ELEGI BIRAHI
SINOPSIS:
“Dodi… Please…
Jangan tinggalkan aku,” kata Sintia. Air mata membasahi pipinya. Dodi membuang
muka. Tidak mau melihat tangisan Sintia. Tidak peduli. Tidak bersimpati.
“Keputusanku
sudah bulat. Aku mau putus.” Kata Dodi.
“Tapi aku…
Sudah menyerahkan segalanya ke kamu, Dodi. Bahkan kegadisanku.. Sudah
kuserahkan… Kepadamu,” Kedua tangan Sintia mencengkram kerah baju Dodi sekuat
tenaga.
“Tidak…”
Tangan kiri Dodi dengan mudah menepis cengkramannya.
“Hubungan kita
sudah Selesai!! End!!” Bentak Dodi kemudian pergi begitu saja. Kedua mata
Sintia menatap Dodi yang mulai menjauh. Semakin jauh. Semakin menghilang. Sintia
bersimpuh. Tubuhnya bergetar hebat kemudian berteriak,
“Dodi…..
Please…. Jangan tinggalkan aku, Sayang… Please…”
***
Waktu sudah
dipilih. Ayah dan ibunya sudah berangkat kerja. Rumah sudah kosong. Pesan
perpisahan telah dibuat. Bagi Ayahnya. Bagi Ibunya. Bagi Dodi. Tali tambang
telah menggantung. Kursi kayu telah siap. Sintia tinggal menghidupkan aplikasi
kamera instagram, memilih posisi yang pas, lalu naik ke atas kursi, dan
menggantung diri sendiri. Sintia ingin bunuh dirinya ditayangkan secara live.
Di usia yang
tahun ini memasuki 20 tahun, menayangkan bunuh diri secara live adalah sebuah
pilihan. Yaitu, untuk ditonton. Disaksikan. Dihargai. Dan diakui eksistensi
cintanya oleh masyarakat luas.
“Dodi..
Sayang,” kata Sintia menangis menghadap kamera.
“Aku mencintaimu.” Sintia naik ke kursi. Tali
tambang dikalungkan ke leher. Tekadnya sudah bulat. Hidupnya harus segera
diakhiri. Padahal dia baru berumur 20 tahun.
“Selamat
tinggal, Dodi! Selamat tinggal semuanya,” Sintia melambaikan salam perpisahan.
Kakinya
menendang kursi. Seketika jeratan tambang menjerat leher. Mengurangi secara
drastis asupan oksigen ke dalam tubuh. Membuat udara tidak bisa lagi dihirup
apalagi dihembuskan. Menghilangkan warna kehidupan di wajah. Di Kulit. Di kaki.
Di seluruh tubuh. Bahkan bukan hanya itu, tarikan gravitasi bumi memaksa kedua
kakinya menendang-nendang di udara. Menghadirkan kesakitan teramat sangat.
Semua siksaan
dan rasa sakit datang begitu cepat. Hanya dalam hitungan detik tubuh Sintia
berubah dari memancarkan aura kehidupan menjadi meronta-ronta. Tangannya
mencakar-cakar leher sendiri sambil menyongsong kematian.
Bersamaan
dengan itu, jiwa Sintia yang sebelumnya nyaman bersemayam di dalam tubuh juga
mulai bergolak, berontak, memukul-mukul. Jiwanya kaget diperlakukan seperti
ini. Jiwa sangat berbeda dari tubuh fisik. Jiwa sangat halus. Tidak bisa dirasa
oleh panca indera. Tidak bisa dikendalikan. Sebelumnya ada dua elemen dalam
tubuh yang mampu mengendalikan jiwa. Namun sayang keduanya telah dihilangkan
oleh Sintia dengan menggantung diri.
***
Seketika
seluruh tubuh Sintia merasakan sakit akibat jeratan tambang di leher. Mulai
dari siksaan di otot-otot kaki, rasa panas pada paru-paru, tekanan dramatis di
sekujur pembuluh darah, panas membara di kedua mata, sampai wajah yang berubah
warna menjadi keunguan.
Namun demikian
di waktu yang sama, Sintia juga merasakan jenis siksaan berbeda, siksaan yang
belum pernah dia rasakan selama hidup , siksaan yang berasal dari hilangnya
tarikan dan hembusan nafas akibat leher terjerat tali tambang.
Selama ini,
ada dua elemen penting dalam diri Sintia yang tidak pernah disadari apalagi
disyukuri : pertama adalah tarikan nafas. Berfungsi menjadi pencegah jiwa untuk
melakukan perjalanan melintasi ruang di luar dirinya sendiri. Kedua adalah
hembusan nafas. Berfungsi mencegah jiwa melintasi dimensi waktu yang berbeda.
Kedua bentuk
aliran nafas ini telah dihentikan secara paksa. Itu artinya walaupun hanya
memiliki rentang waktu sangat singkat sebelum kematian tiba, jiwa Sintia tidak
lagi memiliki penghalang untuk mendobrak batasan ruang dan melampaui batasan
waktu. Jiwa bisa terbang, melesat, memberontak, memaksa Sintia mengalami
kondisi pisah raga : Keluar dari tubuh asli dalam kondisi masih meronta-ronta,
lalu memindahkan kesadaran Sintia dalam relatifitas waktu yang berbeda. Masuk
ke dalam tubuh lain. Di ruang berbeda. Bukan di tubuh asli Sintia. Namun di
tubuh gadis lain. Seorang gadis cantik. Tidak kalah cantik dari Sintia. Tapi
bukan Sintia.
Umur gadis ini
sebaya dengannya. Masih di awal dua puluhan. Berkulit kuning langsat seperti
wanita Sunda. Berwajah cantik. Bertubuh molek dengan payudara berisi. Memiliki
pantat menonjol dan kaki yang jenjang.
Si gadis
sekarang sedang duduk di tengah ranjang kecil berwarna putih. Mengenakan
lingerie model baby doll berwarna merah menyala dan tengah dikelilingi oleh
tiga orang laki-laki. Satu sedang duduk di belakangnya ; laki-laki berperawakan
kurus, Mengenakan kaos putih. Satu sedang duduk di depannya ; laki-laki
berkulit putih, berperut buncit, juga mengenakan kaos berwarna putih. Satu lagi
; laki-laki berkumis, sedang berdiri di pinggir ranjang kecil, mengenakan kaos
singlet berwarna abu-abu, sedang memegang ponsel dan memvideokan aktifitas
mereka.
“Gitu dong
sayang, kamu akhirnya mau mengikuti kemauan abang,” kata si kurus. Sambil
bicara, lengan si kurus memeluk tubuh gadis yang Sintia masuki tubuhnya sambil
mulai menjamah kedua bukit payudaranya.
“Ahhhhh!!”
Sintia mendesah. Walaupun bukan tubuh asli, dia bereaksi akibat dipeluk.
Payudaranya menegang akibat dijamah.
“Karena Lu
udah mau ikut apa kata yayang Lu ini, Cindy,” kata si gemuk yang duduk di
depannya.
“Berarti Lu
secara resmi jadi lonte gue. Sebentar lagi status Lu sama kayak lonte-lonte di
luar sana. Pernah gue rasain memeknya.” Sambil berkata dengan nada melecehkan,
tangan kiri si gemuk memegang kepala si gadis, lalu memaksa mencium bibirnya.
“Udah gak usah
banyak bacot Lu berdua,” kata si kumis bersinglet abu-abu sambil berdiri
memegang ponsel.
“Garap tuh
cewe, cepet! Udah pegel tangan gue mau ngevideoin aksi ngentot Lu-Lu pade.”
“Iya, sorry,
Bang. Oke langsung action aja, kita.”
Diperintah si
kumis, si kurus bergerak cepat merebahkan tubuh si gadis hingga telentang di
ranjang. Si gemuk juga bergerak tak kalah cepat, setelah si gadis terlentang di
ranjang dia sigap menyingkap bagian bawah lingerie baby doll merah, dimana
Sintia sudah tidak mengenakan celana dalam dan area kewanitaannya bersih tanpa
bulu sama sekali.
“Lihat, tuh!
keren gak memek yayank gue!” Kata si kurus penuh kebanggaan kepada si gemuk.
“Wiuuuuhhhhhhh,
memek cewe Lu memang high quality, Bro,” jawab si gemuk.
“ Gue duluan
ngicip, ya?”
“Babi, Lu!”
Umpat Si Kurus.
“Gue cape-cape
nyuruh dia potong tuh jembut. Eh, Lu, mau potong kompas lagi!”
“Lagian Lu kan
udah nyobain tiap hari nih memek. Masa Lu gak mau kasih gue kesempatan pertama?
Dasar anjing, Lu!” Si gemuk balas mengumpat.
“Udah! Memang
ta’i Lu berdua!” Si Kumis membentak.
“Gue disini yang
nentuin siapa duluan. Ngerti, Lu-Lu pade?” Dibentak si kumis, mereka berdua
mengangguk terpaksa. “Ya udah gimana abang aja, lah. Nurut kita!” Jawab mereka.
Si kumis kemudian berkata,
“Keputusan
gua, Lu belakangan!,” katanya pada si kurus.
“ Lu kan cowonya,
Lu kedua setelah dia!”
“Dan Lu, ta’i”
Tunjuk si Kumis pada si gemuk.
“Lu duluan!”
“Yuhuuuuuiii,”
si gemuk girang.
“Videoin gue
yang bener, Om!”
“Dasar tai
babi, Lu!” Maki si kumis.
Posisi si
gadis yang sudah telentang tanpa celana dalam memudahkan si gemuk untuk
langsung mengeksplore area kewanitannnya.
“Lu wangi
amat, sih, Cindy!! Gak nyangka gue bisa ngerasain memek sewangi ini,” kata si
Gemuk.
“Cepetan, Lu!
Jangan banyak bacot!” Bentak Si Kumis.
“Oke, Om.”
Si gemuk mulai
menjilati area kewanitaan tanpa bulu Sintia. Jilatan hangat si gemuk segera
terasa di pori-pori kulit menghadirkan sensasi lembut lidah tak bertulang
menggesek-gesek organ intim wanita paling sensitif.
“Uuuuuhhhhh,”
desah Sintia.
“Aouuuhh….
uuuuhhh… Sssssssss.”
“Nah, pinter
juga Lu ngoralnya!” puji si kumis kepada si gemuk.
“Sekarang Lu jilat terus tuh memek sampai
becek. Dan Lu, jangan diem aja, Lu!,” tunjuk si kumis kepada si kurus,
“Lu garap tuh
susu sampai keluar!” Si kurus menurut. Tubuh si kurus mendekati si gadis kemudian
condong ke arah payudara, dan mulai menghisap bergantian kedua puting yang
mengacung.
“Aaaaahh….Aaaaaaahhhhh…..
Aaaaaaaa.”
Desahan Sintia
seketika menjadi ketika diserang dari dua arah. Dari bagian bawah tubuh, si
gemuk sangat rakus melakukan oral. Dari bagian atas, si kurus asyik memeras
payudaranya kemudian menghisap dalam-dalam, berharap memperoleh susu alami
bergizi tinggi.
“Oke, cukup!”
Perintah si kumis.
“Sesuai
perintah gue tadi Lu gemuk… Sekarang masukin senjata Lu ke memeknya! Dan Lu
kurus…. Punya Lu masukin aja ke mulut cewe Lu!”
Posting Komentar
0 Komentar