BATU DARI LANGIT
SINOPSIS:
Seorang pemuda mendapat kekuatan misterius setelah mendapat sebuah batu yang jatuh dari langit. Dengan kekuatan tersebut sang pemuda bisa melakukan banyak hal, termasuk memuaskan hasrat birahinya pada wanita-wanita yang dia sukai. Bagaimana akhir kisah pemuda tersebut?
GENRE : MISTERY EROTIC
FORMAT : FILE PDF
JUMLAH HALAMAN : 394 HALAMAN
HARGA : Rp.35.000
PART 1
Udara dingin
pegunungan dibalut lembut air yang melahirkan kabut merupakan pemandangan yang
biasa di Desa Pujon Kidul, Kabupaten Malang. Penduduk desa hidup dengan damai
dan tentram. Hampir semua penduduk berprofesi sebagai petani sawah dan ladang.
Ya, di sinilah aku dilahirkan dan dibesarkan. Di sinilah aku setiap hari dapat
menghirup udara segar. Pemandangan yang indah, lingkungan yang asri dengan
pepohonan, serta ilalang yang selalu menghiasi jalan. Meskipun kehidupan di
desaku ini sangat sederhana dan minim hiburan, tetapi aku sangat menyukai dan
kerasan tinggal di sini. Aku sangat menikmatinya dan kuanggap desaku ini adalah
tempat ternyaman di dunia.
Kepulan asap
rokok memenuhi ruang depan di rumahku. Indah warnanya putih. Kubiarkan
bercampur dengan aroma kopi panas yang baru saja kuseduh. Aroma keduanya terasa
begitu segar di hidungku. Sebuah tangan keriput mengambil gelas kopi dari atas
meja. Pemilik tangan itu adalah kakekku yang sudah berusia 67 tahun. Semenjak
kedua orangtuaku meninggal dunia, karena kecelakaan lalu lintas sembilan tahun
yang lalu, aku praktis diasuh oleh kakekku. Ya, aku beruntung masih mempunyai
kakek yang selalu ada untukku selama sembilan tahun lebih ini.
Nama kakek
adalah Barda. Kakek telah ditinggalkan nenek menghadap Yang Maha Kuasa empat
tahun yang lalu. Kakek cukup terpandang di desaku karena dia pernah menjadi
kepala desa selama 10 tahun di desaku. Dia juga petani yang lumayan sukses.
Kakek mempunyai lahan pertanian seluas dua hektar lebih, sehingga di hari
tuanya kakek tak pernah menyusahkan anak-anaknya. Kakek mempunyai tiga orang
anak laki-laki. Ayahku adalah anak tertua dari kakek. Jadi bisa ditebak, jika
aku mempunyai dua paman. Mereka adalah adik dari ayahku.
Namaku Azka
Anugrah yang sekarang berusia 24 tahun. Wajahku lumayan tampan karena banyak
yang bilang seperti itu. Tinggi badan 168 cm dengan berat badan 58 kg bisa
dibilang aku mempunyai tubuh yang ideal. Hanya saja sejak empat bulan kelulusan
dari pendidikan S1, aku belum juga mendapat pekerjaan alias pengangguran.
Aktivitasku sebatas membantu kakek di ladang dan di sawahnya, sekedar untuk
mendapat uang rokok saja darinya.
Entah sudah
berapa jam aku dan kakek ngobrol di ruang tamu ditemani suara jangkrik yang
saling bersautan riang. Malam ini di desaku cuaca sangat dingin, walaupun
langit malam ini sangat cerah. Namun, dinginnya udara malam tidak menjadi
obrolanku dengan kakek dingin juga. Bahkan kami tertawa terbahak-bahak jika
terjadi obrolan lucu. Malam semakin larut, obrolan kami pun semakin melebar
kemana-mana hingga lupa bahwa waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam.
“Aska ...
Kakek mendengar kalau sekretaris desa kita akan pensiun. Tadi siang kakek
bertemu kepala desa kalau dia membutuhkan sekretaris desa. Kakek pikir dengan
pendidikanmu rasanya kamu pantas menjadi sekretaris desa.” Ujar kakek yang
tiba-tiba sangat serius.
“Oh ...
Benarkah kek? Aku mau banget jadi sekretaris desa. Setidaknya sejalan dengan
pendidikanku di kuliahan. Jurusanku kan pemerintahan daerah. Ya, cocoklah kalau
aku menjabat sebagai sekretaris desa.” Jawabku sangat bersemangat.
“Ya ... Tadi
bilang kepala desa bisa membantumu, tapi dia bilang juga ada biaya yang tidak
kecil yang harus kita keluarkan. Jaman sekarang sesuatu harus pakai duit.” Kata
kakek lalu menghisap lagi rokok kreteknya.
“Kalau masalah
itu, aku angkat tangan kek ... Dari mana aku mendapatkan duit. Duitnya pasti
gede. Aku kan ingin bekerja karena butuh duit.” Tiba-tiba saja semangatku
mengempis lagi.
“Eh bisa aja
sih kek, kalo kakek mau bantu dengan jual sawah kakek.” Kelakarku sambil
cengengesan gak jelas.
“Jual gundulmu
... Kalau dijual darimana kakek dapat duit ... Tapi, kakek sudah memikirkannya.
Kakek akan pinjam sama Pak Rusdi. Dua bulan lagi kakek panen, dari hasil panen
itulah kakek bayar pinjaman itu.” Ujar kakek sembari membuang rokoknya ke
asbak.
“Aku jadi gak
enak sama kakek. Kakek terlalu baik padaku.” Kataku yang agak tidak enak hati.
Kasih sayang kakek tak pernah bisa diukur dari berapa lama waktu yang aku
habiskan bersamanya. Ya, kasih sayang kakek padaku tak mengenal batas maupun
bentuk.
“Kamu gak usah
mikirin apa-apa. Bagi kakek sekarang kamu harus kerja dan kawin. Umurmu sudah
cukup untuk berkeluarga. Kakek gak ingin kamu jadi bujangan lapuk.” Ucap kakek
dan kami pun tertawa bersama.
Kami terus
melanjutkan obrolan seputar peminjaman uang kepada Pak Rusdi. Pak Rusdi bisa
dibilang ‘bank keliling’. Dia menyediakan jasa peminjaman uang atau modal pada
warga desa. Namun, Pak Rusdi tidak menetapkan bunga yang tinggi. Bunga
pinjamannya lebih besar sedikit dari bunga bank sesungguhnya. Akhirnya aku dan
kakek sepakat untuk meminta bantuan Pak Rusdi yang kami rencanakan akan datang
besok siang ke tempat kediamannya.
Akhirnya kakek
beranjak dari duduknya lalu melenggang ke kamar hendak beristirahat. Sementara
aku malah keluar rumah untuk menghirup udara segar malam hari. Kurentangan
tangan dan kupejamkan mataku seraya menghirup udara bersih untuk mengganti
pasokan oksigen di paru-paruku yang kotor dengan oksigen bersih alam terbuka.
Ketika mataku terbuka, tiba-tiba aku melihat sebuah benda pijar di angkasa yang
bergerak sangat cepat. Benda pijar itu seakan mengarah padaku. Aku terhenyak
tetapi tubuhku tidak bisa bergerak. Mataku terus mengikuti jatuhnya benda pijar
tersebut. Dalam hitungan detik, akhirnya benda pijar itu jatuh menimpa bumi
yang hanya berjarak sekitar sepuluh meter dari tempatku berdiri.
BLLAAARRR
...
Suara dentuman
keras terdengar di telingaku diikuti dengan debu pekat membumbung tinggi. Bumi
bergoncang lumayan keras. Rumah bergoyang, kaca depan pecah, beruntung rumahku
tidak roboh. Aku pun terlempar ke belakang hingga membentur tembok rumah saking
kerasnya tenaga dorongan dari benturan benda pijar tersebut dengan tanah.
Membuat kepalaku sakit dan berdengung. Mataku sakit kelilipan debu yang menerpa
kencang ke tubuh. Ya, benturan itu sangat kuat sampai-sampai hamburan tanah
membuat luka robekan kecil di tanganku yang tadi refleks menutup wajah.
“Azka ... Apa
yang terjadi?” Tiba-tiba kakek datang keluar. Tak lama kakek terbatuk-batuk
mungkin karena menghisap debu yang masih terlalu pekat.
“Ada meteor
jatuh kek ...” Jawabku sambil meringis dan berdiri.
“Dimana?”
Tanya kakek lagi yang kini tubuhnya sudah terlihat samar-samar.
“Di kebun kek
... Kebun sayur kakek ...” Jawabku sambil mengibas-ngibas debu di mukaku.
Tak pelak,
kejadian ini mengundang banyak orang datang. Puluhan warga desa sekitar rumah
berkumpul dan menyaksikan batu sebesar anak domba yang masih berpijar dan
berasap. Benturan batu pijar itu membentuk kawah berdiameter sekitar tiga meter
dengan kedalam kira-kira satu meter. Namun tidak ada orang yang berani
mendekat. Mereka hanya menyaksikannya dari kejauhan sambil berbicara satu sama
lain.
“Kita harus
laporkan ini ke kepala desa.” Kataku.
“Iya ... Kakek
akan nyuruh penduduk menjemput kepala desa.” Ujar kakek.
Malam itu
rumahku sangat ramai oleh orang-orang hingga pagi menjelang. Orang-orang silih
berganti untuk melihat benda dari luar angkasa yang jatuh di kebun sayur milik
kakek. Wajar karena ini adalah sebuah kejadian langka yang mungkin hanya bisa
dinikmati satu kali dalam seumur hidup. Namun pada siang harinya, petugas dari
pemerintahan kabupaten datang lalu membawa bongkahan batu dari angkasa tersebut
yang sudah mendingin ke kota kabupaten. Suasana di rumahku kembali sepi seperti
sediakala.
Aku yang
diperintah kakek untuk meratakan tanah mulai mencangkul dan meratakan kawah
bekas meteor jatuh. Baru saja beberapa kali cangkulan, tiba-tiba ada sinar yang
keluar dari dalam tanah berwarna terang emas. Sinar emas itu menyebar, wajahku
pun terkena terpaan sinar tersebut yang cukup menyilaukan mata. Aku yang
penasaran kembali mencangkul tanah tepat di sumber sinar. Hanya satu cangkulan
yang kuayun, dan di atas cangkul aku menemukan batu yang bersinar. Secepatnya
aku ambil dan menyimpannya di saku celana. Ternyata, saku celanaku pun tidak
bisa menghalangi sinar emas yang dihasilkan batu. Sinarnya menembus kain
celanaku.
Akhirnya aku
memutuskan untuk menyimpan batu bercahaya ini di dalam kamar. Aku berjalan agak
cepat agar tidak ada orang yang tahu kalau aku menemukan benda yang aku anggap
sangat berharga ini. Bila ada yang tahu, bisa-bisa batu bersinar yang kutemukan
diambil oleh pihak yang berwenang. Jujur, aku sangat ingin memiliki batu
bercahaya ini, akan aku simpan untuk diriku sendiri. Sesampainya di dalam
kamar, aku sembuyikan batu cahaya, begitulah aku menyebutnya, dalam lemari.
Lagi-lagi, tumpukan baju dan papan lemari tidak bisa menyembunyikan cahayanya.
Cahaya itu keluar dari sela-sela lemari.
“Celoko ...
Siang aja sinarnya seperti ini. Bagaimana malam?” Batinku heran sekaligus
bingung.
Lantas aku
berpikir, bagaimana cara menyembunyikan batu cahaya ini. Aku ambil lagi batu
cahaya dari dalam lemari. Aku genggam agar cahayanya tidak terlalu menyebar.
Saking terangnya, tanganku pun seolah tertembus oleh cahayanya. Aku bisa
melihat kalau tanganku berwarna merah putih. Aku benar-benar kebingungan. Aku
mencari-cari akal agar benda langit ini bisa kusembunyikan. Aku pun duduk di
sisi ranjang sambil memutar otak untuk mencari cara menyimpannya. Entah berapa
lama, yang jelas tidak terlalu lama, tiba-tiba tangan yang menggenggam batu
cahaya terasa panas.
“Sial!” Aku
memekik kaget sambil merasakan tanganku seperti terbakar.
Tanpa berpikir
lagi, aku melempar batu cahaya itu ke dalam gelas minumku yang berada di meja
kecil samping ranjang. Ajaibnya, batu yang kini terendam dalam air minum dalam
gelas berhenti mengeluarkan cahaya. Aku sangat kegirangan, tanpa sengaja aku
menemukan cara menyembunyikan batu cahayaku. Aku ambil gelas dari atas meja.
Kupandangi si batu cahaya. Entah kenapa, dari lubuk hati yang terdalam, aku
berkata kalau batu ini akan memberikan aku sesuatu yang diluar dugaan.
“Menurut
mitos, airnya harus diminum dan dipakai mandi supaya keinginanku terkabul.”
Kataku dalam hati sembari cengar-cengir sendiri karena begitulah kebiasaan
orang-orang di desaku jika mereka berobat ke paranormal.
Aku simpan
kembali gelas berisi batu yang kini tidak bercahaya lagi ke atas meja kecil.
Setelahnya, aku segera menyelesaikan tugas yang diberikan kakek untuk meratakan
tanah di kebun. Sekitar satu jam lewat, aku pun selesai dengan tugasku lantas
bergegas ke kamarku untuk mengambil gelas berisikan air dan batu cahaya. Aku
teguk sedikit karena memang aku agak haus, kemudian aku bawa ke kamar mandi.
Aku menyediakan satu ember air lalu kucicikan sedikit air dari gelas dan aku
pun mandi membersihkan diri. Tentu saja, apa yang aku lakukan hanya insting
belaka. Insting yang tidak bisa kutahan. Rasanya semua yang kulakukan seperti
ada yang menggerakan. Tapi entahlah, walau ini tak masuk akal namun aku ingin
melakukannya.
Selepas mandi
dan berpakaian, aku menyimpan gelas berisi batu cahaya di tempat yang aman.
Setelahnya, aku keluar kamar dan menunggu kakek di ruang depan. Baru saja duduk
semenit, terdengar motor kakek masuk halaman. Aku langsung bangkit dan
menghampiri kakek.
“Apakah kita
jadi ke rumah Pak Rusdi, kek?” Tanyaku sebelum kakek turun dari motornya.
“Ah, kakek
hampir lupa. Ayo, kita berangkat sekarang!” Ujar kakek sembari mundur duduknya
memberikanku ruang untuk mengendarai motor.
Aku pun naik
dan langsung melajukan motor ke tempat kediaman Pak Rusdi. Kakek bercerita
kalau batu meteor telah dibawa oleh aparat provinsi untuk disimpan di museum.
Tak ada yang aneh dari batu meteor itu, kakek bilang hanya batu angkasa biasa
saja. Aku pun hanya tersenyum mendengar penjelasan kakek. Akan aku simpan
rahasia dibalik jatuhnya batu meteor tersebut.
Sekitar 30
menitan, aku sampai di sebuah rumah besar. Rumah besar berpilar tiga itu
terlihat sepi, Pak Rusdi memang benar-benar tergolong keluarga kalangan atas,
terlihat jelas dari rumahnya yang terkesan mewah. Aku dan kakek berjalan ke
teras rumah. Tak lama, kakek menekan bel rumah yang sederhana namun terlihat
mewah dan kami pun menunggu beberapa saat.
Pintu besar
dari jati itu terbuka lebar. Seorang wanita cantik berkerudung lebar menyambut
kami dengan senyumnya. Dia mengenakan gamis polos berwarna merah muda dan
jilbab lebar yang memiliki warna senada dengan bajunya, tetapi pakaian longgar
itu masih tidak bisa menutupi lekuk tubuhnya yang ceroboh. Wajahnya cantik
rupawan bagaikan bidadari. Putih wajahnya begitu mempesona, membuat hati kian
terpana. Aku sampai menelan ludah berulang kali, wajahku langsung rasanya
panas, tubuhku langsung gerah sendiri ketika melihatnya. Sungguh, dia sekarang
terlihat begitu seksi dan menggairahkan. Ah, hanya dengan memikirkannya saja
sudah membuatku menegang.
“Oh, Pak Barda
... Silahkan masuk ...!” Si wanita cantik itu mempersilahkan kami masuk walau
hanya menyebut nama kakekku.
“Apakah
suamimu ada di rumah?” Tanya kakek sembari melangkah masuk ke dalam rumah megah
ini. Aku pun ikut memasuki rumah di belakang kakek.
“Ada Pak ...
Silahkan duduk. Saya akan panggil suami saya di belakang.” Sahut si wanita
cantik itu yang ternyata istri dari Pak Rusdi. Jujur, aku memang beberapa kali
melihat Pak Rusdi tetapi baru kali ini aku melihat istrinya dari dekat.
Aku dan kakek
duduk di sofa yang terasa sangat empuk dan nyaman. Aku mengedarkan pandangan di
setiap sudut ruangan. Di dalam rumah besar ini aku melihat semua perabotan
rumah tangga tertata rapi, mewah adalah kesan pertamaku. Walau sudah berulang
kali memperhatikan rumah ini, aku tidak pernah bosan. Benar-benar rumah idaman.
Aku menggelengkan kepala dan berpikir, ini apakah lebih pantas disebut istana?
“Maaf menunggu
Pak Barda!” Seru seseorang yang baru saja masuk dari pintu tengah. Ya, dialah
Pak Rusdi si pemilik rumah, dan yang aku tahu Pak Rusdi ini sudah berusia
sekitar 50 tahunan.
“Baru beberapa
menit saja, Pak Rusdi. Saya malah yang harus minta maaf karena telah mengganggu
ketenangan bapak.” Jawab kakek sambil berdiri. Aku ikut berdiri dan tak lama
kami pun berjabat tangan dengan tuan rumah
“Oh ... Tidak
... Tidak ... Saya tidak sedang apa-apa. Tadi malah cuma bengong sambil memberi
makan ikan hias di belakang. Oh, ini Nak Azka bukan?” Ucap Pak Rusdi yang
kemudian bertanya sambil menatapku.
“Benar, pak
... Saya Azka ...” Jawabku sambil sedikit membungkukan badan.
“Wah, sudah
besar sekarang ya. Terakhir saya melihatmu waktu kamu masih digendong mendiang
ayahmu.” Kata Pak Rusdi sambil tersenyum ramah.
“Silahkan pak
.” Lanjut Pak Rusdi mempersilahkan kami duduk kembali.
“Langsung saja
ya pak.” Kakek memulai pembicaraan serius.
“Maksud
kedatangan saya ke sini, tidak lain untuk meminta bantuan bapak. Cucu saya,
Aska, ingin saya jadikan Sekretaris Desa. Ya, mungkin bapak tahu sendiri untuk
menjadi Sekdes perlu biaya yang tidak sedikit. Bila bapak berkenan, saya ingin
meminjam uang sekitar 60 jutaan. Pembayarannya akan dibagi dua kali per tiga
bulan sesuai dengan waktu panen saya.” Ungkap kakek yang memang tak pernah
‘melipir’ kalau mengungkapkan sesuatu. Kakek selalu to the poin pada inti
permasalahan.
“He he he ...
Saya sangat setuju kalau Nak Azka menjadi Sekdes. Jadi, saya akan membantu Pak
Barda. Saya setuju dengan sistem pembayarannya, gak ada masalah.” Pak Rusdi
langsung menyetujui permintaan kakek.
“Terima kasih
sebelumnya.” Ujar kakek sumringah.
“Kalau begitu
... Tunggu sebentar ... Saya akan ambil uangnya.” Kata Pak Rusdi sembari
berdiri dan berjalan ke arah pintu dimana ia tadi muncul.
Aku dan kakek
saling tersenyum. Ternyata Pak Rusdi mau membantu kami. Tiba-tiba pintu tengah
terbuka lagi. Kini mataku kembali membulat tatkala istri Pak Rusdi datang membawa
baki berisi dua gelas kopi dan makanan ringan. Walaupun wanita itu sudah
berumur, tetapi kecantikannya tetap terawat. Wajah tanpa kerutan serta tubuh
ideal yang tetap terjaga. Entah kenapa tiba-tiba aku merasa ada hal lain
bergejolak di dalam diriku. Perasaanku seakan ingin meluap. Gejolak gairahku
seakan meningkat bahkan debaran jantungku benar-benar diluar kendali. Aku mulai
tidak tenang saat tubuhku merespon, kejantananku mengeras dengan cepat sehingga
terasa sakit di dalam celana.
“Silahkan
disambi .” Suara Bu Rusdi begitu merdu menelusup lubang telingaku.
“Terima kasih
.” Ucap kakek. Sementara aku masih terus melihat wajahnya yang cantik dan
anggun.
“Sungguh
dia sangat seksi. Andai saja aku bisa membugilinya dan bercinta dengannya.”
Batinku berkata. Tiba-tiba Bu Rusdi menatapku sambil duduk di sofa panjang
tepat di depanku,
“Nak Azka
sekarang kerja di mana?” Pertanyaan Bu Rusdi sontak membuatku tergagap karena
lamunan mesumku buyar,
“A..aannuu ...
Saa..saya masih menganggur.” Melihat ekspresiku yang terkejut Bu Rusdi pun
tersenyum manis.
“Azka mau saya
jadikan sekretaris desa, bu. Azka mempunyai ilmu yang cocok menjadi sekretaris
desa. Dia ini sarjana ilmu pemerintahan daerah.” Untung kakek menengahi
kegugupanku.
“Oh, bagus
kalau begitu. Saya sangat mendukung kalau Nak Azka menjadi Sekdes.” Ujar Bu
Rusdi masih dengan senyuman dan tatapan yang cukup tajam ke arahku.
“Sa..saya
minta dukungannya saja.” Balasku yang sudah bisa mengontrol kegugupanku.
“Hi hi hi ...”
Bu Rusdi terkekeh kecil sembari menundukan wajahnya.
Akhirnya Pak
Rusdi keluar dari pintu tengah dan membawa amplop coklat besar yang tampak
menebal. Rupa-rupanya isi amplop coklat itu adalah sejumlah uang yang
diperlukan kakek. Selanjutnya, kakek dan Pak Rusdi berbicara tentang
persyaratan utang-piutang dan cara pembayaran. Sementara aku tidak terlalu
memperdulikan perbincangan antara kakek dan Pak Rusdi. Aku lebih tertarik
dengan wanita cantik di depanku. Awalnya aku terus mencuri pandang pada Bu
Rusdi, dan tak disangka Bu Rusdi pun membalas pandanganku sambil tersenyum
malu.
Beberapa saat
berselang, pegawai kakekku datang dengan tergopoh-gopoh. Pegawai kakekku
mengatakan kalau saluran air di sawahnya jebol. Tak pelak kakek langsung
berpamitan kepada tuan rumah dan terpaksa meninggalkanku karena motornya harus
membawa si pegawai dan aku disuruhnya naik ojeg untuk pulang ke rumah. Ya, mau
apa lagi karena keadaan yang darurat, aku pun akhirnya membiarkan kakek dan
pegawainya pergi. Pada saat aku berpamitan pada tuan rumah, Pak Rusdi menahanku
karena dia memerlukan bantuanku untuk memperbaiki kolam ikan hiasnya di halaman
belakang rumah.
Aku dan
sepasang suami istri pemilik rumah berjalan menuju halaman belakang. Aku yang
berjalan di belakang suami istri itu dengan leluasa menelisik bokong Bu Rusdi yang
seksi. Buah pantatnya begitu menggairahkan, padat berisi sampai-sampai ingin
rasanya meremas dan menciuminya. Kejantananku yang malang dan terlantar
mengeliat tak terkendali di dalam celana saat aku membayangkan segala hal
fantastis yang ingin kulakukan padanya.
“Pasti enak
ngentot sama dia.” Pikiran gilaku mulai bicara. Aku pun berhayal
menyetubuhi wanita cantik itu sampai dia meraung-raung kenikmatan. Tak hanya
itu, aku menghayal juga jika Pak Rusdi membiarkan istrinya aku gagahi. Entah
kenapa, hayalan itu begitu tinggi dan indah. Keterlenaanku sesaat membuatku
tersenyum sendiri.
Sampai juga di
kolam ikan hias. Aku bersama Pak Rusdi memindahkan dua batu hiasan yang lumayan
besar. Menggeser keduanya agak ke tengah kolam. Setelah itu, menata ulang
batu-batu hias yang ukurannya agak kecil. Tak lama, kami selesai dengan
penataan batu hias, kemudian Pak Rusdi menyalakan air untuk mengisi kolamnya
kembali dengan air. Sementara itu, aku duduk di sisi teras.
Sungguh, aku
terkejut luar biasa saat dengan tiba-tiba Bu Rusdi duduk di sebelahku. Bahkan
keterkejutanku berlipat-lipat ketika tangan kanan Bu Rusdi tanpa sungkan meraba
sensual selangkanganku. Tentu saja aku langsung menghalau tangannya karena rasa
takutku sangat mendominasi. Leherku akan digorok Pak Rusdi jika dia melihatnya.
Belum habis keterkejutanku dengan tingkah Bu Rusdi, kini wanita itu malah
membuatku semakin terkejut. Entah bagaimana ia melakukannya, tahu-tahu bibirnya
menyumpal bibirku. Kedua tangannya berada di belakang kepalaku. Aku bisa saja mendorongnya
kuat namun aku takut tubuhnya terjungkal. Aku dorong perlahan tetapi dekapannya
terasa semakin mengerat. Aku kelabakan, aku ingin sekali melepas ciumannya,
tetapi dengan resiko wanita ini akan terpental ke belakang. Saat aku sedang
berpikir apa yang harus kulakukan tiba-tiba Pak Rusdi bersuara.
“Bu! Tolong
ambilkan ...” Terdengar Pak Rusdi menjeda suaranya, dan dari sudut mata kulihat
pria itu menatap ke arah kami. Hanya sepersekian detik tanganku hendak
mendorong kuat, tiba-tiba Pak Rusdi meneruskan ucapannya,
“Oh, ibu lagi
sibuk ya. Ya sudah bapak saja yang ambil makanan ikannya.” Suara Pak Rusdi tak
terdengar marah. Karuan saja aku menghentikan niat mendorong wanita yang sedang
memperkosa bibirku.
Aku sungguh
tidak mengerti apa yang sedang terjadi. Gila! Pak Rusdi hanya menoleh sebentar
saja saat dia kembali. Pria itu tidak memperdulikan istrinya yang sedang
berbuat tidak senonoh padaku. Pak Rusdi dengan santainya memberi makan ikan
hiasnya tanpa merasa terganggu sedikit pun akan aktivitas mesum istrinya.
Merasakan kondisi seperti ini, perlahan insting binatangku mulai bekerja.
Kubiarkan saja Bu Rusdi menciumku, bahkan tak lama kubalas ciumannya. Bu Rusdi
menggigit bibir bawahku kecil, membuatku mendesis dan secara refleks membuka
mulutku. Seperti mendapat izin, lidah Bu Rusdi mulai masuk ke dalam mulutku.
Mengabsen setiap gigiku bahkan mengajak lidahku berpartisipasi untuk bertarung
bersamanya. Seperti terbawa suasana, aku malah mengimbangi ciuman Bu Rusdi yang
semakin lama semakin panas. Aku melingkarkan tanganku di pinggangnya agar ia
tidak menjauh dariku. Kurasakan jika Bu Rusdi tersenyum disela-sela ciuman
kami.
Karena
kehabisan oksigen, kami menghentikan ciuman. Mata kami saling bersitatap penuh
gairah. Bibir kami saling memberikan senyum. Tiba-tiba Bu Rusdi duduk
mengangkang di pangkuanku kemudian kembali membawaku pada ciumannya. Aku hanya
bisa menurut pada komando kecil Bu Rusdi tanpa melepaskan ciuman ini. Tanganku
mulai bergerilia di pinggang dan punggungnya, tak jarang aku meremas bokongnya
ketika dia menyedot bibir bawahku. Aku merasakan sesuatu mengeras di dalam
celanaku. Ah, juniorku sudah sesak di bawah sana.
Di sela-sela
ciumanku, aku melirik pada Pak Rusdi yang sedang memberi makanan pada ikan
hiasnya. Pria itu sama sekali tak bereaksi. Istrinya yang cantik dan seksi kini
berada di pangkuanku dan dalam penguasaanku. Namun, Pak Rusdi terlihat sangat
santai, tidak menunjukkan gejala meriang apalagi murka. Entahlah, ini seperti
sebuah keajaiban, atau mungkin malah sebuah keberuntungan untukku. Meskipun
pikiran dipenuhi tanda tanya, tetapi kini hasratku yang lebih menggelora.
Pikiran-pikiranku seakan terhalau oleh hasrat birahi yang muncul secara tidak
normal ini. Akhirnya aku memutuskan untuk melanjutkan permainan.
Tangan nakalku
kini tidak bisa diam, dari pinggang aku beralih pada buah dadanya yang terbalut
oleh gamis polos berwarna merah muda. Aku meremas buah dadanya dengan gemas
sehingga ia harus menjauhkan bibirnya dari bibirku agar bisa mengeluarkan
desahan. Aku pun tidak tinggal diam, ciumanku turun pada lehernya ketika
tanganku menarik jilbabnya ke atas. Tak sampai di situ, aku melepas paksa
gamisnya sehingga kini terpampang bra berwarna krem yang menutupi dadanya yang
jujur saja, itu tidak kecil. Bu Rusdi mendesah ketika aku menurunkan ciuman
pada dadanya dan melepas branya dengan paksa. Kini Bu Rusdi setengah telanjang
dalam dekapanku dan di dekat suaminya. Ini gila!
“Ibu sangat
seksi.” Gumamku takjub.
Bu Rusdi tidak
bisa menjawab karena aku mulai menciumi buah dadanya dengan sangat terburu-buru
yang membuatnya merintih geli. Dengan satu tarikan aku membawanya dalam
gendonganku dan Bu Rusdi memekik pelan. Aku bawa ke dalam rumah. Namun
sebelumnya aku melirik ke arah Pak Rusdi. Pria itu malah tersenyum senang.
Entahlah, apa yang ada dipikiran pria paruh baya itu.
Aku bawa Bu
Rusdi ke ruang tengah. Aku letakkan tubuhnya di sofa panjang dengan sangat
hati-hati dengan posisi terduduk, punggungnya bersandar di sandaran sofa. Tak
kuduga, aku sangat tergila-gila pada payudaranya. Payudara itu begitu bulat
sempurna dengan puting besar berwarna coklat kehitaman. Tanpa berlama-pama, aku
melahap bulatan seksi di dadanya itu. Bu Rusdi mendesah keras ketika aku
menarik putingnya dengan bibirku. Tangannya meremas apapun yang bisa ia
jangkau, termasuk rambut hitam milikku.
Dengan
tergesa-gesa, aku menurunkan celana dalamnya yang sudah basah tentu saja. Aku
benar-benar terburu-buru. Ciumanku turun terus hingga mencapai bagian
sensitifnya. Bu Rusdi mengerang kecil ketika lidahku membelai miliknya. Bu
Rusdi seperti sudah kehilangan akal sehatnya sekarang. Hanya nafsu yang
mengendalikan tubuhnya. Aku menggeram menyahut desahan nikmat darinya. Hanya
butuh waktu yang singkat untuk membawa wanita cantik paruh baya ini pada
pelepasan pertamanya akibat permainan lidahku. Sekitar sepuluh detik lamanya
tubuh Bu Rusdi mengejang hebat sembari mengeluarkan cairan kenikmatan di dalam
sana.
Aku mulai
melepaskan satu persatu pakaian hingga tidak menyisakan apapun untuk menutupi
tubuhku. Aku yang sudah tak tahan melihat tatapan sensualnya. Lantas aku
memposisikan tubuhku diantara kedua kakinya. Kemudian aku mencium payudaranya
lagi dengan penuh gairah, membuat wanita paruh baya ini semakin melenguh
nikmat. Dengan posisi setengah berdiri kejantananku tepat berada di depan
lubang senggamanya.
"Ahhhhh...."
Desah kami
lantang secara bersamaan saat aku berhasil menerobos barikade kenikmatan
surgawi miliknya. Kulihat Bu Rusdi memejamkan mata sambil mengernyitkan dahi
karena kejantananku telah menyelam sempurna pada liang senggamanya. Aku
mendiamkan sebentar milikku di dalam sana agar wanita cantik ini terbisa dengan
ukuran 'si Boy' yang di atas rata-rata.
“Aaaahhh ...”
Aku mengerang
nikmat merasakan dinding-dinding kewanitaannya yang rapat itu memeras dan
mencengkram milikku dengan kuat. Liang kewanitaannya begitu ketat hingga aku
merasa sedikit perih saat melakukan penetrasi tadi. Aku seakan sedang menembus
vagina perawan. Bu Rusdi mendesis saat aku mulai menggerakan pinggulku
perlahan. Batang kerasku mulai keluar masuk dari vaginanya. Terasa otot-otot
vagina Bu Rusdi mengemut batangku.
"Eengghhh...
Pelan-pelan yaa..." Pintanya dengan mendesah karena aku menaikan tempo
genjotanku.
Entah sudah
berapa lama aku menghujam-hujamkan kejantananku ke dalam vaginanya. Tubuhnya
bergerak naik turun karena hentakan pinggulku semakin liar dan cepat. Suara
penyatuan tubuh kami menggema di seluruh ruangan ini. Kami berdua mendesah,
mengerang, berpacu dalam kenikmatan duniawi. Bu Rusdi hanya bisa terpejam
nikmat dan terus mendesah-desah. Kedua kakinya erat mengalung di pinggulku yang
tengah menguasi tubuhnya dalam kukungan gairah panas membara.
"Ibu
menyukai ini? Ehm.." Aku beralih lagi untuk mencium wajah cantik Bu Rusdi
yang merona dan kami saling menatap sayu satu sama lain.
"Ibu
menyukainya, bukan?" Gerakanku semakin cepat hingga guncangan kami kian
keras mengakibatkan sofa panjang itu ikut bergerak-gerak.
"Aku
menyukainya..." Tangan Bu Rusdi memeluk tengkukku dan ia menyandarkan
kepalanya di celuk leherku,
"Lebih
cepat... Aaaahh..." Aku pun tersenyum senang.
Guncanganku
kian bertambah cepat mengikuti keinginan wanita yang sedang kugagahi ini. Aku
bergerak semakin cepat dan mengerang nikmat tiada tara. Pandangan sayuku
menatap takjub pada tubuh sensual milik Bu Rusdi yang begitu indah. Menjadikanku
semakin semangat bergerak menghentak hingga Bu Rusdi nyaris berteriak
kesetanan. Penisku dengan gagah berhasil mengobrak-abrik liang vaginanya.
Rasanya luar biasa.
“Aaaahh ...
Aaaahh ... Aaaahh ...” Bu Rusdi terus mendesah-desah.
Aku mengocok vagina
Bu Rusdi yang semakin basah, semakin deras cairan pelumasnya keluar. Aku terus
mengocok vaginanya yang difokuskan pada satu titik tertentu yang sudah sangat
aku ketahui. Bu Rusdi mendesah semakin keras, kakinya bergerak tak karuan,
vaginanya terasa berdenyut-denyut, rasa nikmat semakin memuncak, nafasnya
semakin memburu, jantungnya berderap semakin kencang, tubuhnya mulai menegang
dan hingga akhirnya.
“Aaaaaaccchhhh
...!!!”
Bu Rusdi
berteriak mendesah kencang, punggungnya melengkung ke atas, vaginanya terasa
berdenyut hebat dan kejang dibarengi dengan keluarnya cairan orgasmenya yang
deras membasahi penisku yang tak berhenti mengocok vagina yang sudah kewalahan
itu. Gelombang orgasmenya masih berlanjut. Aku melihat Bu Rusdi mengatur nafas
dan tubuhnya sesekali mengejang, sementara aku membiarkan penisku masih di
dalam vaginanya yang masih terasa berdenyut dan sedikit terasa menghisap
penisku.
Gila...! Aku
menghentikan tusukanku karena merasakan 'si Boy' sedang diremas kuat dan
dibanjiri dengan lelehan cairan hangatnya di dalam sana. Kami mengatur nafas
sebentar lalu tatapan sayu saling bertemu. Kusambar bibir ranumnya yang sedikit
menganga dengan ciuman mesra sambil menghujam kewanitaannya lagi dengan
kejantananku. Aku mengoyang vagina Bu Rusdi, gerakan keluar masuk di vaginanya
aku lakukan dengan tempo yang sangat cepat dan berirama teratur.
Penisku terasa
dihisap-hisap oleh vagina Bu Rusdi yang sudah pulih dari kondisi pasca orgasme.
Vagina wanita di bawahku ini mulai mengencang lagi, cairan pelumasnya membuat
permainan semakin memyenangkan dan nikmat. Aku tergoda dengan payudara Bu Rusdi
yang terlihat berguncang-guncang menerima gerakan dan hentakkan penisku di
vaginanya. Aku menunduk dan mulai mengulum putingnya yang berwarna kecoklatan
dan menegang. Aku menghisapnya, menggigit dengan gemas, sesekali menariknya. Bu
Rusdi tampak semakin kewalahan.
Lagi-lagi aku
merasakan tanda-tanda orgasmenya akan datang, vaginanya dengan cepat merespon
goyanganku dan menyerah, gelombang kenikmatan hebat itu datang lagi padanya,
denyutnya semakin cepat. Penisku pun merasakan ada sesuatu yang menyiram berupa
cairan hangat. Dia mendorongku, lalu mendesah lantang saat mencapai pelepasan
yang ketiga kalinya. Aku menghentikan gerakanku agar dia menikmati orgasme yang
sedang melandanya.
“Wow ... Tiga
kali ...” Ucapnya pelan dengan mata membulat dan ngos-ngosan.
“Masih kuat?”
Tanyaku bercanda.
“Masih dong.
Tapi istirahat sebentar ya ...” Jawabnya dengan senyuman sambil mengelus
pipiku.
Tiba-tiba
pintu yang menghubungkan ruang tengah dan dapur terbuka. Kulihat Pak Rusdi
masuk. Matanya mengarah pada kami yang masih bersatu tubuh. Pak Rusdi tersenyum
dan tentu saja aku kembali keheranan. Pria terhormat itu terlihat sangat santai
walau tahu istrinya sedang aku gagahi. Dengan jalan yang santai, Pak Rusdi
memasuki ruang depan. Aku lantas menatap wajah Bu Rusdi dengan tatapan
kebingungan.
“Bapak kok
tidak marah?” Tanyaku hati-hati.
“Jangan
dipikirkan ... Yuk, kita lanjut. Tapi aku ingin di atas.” Ajaknya dan kusambut
dengan anggukan.
Kami mengatur
nafas sejenak, kemudian aku memposisikan tubuhku berada di bawah, sedangkan Bu
Rusdi duduk di atas pinggulku. Setelah berhasil menyatukan tubuh, Bu Rusdi
mulai bergerak naik turun dengan sesekali menggoyangkan pinggulnya memutar. Ah,
dia sangat liar saat memacu tubuhnya bergoyang sambil melumat 'si Boy' di dalam
miliknya. Wanita itu bergerak tak beraturan bagaikan sedang menunggangi kuda
liar di atas sana. Erangan dan desahanku berkali-kali lolos karena kenikmatan
yang menjalar di seluruh tubuh.
Dua gundukan
kenyal itu bergerak naik turun akibat hentakan pantatku. Kemudian tanganku
meremas mereka berdua lembut sambil memilin ujungnya, membuat wanita ini
mendongak ke atas sambil bibirnya merancau tak jelas. Aku semakin bersemangat
memainkan buah dadanya yang aduhai, apalagi membayangkan dirinya bukan lagi
wanita alim dan terhormat, melainkan wanita jalang. Benar-benar jalang.
“Aaaahh ...
Sayaannghh ...”
Tak lama
kemudian tubuh Bu Rusdi bergetar kembali dibarengi dengan mengerang, sepertinya
dia akan sampai pada orgasmenya lagi. Aku pun ikut memacu tubuhku dari bawah
dengan cepat membuatnya sedikit kewalahan. Bu Rusdi terus mendesah keras dengan
bola mata memutih sambil menyemburkan cairannya pada kejantananku. Kuangkat
tubuhnya dan merebahkannya, lalu aku turun ke bawah dan memposisikan wajahku
tepat di hadapan kewanitaannya yang sedang berkedut. Kulumat dan kusesap
miliknya yang banjir dengan cairan cinta membuat ia bergerak menggeliat seperti
cacing kepanasan.
"Sssttttoooppp
... Aaaaghhh ...!!!" Pintanya dengan suara parau sambil mendorong kepalaku
menjauhi kewanitaannya.
Aku bangkit
dan melihat wajahnya yang memerah karena birahi serta pelipis yang dipenuhi
keringat. Nafasnya ngos-ngosan seperti habis berlari maraton. Lalu aku menciumnya
lagi dan memompa tubuhnya, ingin segera menyudahi permainan ini karena tak
ingin membuatnya pingsan karena lemas. Dan tibalah gelombang orgasme dahsyat
melanda kami. Erangan dan desahan kami terdengar lantang saat mencapai
pelepasan bersama. Lega... puas... nikmat... Semua rasa itu bercampur memenuhi
isi kepalaku.
Aku melepas
penyatuan tubuh kami lalu merebahkan diri di sebelahnya. Dia juga sedang
menghela nafasnya yang tersengal-sengal akibat percintaan panas ini. Udara
dingin pegunungan pun tak mampu mendinginkan panasnya hawa percintaan kami.
Kukecup keningnya lembut lalu memeluknya dan dia pun membalas pelukanku.
“Tadi itu luar
biasa ...” Ucap Bu Rusdi pelan.
“Ya ... Enak
sekali.” Balasku.
“Kamu bisa
menginap di sini setiap hari.” Ucap Bu Rusdi terdengar seperti sebuah
permintaan.
“Ah.. !!!
Nanti bapak marah kalau setiap hari.” Kataku kaget.
“Tapi tadi dia
gak apa-apa.” Ujarnya sembari mencium sekilas bibirku.
Aku tidak
merespon perkataan Bu Rusdi, yang ada di otakku adalah keanehan. Aku tak percaya,
bagaimana bisa Pak Rusdi membiarkan istri cantiknya aku gagahi. Akhirnya aku
berpakaian begitu pula Bu Rusdi. Aku memutuskan untuk kembali ke rumah. Setelah
berpamitan kepada tuan rumah segera saja aku meninggalkan rumah megah itu
dengan pikiran bingung. Kejadian barusan adalah hal ganjil yang terjadi di luar
nalar yang sulit dipercaya. Aku seperti bermimpi tetapi dengan mata terbuka.
Aku pulang
menggunakan ojeg pangkalan. Selama setengah jam di perjalanan, bayanganku tak
pernah lepas dari persetubuhanku dengan Bu Rusdi di depan suaminya. Pada saat
yang sama kebingunganku terus membayang. “Sebenarnya apa yang telah terjadi?”
Pertanyaan itu terus muncul dalam pikiranku hingga aku sampai di rumah pun aku
belum mendapatkan jawabannya.
Rumah dalam
keadaan kosong. Aku langsung masuk ke dalam kamar dan mengambil air berisikan
batu cahaya yang kusembunyikan di bawah lemari. Kupandangi batu yang terendam
dalam air itu. Aku berkata dalam hati kecilku,
“Apakah
batu cahaya inilah yang melakukannya?”
Memang sejak
awal aku mempunyai firasat kalau batu ini akan memberikan aku sesuatu yang
diluar dugaan. Sejak awal aku sudah menduga kalau batu cahaya ini memiliki
keistimewaan sehingga aku ingin sekali memilikinya.
Posting Komentar
0 Komentar