JANDA KEMBANG

 


SINOPSIS :

Ningsih ditinggal mati oleh sang suami yang meninggalkan banyak hutang. Wanita sintal itu harus menuruti nafsu bejat sang mertua Pak Jali agar masalah hutang mendiang suaminya bisa teratasi.

FORMAT : PDF 

JUMLAH HALAMAN : 233 HALAMAN

HARGA : Rp 30.000


PART 1

Rintik hujan jatuh beriringan mendung pun masih menggelanyut manja memayungi bumi. Satu persatu peziarah kubur mulai melangkah pergi, menyisakan beberapa orang yang masih berada di dekat makam basah mendiang Kusno Hesnandar yang baru saja dikebumikan. Tampak satu orang wanita dengan wajah sembab memandang kosong pusara Kusno, bibirnya berkomat-kamit seperti membaca bacaan doa sementara satu tangannya membelai lembut batu nisan. Dia adalah Ningsih, 33 tahun, istri dari mendiang Kusno. Kepergian Kusno yang begitu mendadak akibat terlibat kecelakaan siang tadi seperti kiamat kecil bagi kehidupan wanita cantik itu. Kini dirinya hanya seorang diri menanggung beban dunia yang ditinggalkan oleh Kusno.

“Ayo nduk kita pulang, ikhlaskan suamimu, dia sudah tenang di sana.” Ucap Pak Jali, mertua Ningsih, senyumnya tipis mengembang, tampak tak ada kesedihan mendalam meskipun putera semata wayangnya telah tiada.

“Iya Pak, sebentar lagi.” Balas Ningsih, disingkirkannya tangan keriput Pak Jali dari pundaknya, ada perasaan risih ketika mertuanya itu menyentuh bagian tubuhnya. Pak Jali hanya tersenyum kecut mendapat penolakan dari menantunya itu, pria itu mulai menjaga jarak. Tak lama rintik hujan mulai bertambah deras, orang-orang berhamburan meninggalkan area makam, tapi tak begitu  dengan Ningsih , dia masih duduk bersimpuh di depan pusara mendiang suaminya, menyesali kepergian suami tercintanya itu.

*******

7 HARI KEMUDIAN

Ningsih duduk termangu, di hadapannya ikut duduk 2 orang pria dengan tampang sangar. Kedua pria itu adalah orang suruhan Koh Alung, rentenir terkenal di desa tempat tinggal Ningsih.

“Jadi gimana Mbak Ningsih? Kapan kira-kira hutang Pak Kusno bisa dibayar ?” Tanya salah satu orang pria itu dengan sopan, Jayadi namanya. Nigsih menghela nafas panjang, mencoba mencerna tiap kata yang keluar dari mulut Jayadi. Pikiranya kacau, apalagi ketika dia diperlihatkan catatan hutang yang ditinggalkan oleh mendiang suaminya.

“Saya usahakan secepatnya Mas, tapi tolong beri Saya waktu untuk melunasi hutang-hutang Mas Kusno.” Ucap Ningsih lirih, dia sama sekali tidak mengetahui bagaimana cara untuk mendapatkan uang sebanyak itu, apalagi selama ini dia hanya tinggal di rumah tanpa bekerja.

“Saya sih nggak apa-apa Mbak, tapi kalau semakin lama, bunga hutangnya akan semakin besar. Itu akan semakin memberatkan Mbak Ningsih nantinya.” Kata Jayadi.

“Iya Mas, Saya mengerti, tapi untuk saat ini Saya belum memiliki uang sebanyak itu. Tolong mengerti.” Balas Ningsih, raut wajahnya berubah, panik dan kesal menghadapi kenyataan pahit.

“Mungkin di sini ada yang bisa dijual ?” Sahut pria satunya lagi, Darno. Jayadi melirik tajam ke arah wajah Darno, seolah memberi tanda agar diam.

“Ini semua bukan milik Saya Mas, ini milik mertua Saya. Nanti Saya akan merundingkannya dulu dengan beliau.” Balas Ningsih pasrah.

“Baiklah kalau begitu Mbak Ningsih, Kami pamit dulu. Minggu depan Kami akan kembali lagi, semoga minggu depan uangnya sudah ada.” Jayadi lalu menarik kasar tangan Darno, kemudian pergi meninggalkan rumah Ningsih.

“Kau ini kenapa sih? Tumben banget ramah pas nagih hutang? Heh?” Celetuk Darno.

“Ssssttt! Mbak Ningsih masih berduka, apa pantas kita menagih hutang waktu dia masih 7 hari ditinggal mati suaminya?” Balas Jayadi santai.

“Aaaalaahhh!! Alasan doang ! Aku tau, Kau ingin menidurinya kan? Hahahahaha !”

“Hust ! Jaga mulutmu !” Hardik Jayadi, keduanya lalu menaiki sepeda motor untuk kembali menuju rumah para penghutang Koh Alung, menjalankan tugas sebagai penagih hutang.

Ningsih masih terduduk lemas, dibacanya sekali lagi kertas catatan hutang yang tadi diberikan oleh Jayadi. 48 juta, angka itu yang tertera, sebuah nominal yang sekali lagi membuat dada Ningsih sesak. Bagaimana mungkin mendiang suaminya bisa meninggalkan hutang sebanyak ini? Apalagi selama 2 tahun menikah tak sekalipun mendiang suaminya itu bercerita tentang hutang piutang. Lalu buat apa uang sebanyak ini untuk mendiang suaminya itu? Pikiran Ningsih kacau, bingung mencari jalan keluar atas semua permasalahan ini.

“Kamu kenapa nduk? Kok keliatannya lagi mikirin sesuatu?” Suara Pak Jali mengagetkan Ningsih, pria tua itu lalu duduk mendekati Ningsih. Wanita sintal itu beringsut menjauh.

“Eh Bapak, nggak ada apa-apa kok Pak.” Ucap Ningsih sambil menyembunyikan kertas catatan hutang mendiang suaminya.

“Itu apa nduk? Coba Bapak lihat.” Tanya Pak Jali, matanya mengarah pada selembar kertas yang coba disembunyikan oleh Ningsih.

“Bukan apa-apa Pak, cuma tulisan biasa.” Kata Ningih, masih mencoba menyembunyikannya dari mertuanya itu. Tapi sikap Ningsih itu membuat Pak Jali semakin penasaran, dia semakin merangsek maju lalu meraih tangan Ningsih agar menyerahkan selembar kertas yang digenggamnya. Kasar, Ningsih tak kuasa menahan keingintahuan Pak Jali.

“Apa ini nduk? Hmmm...?” Tanya Pak Jali sekali lagi sambil mulai membaca rincian catatan hutang mendiang anaknya, terkejut, reaksi itulah yang pertama kali terlihat dari wajah Pak Jali.

“Itu catatan hutang Mas Kusno Pak, tadi ada dua orang suruhan Koh Alung datang ke sini menagih dan memberikan itu.” Jawab Ningsih lirih.

“Bocah gemblung!!! Bisa-bisanya Kusno meninggalkan hutang sebanyak ini ?!” Umpat Pak Jali penuh emosi, dibuangnya kertas yang tadi digenggamnya ke atas meja. Ningsih tertunduk, takut melihat kemarahan mertuanya.

“Minggu depan mereka akan ke sini lagi untuk menagih Pak, Saya bingung , Saya nggak punya uang sebanyak itu.” Ucap Ningsih lirih. Pak Jali masih mendengus kesal.

“Kamu nggak punya tabungan ?” Tanya Pak Jali, kali ini tatapannya menyelidik ke arah wajah Ningsih.

“Nggak ada Pak...” Jawab Ningsih menggeleng pelan. Pak Jali menghela nafas panjang, kedua matanya kembali menatap wajah Ningsih yang duduk agak menjauh darinya. Pria tua itu kembali mencoba mendekat, Ningsih yang masih kalut sampai tak menyadari jika mertuanya itu kini sudah berjarak sekian jari dari dirinya.

“Kamu tenang saja nduk, Bapak akan cari cara untuk melunasi hutang-hutang Kusno, tapi Kamu harus bantu Bapak dulu ya...” Ucap Pak Jali dengan senyum menyeringai nan mesum, tangannya membelai lembut rambut Ningsih.

“Eh Pak, jangan begini !” Kata Ningsih kaget setelah menyadari jika Pak Jali sudah berada di dekatnya dan mulai menjamah bagian tubuhnya. Terlambat, Pak Jali semakin merangsek, tak mau menyia-nyiakan momen pria tua itu menarik pergelangan tangan Ningsih, membuat tubuh sintal wanita cantik itu jatuh ke dalam pelukannya.

“Pak!!! Cukup! Lepasin Pak!” Ningsih mencoba memberontak, tapi Pak Jali tak kalah sengit mencegah Ningsih lepas dari pelukannya.

“Baumu wangi sekali nduk...Harum...” Desis Pak Jali sambil berusaha menciumi wajah Ningsih, wanita itu berusaha memalingkan wajahnya, mencoba menghindari bibir mertuanya.

“Lepasin Pak! Tolong lepasin!” Rengek Ningsih memohon welas asih dari mertuanya yang mencoba berbuat mesum terhadap tubuhnya.

“Tenang saja nduk, Bapak tau selama ini Kusno tidak bisa memuaskanmu, sampai-sampai Kamu sering bermain sendiri dengan terong.” Kata Pak Jali sambil terus berusaha menciumi wajah Ningsih.

Ningsih terdiam, dia tak mengira jika Pak Jali bisa tau kegiataanya selama ini saat Kusno berangkat kerja. Benar jika dirinya untuk urusan sex sulit untuk dipuaskan, nafsunya yang sering bergejolak tak bisa diimbangi oleh Kusno yang mengalami ejakulasi dini, itu mungkin yang membuat selama 2 tahun pernikahannya belum juga dikarunia seorang anak. Hal itu pulalah yang membuat Ningsih sering memuaskan birahinya seorang diri, masturbasi, sesuatu yang ternyata diketahui oleh mertuanya.

“Hehehehe, kenapa diam nduk? Bapak bener kan? Kamu nggak pernah puas dengan Kusno?” Sindir Pak Jali, seolah puas mempermalukan anaknya sendiri.

“Lepasin Pak! Lepasin!” Ningsih kembali memberontak, kali ini dengan lebih kasar, Pak Jali meresponnya, pria tua itu melepaskan cengkramannya pada tubuh Ningsih.

“Baik! Jika Kamu tidak mau menurut, selesein sendiri urusan hutang-hutang Kusno itu! Dan mulai besok Kamu pergi dari rumah ini!” Bentak Pak Jali, matanya menatap tajam wajah Ningsih yang kembali tersentak kaget oleh ancaman itu.

“Ta..Tapi Pak...?”

“Kamu sudah dengar apa kataku tadi kan? Mulai besok Kau boleh pergi dari sini.” Ucap Pak Jali ketus, dinyalakannya sebatang rokok kretek kemudian menghisapnya perlahan. Ningsih semakin kalut, belum selesai masalah hutang mendiang suaminya, kini muncul masalah baru, Ningsih bingung harus bersikap seperti apa untuk meredakan amarah mertuanya. Diusir dari rumah yang selama ini dijadikannya sebagai naungan tentu bukan pilihan yang mudah untuk dijalani oleh Ningsih, tidak ada tempat lain selain rumah ini.

“Maafkan Saya Pak, jangan usir Saya...” Ucap Ningsih lirih, Pak Jali masih asyik dengan rokoknya, wajahnya tampak acuh mendengar permohonan dari Ningsih.

“Apa susahnya menurut? Kamu kan menantuku, harus menurut apa kataku.” Ucap Pak Jali dingin, asap mengepul keluar dari dalam mulutnya.

“Lagipula, siapa lagi yang akan membantumu untuk melunasi hutang-hutang Kusno kalau bukan Aku? Hah?” Lanjut Pak Jali dengan nada sombong.

“Maafin Saya Pak...”

“Bapak akan maafin Kamu kalau Kamu bisa puasin Bapak.” Ningsih terkejut, apalagi ketika Pak Jali mulai melepaskan celana, tanpa rasa malu pria tua itu mempertontonkan penis kekarnya di hadapan Ningsih.

“Jangan seperti ini Pak...Saya mohon...” Ucap Ningsih lirih, Pak Jali hanya tersenyum tipis, pria itu kembali mendekati tubuh Ningsih yang masih duduk di atas sofa lapuk.

“Sudah, nggak usah malu-malu. Ayo puasin Bapak, pegang ini, kocokin.” Kata Pak Jali sambil meraih tangan Ningsih agar menyentuh batang penisnya yang sudah mengeras. Ningsih mencoba menolaknya tapi ingatan tentang ancaman Pak Jali membuat wanita cantik itu tak punya daya untuk kembali menolak permintaan Pak Jali.

“Eehhmmm...Jangan dipegang doang, kocokin juga dong....” Perintah Pak Jali, Ningsih menurut, digerakkan tangannya perlahan, maju mundur.

“Pinter....Hehehehe...” Kata Pak Jali sambil terkekeh ringan, akhirnya usaha untuk menikmati tubuh menantunya sesaat lagi akan terwujud, sesuatu yang telah diidam-idamkannya selama 2 tahun terakhir.

******

NINGSIH POV

Aku sulit menggambarkan perasaanku saat ini, di hadapanku berdiri mertuaku dalam keadaan telanjang bulat, tanpa rasa malu dia menujukkan penisnya tepat di depan wajahku ! Tak hanya itu, dia juga memaksaku untuk memegang serta mengocoknya ! Entah dosa apa yang pernah Aku perbuat dulu kala hingga mendapat perlakuan mesum seperti ini. Aku memang telah menyadari jika mertuaku ini sejak dulu punya niat jahat kepadaku, tatapan matanya selalu liar terhadapku. Dulu, waktu Mas Kusno masih hidup Aku sering memberitahukan tentang sikap tak terpuji mertuaku, tapi Mas Kusno selalu tak acuh dan menganggapku terlalu berlebihan menanggapinya.

“Bapak memang begitu Dek orangnya, suka bergurau, jangan terlalu diambil hati ya.” Ucap Mas Kusno kala itu, sesaat setelah Aku mengadukan sikap mertuaku yang secara sengaja mencubit pantatku waktu sedang memasak.

“Aku udah nggak tahan lagi Mas, ini bukan hanya sekali dua kali Bapak bersikap kurang ajar kepadaku !” Protesku dengan nada sedikit meninggi, sengaja agar Bapak mertuaku juga ikut mendengar percakapanku dengan Mas Kusno.

“Ya sudah, nanti Aku akan coba bilang ke Bapak ya Dek, Kamu yang sabar dulu.” Balas Mas Kusno santai, masih seperti meyepelekan permasalahan ini.

“Apa tidak lebih baik kita pindah dari sini Mas ? Aku benar-benar sudah tidak tahan hidup satu atap dengan Bapak.” Kataku.

“Mau pindah kemana Dek? Lagipula kita dulu udah sepakat untuk tinggal di sini, menemani Bapak yang sudah tua. Aku sudah berjanji kepada mendiang Ibu untuk merawat Bapak Dek, itu amanah yang harus Aku jaga sampai kapanpun.” Aku hanya menghela nafas panjang kala itu, mas Kusno selalu mengungkapkan alasan yang sama ketika Aku memintanya untuk pindah rumah, hidup mandiri tanpa kehadiran Bapak mertuaku, sebuah keputusan yang benar-benar salah dan memaksaku untuk menghadapi kenyataan pahit seperti sekarang.

Pak Jali, usianya sudah 52 tahun, meskipun cukup tua tapi tubuhnya masih terbilang kekar karena setiap hari dia masih rutin pergi ke sawah dan ladang. Pak Jali, mertuaku ini memang dikenal sebagai seorang pekerja keras jadi tak heran meskipun usianya berangsur senja tapi semangatnya untuk bekerja tak pernah surut. Tiga tahun lalu pertama kalinya Aku dipertemukan dengan Pak Jali ketika Mas Kusno membawaku ke rumah ini, memperkenalkannya kepada orang tuanya. Kesan pertama ketika melihat sosok Pak Jali membuatku risih, tatapan matanya ketika melihatku untuk pertama kali seperti seekor singa yang siap menerkam mangsanya. Apalagi dia tak segan untuk memberikan celetukan-celetukan mesum meskipun ada Mas Kusno kala itu. Jika mengingatnya, Aku mual dan ingin muntah, tapi itu dulu, sekarang sikapnya malah makin menjadi.

“Ayo, jangan malu-malu, Aku tau Kamu belum pernah melihat kontol sebesar ini, heheheheheh.” Kekeh Pak Jali, tangannya masih menggenggam tanganku dan menggerakkannya maju mundur, Aku ingin muntah saat ini apalagi aroma pesing tercium dari lubang penisnya.

“Lebih baik ini dibuka saja biar leluasa.”

Tiba-tiba mertuaku menarik paksa daster yang Aku kenakan, kasar, hingga membuatnya robek dalam satu tarikan. Aku kembali beringsut menjauh dan berusaha menutupi area dadaku yang kini hanya terlindungi oleh bra saja. Pak Jali menatapku mesum, pria tua itu perlahan mendekati tubuhku sambil terus mengocok batang penisnya sendiri. Aku semakin panik, pria tua ini semakin betnafsu dan menggila.

“Ayo sini ! Masukin ke mulutmu !”

Pak Jali menarik kasar rambutku, memaksa bibirku mendekati ujung penisnya yang semakin menegang, aroma pesing begitu menyengat menusuk hidungku. Aku berusaha sekuat tenaga untuk menolaknya tapi Pak Jali semakin merangsekku, Aku tak berdaya hingga akhirnya mulutku disesaki batang penisnya. Ini pertama kalinya bagiku, dulu ketika bersama Mas Kusno tak sekalipun Aku mau melakukannya, mengulum batang penis, menjijikkan menurutku.

“Eemmchhh!! Eeemmchhh !!!”

Aku berusaha berontak, tapi kepalaku masih dicengkram tangan mertuaku, ludahku kelu ketika bersentuhan dengan kulit penisnya, rasa asin dan pesing seolah tercampur meracuni indera perasaku, seketika keinginan untuk muntah begitu membuncah. Pak Jali seprti tidak mau tau, pria tua itu terus menekan kepalaku agar semakin dalam melahap seluruh batang penisnya.

“Ooccchhh!! Ayo hisap! Oocchh !!!”

Lenguh Pak Jali seperti orang yang kesetanan, Aku hampir kehabisan nafas karena penisnya yang besar nan berurat nyaris menyesaki seluruh rongga mulutku, sampai setelah beberapa saat Pak Jali menarik keluar batang penisnya dari dalam mulutku. Aku terengah-engah, air liurku jatuh tak beraturan.

“Jangan melawan nduk, nikmati saja agar Kamu juga merasakan enak.”Ucap Pak Jali sembari memegang daguku, aroma tembakau kretek langsung menyeruak, wajahnya kini hanya sejengkal jari dari wajahku.

Aku seperti terhipnotis, tak mampu berbuat banyak. Pak Jali mulai menciumi bibirku, pelan tapi pasti lidahnya pun mulai ikut bermain, menjilati bibirku yang masih tertutup rapat. Kedua tangannya pun tak mau diam, mulai dijamah gundukan lembut payudaraku, diremasnya bergantian sampai pada akhirnya pria tua itu berhasil melepas braku, tanpa perlawanan berarti dariku. Ada perasaan aneh yang mulai muncul dari dalam diriku ketika mertuaku semakin intens mencumbu tubuhku. Pak Jali sepertinya mulai berhasil memancing sisi liar dari dalam diriku, sisi lain yang selama ini gagal diwujudkan oleh mendiang Mas Kusno. Gila ! Suamiku baru 7 hari berada di liang lahat sementara saat ini Aku sedang menikmati percumbuan dengan mertuaku ! Dorongan birahiku seperti terbentur oleh dinding norma-norma yang coba Aku pegang teguh, tapi sentuhan demi sentuhan mertuaku lambat laun mulai menanggalkan prinsipku yang ingin menjaga martabat seorang istri.

“Eeemmcchhhh......”

Lenguhan itu tiba-tiba keluar begitu saja dari bibirku ketika jemari kekar mertuaku mulai menggesek-gesekkannya pada permukaan vaginaku yang masih tertutup celana dalam. Basah.

“Enak nduk...? Hmmmm...?” Tanya Pak Jali, senyumnya mengembang sumringah seolah dia sudah berhasil menaklukanku, sesuatu yang mulai bisa Aku akui. Pria tua itu semakin berani, dimasukkannya jemarinya ke dalam celana dalamku, menyentuh permukaan vaginaku langsung tanpa penghalang.  Sesaat pahaku bergetar ketika tangan mertuaku mulai bermain di bawah sana. Aku sudah tidak tahan lagi, libidoku sudah naik ke langit ke tujuh.

“Aaacchhhhh..!! Pakkk! Aaachhhh!!” Lenguhku kembali, punggungku sampai melenting ke atas ketika dua jari Pak Jali menyeruak masuk ke dalam vaginaku dan mulai melakukan gerakan mengocok cepat. Pak Jali semakin liar, payudaraku yang menyembul besar langsung dilahapnya dengan rakus. Dihisapnya kedua putingku secara bergantian sambil terus mengocok liang senggamaku dengan dua jarinya. Aku seperti melayang, sungguh sensasi seperti ini tidak pernah Aku dapatkan bersama Mas Kusno.

“Occhhh!! Ooocchhhh ! Pak !! Aku mau kencing Pak!! Aaaachhh!!!!”

Bukannya berhenti, Pak Jali semakin mempercepat kocokan jarinya hinga pada akhirnya Aku memuncratkan banyak cairan dari dalam vaginaku, saking banyaknya hingga membasahi lantai. Nafasku tersenggal, tubuhku bergetar hebat lalu mulai terkulai lemas. Entah cairan apa yang baru saja keluar dari dalam vaginaku itu, ini baru pertama kalinya Aku alami. Pak Jali menyeringai bangga, mertuaku itu berhasil membuatku terkulai lemas bahkan tanpa harus bersetubuh, hanya menggunakan jarinya.

“Gimana nduk ? Enak kan? Heheheheh” Tanya Pak Jali, Aku hanya terdiam, perasaan malu masih menguasai diriku, apalagi ketika dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan mesum yang dilontarkan oleh Pak Jali seperti barusan.

****

6 BULAN SEBELUMNYA

Pak Jali memakirkan motornya di depan sebuah gubuk kecil di tengah hutan yang berada di ujung desa. Sebuah gubuk yang dikenal sebagai tempat tinggal Mbah Jarwo, seorang dukun Jawa yang sudah terkenal bahkan sampai keluar desa. Banyak orang datang ke sini untuk mendapatkan bantuan spiritual guna mewujudkan keinginan yang sulit dicapai dengan usaha yang biasa-biasa saja. Sesuatu yang juga akan dilakukan oleh Pak Jali kala itu. Setelah memakirkan motornya Pak Jali beranjak menuju gubuk itu, tampak sepi tanpa penghuni. Tapi sebelum Pak Jali mengeluarkan kalimat sapaan, pintu depan gubuk terbuka dengan sendirinya. Terkejut, tapi Pak Jali langsung melangkahkan kakinya masuk ke dalam. Di dalam gubuk terlihat seorang pria tua berambut panjang dengang pakaiab khas seornag dukun bercorak hitam sedang duduk bersila di atas kursi bambu panjang. Di hadapanya mengepul menyan yang terbakar di atas sebuah cawan. Pak Jali mendekati pria tua tersebut kemudian mencium tangannya, layaknya seorang murid yang mencium tangan gurunya.

“Permisi Mbah Jarwo, maaf jika kedatangan Saya kesini mengganggu semedi Mbah Jarwo.” Kata Pak Jali, Mbah Jarwo tampak acuh, matanya masih terpejam sementara bibirnya berkomat-kamit seperti sedang merapal sebuah mantra.

“Aku tau maksud dan tujuanmu datang ke sini.” Kata Mabh Jarwo, meskipun badannya tak begitu besar, bahkan cenderung kurus dan kecil tapi suaranya terdengar begitu berat.

“Kau sudah tau kan apa syarat-syaratnya jika ingin semua permohonanmu bisa terkabul?” Lanjut Mabh Jarwo, matanya masih terpejam.

“Belum Mbah, Saya belum tau ritual apa saja yang harus Saya lakukan agar keinginan Saya bisa terkabul.” Ucap pak Jali.

“Kau tidak perlu melakukan ritual apapun, Aku yang akan menyelesaikannya dari sini. Yang perlu Kau siapkan adalah seorang tumbal.”

“Tum...Tumbal..?” Pak Jali tampak terkejut, dia sama sekali tak mengira jika syarat yang harus dipenuhinya agar bisa mendapatkan kekayaan instan serta terlunasi seluruh hutang-hutang akibat judi sabung ayam bisa segera terlunasi adalah seorang tumbal.

“Kenapa? Kau tidak bisa memenuhinya ? Hmmm?” Kata Mbah Jarwo, kali ini kedua matanya terbuka dan langsung menatapa tajam wajah Pak Jali yang tampak kebingungan.

“Si Mbah menginginkan tumbal manusia darimu, seseorang yang memiliki garis keturunan langsung dari darahmu. Bukan orang lain, tapi orang yang memiliki kedekatan keturunan.” lanjut Mbah Jarwo.

“Apa tidak ada syarat lain yang lebih mudah Mbah..?” Tanya Pak Jali, pria itu mulai ragu dengan cara spiritual seperti ini, apalagi harus sampai mengorbankan nyawa.

“Ada, tapi itu tidak akan membuat semua keinginanmu terkabul.” Balas Mbah Jarwo. Pak Jali semakin ragu, di satu sisi dia sudah dikejar-kejar oleh hutang, sementara di sisi lain dia tidak ingin menumbalkan seseorang sebagai sarana untuk menyelesaikan masalahnya. sesaat pria tua itu terdiam, seperti memikirkan sesuatu.

“Baik Mbah, Saya akan menyiapkan tumbal.” Ucap Pak Jali mantap.

“Siapa tumbal itu ?” Tanya Mbah Jarwo.

“Anak Saya Mbah, Kusno.”

***

NINGSIH POV

Nafasku masih terengah-engah, sementara mertuaku masih saja tersenyum, sama sekali tak ada tanda-tanda kelelahan pada wajahnya yang menua. Ditariknya tanganku agar tubuhku berdiri, lalu dia membimbingku berjalan menuju ke dalam kamar. Aku hanya bisa menuruti kemauannya, entah kenapa sikapku bisa berubah drastis seperti ini, sama sekali tak ada penolakan dariku. Setelah berada di dalam kamar, mertuaku mulai melepaskan seluruh pakaiannya, Aku hanya berdiri mematung melihat tubuh polosnya kini terpampang jelas di hadapanku tanpa selembar kainpun.

“Buka celana dalammu nduk...” Bisik Pak Jali seraya mendekati tubuhku yang tinggal tertutup selembar celana dalam basah. Sekali lagi Aku menurutinya, kini Kami berdua saling telanjang di dalam kamar yang dulu hanya bisa dimasuki oleh Aku dan Mas Kusno saja.

“Sempurna...” Ucap Pak Jali, direbahkannya badanku di atas tempat tidur, Aku kembali pasrah. Pak Jali mulai menciumi kakiku, lalu naik menuju paha, geli. Tubuhku sempat menggelinjang beberapa saat sebelum kembali menegang tatkala bibir mertuaku mulai mencumbu liang senggamaku menggunakan bibir serta lidahnya.

“Aaacchhhhh...Paaakkk...Aaacchhhh..” Pak Jali semakin intens memainkan lidahnya pada bibir vaginaku, sesekali sengaja dihisapnya clitorisku yang mulai menegang dengan sangat keras. Cukup lama Pak Jali melakukannya di bawah sana, lenguhan serta desahan tak pernah surut dari dalam bibirku. Kenikmatan seperti ini nyaris tidak pernah Aku dapatkan dari Mas Kusno dulu kala.

“Aaacchhhh...!! Aaacchhhhh Paakkk!! Ammpunnn!! Aaacchhh!” Tubuhku meliuk-liuk layaknya seorang penari ular sementara kedua tanganku sibuk mencari pegangan kesana kemari hingga akhirnya berhenti pada kepala mertuaku. Kadang Aku tekan kepalanya semakin dalam ke arah vaginaku memaksa lidahnya agar semakin masuk ke area senggamaku.

“Eeeemmcchhh!! Eeemmcchhh!!” Dengusnya sambil terus mejilati area sensitifku di bawah sana, lalu tiba-tiba gelombang itu datang. Gelombang kenikmatan yang sedari dulu tidak pernah Aku dapatkan ketika bersetubuh dengan Mas Kusno.

“Aaarghhttt!!! Paakk!! Aku keluar lagi!! Aaarghhttt!!” Aku remas kepala mertuaku menggunakan kedua tanganku, Aku tekan semakin dalam, punggungku kembali melenting ke atas karena sensasi orgasme yang begitu hebat.

“Aaaachhh....Aaacchhhhh..Ampun Pak...Aaachh...” Desisku mulai melemah, Pak Jali tampak belum usai mengerjaiku. Kali ini dia menyiapkan batang penisnya yang panjang berurat setelah sebelumnya dia basahi menggunakan air liur. Aku membuka lebar-lebar kedua pahaku, memberi jalan masuk kepada pusaka mertuaku.

“Sekarang giliran Bapak nduk...” Kata Pak Jali sembari menyeringai, wajah tua mesumnya kembali terlihat, Aku semakin terbakar birahi.

“Occhhhh!! Paakk!!!!”

SLEEEPPPP!

Hanya dengan sekali gerakan menusuk ke depan, seluruh batang penis mertuaku lolos begitu saja memasuki liang senggamaku yang memang sudah basah kuyup sedari tadi. Pak Jali mulai menggoyang tubuhku dari atas, awalnya hanya dengan gerakan perlahan tapi terkadang dia menekan keras nan kasar untuk beberapa waktu hingga membuat seluruh liang senggamaku terasa begitu sesak.

“Aaachhhh Pak!! Mentok banget! Aaachhh!” Desahku.

“Gimana? Lebih enak kontolku atau kontol Kusno?”

“Eeemcchh!! Eemmchh!! Aaacchhh!!! Paakk!!” Pak Jali mempercepat goyangannya, penis panjangnya terasa seperti mengaduk-aduk seluruh liang senggamaku, birahiku semakin tak terkontrol, desahan berubah menjadi erangan kencang.

“Enak mana nduk?? Hmmm?! Kontolku atau kontol Kusno?!!” Tanya Pak Jali sekali lagi, Aku tak tahan menerima pertanyaan mesum seperti itu, Aku hanya ingin menikmati persetubuhan ini tanpa harus menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti itu. Aku tarik leher mertuaku agar mendekat, segera setelah itu Aku mulai mencumbu bibirnya dengan bibirku. Tanpa rasa risih Aku menciumi bibir mertuaku sendiri.

Pak Jali mengangkat kepalanya lalu dibuatnya kembali Aku berteriak kencang tatkala ujung jempolnya menggosok-gosok clitorisku sambil terus menggoyangkan tubuhnya maju mundur. Penisnya sudah begitu nikmat mengobok-obok liang vaginaku, kali ini malah ditambah denga rangsangan jari jemarinya pada clitorisku.

“Aaargghtt!! Aaargghtt!! Paakk!! Enak banget Paaak!! Aaarrghhtt!!” Racauku seperti orang kesetanan, tubuhku menggelinjang hebat sementara mertuaku masih terus menggenjotnya tanpa kenal lelah. Lalu tiba-tiba untuk kedua kalinya vaginaku menyemburkan cairan yang begitu deras, sampai-sampai membasahi tubuh mertuaku.

“Aaarghhtt!!! Aaarghtt!!! Paakkk!!!” Erangku sebelum kembali melemas untuk beberapa saat. Pak Jali seperti memberiku jeda untuk beberapa saat, pelan dia cabut penisnya dari dalam vaginaku. Pria tua itu lalu membimbingku untuk merubah posisi badanku menjadi menungging. Dengan sisa kekuatan Aku menurutinya.

“Aaachhh Pak...geli...” Desahku manja ketika Pak Jali memainkan ujung penisnya pada permukaan liang vaginaku.

“Hehehehe, masih kuat nduk...?” Tanyanya, Aku hanya terdiam, jujur Aku masih menyimpan perasaan malu kepada mertuaku. Terlebih ketika aku menyadari jika kami melakukan persetubuhan di dalam kamarku yang dulu hanya bisa dilakukan oleh suamiku. Martabatku sebagai seorang istri yang baru saja ditinggal mati oleh suami hancur tak berbentuk detik ini juga, Aku telah menyerahkan semua kehormatanku pada Bapak mendiang suamiku.

Pak Jali mulai memasukkan kembali batang penisnya, Kedua tanganku meremas permukaan sprei, menahan lesakan penis pria tua itu. Seperti tadim, awalnya Pak Jali menggoyang tubuhku dengan perlahan, tapi lama kelamaan gerakannya semakin cepat hingga membuat tubuhku ikut bergerak maju mundur.

“Oocchhh!! Paakkk!! OOcchh!!!” Lenguhku menikmati goyang Pak Jali yang menyetubuhiku dari belakang. Beberapa kali tangannya yang kekar meremas pantatku sambil sesekali ditamparnya hingga menimbulkan suara yang cukup kencang. Sakit, tapi entah kenapa Aku semakin terangsang.

“Aaaachhh!! Aaachhhh!! Mentokin Pak! Mentokin!!” Racauku meminta Pak Jali untuk menekan pinggulnya semakin dalam. Pak Jali menuruti permintaanku, diremasnya pinggulku untuk beberapa saat lalu kemudian denga kekeatannya dia menyentakkan pinggulnya dari belakang dengan sangat keras. Penisnya terasa menusuk begitu dalam, rahimku masih meminta lebih.

“Aaarghtt!!! Aaarggghttt!! Iya Pak!! Mentokin kayak gitu!!! Aaargghtt!!!” Teriakku, kali ini mulutku sampai harus menggigit ujung sprei. Pak Jali semakin mempercepat gerakan pinggulnya, Aku merasakan peluhnya sampai jatuh membasahi pantat serta punggungku. Harus Aku akui untuk urusan stamina mertuaku ini unggul sangat jauh dibandingkan dengan Mas Kusno yang tak pernah bisa bertahan lebih dari 5 menit ketika sedang menyetubuhiku.

“Aaarrghhttt! Nduk, Bapak mau keluar!”

“Keluarin Pak! Keluarin yang banyak!! Aaachhhh!!!”

Gerakan mertuaku semakin cepat, kami saling bersahut serangan serta desahan, saling berpacu memuaskan nafsu. Lalu beberapa saat kemudian suara parau bak singa terluka terdengar dari mulut mertuaku.

“Aaarghhtttttt!!!!”

Aku terkejut karena mertuaku menyemprotkan spermanya di dalam vaginaku, penisnya terasa berkedut beberapa kali di dalam liang senggamaku bebarengan dengan semprotan sperma yang langsung membasahi liang senggamaku. Aku menoleh ke belakang, Pak Jali sudah duduk terkulai lemas.

“Pak ! Kenapa dikeluarin di dalem?!” Pekikku kaget sambil berusaha membuang sisa sperma yang masih berada di dalam rahimku. Buru-buru Aku berlari ke kamar mandi untuk membersihkan vaginaku, bersetubuh dengan mertua kesalahan yang sangat fatal, Aku tidak ingin menambah kesalahan itu dengan menanam benih di dalam rahim.

“Tenang saja, Kamu nggak akan hamil nduk...” Kata Pak Jali santai, pria tua itu tiba-tiba membuka pintu kamar mandi, Aku lihat penisnya masih belum benar-benar lemas, masih tampak berdiri kokoh, urat-uratnya masih terlihat jelas.

“Aku nggak mau lagi Pak, udah cukup sekali ini aja!” Kataku menolak, tapi Pak Jali tak peduli, diraihnya kembali tanganku, lalu mengarahkan tubuhku untuk membelakanginya. Kedua tanganku bersandar pada dinding kamar mandi. Tanpa mau menunggu lama mertuaku kembali mengarahkan penis panjangnya ke dalam liang senggamaku dari belakang.

“Aaaaachhh!!! Pak!! Sakiitt!! Aaacchh!!” Teriakku kencang ketika Pak Jali mulai menggoyang tubuhku. Gila! Meskipun baru saja mengalami ejakulasi beberapa menit yang lalu tapi penis pria tua ini masih sanggup bekerja lagi.

“Occhh!! Aku ketagihan memekmu nduk..” Racaunya, kedua tangannya meremas-remas payudaraku yang bergoncang hebat akibat gerakan tubuhku yang mengikuti irama goyangan Pak Jali.

“Aachhh!! Aaachh!! Pak!! Aaacchh!!!” Sontak Aku mulai mendesah lagi, mertuaku masih sangat bernafsu untuk menyetubuhiku, seperti tak ada rasa lelah pada tubuhnya. Bak singa yang lapar, Pak Jali terus memompa tubuhku yang sudah lemah dari belakang.

“Kamu harus puasin Aku nduk ! Aaahhcchh!” Racaunya berkali-kali, Aku hanya terus mengerang dan mendesah tiap kali Pak Jali menyentakkan tubuhnya dengan kencang. Puas meremas kedua payudaraku Pak Jali kali ini menarik kedua tanganku yang sebelumnya berpegangan pada dinding kamar mandi. Tubuhku kini sepenuhnya ada pada kendalinya, lesakan penis pria tua itu semakin lama semakin cepat, Akupun merasakan jika penisnya sudah kembali mengeras sempurna sama persis dengan yang Aku rasakan ketika bersetubuh di dalam kamar tadi.

“Oocchhh Paakkk! Ooocchhh!! Ampuunn!!” Rengekku meminta agar mertuaku segera menyudahi permainan ini, tubuhku benar-benar sudah lemas tak bertenaga tapi mertuaku masih terus menggenjot tubuhku dari belakang.

“Aaachhh ! Tahan sebentar lagi ya nduk...Aaacchhhh!” Ucapnya berusaha untuk menenangkanku. Tak lama kemudian Pak Jali menarik batang penisnya lalu mengarahkan tubuhku untuk jongkok di bawah tubuhnya yang masih berdiri. Aku menatap nanar ketika dengan sengaja mertuaku mengarahkan ujung penisnya tepat ke wajahku sambil mengocoknya sendiri. Lalu detik berikutnya dia kembali melenguh panjang seperti singa yang terluka, lenguhan yang bebarengan dengan muncratnya sperma dari dalam penisnya. Sontak Aku menutup mata ketika sperma mertuaku menyemproti sebagian besar wajahku. Kental dan hangat.

“Aaarrghhhtttt!!! Aaargghhttt!!” Aku membuka mataku kembali Aku lihat Pak Jali masih berdiri di atasku dengan nafas tersenggal. Ketika Aku ingin bangkit berdiri Pak Jali kembali menahanku.

“Bersihin ini dulu nduk..” Ucapnya seraya mengacungkan ujung penisnya yang masih basah tepat di depan mulutku. Aku langsung mengrenyitkan dahi.

“Nggak mau Pak, jijik !” Ujarku menolak, Aku benar-benar jijik jika harus mengulum penisnya yang baru saja memuntahkan sperma.

“Ayo coba dulu nduk...” Pak Jali tampak memaksa, diraihnya kepalaku kemudian memaksa mulutku untuk terbuka, Aku berusaha mengelak tapi kekuatan mertuaku sulit untuk dilawan. Dengan sekali gerakan dia berhasil memasukkan batang penisnya ke dalam mulutku.

“Eeemmcchhh!! Eeemmcchh!!!” Aku berusaha mengeluarkannya dari dalam mulutku tapu tangan Pak Jali masih menahan kepalaku, memaksaku untuk tetap mengulum batang penisnya. Asin dan sedikit amis, itu yang Aku rasakan awalnya tapi kemudian berangsur hilang karena tersapu air liurku.

“Jangan melawan lagi nduk, ayo jilatin sampai bersih.” Ucapnya, Aku kembali terhipnotis, kembali menuruti kemauan mertuaku. Tanpa rasa jijik Aku mengulum penisnya lalu menjilatintya hingga semua lelehan sperma hilang tertelan olehku. Pak Jali tampak menikmati permainan lidahku.

“Ooccchhhh ! Pinter banget kamu nduk..” Pujinya sambil mengelus rambutku.

Hari itu hampir seharian Aku disetubuhi oleh Pak Jali, tubuhku seperti tak bertulang karena mertuaku seperti tidak pernah habis hawa nafsunya. Tak terhitung berapa kali Aku mencapai orgasme akibat perilaku mesum mertuaku itu.

***

5 BULAN SEBELUMNYA

Kusno memakirkan sepeda motor bututnya di tepi jalan, cuaca hari itu sangat terik sudah beberapa bulan tak turun hujan. Pria itu lalu menuruni tepi jalan yang berbatasan langsung dengan pematang sawah, tangannya melambai pada sesorang yang sibuk menyemai padi di tengah sawah, Pak Jali. Melihat Kusno, Pak Jali langsung menghentikan pekerjaannya lalu berjalan mendekati anaknya itu.

“Ada apa No? “ Tanya Pak Jali.

“Ini Pak ada yang mau Saya berikan.” Ucap Kusno seraya memberikan amplop tebal cokelat ke Pak Jali. Ayahnya menerimanya lalu langsung membukanya, isinya ternyata uang.

“Apa ini?” Pak Jali tampak terkejut ketika melihat isi amplop cokelat itu.

“Itu uang untuk melunasi hutang-hutang Bapak, jangan jual sawah ini Pak biar Bapak masih ada pekerjaan.”

“Tapi dapat darimana semua uang ini No?” Tanya Pak Jali sekali lagi.

“Udah Pak, nggak usah dipikirin, yang penting segera lunasi hutang-hutang Bapak dengan uang ini. Ya sudah Pak, Kusno mau kembali kerja lagi.” Ujar Kusno sebelum mencium tangan Ayahnya dan berlalu pergi. Pak Jali masih termangu menatap punggung Kusno menjauh, dadanya sedikit bergetar karena teringat dengan janji tumbalnya pada Mbah Jarwo satu bulan yang lalu.

Setelah Kusno berlalu pergi Pak Jali langsung mengemasi barang-barangnya lalu menuju tengah hutan, tujuannya adalah untuk menemui Mbah Jarwo dan membatalkan segala macam ritual tumbal satu bulan lalu. Uang yang diberikan oleh Kusno lebih dari cukup untuk menyelesaikan permasalah hutang piutang yang membelitnya. Ketika sudah sampai di gubuk tempat kediaman Mbah Jarwo, Pak Jali langsung masuk ke dalam, di sana ternyata sudah menunggu Mbah Jarwo yang seperti biasa duduk bersila di atas sebuah dipan kayu.

“Kau tidak bisa membatalkannya, si Mbah sudah memulai ritual yang Kau sepakati.” Ujar Mbah Jarwo, dukun tua itu sudah mengerti maksud dan tujuan kedatangan Pak Jali hari itu.

“Ta..Tapi Mbah..”

“Tidak ada pengecualian karena apa yang Kau minta sudah dituruti oleh si Mbah.” Ucap Mbah Jarwo dengan tatapan dingin.

“Maksud Mbah apa ?” Tanya Pak Jali kebingungan, lalu Mbah Jarwo mengambil sebuah nampan besar yang tertutup kain hitam dari bawah dipan kayu, diletakkannya nampan itu tepat di hapadan Pak Jali.

“Buka kain itu.” Perintah Mbah Jarwo, sempat ragu Pak Jali menuruti perintah dukun tua itu. Terlihat tumpukan uang pecahan kertas seratus ribuan dengan jumlah yang sangat banyak. Pak Jali menghela nafas panjang.

“Itu semua milikmu, seperti apa yang pernah Kau minta dulu. Si Mbah sudah melakukan tugasnya, sekarang giliranmu yang melakukan tugasmu.” Ucap Mbah Jarwo dingin.

“Maaf Mbah, apa perjanjian yang dulu bisa dibatalkan dan diganti dengan syarat yang lain? Saya janji akan memenuhi semua permintaan Mbah Jarwo selain menumbalkan anak Saya. Saya mohon Mbah...” Kata Pak Jali dengan mimik wajah ketakutan.

“Hahahahahaha ! Dasar manusia terkutuk ! Kau sudah menyanggupinya dulu tapi sekarang mengingkarinya sendiri. Hahahahaha !” Ucap Mbah Jarwo sambil tertawa terbahak-bahak.

“Saya mohon ampun Mbah, tolong kali ini saja kabulkan permintaan Saya.” Ujar Pak Jali sambil bersujud di bawah dipan kayu tempat Mbah Jarwo duduk bersila.

“Hehehehehe ! Sebenarnya ada jalan lain, tapi Aku tidak yakin Kau bisa melakukannya.” Seperti mendapat second chance, Pak Jali langsung buru-buru bangkit dari sujudnya, kedua matanya berbinar seolah sudah menemukan jalan baru.

“Apa Mbah? Saya pasti bisa melakukkanya !” Kata Pak Jali antusias.

“Satu-satunya cara lain itu adalah menukar nyawa, Si Mbah meminta nyawamu untuk menggantikan tumbal yang Kau berikan dulu. Bagaimana ? Apa Kau mau menukar nyawa anakmu dengan nyawamu sendiri ? Hehehehehe.” Mendengar hal itu Pak Jali langsung terdiam, pikirannya seolah sudah buntu untuk memikirkan jalan keluar lain. Bagaimanapun dia tidak akan mungkin menumbalkan nyawanya sendiri untuk sesuatu yang bahkan belum sempat dia nikmati. Uang.

“Hehehehe, bagaimana ? Apa kau sanggup Jali? Si Mbah tidak bisa menunggu lebih lama lagi, Kau harus segera memberi jawaban saat ini juga.” Ujar Mbah Jarwo, sementara Pak Jali hanya tertunduk lemah.

“Baik Mbah, Saya akan tetap menumbalkan Kusno...” Ucap Pak Jali lemah, pilihan yang harus dia ambil dibanding harus menyerahkan nyawanya sendiri.

“Hahahahahaah! Sudah aku duga Kau akan memberi jawaban itu ! Hahahahaha!” Mbah Jarwo kembali tertawa terbahak setelah mendengar jawaban Pak Jali.

Posting Komentar

0 Komentar