MBAK NINGSIH
SINOPSIS :
FORMAT : PDF
JUMLAH HALAMAN : 206 HALAMAN
HARGA : Rp 30.000
PART 1
Terminal
terlihat sepi, disamping karena waktu
sudah cukup malam, beberapa jam lalu hujan deras mengguyur hampir di
seluruh wilayah kota. Situasi yang membuat sebagian besar orang malas keluar
rumah terlebih bepergian menggunakan kendaraan umum, tidur nyenyak dengan
berselimut tebal nampaknya menjadi pilihan terbaik dalam situasi seperti
ini. Di terminal terlihat hanya ada
beberapa warung yang masih buka,
sementara tak banyak angkutan kota maupun bus
yang beroperasi. Ningsih membuka mata ketika kernet bus yang
ditumpanginya berteriak memberi tanda kepada para penumpang jika bus sudah
sampai di pemberhentian terakhir. Ketika bus sudah berhenti, Ningsih langsung mengemasi koper
besar yang dia bawa, segera wanita cantik itu turun dari dalam bus bersama
beberapa penumpang lain yang jumlahnya bisa dihitung jari.
Beberapa
tukang ojek pangkalan yang masih menunggu pelanggan langsung berkerumun di
dekat pintu keluar bus, mencoba membujuk
para penumpang bus untuk menggunakan jasa mereka, beberapa ada yang mengiyakan,
tapi tak jarang adapula yang menolak dengan halus, seperti yang dilakukan oleh
Ningsih. Wanita cantik itu memilih untuk melangkahkan kakinya menuju salah satu
warung makan yang berada tak jauh dari pintu masuk terminal. Dia masih bingung
mau kemana lagi setelah ini karena sejak awal Ningsih tidak tau tujuannya
kemana selain pergi dari kampung karena diusir oleh para warga.
"Teh
hangatnya satu Bu." Ujar Ningsih sambil meletakkan tas kopernya di atas
kursi panjang yang terbuat dari kayu, seorang Ibu tua tersenyum menyambut
kedatangannya.
"Oh, iya,
mari-mari, silahkan duduk." Balas Ibu tua itu dengan ramah.
"Dari
mana Mbak ? Kok jam segini baru datang ?" Tanya Ibu itu lagi sambil
menyiapkan teh hangat pesanan Ningsih.
"Iya Bu,
tadi kesorean berangkatnya." Jawab Ningsih beralasan, bayangan tentang
cacian serta makian para warga yang memaksanya untuk pergi dari desakembali
terbayang di benaknya, pedih, tapi coba dia tahan dan simpan sendiri.
"Oh gitu
toh, ini teh hangatnya, silahkan diminum dulu." Kata Ibu penjual sembari
menyodorkan segelas besar teh hangat.
"Iya Bu,
terima kasih." Ningsih menenggak perlahan teh hangat itu, meskipun
perutnya terasa lapar tapi Ningsih menahan diri untuk tidak merogoh koceknya
terlalu dalam lagi, segelas teh hangat baginya sudah cukup untuk sekedar
menghangatkan lambung.
"Kalau
boleh tau, Mbaknya mau pergi kemana ? Ini sudah malam banget, tidak ada
angkutan kota yang masih beroperasi di sini." Tanya Ibu penjual.
"Apa Ibu
tau kos-kosan di dekat sini? Tapi yang biayanya nggak terlalu mahal, jujur Saya
benar-benar tidak tau daerah sini, dan belum ada tempat untuk menginap malam
ini." Jawab Ningsih berterus terang, raut wajah Ibu penjual langsung
berubah, dilihatnya Ningsih dari bawah sampai ke atas kepala, seperti sedang
menyelidiki sesuatu.
"Kos-kosan
? Kalau di dekat sini setau Saya nggak ada Mbak." Jawab Ibu penjual,
Ningsih tampak kecewa, sesekali dia menyapu keadaan diluar warung dengan
tatapan sendu, gelap dan sepi. Harus kemana lagi dia harus pergi kali ini
meskipun hanya untuk mengistirahatkan badannya sejenak saja.
"Sebentar
ya Mbak, tunggu di sini, biar Saya tanya keponakan dulu, siapa tau dia tau
informasi tempat kos di dekat sini." Ucap Ibu penjual itu sebelum
melangkah pergi menuju belakang warung. Tak berapa lama kemudian Ibu penjual
tadi kembali bersama seorang remaja pria berusia 18 tahunan, posturnya kurus
tinggi dengan rambut ikal berwarna kuning, dan lengan tangan dipenuhi oleh
tatto.
"Kenalkan
Mbak, ini Rizki, keponakan Saya." Ucap Ibu penjual, Rizki tersenyum simpul
sembari menyalami Ningsih. Dari awal bertemu Ningsih sudah tidak begitu nyaman
dengan cara pandang mata Rizki pada dirinya, pandangan yang selama ini sering
Ningsih jumpai ketika masih hidup bersama mendiang mertuanya, Pak Jali.
"Saya
Ningsih." Balas Ningsih menyambut uluran tangan Rizki.
"Rizki
bisa mengantarkan Mbak Ningsih ke tempat kos di dekat sini, kalau Mbak mau
sekarang juga Rizki akan membawa Mbak Ningsih ke sana." Cerocos si Ibu
penjual, Ningsih berusaha untuk memikirkan jawaban yang tepat, penolakan halus
lebih tepatnya. Diantar oleh Rizki yang memberikan kesan mesum sepertinya bukan
jalan keluar terbaik menghadapi masalah yang dia hadapi saat ini.
"Lebih
baik Saya berangkat sendiri saja Bu, Saya tidak mau merepotkan." Kata
Ningsih.
"Nggak
merepotkan kok Mbak, Saya siap nganterin Mbak Ningsih kemana saja ! Heheheh
!" Sahut Rizki sambil terkekeh ringan.
"Lagipula
ini sudah malam Mbak, kalau sampai ada orang jahat yang tau Mbak Ningsih
sendirian di pinggir jalan malah bisa bahaya itu nanti." Lanjut rizki
mencoba meyakinkan.
"Benar
Mbak, bahaya kalau Mbak Ningsih berangkat sendirian malam-malam gini. Lebih
baik biar Rizki yang mengantar, tenang Mbak, meskipun penampilannya nggak
karu-karuan kayak gini, tapi Rizki bukan orang jahat." Ujar Ibu Penjual,
Ningsih sepertinya sudah tidak bisa menghindar lagi, disamping badannya sudah
sangat lelah setelah menempuh perjalanan panjang, otaknya pun sudah begitu
pening untuk sekedar mencari jalan keluar lain.
"Baiklah
kalau memang tidak merepotkan Bu, tapi sebelumnya Saya mau tanya dulu, untuk
biaya bulanan kosnya berapa ya ?" Tanya Ningsih.
"Murah
kok Mbak, nggak sampai 500 ribu per bulan, kebetulan itu yang punya teman Saya,
jadi Mbak Ningsih nggak perlu khawatir soal biaya bulanan." Jawab Rizki
menimpali.
"Oh gitu,
ya sudah kalau gitu, ayo kita berangkat. Bu terima kasih banyak ya, ini untuk
teh hangatnya." Ucap Ningsih seraya menyerahkan uang sepuluh ribuan kertas
pada si Ibu penjual. Sementara Rizki langsung bergegas kembali ke belakang
warung mengambil sepeda motor.
"Udah
nggak usah, Mbak simpan aja uangnya, Saya senang bisa menolong orang."
Ujar si Ibu penjual menolak uang yang diberikan oleh Ningsih kepada dirinya.
"Loh Bu
jangan, ini hak Ibu." Balas Ningsih mencoba memaksa si Ibu agar mau
menerima uang pemberiannya.
"Mbak
Ningsih lebih butuh daripada Saya, Mbak simpan saja uangnya, lagipula ini cuma
sekedar teh hangat kok."
"Terima
kasih banyak Bu, Saya jadi nggak enak sudah merepotkan seperti ini."
"Tidak
merepotkan sama sekali kok Mbak Ningsih." Jawab si Ibu penjual sambil
tersenyum ramah. Tak berselang lama Rizki sudah berada di depan warung dengan
menunggangi sebuah sepeda motor yang suaranya cukup kencang dan berisik karena
bagian knalpotnya sudah dimodifikasi.
"Kalau
begitu Saya pamit dulu Bu, sekali lagi terima kasih." Ucap Ningsih sebelum
menyalami ibu penjual.
"Riz,
hati-hati di jalan, antarkan Mbak Ningsih dengan selamat, nggak usah
ngebut-ngebut." Pesan si Ibu penjual pada Rizki yang nampak santai.
"Iya
Budhe, Aku akan antarkan Mbak Ningsih dengan selamat tanpa lecet sedikitpun,
heheheheh." Jawab Rizki sembari memberikan kedipan mata genit pada
Ningsih.
"Nanti
setelah nganter Mbak Ningsih langsung kembali ke sini, bantu Budhe untuk
menutup warung."
"Siap
Budhe !"
"Ya sudah
pokoknya hati-hati di jalan, jangan ngebut." Pesan si ibu penjual sebelum
Rizki menarik gas motor dan berlalu meninggalkan warung.
*****
Di sepanjang
perjalanan Rizki terus saja mengoceh, sementara Ningsih hanya beberapa kali
menimpali. Bukan saja karena apa yang dibicarakan oleh Rizki hal yang tidak
penting tapi juga karena Ningsih sudah sangat lelah, dipikirannya saat ini
hanya ingin segera menemukan tempat beristirahat, itu saja. Sudah hampir 15
menit perjalanan tapi Rizki belum juga menghentikan motornya, Ningsih merasa
remaja ini sedari tadi hanya berputar-putar tanpa tujuan yang jelas, lambat
laun perasaan Ningsih menjadi tidak enak.
"Apa
masih jauh ?" Tanya Ningsih.
"Nggak
kok Mbak, sebentar lagi, itu di sana tempatnya." Jawab Rizki sambil
menunjuk ke arah depan, Ningsih hanya melihat jalanan kosong dan gelap. Tak mau
dihantui perasaan yang buruk, Ningsih berusaha menepis pikiran-pikiran buruk
tentang Rizki dan mengingat keramahan si Ibu penjual makanan tadi. Tak
berselang lama rizki mengarahkan motornya masuk ke dalam gang sempit, jalan sudah
tak lagi beraspal berganti dengan jalan tanah yang dikeraskan dengan batu. Kiri
kanan jalan terhampar sawah luas.
"Kenapa
lewat sini ?" Tanya Ningsih.
"Jalan
pintas Mbak, biar cepet sampai. " Jawab Rizki sambil terus memacu motornya
semakin masuk ke dalam. Ningsih melihat sekeliling, hanya ada hamparan sawah
yang luas, sepi, tak ada satupun pengendara lain yang melewati jalan ini. Tak
berselang lama Rizki menghentikan sepeda motornya tepat di depan sebuah gubuk
tua, di situ sudah ada 2 orang remaja pria lain, usianya tak terpaut jauh
dengan Rizki. Jono 17 tahun, dan Hasan 19 tahun, keduanya keluar menyambut
kedatangan Rizki.
"Kenapa
berhenti di sini ?" Tanya Ningsih panik.
"Tenang
Mbak, kita istirahat dulu di sini, capek banget badanku boncengin Mbak Ningsih
!" Jawab Rizki santai.
"Lama
banget Bro ! Eh ini siapa ? Cakep banget !" Tanya Hasan, pandangan mesum
matanya langsung menjelajahi tubuh
Ningsih dari atas sampai bawah. Ningsih tampak tak nyaman.
"Ayo Mbak
turun dulu, kita minum-minum dulu sambil melepas lelah." Ucap Jono, dari
dalam mulutnya tercium aroma alkohol yang cukup menyengat.
"Aku
nggak mau ! Aku mau pergi ! Lepaskan! Lepaskan!" Hardik Ningsih ketika
tangannya tiba-tiba sudah ditarik paksa oleh Jono dan Hasan.
"Udah !
Ayo sini turun dulu ! " Balas Rizki ikut membantu kedua temannya memaksa
Ningsih untuk turun dari motor dan menyeretnya masuk ke dalam gubuk tepi sawah.
Ningsih berusaha memberontak, meronta-ronta agar dilepaskan oleh 3 remaja
tanggung itu, tapi usahanya sia-sia
Rizki, Jono, serta Hasan terlanjur gelap mata.
"Lepasin
! Tolong ! Toloong!! " Teriak Ningsih ketakutan.
"Tutup
mulutnya ! Ayo cepat!" Perintah Rizki yang mulai panik ketika Ningsih
mulai berteriak. Hasan yang belum terlalu mabuk langsung mengambil saputangan
lusuh dari kantong celanannya kemudian langsung menyumpalkannya ke dalam mulut
Ningsih.
"Emmcchh!!!
Eeeemmchhh!!!" Suara Ningsih tertahan oleh gumpalan kain di dalam
mulutnya, ketiga remaja itu akhirnya bisa menyeret tubuh Ningsih ke dalam
gubuk.
"Ikat
tangannya ! Jangan sampai dia lari !" Perintah Rizki sekali lagi, Jono
yang sudah terpengaruh minuman keras tampak sempoyongan hingga kesulitan
mengikat kedua tangan Ningsih yang terus memberontak, bahkan satu dua kali
tamparan berhasil mendarat di pipi remaja tanggung itu.
"Goblok !
Gitu aja nggak bisa !" Umpat Rizki, segera dia ambil alih tugas mengikat
tangan Ningsijh menggunakan ikat pinggang kulit miliknya, kini Ningsih sudah
tak berdaya tubuhnya bersimpuh kalut di ujung ruangan, terikat dua tangannya,
serta mulutnya tersumpal kain lusuh. Kedua matanya berlinang air mata,
membayangkan tragedi buruk lagi yang mungkin saja akan terjadi pada dirinya
sesaat lagi.
"Cantik
banget cewek ini Bro ! Dapet darimana ?" Tanya Hasan antusias, matanya
menyasar payudara Ningsih yang memang berukuran besar.
"Udah !
Itu nggak penting buat dibahas, yang penting sekarang kita pesta !" Jawab
Rizki santai.
"Minum
dulu Bro, setelah itu kita gantian ngerjain cewek ini..." Cerocos Jono
sembari menyerahkan gelas plastik bekas minuman ringan yang telah berisi arak
murni pada Rizki.
"Siaaapp!!
Pokoknya malam ini kita penuhi memek cewek ini dengan peju ! Hahahahah!"
Ujar Rizki terbahak keras, Ningsih semakin ketakutan, kali ini nyawanya
benar-benar terancam, apalagi pemuda-pemuda ini sudah dipengaruhi oleh alkohol
yang membutakan pikiran.
"Ayo kita
mulai ! Aku duluan ya !" Ujar Rizki setelah menenggak minuman keras,
dengan tatapan mesum pemuda itu mulai mendekati tubuh Ningsih.
"Tenang
Mbak, malam ini akan Aku buat Mbak Ningsih keenakan..." Ujar Rizki dengan
tatapan mata penuh nafsu.
"Eeemmchh!!!
Eeemmchhhh!!! Eeemchhhh!!" Ningsih masih berusaha memberontak,
ditendang-tendangkan kakinya untuk menghalau jauh Rizki, tapi pemuda itu justru
semakin beringas merangsek maju.
"Aaargghhtttt!!!"
BRUK!!!
Tanpa diduga,
tubuh Rizki terdorong menjauh, bahkan sampai jatuh terguling-guling hingga
terlempar dari dalam gubuk. Seperti ada sosok kuat yang melemparkannya dan
menjauh dari tubuh Ningsih. Jono dan Hasan yang melihat hal itu tampak begitu
kaget, pun demikian dengan Ningsih. Belum sempat menyadari apa yang sedang
terjadi, Jono dan Hasan juga mengalami hal yang serupa. Tubuh keduanya
terlempar keluar gubuk, kemudian menghantam tanah dengan cukup keras.
"Aaarghhtttt!!!"
BRUUKKK!!
BRUKKK!!!
"Setan !
Setaaan!!!!" Pekik Rizki ketakutan sebelum akhirnya lari tunggang langgang
meninggalkan kedua temannya yang masih menahan sakit.
"Woi !
Tunggu ! Ayo Jon kabur! Ada setan di sini!"Ucap Hasan panik sambil menarik
paksa lengan Jono dan mulai berlari mengejar Rizki yang sudah duluan kabur.
Ningsih mulai begidik ngeri karena kini dirinya sendirian di tengah area
persawahan yang sama sekali asing, tapi bukan itu yang membuatnya takut, tapi
insiden barusanlah yang membuatnya ngeri.
"Jangan
takut Bu, Aku akan menjagamu." Tiba-tiba dari belakang telinga Ningsih
terdengar suara serak nan berat, Ningsih menoleh ke belakang dan mendapati
sesosok mahluk tinggi besar dengan bulu lebat dan gigi bertaring.
"Aaarghttt!!!
Toolongggg!!!!!" Teriak Ningsih ketakutan sebelum akhirnya jatuh pingsan.
****
Ningsih
berusaha membuka matanya, sementara lirih terdengar ada suara dan sentuhan yang
mencoba untuk membangunkannya.
"Mbak !
Bangun Mbak!" Samar Ningsih melihat sudah ada dua orang yang bersimpuh di
dekat tubuhnya, satu wanita tua dan satu lagi lelaki tua. Ningsih merasa
kepalanya sangat berat dan pusing tapi tetap memaksakan dirinya untuk bisa
tersadar.
"Alhamdulillah
! Udah sadar Pak !" Pekik si wanita tua.
"Kasih
minum dulu Bu." Tukas si lelaki tua.
"Ayo
diminum dulu Mbak biar seger badannya." Ujar si wanita tua seraya
memberikan sebotol air putih pada Ningsih yang langsung meminumnya.
"Terima
kasih Bu." Kata Ningsih setelah membasahi tenggorokannya dengan air,
dilihatnya sekeliling, dia masih berada di dalam gubuk dekat persawahan, tempat
dimana Rizki membawanya semalam. Koper yang berisi pakaian miliknya juga masih
tergeletak tak jauh dari tempatnya bersimpuh saat ini.
"Mbak
namanya siapa? Kok bisa ada di sini sendirian?" Tanya si wanita tua.
"Saya
Ningsih Bu, semalam Saya dibawa ke sini oleh pemuda yang baru Saya temui di
dekat terminal." Jawab Ningsih sembari mengingat momen buruk ketika Rizki
dan dua orang temannya berusaha untuk memperkosanya semalam.
"Astagfirullah!
Terus Mbaknya nggak apa-apa? Semalam nggak terjadi apa-apa kan Mbak ?"
Cerca si wanita tua.
"Heh !
Lebih baik kita bawa Mbak Ningsih ke rumah dulu, jangan ditanyain
macam-macam." Ujar Pak tua mencoba menahan si wanita tua agar berhenti
mencerca Ningsih dengan berbagai macam pertanyaan lagi mengingat keadaan
Ningsih yang masih tampak linglung.
"Oh iya,
maafkan Saya Mbak. Bagaimana kalau sekarang Mbak Ningsih ikut Kami pulang dulu
? Sepertinya Mbak Ningsih masih perlu beristirahat lagi sebelum melanjutkan
perjalanan." Ucap si wanita tua, Ningsih sesaat memandangi wajah dua orang
asing itu, pengalaman buruk semalam bersama Rizki membuatnya semakin waspada
terhadap ajakan orang yang baru saja dia temui.
"Mbak
Ningsih tidak perlu khawatir, insyaallah Kami berdua bukan orang
jahat." Ujar si pria tua, seolah tau apa yang sedang dipikirkan oleh
Ningsih saat ini.
"Saya
cuma takut Pak...Bu..." Ucap Ningsih lirih sebelum airmatanya kembali
tumpah, wanita cantik itu langsung menangis sejadi-jadinya, seperti ingin
menumpahkan segala kekalutan yang tengah dirasakan saat ini. Si wanita tua
langsung memeluknya, mencoba menenangkan emosi Ningsih.
"Sudah
nggak apa-apa Mbak, sekarang Kamu aman bersama Kami." Ucap si wanita tua.
****
Ningsih
mengeringkan rambutnya yang basah menggunakan handuk, dia sudah berada di dalam
kamar bagian rumah milik keluarga Pak Toha dan Bu Salamah, pasangan suami istri
yang menemukannya pingsan di dalam gubuk beberapa saat lalu. Pasangan suami
istri itu adalah petani yang kebetulan lewat di depan gubuk dan menemukan
Ningsih dalam keadaan tidak sadarkan diri. Beruntung bagi Ningsih karena
pasangan suami istri itu adalah orang baik yang mau menolongnya dan bahkan
memberinya tempat sementara untuk berteduh.
"Sudah
Mbak ? Ayo Kita makan malam dulu, Bapak dan Ibu sudah menunggu." Pintu
kamar yang hanya terbuat dari secarik kelambu gelap terbuka lalu muncul seorang
gadis cantik berusia 20 tahun, Yanti, anak tunggal dari pasangan suami istri
Pak Toha dan Bu Salamah.
"Iya,
sebentar lagi Aku menyusul." Jawab Ningsih, Yanti tersenyum ramah kemudian
kembali pergi meninggalkan Ningsih. Yanti kebetulan hari ini pulang ke rumah
untuk mengunjungi kedua orang tuanya, kebiasaan sebulan sekali setelah dirinya
bekerja di Surabaya menjadi seorang ART.
Kehadiran Ningsih sempat membuatnya terkejut apalagi sang Ibu
menceritakan kronologi pertemuannya dengan Ningsih membuat Yanti semakin shock,
beruntung Pak Toha berhasil menenangkan keduanya.
"Ayo Mbak
kita makan bareng, tapi seadanya ya Mbak." Ujar Bu Salamah saat melihat
Ningsih sudah berada di dekat meja
makan.
"Iya Bu,
terima kasih, ini lebih dari cukup buat Saya." Ujar Ningsih.
"Tapi
tenang Mbak, meskipun lauknya seadanya tapi masakan Ibu enak banget, itu yang
bikin Aku selalu kangen pengen buru-buru pulang ke rumah." Celetuk Yanti.
"Halah!
Kamu itu paling pinter kalo muji orang Nduk!" Rajuk Bu Salamah yang
dibalas gelak tawa dari Yanti dan Pak Toha, Ningsih tersenyum mendengar
keakraban antara Bu Salamah dan Yanti, mengingatkannya pada sosok Umi Yasmin
dan Seruni. Suasana hangat di meja makan seperti ini terakhir kali dirasakannya
ketika berada di ponpes milik keluarga Ustad Salman, keluarga yang harus
merasakan kepedihan akibat perilaku jin jahat bernama Prakoso.
"Sebenarnya
Mbak Ningsih ini mau kemana semalam?" Tanya Pak Toha beberapa saat
kemudian.
Ningsih
menghela nafas panjang sebelum akhirnya menceritakan runtut kejadian yang
menimpanya semalam hingga akhirnya berakhir di sebuah gubuk kecil di area
persawahan. Satu hal yang tidak diceritakan oleh Ningsih adalah munculnya
mahluk menyeramkan yang membuat Rizki dan dua orang kawannya lari tunggang
langgang meninggalkannya seorang diri di dalam gubuk tanpa sempat untuk
menyentuh tubuhnya sama sekali. Yanti dan Bu Salamah terlihat begitu prihatin
mendengar cerita dari Ningsih, tapi tidak dengan Pak Toha, pria tua seperti
melihat sesuatu yang lain pada diri Ningsih.
"Lalu
kenapa mereka meninggalkan Mbak Ningsih begitu saja di dalam gubuk ? Mbak
Ningsih apa tidak ingat dengan apa yang mereka lakukan sebelum pingsan ?"
Tanya Yanti penasaran, Ningsih menjawabnya dengan sebuah gelengan kepala.
"Mungkin
mereka meninggalkan Mbak Ningsih karena ditakuti gendruwo penunggu gubuk
itu." Celetuk Bu Salamah.
"Hush !
Ngomong apa Kamu ini." Sanggah Pak Toha.
"Ya bisa
aja to Pak, orang jahat pasti akan menerima balasannya to?"
Sahut Bu Salamah.
"Halah,
nggak ada hal-hal yang kayak gitu, yang penting sekarang Mbak Ningsih sudah
aman, itu saja yang perlu kita syukuri saat ini, nggak perlu ditambahi bumbu
gendruwo segala." Kata Pak Toha.
"Iya nih,
Ibu kebanyakan nonton sinetron adzab di tv ya?" Kata Yanti yang mengundang
gelak tawa semua orang.
"Terus,
setelah ini apa rencanamu Mbak ? Kan Kamu tadi bilang kalau datang ke sini juga
tanpa tujuan yang jelas dan ingin mencari tempat tinggal baru." Tanya
Yanti.
"Iya,
besok Aku akan mencari tempat kos dan kalau memungkinkan juga mencari
kerja." Jawab Ningsih.
"Loh nduk,
bukannya bulan lalu Kamu bilang kalau majikanmu mencari karyawan baru ? Siapa
tau Mbak Ningsih mau ikut kerja di sana juga." Sahut Bu Salamah.
"Oh iya
Mbak, mau ikut kerja bareng Aku ? Ya
meskipun cuma jadi pembantu rumah tangga, tapi semua fasilitasnya lengkap Mbak
! Gaji, bonus, dan tentu saja tempat tinggal, jadi Mbak Ningsih nggak perlu
repot-repot nyari kos segala." Ujar Yanti.
"Memangnya
lowongan kerja itu masih ada ?" Tanya Ningsih.
"Masih
kok Mbak tenang saja."
"Aku sih
seneng banget kalau bisa kerja, tapi apa nanti nggak merepotkan Kamu
Yanti?" Tanya Ningsih sekali lagi.
"Merepotkan
apa to Mbak, kan nanti kita kerja bareng. Udah yang penting besok Mbak
Ningsih ikut Aku, biar nanti aku yang bilang ke majikanku, Mbak Ningsih tenang
aja."
*****
Matahari masih
belum benar-benar muncul dengan gagah tapi di rumah keluarga Pak Toha sudah
terlihat cukup sibuk. Selepas adzan Shubuh Yanti dan Ningsih sudah mengemasi
barang-barang mereka untuk menuju ke Surabaya, tempat dimana Yanti selama ini
bekerja mengabdikan dirinya sebagai seorang ART.
"Bu, Pak
Kami pamit dulu, mohon doa restunya." Ucap Ningsih berpamitan pada Bu
Salamah dan Pak Toha.
"Iya,
hati-hati di jalan, inget pesan Ibu jangan lupakan sholat, Ibu doakan kalian
berdua bisa lancar pekerjaanya, dapat rezeki halal dan barokah." Ujar Bu
Salamah, Yanti dan Ningsih mencium tangan wanita tua itu sebelum akhirnya
berjalan pergi meninggalkan rumah.
"Kamu
kenapa to Pak, kok dari semalam seperti aneh gitu pas ngeliat Mbak Ningsih? Aku
tau kalau dia itu cantik, tapi mbok ya jangan gitu, malu ! Sudah tua sampeyan
itu !" Ucap Bu Salamah pada Pak Toha yang masih memandangi punggung Yanti
dan Ningsih yang berjalan menjauh.
"Aku
tidak melihat Ningsih, tapi melihat sosok yang mengikutinya." Jawab Pak
Toha dingin.
"Kemarin
Kamu bilang kalau Aku nggak boleh bilang soal gendruwo, kenapa sekarang ngomong
kayak gini to Pak? Bikin khawatir saja !" Protes Bu Salamah.
"Ningsih
itu bukan wanita sembarangan, dia istimewa hingga mendapat perlindungan dari
sosok kuat seperti itu." Kata Pak Toha dengan mimik wajah serius.
"Istimewa
? Maksudmu apa to Pak? Jangan bikin Aku makin khawatir, apalagi sekarang Yanti
ada di dekatnya."
"Yang
pasti Ningsih itu memiliki getih anget, golongan manusia yang sangat
disukai oleh bangsa jin. Yanti tidak perlu Kamu khawatirkan karena sejak dia
lahir Aku sudah memagarinya dari gangguan bangsa jin."
"Getih
anget ? Apa itu bahaya untuk hidupnya ?" Tanya Bu Salamah penasaran.
"Semoga
saja tidak, kalaupun itu akan membuat hidupnya terancam Aku yakin sosok kuat
yang menjaganya saat ini akan melindungi Ningsih, mahluk itu memiliki hubungan
khusus dengan Ningsih, tapi Aku tidak tau hubungan seperti apa itu." Kata
Pak Toha.
***
Setelah
menempuh perjalanan hampir 8 jam dengan menggunakan armada bus akhirnya Yanti
dan Ningsih sampai di terminal bus Purabaya, salah satu terminal terbesar di
Jawa Timur. Kedua wanita itu lalu berjalan menuju pintu keluar menembus ratusan
penumpang lain yang hilir mudik nyaris tanpa henti. Tepat di pintu keluar, tak
jauh menunggu seorang pria berusia sekitar 30 tahunan dengan pakaian seragam
safari gelap.
"Mas Arif
!" Pekik Yanti menghampiri pria itu dengan setengah berlari, keduanya
berpelukan mesra seolah lupa jika keduanya tengah jadi tontonan orang yang berada
di terminal.
"Kangen
banget!!!" Ujar si pria sebelum mencubit mesra pipi Yanti, kemesraan yang
membuat Ningsih salah tingkah.
"Kamu
nggak nakal kan selama Aku pulang ?!" Tanya Yanti penuh selidik.
"Nakal
opo to Dek ?! Lagipula baru kali ini Aku bisa keluar, udah 3 hari ini Aku harus
standbay nungguin Bos Richard di kantor, nggak bisa kemana-mana Aku Dek."
Ucap Arif, sekilas dia melirik sosok Ningsih yang daritadi berdiri mematung
melihat kemesraan dirinya dengan Yanti.
"Sopo
ini Dek?" Tanya Arif.
"Oh iya
sampai lupa Aku Mas ! Kenalin ini Mbak Ningsih, dia yang akan menggantikan Susi
buat kerja di rumah. Mbak Ningih, kenalin ini Mas Arif, dia juga kerja di
tempat kita, jadi sopirnya Tuan Richard." Ucap Yanti memperkenalkan Arif,
Ningsih mengulurkan tangannya dan Arif menyambutnya dengan hangat.
"Ningsih."
"Aku Arif
Mbak." Kata Arif sambil tersenyum genit, senyuman yang mengundang cubitan
Yanti pada pinggangnya.
"Aduh !
Yo sakit to Dek !" Protes Arif.
"Matamu
itu yang sakit ! Awas kalo sampek macem-macem sama Mbak Ningsih tak potong
kontolmu!" Ancam Yanti, Ningsih cukup terkejut dengan apa yang didengarnya
dari mulut Yanti barusan karena itu sangat berbeda dengan sosok Yanti yang
dikenalnya belum lama ini, Yanti yang sopan dan penuh kelembutan.
"Ya
jangan dipotong to Dek, nanti nggak bisa dipake buat muasin Kamu lagi."
Rajuk Arif tanpa rasa malu.
"Halah gombal
mukiyo ! Ayo pulang !" Hardik Yanti. Ketiganya lalu berjalan menuju
sebuah van mewah yang dikendarai oleh Arif.
****
Ningsih dibuat
terpana ketika dia melihat bangunan rumah megah berpagar besi tinggi menjulang
hampir 3 meter. Dari sekian banyak bangunan rumah yang berada di sebuah kawasan
perumahan mewah ini, rumah milik majikan Yantilah yang paling besar, saking
besarnya mengingatkan Yanti pada luas lapangan bola di desanya dulu. Mobil yang ditumpanginya berhenti tepat di
depan pintu pagar, seorang pria berbadan tegap dengan pakaian safari gelap
membukakan pintu pagar itu, mobil kembali melaju pelan memasuki halaman rumah
itu.
"Itu Mas
Anwar Mbak, dia adalah petugas keamanan di rumah ini, biasanya dia bergantian
jaga dengan Pak Seno, hari ini mungkin Pak Seno dapat jam jaga malam."
Ujar Yanti menjelaskan, Ningsih hanya mengangguk perlahan, matanya masih
menjelajahi tiap sudut halaman rumah yang begitu luas terhampar jelas dari
balik jendela mobil.
Pohon palem
besar tumbuh gagah di beberapa titik hingga membawa kesan teduh. Tak lama mobil
berhenti di sebuah garasi besar yang berada tepat di samping sebuah bangunan
megah berlantai dua dengan ornamen modern Eropa. di dalam garasi sudah berjejer
rapi mobil-mobil mewah dengan berbagai merk terkenal, tak hanya itu juga
terdapat 4 buah motor gede yang teronggok gagah.
"Ini
sebenarnya rumah siapa ? Kok besar banget, kayak istana!" Tanya Ningsih
ketika sudah turun dari mobil.
"Ini
rumah Pak Alex Widjaya Mbak, itu loh pengusaha batu bara yang terkenal. Tau kan
? Sering masuk di berita kok ." Kata Yanti, Ningsih hanya menggelengkan
kepalanya, tanda jika dirinya baru mendengar nama itu sekarang.
"Sudah,
nanti Aku ceritain semuanya Mbak setelah masuk rumah." Ujar Yanti sembari
mengambil barang bawaanya dari dalam mobil.
"Mas Arif
! Tolong dibantuin dong bawa barang-barangku sama barangnya Mbak Ningsih ke
kamar, berat banget nih !" Teriak Arif yang masih berada di belakang
kemudi mobil.
"Dibawa
sendiri to Dek, Aku harus buru-buru kembali ke kantor ini, takut dimarahin Bos
Richard nanti !" Tolak Arif, Yanti langsung menghampiri pintu depan
kemudi, wajahnya bersungut tanda kemarahan.
"Kamu
lebih milih nggak dimarahin Koh Richard atau nggak aku kasih jatah malam ini ?!
Hmm?!" Ancam Yanti penuh percaya diri sambil membuka kancing bajunya,
gundukan payudaranya langsung terlihat.
"Heh ! Ya
jangan gitu to Dek ! Aku udah seminggu puasa ini loh !! Ya wis, ya wis !
Sini Aku turunin barang-barangmu !" Ujar Arif sambil bergegas membuka
pintu mobil dan mulai menurunkan barang bawaan Yanti.
"Ayo Mbak
kita masuk ke dalam, biar Mas Arif yang bawa barang-barang kita." Ucap
Yanti sambil menarik tangan Ningsih, wanita cantik itu sesaat menengok Arif
yang berusaha keras membawa tas-tas besar dari dalam mobil sambil mengumpat
seorang diri.
"Emang
nggak apa-apa Kita tinggalin Mas Arif ?" Tanya Ningsih.
"Tenang
aja Mbak, udah Aku ancam tadi dia. Hehehehe !" Seloroh Yanti santai.
Ketika pintu rumah terbuka, Ningsih kembali dibuat takjub ketika melihat ruang
tamu dengan furniture mewah sudah tersaji di hadapannya, jika tidak dicolek
oleh Yanti mungkin Ningsih masih berdiri melongo di depan pintu. Kemewahan
seperti ini mengingatkannya pada suasana di pendopo agung, tempat tinggal
Prakoso, tempat dimana dia pernah dibawa lari serta dikawini oleh jin jahat
itu.
"Sebelum
ke kamar, lebih baik Mbak Ningsih bertemu dengan Bu Ellen dulu, dia adalah
kepala pembantu di sini. Bu Ellen akan menjelaskan tugas yang harus dilakukan
selama menjadi pembantu di rumah ini." Jelas Yanti.
"Siapa
ini Yanti ?" Seorang wanita berusia 45 tahun tiba-tiba muncul dari lorong
belakang rumah. Wajahnya cukup cantik dengan kacamata minus menempel tepat di
wajahnya, sungguh jauh dari kesan jika dia sudah berusia 40 tahunan, pun
demikian pula dengan tubuhnya yang tinggi semampai dibalut maid dress mode
Eropa sebatas lutut membuatnya tampak begitu menggoda.
"Ini Mbak
Ningsih Bu, dia teman Saya dari kampung. Rencananya Mbak Ningsih mau ikut kerja
di sini, menggantikan Susi." Jawab Yanti memperkenalkan Ningsih pada Bu
Ellen.
"Kenalkan,
nama Saya Ningsih Bu." Lanjut Ningsih seraya menyalami Bu Ellen yang masih
memandanginya dari atas sampai bawah, nyaris tak ada yang tertinggal dari
tatapan tajam matanya nan dingin.
"Cantik
sekali temanmu Yanti, apa dia sebelumnya juga pernah bekerja sebagai pembantu
rumah tangga ?" Tanya Bu Ellen, masih dengan pandangan mata yang dingin
pada Ningsih.
"Saya
belum pernah bekerja jadi pembantu sebelumnya Bu, tapi Saya yakin bisa
mengerjakan pekerjaan rumah seperti memasak, mencuci, atau mungkin membersihkan
rumah." Jawab Ningsih.
"Hmmm,
Kamu sudah menikah Ningsih ?" Tanya Bu Ellen sekali lagi.
"Sudah
pernah Bu, tapi suami Saya meninggal hampir satu tahun yang lalu." Jawab
Ningsih.
"Janda
rupanya." Ucap Bu Ellen dingin dan terkesan sinis.
"Ya
sudah, mulai sekarang Kamu kerja dan tinggal di sini, untuk tugas-tugasmu biar
nanti Yanti yang jelaskan. Ingat, selama tinggal di sini, Kamu harus mau
mengikuti aturan dari keluarga besar Alex Widjaya, jika sampai Kamu
melanggarnya maka akan langsung dipecat tanpa pesangon sepeserpun." Ujar
Bu Ellen tegas.
"Kalau
boleh tau, aturan seperti apa yang harus Saya taati Bu ?" Tanya Ningsih.
"Pertama,
pembantu di sini memiliki seragam yang berganti setiap harinya, Kamu harus
memakainnya sesuai dengan jadwal. Nanti Yanti akan menjelaskan
detail-detailnya. Kedua, Jangan pernah memasukkan orang yang tidak dikenal ke
dalam rumah, apalagi sampai berbuat mesum di dalam kamar. Ketiga, Kamu harus
memberikan laporan tugas yang dikerjakan kepadaku setiap hari, tanpa
terkecuali. Keempat, apapun yang diminta oleh anggota keluarga Alex Widjaya
harus Kamu lakukan tanpa alasan apapun !" Ujar Bu Ellen, Ningsih menyimak
dengan seksama apa yang sedang dijelaskan oleh kepala pembantu itu.
"Untuk
detail tugas biar nanti Yanti yang akan menjelaskan, selama satu bulan ini Kamu
bekerja bersama Yanti. Kalau nanti dalam satu bulan pekerjaanmu bagus dan tidak
ada komplain dari anggota keluarga Alex Widjaya maka kamu boleh terus bekerja
di sini, ada yang perlu ditanyakan ?" Tanya Bu Ellen sambil membenarkan
letak kacamatanya. Ningsih hanya menggeleng.
"Bagus,
sekarang kalian berdua kembali ke kamar dan ganti baju dengan pakaian kerja
hari ini. " Perintah Bu Ellen, Yanti dan Ningsih langsung melangkah pergi
meninggalkan ruang tamu menuju bagian belakang rumah.
"Jangan
takut Mbak, Bu Ellen memang seperti itu orangnya, tegas dan terlihat sinis,
tapi aslinya orangnya baik kok." Ujar Yanti di sela langkah kakinya menuju
belakang rumah, Ningsih hanya tersenyum menanggapinya, dia merasa sikap Bu
Ellen tadi tak lebih menyakitkan dibanding sikap warga desa yang memberikan
cacian serta makian beberapa hari lalu.
****
Ningsih
melewati mini bar mewah sebelum akhirnya sampai di ruang dapur. Di sana
sudah ada dua wanita lain berpakaian putih-putih layaknya seorang koki di
sebuah hotel bintang 5. Keduanya tersenyum menyapa Yanti dan Ningsih. Ketika
pintu dapur terbuka, di belakang bangunan rumah utama terdapat satu bangunan
lagi, bertingkat dua dengan cat biru laut, disamping bangunan itu terdapat satu
buah lapangan tenis yang terkesan sudah lama tak pernah digunakan.
"Itu
kamar kita Mbak, yang di lantai dua." Ucap Yanti sambil menujuk bangunan
paling atas. Ningsih melangkah mengikuti kaki Yanti yang bergerak lincah menuju
bangunan bertingkat.
"Bangunan
sebesar ini cuma kita berdua yang tinggal di sini?" Tanya Ningsih ketika
sudah masuk ke dalam bangunan bertingkat.
"Ya nggak
mungkin to Mbak, di atas ada 3 kamar itu khusus untuk pembantu rumah seperti
kita Mbak. Sementara di lantai satu ada 2 kamar, biasanya dipakai oleh Mas Arif
dan Pak Seno untuk beristirahat kalau mereka tidak sempat pulang ke
rumah." Jelas Yanti.
"Mbak
Ningsih mau pakai kamar sendiri atau mau sekamar dengan Aku?"
"Sama
kamu ajalah, biar ada teman ngobrol, lagipula Aku masih baru di sini, takut
kalau tidur sendirian."
"Oke siap
bos ! Hehehehe." Ujar Yanti sebelum kembali melanjutkan langkahnya menuju
lantai dua. Tak jauh dari ujung tangga Yanti menghentikan langkahnya kemudian
membuka sebuah pintu kamar. Di depan pintu kamar sudah menumpuk barang-barang
bawaannya beserta tas koper besar milik Ningsih. Rupanya Arif sudah menjalankan
perintah Yanti untuk mengantarnya sampai ke depan pintu kamar.
"Ayo
masuk Mbak, ini kamar kita."
"Besar
juga ya kamarnya." Ucap Ningsih ketika melihat ukuran kamar yang cukup
luas, dengan ranjang luas ukuran Kingbed serta kamar mandi dalam dan
sebuah AC besar diujung ruangan.
"Ya
lumayanlah Mbak." Ujar Yanti sambil membawa masuk barang-barang bawaanya.
"Oh ya
Yant, tadi Bu Ellen bilang kalau Aku harus menuruti semua perintah seluruh
anggota keluarga Alex Widjaya, memangnya ada berapa orang yang tinggal di sini
? Pasti banyak banget ya? " Tanya Ningsih sambil merebahkan punggungnya di
atas tempat tidur.
"Cuma 2
orang kok Mbak . Koh Richard dan Koh Steven, keduanya adalah anak dari Pak
Alex. Koh Richard yang paling tua dan yang paling ganteng, kalau Koh Steven
anak paling bungsu, masih SMA, ganteng juga sih tapi anaknya suka usil Mbak !
Beda banget sama Koh Richard yang pendiam dan cool banget ! Kayak bintang film
Korea Mbak orangnya !!!" Cerocos Yanti menjelaskan penuh antusias.
“Usil ? Usil
kayak gimana maksudmu ?” TanyaNingsih.
“Ya usil biasa
kayak anak kecil gitu Mbak, pokoknya nanti Mbak Ningsih tau sendiri kalo udah
ketemu sama Koh Steven sendiri.”
"Pak Alex
nggak tinggal di sini ? " Tanya Ningsih masih penasaran.
"Pak Alex
datang kesini paling 1 bulan sekali Mbak, itupun nggak lama paling cuma 1-2
hari terus pergi lagi buat ngurusin kerajaan bisnisnya yang ada dimana-mana.
Makanya, untuk mengurus rumah sebesar ini diperlukan banyak pekerja, orang kaya
kalau mau buang duit sampai bingung kali ya Mbak ? Hehehe." Lanjut Yanti,
Ningsih hanya tersenyum mendengar penjelasan dari Yanti barusan.
“Terus
istrinya Pak Alex?”
“Pak Alex itu
duda Mbak, tapi pacarnya banyak banget, suka gonta ganti, kan sering muncul di
berita gossip Mbak. Alex Widajaya duda kaya sedang dekat dengan artis A atau
pengusaha B, terkenal banget pokoknya majikan kit aitu Mbak.” Cerocos Yanti,
Ningsih hanya manggut-manggut mendengarnya.
"Oh ya
Mbak, ini seragam kita." Kata Yanti setelah membuka lemari baju dan
menyerahkan beberapa potong pakaian sexy dengan berbagai tema, mulai dari
pakaian khas suster, kebaya tradisional, hingga model maid Eropa tepat ke
hadapan Ningsih.
"Hah ?!
Kita kerja pakai ini ?" Pekik Ningsih tak percaya seraya menunjukkan
sepotong rok mini dengan model sama persis dengan seperti yang dikenakan oleh
Bu Haryati tadi.
"Iya
Mbak, seperti yang dibilang oleh Bu Ellen, Kita harus memakai ini. Awalnya aku
dulu juga risih tapi lama kelamaan juga biasa Mbak. Satu lagi, ini adalah
permintaan khusus dari Koh Steven." Ujar Yanti santai.
"Tenang
Mbak, ini cuma pakaian kok, lagipula kalo Mbak Ningsih pakai ini pasti makin
sexy dan menggoda. Awas aja kalo Mas arif sampai jelalatan matanya pas lihat
Mbak Ningsih, bisa tak potong kontolnya ! Huft!" Rajuk Yanti membayangkan
muka mesum Arif seperti yang ditunjukkannya ketika pertama kali bertemu dengan
Ningsih di terminal tadi.
"Hmm...Ya
sudahlah biar aku coba dulu. Benar katamu Yant, orang kaya suka aneh-aneh,
mungkin mereka bingung buat ngabisin duit." Gerutu Ningsih .
"Nggak
apa-apa Mbak, gaji yang kita dapat sepadan dengan apa yang kita pakai
kok." Balas Yanti tanpa beban.
Posting Komentar
0 Komentar