Lelaki berpipi tembem dengan headset besar mencengkram kepala itu berdiri. Menghadang semburan udara air conditioner bersuhu 18 derajat celsius dengan wajah. Kepalanya dingin tapi hatinya tidak. Ada api gelisah yang terus menyala di jiwanya. Sudah satu jam dia terkurung di ruangan itu. Hatinya tetap gerah, tidak seperti peralatan elektronik yang hampir memenuhi tempat itu, adem-adem aja.

Tidak ada musik yang sesuai selera. Telinganya terasa panas. Dia melepas headset. Suara kendaraan yang lalu lalang di jalan raya langsung menyerbu telinga. Bising! Dia semakin gelisah. Ekor matanya melirik ke atas meja yang berantakan, padahal ruangan kesayanganya itu akan ditinggal beberapa hari untuk menikmati tahun baru.

Rendra merogoh handphone di celana, melihat layar. Tidak ada notifikasi apapun. Dia mencoba melakukan panggilan tetapi nomer handphone istrinya tidak aktif. Wajah lelaki itu semakin keruh karena kecewa. Istrinya hilang!

“Kemana dia? Kenapa gak ngasi kabar sampe sekarang?”

Rendra keluar ruangan. Hujan turun sangat deras disertai angin kencang. Hasrat membara menyuruh Rendra berlari ke arah hujan, menebas rintik hujan, menendang genangan air, sambil berteriak kencang berharap api yang menyala di hatinya bisa padam. Nanti malam adalah pergantian tahun. Tahun 2020 segera datang. Apakah malam ini dia tanpa orang tersayang?

“Istriku sayang, kemana menghilang?”

Rendra takut istrinya pergi, itu berarti dia gagal melaksanakan amanat ibunya.

***

Agustus 2019,

Pagi dingin disertai gerimis. Seorang wanita tinggi langsing turun dari sepeda motor. Dia tergesa-gesa membuka jok motor, mengambil sling bag kecil warna biru, kemudian memasukan jas hujan yang sudah terlipat ke dalam jok. Dia mengelap ujung celana panjang jeans dan sepatu kets-nya yang agak basah. Jam tangan kecil berwarna silver yang melingkar di tangan kiri dia lap dengan ujung bawah baju seragam berbahan katun berwarna biru gelap dengan kerah orange.

Dia mendogak memandang sebuah bangunan berlantai dua dengan design unik penuh ukiran kayu. Lampu di dalam bangunan menyala dan itu menandakan sudah ada rekan kerjanya yang datang. Wanita dengan bokong kencang itu kembali menoleh ke parkir. Sudah terparkir satu sepeda motor yang dia kenal pemiliknya. Kening mengkerut, alis alami di wajahnya yang jelita hampir menyatu. Dengan berat hati dia berlari kecil melawan rintik hujan, menuju pintu kaca.

“Pagi Sela sayaaang…,”

“Sela lagi sela lagi..! Namaku Sheyla bukan Sela! Apa sih susahnya ngucapin Sheyla?”

Sheyla sudah menebak lelaki berperawakan tinggi, rambut cepak, dan berkulit sawo matang itu akan menyapa. Lelaki yang tidak melepaskan pandangan dari tubuh Sheyla semenjak dia membuka pintu toko.

“Pagi Fendy,”

Sheyla berucap dengan senyum terpaksa. Fendy membalas dengan senyum tipis. Ciiihh, Nyebelin! Sok ganteng! Sheyla memaki dalam hati. Dia berusaha bersikap profesional kepada Fendy, meskipun dalam hati sangat tidak menyukai lelaki itu. Perempuan cantik itu melanjutkan langkah hendak melewati Fendy yang berdiri di antara dua rak setinggi dua meter berisi deretan sepatu. Rak serupa banyak di tempat itu, ada yang berisi dompet, tas, sepatu dan pakaian.

“Wajahmu kecut amat! Gak dapet jatah dari lakimu, ya? Hahhahahha..”

Semburan kata-kata Fendy membuat telinga Sheyla panas, Sheyla langsung menghentikan langkah. Dia mengunci mulut rapat sambil menatap Fendy dengan tajam. Huh! Terdengar dengusan pendek Sheyla. Sheyla tahu maksud ucapan lelaki itu, Fendy berbicara tentang hubungan seksual. Sheyla benci kepada orang yang melawati batas dan hendak mengobrak-abrik ranah privasinya.

“Sorry Fen, aku gak ada mood bercanda hari ini!” Sheyla menghentakan kaki menuju meja kasir.

Fendy mengikuti Sheyla. Lelaki yang memakai seragam seperti Sheyla berhenti saat si cantik masuk ke ruang dengan pembatas melingkar mirip tapal kuda setinggi satu meter, terdapat meja dan komputer di dalamnya. Itu adalah area kasir di bawah kekuasaan Sheyla, Fendy sebagai SPB tidak boleh masuk ke area itu.

Sheyla meletakan sling bag di atas meja. Mengambil kotak make up dan mulai bercermin. Dia mengoleskan lip gloss di bibirnya yang tipis kemerahan. Berdecak sebentar sambil meraba pipi yang halus. Kemudian merapikan kuncir kuda rambutnya. Mata Fendy terus mengikuti gerak-gerik Sheyla. Wanita itu kesal, dia mencoba memakai tatapan mata yang tajam untuk mengusir Fendy. Sia-sia, Fendy hanya cengar-cengir tidak peduli.

“Aku udah selesai bersih-bersih, kok. Jadi aku mau santai di sini ngeliatin kamu yang manis kayak bidadari.”

“Hadeh! Mungkin si mesum ini pikir bahasanya keren dan puitis!” Sheyla memilih diam, pasang wajah super dingin, dan berusaha tidak terganggu celotehan Fendy. Mulai sibuk menyiapkan uang cash dan nota.

“Senyum manis dong, Sela, ini masih pagi lo.”

“Huh! Enak saja ngebacot. Senyumku ini berharga! Sengaja kusimpan untuk customer. Bukan buatmu, Fendy!”

Sheyla ingin meneriakan itu sambil meludahi wajah Fendy. Dia benar-benar kesal. Sheyla membuang muka sambil berdiri memunggungi Fendy.

“Oh ya. Daripada aku liat wajahmu yang makin kecut, mending liat kamu dari belakang,” rayu Fendy.

“Bokongmu makin kencang dan kenyal, mantap banget, Sel. Hahahha.”

“Huh! Dia makin kurang ajar!”

 Sheyla benci saat Fendy mulai membicarakan bagian tubuhnya, sesuatu yang dianggap tidak layak dijadikan bahan obrolan. Kata-kata Fendy adalah salah satu bentuk pelecehan seksual. Hanya saja Sheyla malas memperpanjang urusan. Kata-kata kotor sudah sering terdengar di antara rekan kerjanya. Kalau dia marah dan menanggapi terlalu serius, kemungkinan besar dia yang akan dianggap sebagai orang yang tidak dewasa di umur dua puluh tujuh tahun. Dia tidak mau di sebut baperan.

Sheyla menyalakan musik dari komputer kasir dengan cukup keras. Entah karena musik atau karena seorang perempuan masuk ke toko itu yang membuat Fendy pergi dari meja kasir. Fendy kemudian memepet wanita itu, melingkarkan lengan di leher seolah begitu akrab. Mereka tertawa berdua. Sheyla muak.

“Dasar lelaki mesum! Dan perempuan itu juga, murahan! Mau saja disentuh lelaki seperti Fendy.”

Setelah Fendy menjauh, Sheyla merasa lebih nyaman. Telujuknya mengetuk sandaran kursi. Itu adalah salah satu kebiasaan Sheyla. Dua tahun yang lalu adalah pertama kali dia duduk di kursi berbalut kulit sintetis itu. Agustus 2017, Sheyla pertama kali bekerja di sana.

****

              Hujan tidak turun sore itu. Matahari sudah tidak tampak tetapi cahaya jingga terang masih terlihat di langit. Cahaya itu menuntun Sheyla pulang melalui jalanan kota yang padat, menuju pinggiran kota penuh hamparan sawah yang luas menghijau. Earphone bluetooth yang tertutup helm memutar lagu favorit Sheyla, cukup membuat pikirannya lebih rileks. Hari ini cukup melelahkan baginya karena rutinitas menghadapi customer di akhir pekan yang selalu lebih ramai dari hari biasa.

Sheyla berhenti di sebuah area yang dikelilingi tembok bata, kemudian mendorong pintu gerbang setinggi satu meter yang terbuat dari kayu berwarna coklat alami. Dia membawa motor masuk dan parkir di dekat taman kecil. Kakinya menapak jalan paving cukup lebar yang membelah taman. Jalan itu kemudian bercabang membentuk huruf Y, kedua cabang menuju sebuah rumah yang identik. Sheyla berbelok ke kanan, ke rumahnya.

Rumah Sheyla sederhana. Dua kamar tidur, kamar mandi, dapur, kamar tamu dan teras. Di depan rumahnya, ada rumah yang sama persis, milik adiknya bernama Meytha. Rumah mereka berhadapan berjarak 30 meter, dipisahkan sebuah taman kecil dengan pohon jambu air yang besar di tengah. Kedua rumah itu adalah warisan orang tua mereka.

Lampu rumah Meytha menyala. Tidak biasa adiknya ada di rumah jam segini. Sheyla penasaran dan melangkah melewati taman. Cahaya lampu menyinari wajah jelita Sheyla. Menampilkan kecantikan dan keindahan alami perempuan itu. Sheyla masuk ke ruang tamu melalui pintu yang sudah terbuka. Perempuan itu mengedarkan pandangan, dia tidak melihat Meytha. Hanya melihat seorang lelaki berpostur tubuh tegap tinggi berdiri memunggunginya. Tangan lelaki berkemeja rapi itu terangkat menahan handphone yang menempel di telinga.

“Rendraaaa..!”

Sheyla berteriak gembira sambil berlari kecil. Rendra hanya menoleh sebentar, melirik, tersenyum kemudian tidak menghiraukannya. Suara wanita dari speaker handphone Rendra sampai ke telinga Sheyla. Oh, lagi nelpon gebetan toh. Sheyla tersenyum tipis karena tahu penyebab Rendra mendadak cuek. Lelaki itu sedang serius menelpon Meytha.

Sheyla menunggu Rendra selesai menelpon. Dia menatap lelaki bercelana longgar itu menggusap rambut lurus yang disisir ke kanan. Setelah menelpon Rendra meletakan handphone di atas meja. Cukup lama Sheyla menatapnya, membuat Rendra bingung.

“Kenapa, Sheyla?”

Mendengar suara Rendra, Sheyla tersenyum. Cara lelaki itu menyebut namanya patut diacungin jempol. Laki-laki seumuran Sheyla itu adalah orang yang paling benar menyebut nama ‘Sheyla’. Temannya yang lain kadang memanggilnya, Sil, sel, sela, atau malah siela. Meskipun dikasih tahu, tetap saja mereka salah.

“Kamu ngebucin terus ya, Ren?”

Sheyla pintar membuat Rendra mengeluarkan senyum khas-nya. Senyum lebar dengan bibir terkunci sehingga membuat pipi yang tembem semakin menggelembung. Mirip pipi badut. Meskipun pipi Rendra tembem, dia tidak gemuk, tubuhnya tinggi, dan termasuk golongan atletis. Tanpa menunggu sanggahan Rendra, Sheyla melanjutkan omelan kecilnya,

“Kamu sih, mau-mau aja diperalat si Mey, sekali-kali kamu harus lawan dia. Jangan biarkan si Mey makin manja, ”

“Gapapa Sheyl, mungkin dia agak stress mikirin nikahan,” jawaban Rendra yang lembut dan teduh membuat Sheyla menarik nafas pelan. Cukup lama dia menatap wajah calon iparnya itu. Dia tahu kalau sekarang saatnya dia mengganti topik.

“Ren, kamu demen godain cewe, gak?” Sheyla teringat Fendy. Lelaki yang membuatnya jengkel setengah mati. Lelaki yang suka menggoda dengan kata-kata mesum. Lelaki yang dianggap bertolak belakang dengan Rendra yang lembut dan sopan dalam mengeluarkan kata.

“Enggak, seringan aku yang digodain cewe.”

“Halah! Kamu kepedean.” Sheyla melotot manja,

“Aku nanya serius.”

“Aku juga serius,” jawab Rendra. Mereka beradu pandang,

“Buktinya kamu sering godain aku, Sheyl.”

“Habis, kamu ngegemesin, sih. Hihihi,”

Sheyla tertawa, kemudian menepuk lengan berotot lelaki itu, tanganya merayap nakal mencubit pipi Rendra. Rendra menghindar sambil tertawa. Mencubit pipi Rendra adalah kebiasaan Sheyla semenjak mengenal lelaki itu. Rendra tidak pernah marah. Malam semakin larut. Mereka bisa melihat bintang dari sana sambil ngobrol ringan dan tertawa.

Suara sepeda motor memasuki parkir membuat mereka terdiam. Seorang perempuan cantik berambut pendek kemudian masuk ke dalam rumah. Sorot mata agak sayu mengintip dari balik kacamata yang dikenakan. Dia adalah Meytha. Adik Sheyla sekaligus pacar Rendra.

“Sayang, beliin martabak, doooong..” perintah manja meluncur dari bibir kemerahan Meytha. Perempuan itu kemudian meletakan helm di atas meja, sebelum menjatuhkan bokongnya yang bulat berisi ke sofa.

“Kamu kesambet, Mey? Datang-datang minta makan,” sahut Sheyla.

“Enggak, lagi pengen aja.”

“Lah! Kenapa kamu enggak beli sendiri di pertigaan depan gang? Kan, sekalian jalan pulang tadi !” Sheyla menyahut dengan nada cukup tinggi.

“Males berhenti, rameee.”

“Kamu manja amat. Kasian Rendra mesti keluar,” Sheyla menggerutu.

“Enggak apa-apa. Iya kan Sayang?” ujar Meytha melirik manja ke Rendra. Rendra kembali mengelurkan senyum khas-nya. Bibir terkunci, pipi mengembung, kali ini disertai anggukan kepala.

“Emangnya kaka pikir dia kayak kak Evan? Kalo diperintah dikit langsung ngamuk. Hihihi.”

Sial. Adik satu-satunya yang berumur 22 tahun ini memang pinter memancing emosi. Tentu saja Sheyla kesal mendengar celotehan adik kesayangannya. Tapi dia benar, membandingkan Rendra dan Evan seperti membandingkan bumi dan langit.

“Hati-hati sayang, kalau sempet beliin jus alpukat juga, es dikit tanpa gula.” Mata jelita Meytha melirik Sheyla tanpa beban atau rasa bersalah.

"Kakak nitip?"

“Enggak! “

Sheyla menarik nafas panjang melihat tingkah manja adiknya. Ada rasa sedih saat dia menatap punggung Rendra ketika berlalu meninggalkan mereka. Sheyla jengkel dengan Meytha. Menurutnya Meytha terlalu egois. Memperlakukan calon suaminya mirip babu. Perlakuannya terhadap Rendra berlebihan, dan bodohnya Rendra menuruti keinginan Meytha.

Sheyla adalah orang yang merayu Rendra untuk dekat dengan adiknya beberapa bulan lalu. Dia tahu Rendra memiliki trauma berhubungan dengan perawat, tetapi Sheyla memaksa dan berusaha membantu Rendra untuk move on. Sebuah senyum manis terukir di wajah Sheyla tanpa dia sadari. Ada perasan bangga dan bahagia di hatinya saat rencana Sheyla menjodohkan mereka berhasil dan mereka akan segera menikah.

Drrrtttt Drrrttt Drrrrt

Hanya notifikasi getar. Lamunan Sheyla mendadak buyar ketika mendapat pesan whatsapp dari Evan, suaminya.

Beb! Aku ada Party hari ini, mungkin pulang besok pagi.

Iya Bebs, balas Sheyla.

“Halah! Gini aja terus sampe mampus!” Sheyla mengumpat dalam hati sambil mencengkram erat handphone. Suaminya bekerja di sebuah bar. Pulang pagi sudah menjadi kebiasaan yang membuat Sheyla kecewa.

***

Hangat cahaya mentari pagi menembus celah di antara daun jambu air, menyinari kumpulan bunga beraneka warna yang melingkar mengitari batang besar pohon jambu. Hujan turun kemarin malam membuat udara sejuk dan daun semakin hijau segar.

Meytha memakai celana pendek biru langit bermotif bunga dan kaos putih tanpa lengan berkerah V-neck. Kemulusan kulit leher terlihat jelas, buah dada besar yang terkungkung baju mengembung indah naik turun mengiringi tarikan nafasnya. Wajahnya tanpa kacamata kali ini, topi warna putih dan cukup lebar dipakai menutup rambut pendek miliknya. Dia mondar-mandir di taman sambil membawa handphone untuk memfoto bunga. Meytha suka bunga, suka kuncup kembang yang akan mekar, suka tunas yang baru tumbuh. Dia adalah tukang kebun di rumahnya.

“WOW! si cantik yang mau nikah mendadak rajin! ”

Meytha terkejut mendengar suara nge-bass di belakangnya, ternyata Evan, kakak iparnya. Dia menatap lelaki berkepala plontos dengan tatapan tajam itu, sebuah tatoo kepala harimau menyembul di dada Evan yang memakai kemeja dengan kancing terbuka. Tatoo lain banyak bersebaran di tubuhnya, kaki dan lengannya hampir penuh tatoo.

“Hehe, iya kak, mumpung libur,” jawab Meytha sambil menghias wajah dengan senyum manis.

“Kak Evan baru pulang?”

Evan mengangguk terpesona. Dia kemudian memperhatikan jemari tangan Meytha ketika memunggut daun yang rontok. Membandingkan wanita itu dengan istrinya. Kulit Meytha lebih putih dibanding Sheyla. Meytha lebih pendek tetapi dada dan bokongnya lebih berisi. Leher Meytha yang mulus terlihat menggoda ketika perempuan itu merapikan rambut. Evan beberapa kali membayangkan betapa nikmatnya bercinta dengan perempuan ini. Dia sekal dan montok. Meytha seksi.

Meytha melanjutkan kesenangan dengan tanaman tetapi merasa tidak nyaman karena Evan tidak beranjak dari sana. Evan seperti mata-mata, mengawasi setiap gerak-geriknya. Saat Meytha melempar senyum canggung, Evan membalas dengan seringai tipis sambil memandangi Meytha dengan sorot mata aneh. Tatapan lelaki berwajah tirus itu seperti menggerayangi pangkal paha dan dada meytha. Hiiihhh! Meytha bergidik.

“Mey, kamu udah pernah di icip-icip ama si Rendra?” Senyum tipis tersungging di wajah Evan, bola matanya mengikuti gerakan tubuh Meytha.

“Maksudnya?”

“Gituan sebelum nikah, hehehe.” Evan menggerakan tangan memberi kode yang menandakan Making Love alias bersetubuh.

“Enggak lah!” Meytha menjawab ketus saat mengerti maksud Evan. Dia memalingkan wajahnya yang bersemu merah.

Meytha tahu, dulu Sheyla menikah dengan Evan karena Sheyla sudah pernah berhubungan badan dengan Evan, tapi ajaibnya, sampai sekarang Sheyla belum hamil. Sheyla sering menceritakan masalah rumah tangganya. Dia sering menangis di dekapan Meytha ketika mencurigai Evan selingkuh. Sebagai satu-satunya saudara dan yatim piatu, Sheyla dan Meytha cukup terbuka dalam bercerita. Evan masih betah mengawasi Meytha. Si seksi semakin risih.

“Apa aku balik ke kamar aja ya? Dia jelas merasa tergangu, tetapi tidak bisa menyuruh iparnya pergi.”

Derap langkah kaki mendekat terdengar. Saat Meytha menoleh, Sheyla mengenakan dress santai muncul.

"Bebs, baru pulang? Ngapain di sini?" Tangan perempuan itu melingkar di leher Evan. Bibirnya mengecup pipi suaminya. Evan tertawa dan membalas kecupan Sheyla di bibir. Mereka berpelukan mesra.

"Tadi aku ngobrol ama Mita. Dia udah enggak sabar jadi pengantin. Pengen nikmatin malam pertama," Evan menggoda Meytha sambil terkekeh.

"Iiiihhh bo'ong. Kak Evan ngarang!" Meytha cemberut.

Sheyla tertawa bahagia. Pernikahan adiknya adalah momen yang sangat dinantikannya. Penghuni tempat itu akan menjadi lebih ramai karena Rendra setuju tinggal di sana setelah menikah.

"Bebs.. kita malam pertama-an lagi, yook," Evan langsung memeluk Sheyla. Memiringkan tubuh istrinya dan membopong ke rumah. Terdengar jeritan Sheyla, kemudian berganti suara tawa. Meytha masih sempat melirik ketika mereka berciuman di teras. Dia lega karena Evan sudah pergi.


Posting Komentar

0 Komentar