ISTRIKU DAN PRIA LAIN

 


GENRE : DRAMA EROTIC
JUMLAH HALAMAN : 245 HALAMAN
HARGA : Rp 30.000


PART 1

"Benar di sini Mas?"

"Kok sepi banget ya?"

Laras segera turun dari boncengan motorku, tanpa melepas helm yang dikenakannya, istriku itu mendekati sebuah pagar besi yang sudah berkarat setinggi dada orang dewasa. Aku memakirkan sepeda motorku tak jauh dari pagar yang tertutup itu lalu mendekati Laras. Kami berdua melihat deretan kamar petak yang tertata rapi memanjang ke belakang. Semua kamar bercat seragam putih pucat dengan ornamen gambar bunga di setiap bagian pintunya. Benar kata Laras, suasananya sangat sepi padahal baru jam 11 siang. Aku mencoba kembali melongo ke dalam pagar, berharap menemukan keberadaan seseorang.

"Bener di sini kok, nih liat iklannya. Alamatnya udah bener, nomor 17C." Aku memperlihatkan layar ponselku pada Laras, menunjukkan sebuah iklan rumah kontrakan yang Aku dapat dari facebook beberapa hari lalu.

"Terus gimana ini Mas? Emang nggak ada nomor yang bisa dihubungi?" Tanya Laras.

"Bentar, Aku telepon dulu ya orangnya." Kataku sambil mencari nomor telepon pengiklan kontrakan.

"Selamat siang? Mau cari siapa Dek?"

Belum sempat Aku melakukan panggilan, tiba-tiba kami dikejutkan oleh suara seorang pria yang muncul dari arah belakang kami. Seorang pria berusia sekitar 50 tahunan, bertubuh tambun dengan perut membuncit hanya mengenakan celana pendek dan kaos singlet warna putih yang sudah memudar berjalan mendekat ke arahku.

"Permisi Pak, Kami mau lihat kamar kontrakan. Apa Bapak kenal sama yang jaga?" Ujarku.

"Oh, iya..iya. Ayo mari masuk. Kenalkan, saya Jasim, kebetulan saya yang punya tempat ini." Pria dengan rambut tipis dan cenderung botak itu memperkenalkan diri, menjabat tanganku dan Laras.

"Saya Danar, ini istri Saya Laras." Ujarku.

"Ayo masuk dulu Mas, sepeda motornya dimasukin juga sekalian."

"Baik Pak."

Pak Jasim membuka pintu pagar, mempersilahkan Laras untuk masuk terlebih dahulu. Sekilas aku bisa melihat pria itu memandangi bagian belakang tubuh istriku dengan pandangan berbeda, jenis pandangan yang sering Aku jumpai pada mata pria-pria lain saat menatap kemolekan tubuh Laras. Ah, rupanya sama saja. Dasar bandot tua, nggak bisa banget liat body bohay dikit aja.

Aku membawa masuk sepeda motorku, memarkirkannya di bagian depan sebuah kamar, tempat dimana Pak Jasim sedang membuka pintunya. Laras menyerahkan helm yang sedari tadi dia kenakan, istriku yang cantik ini tampak begitu exited karena setelah berminggu-minggu kami mencari tempat tinggal baru akhirnya hari ini bisa terlaksana juga.

Aku dan Laras sudah menikah hampir 2 tahun ini. Selama menikah kami berdua tinggal di rumah mertuaku, orang tua Laras. Benar kata orang jika dalam satu rumah akan sulit jika hidup lebih dari satu keluarga. Hal itulah yang terjadi pada rumah tanggaku dan Laras, awalnya mungkin hanya konfilk-konflik kecil, namun kelamaan konflik itu mulai merembet ke permasalahan intern rumah tanggaku. Mertuaku, khususnya Ibu Mertuaku, mulai sering ikut campur kepentingan rumah tanggaku. Bahkan tak jarang dia mulai menyinggung kemampuanku dalam hal mencukupi kebutuhan Laras.

Sejak awal pacaran Aku sudah mencium gelagat ketidaksukaan Ibu Laras terhadapku, salah satu penyebabnya adalah pekerjaanku yang hanya sebagai pekerja pabrik biasa. Apalagi waktu itu yang mendekati Laras bukan hanya Aku saja, banyak pria yang lebih mapan secara ekonomi ikut mendekati istriku ini meskipun saat itu statusnya adalah sudah menjadi pacarku. Namun begitu Laras tetap teguh pada pendiriannya dan memilihku sebagai pendamping hidupnya meskipun tentangan dari Ibu serta Ayahnya begitu besar.

Tak mau keharmonisan rumah tanggaku semakin terganggu, satu bulan yang lalu Aku memberanikan diri untuk meminjam uang di koperasi karyawan. Tujuanku adalah agar memiliki cukup dana untuk setidaknya membayar kontrakan rumah sendiri. Rencanaku ini diamini sepenuhnya oleh Laras, dia sendiripun merasa risih karena harus mendengar omelan Ibunya tentang Aku hampir setiap hari. Meskipun keputusan untuk meminjam uang tersebut memaksaku untuk bekerja lebih keras lagi tapi itu harga yang sepadan untuk menyelamatkan biduk rumah tanggaku bersama Laras yang baru seumur jagung. Maka disinilah kami berdua hari ini.

"Ya kayak gini Mas ruangannya, kamarnya cuma ada satu, kamar mandinya juga satu. Ini dapurnya, di belakang ada dapur bersama juga biasanya penghuni di sini patungan untuk beli gas." Ujar Pak Jasim menunjukkan detail kontrakan yang akan kami sewa. Laras mengecek kamar mandi terlebih dahulu, mengecek air dan segala tetek bengeknya.

"Per bulannya berapa ya Pak?" Tanyaku.

"Per bulannya 800 ribu, untuk pengontrak baru langsung bayar untuk 6 bulan ke depan Mas." Jelas Pak Jasim, kembali dia melirik tubuh istriku yang baru saja keluar dari dalam kamar mandi.

"Gimana? Lancar airnya?" Tanyaku pada Laras.

"Lancar kok Mas." Sahut Laras sebelum beralih ke ruangan tempat tidur. Mata Pak Jasim kembali mengekor, menatap jalang tubuh istriku yang hari ini mengenakan jins ketat dan tshirt tipis dipadu sweter tenun.

"Di sini penghuninya pasangan suami istri semua Pak?" Tanyaku memecah konsentrasi Pak jasim yang tanpa malu-malu masih saja melihat tubuh istriku dari belakang.

"Oh nggak semua Mas." Pak Jasim agak terkaget menjawab pertanyaanku.

"Ada yang single juga kok, tapi hampir semuanya pekerja." Lanjutnya menjelaskan.

"Masnya kerja di mana?" Tanya Pak Jasim kemudian.

"Saya kerja di pabrik Texo Pak."

"Oh yang deket kantor pengadilan itu ya?"

"Iya bener Pak." Jawabku.

"Dulu di sini juga ada yang kerja di situ tapi sudah hampir setahun lebih kayaknya udah pindah."

Laras keluar dari kamar tidur, dari raut wajahnya Aku bisa menerka jika dia cocok dengan kontrakan ini. Meskipun Aku kurang menyukai sikap Pak Jasim yang tanpa malu-malu menunjukkan kegenitannya tapi ini tak lebih baik dibanding harus tetap tinggal bersama mertuaku. Laras berjalan mendekatiku, mengangguk perlahan tanda jika dia setuju untuk pindah ke sini.

"Baik Pak kami ambil untuk 6 bulan dulu, pembayarannya gimana ya?" Kataku.

"Ah baik, pembayarannya bisa hari ini, bisa juga nanti kalo Mas udah mulai masuk. Nanti Mas juga perlu ngasih fotocopy KTP sama fotocopy surat nikah, untuk administrasi lingkungan." Jelas Pak Jasim.

"Baik kalo begitu kami DP dulu Pak, sisanya besok pas kami sudah masuk ke sini." Ujarku.

"Ah, boleh-boleh. Sekarang mari ke rumah Saya dulu, sekalian Saya kasih nota pembayarannya." Balas Pak Jasim.

***

1 HARI KEMUDIAN

Aku menyeka keringat yang membasahi kening serta wajahku, di dapur Laras masih merapikan beberapa peralatan memasak. Setelah memastikan tempat tidur serta beberapa perabot lain sudah masuk ke dalam rumah Aku memilih untuk beristirahat di depan kontrakan sambil menghisap sebatang rokok. Hari ini adalah hari pertama kami menempati tempat tinggal baru, mungkin juga cerita baru setelah setahun terakhir kami berdua tinggal bersama orang tua Laras. Meskipun sederhana, Aku tetap merasa bahagia, setidaknya Aku tidak lagi canggung untuk melakukan apapun bersama Laras karena berada di rumah sendiri.

Teringat dulu waktu masih tinggal bersama orang tua Laras, untuk berhubungan badanpun Aku harus memilih waktu yang tepat, tidak bisa seenaknya. Belum lagi Laras adalah tipe wanita yang cukup berisik ketika berhubungan badan, desahan serta teriakannya tak jarang mengundang ketukan pintu dari luar diiringi semprotan dari Ibu mertuaku. Maka bayangkan saja bagaimana ketidaknyamananku selama ini tinggal di sana.

"Ini Mas minum dulu." Laras duduk di sampingku sembari menyerahkan segelas air putih.

"Terima kasih Dek." Kataku sebelum meneguk habis air putih itu, segar sekali.

"Kamu nanti berangkat kerja jam berapa Mas?"

"Ya seperti biasa Dek, jam 5 sore mungkin. Kayaknya sampai minggu depan Aku bakal dapat shift sore terus." Kataku.

"Oh gitu, jangan capek-capek ya Mas."

"Iya Dek, tenang aja. Gimana? Udah beres semua?"

"Udah kok Mas, paling tinggal beresin pakaian aja. Ntar malem aja ya, biar Aku ada kegiatan pas Kamu tinggal kerja."

"Iya Dek, selonggarnya Kamu aja." Ujarku sambil tersenyum.

"Mas..."

"Ya Dek..?" Laras mengapit lenganku, tubuhnya merapat pada tubuhku.

"Kamu nggak pengen? Mumpung sekarang kita udah tinggal sendiri."

Aku tau apa maksud perkataan Laras, maka tanpa banyak bicara Aku langsung mematikan rokokku dan bergegas menarik Laras masuk ke dalam rumah kontrakan kami. Siang ini kami bercinta begitu liar, Aku bahkan tak peduli lagi dengan erangan serta desahan Laras yang melengking tinggi. Biasanya Aku selalu sigap menutup mulutnya saat dia mulai berteriak, agar tidak terdengar oleh Ayah atau Ibu mertuaku, tapi siang ini Aku biarkan Laras bebas mengekspresikan dirinya saat bersetubuh denganku. Siang ini kami benar-benar seperti pengantin baru yang pertama kalinya bercinta. Berbagai macam gaya kami coba tanpa khawatir akan menimbulkan kegaduhan, tempat tinggal baru sepertinya jadi awal cerita baru kami pula. Semoga saja begitu.

***

LARAS POV

Selepas Mas Danar berangkat kerja, Aku kembali menyibukkan diri untuk membereskan beberapa potong pakaian dan meletakkannya di dalam lemari kayu berukuran sedang milik kami. Pindah ke tempat tinggal baru artinya Aku harus mulai beradaptasi dengan lingkungan baru juga. Seharusnya ini bukan masalah besar bagiku, apalagi mengingat selama ini Aku dan Mas Danar harus tinggal bersama orang tuaku. Mengenal lingkungan baru tak akan lebih sulit dibanding menghadapi komplain Ibuku yang hampir setiap hari terpaksa Aku dengarkan. Karena hal inilah kami memutuskan untuk mengambil pinjaman di koperasi perusahaan tempat suamiku bekerja. Dengan uang pinjaman itu, kami bisa mencari tempat tinggal baru dan hidup terpisah dari kedua orang tuaku.

Rumah kontrakanku terlihat seperti layaknya kamar kos, ruangannya tak cukup besar untuk disebut sebagai rumah. Sebidang ruang tamu kecil ditambah satu kamar tidur dan satu kamar mandi yang berdempetan langsung dengan dapur cukup memberi gambaran jika tempat tinggalku saat ini sangat jauh untuk dikatakan sebagai layak huni bagi pasangan suami istri. Namun sekali lagi, ini jauh lebih baik dibanding tetap tinggal bersama orang tuaku. Ada 8 buah bangunan serupa yang berdiri berjajar, empat bangunan di tiap sisinya. Dari 8 bangunan ini hanya tersisa 2 bangunan yang tak berpenghuni, sisanya sudah terisi oleh para penyewa.

Aku sebenarnya kasihan dengan Mas Danar, dia harus bekerja lebih keras lagi untuk menambah penghasilan karena mulai bulan depan kami mesti membayar cicilan hutang di koperasi demi untuk bisa mendapatkan tempat tinggal sendiri. Tapi dia meyakinkanku jika resiko ini sepadan dengan ketenangan hidup yang akan kami terima dibanding terus bertahan dan tetap tinggal bersama kedua orang tuaku. Pada akhirnya Aku hanya bisa mendoakan saja, semoga keputusan kami ini akan berbuah manis.

"Aaaahhh...Aahhhh..Mentokin sayang!! Mentokin!!!"

DUG

DUG

DUG

"Aaahh…Teruss sayaaangg...Genjotin yang kenceng!!!"

Aku terhenyak beberapa saat karena tembok kamarku berdentum beberapa kali diiringi suara desahan wanita. Cukup keras terdengar. Linda, Aku mengingat betul siapa nama penghuni tepat di samping rumahku ini. Siang tadi wanita bertubuh cubby dengan rambut dicat pirang itu memperkenalkan dirinya padaku. Usianya mungkin sekitar 22 tahun, dia mengaku bekerja sebagai SPG rokok dan tinggal sendirian di sini. Kesan awal yang diberikannya padaku saat berkenalan, Linda adalah tipe wanita yang genit, tak hanya dari penampilannya yang sangat seksi tapi juga dari cara bicara dan sikapnya. Beruntung tadi Mas Danar hanya sekilas saja menemui wanita itu, jadi Aku tak sampai melihat reaksi suamiku saat menyaksikan tubuh semok nan bohai milik Linda.

DUG

DUG

DUG

Tembok kamarku kembali berdentum, kali ini suaranya jauh lebih keras dibanding sebelumnya. Bahkan desahan Linda pun demikian, bukan desahan lagi sepertinya, tapi lebih tepat disebut dengan teriakan. Suaranya bersahutan dengan suara berat seorang pria, itu artinya dia di dalam kontrakannya tak seorang diri. Lalu dia bersama siapa? Seharusnya ini bukan menjadi urusanku, tapi entah kenapa suara desahan Linda dan pria yang sedang bersama dirinya membuat birahiku lama kelamaan menjadi tergelitik. Siang tadi Aku dan Mas Danar memang sudah bersetubuh tapi itu sama sekali tak cukup untukku. Apalagi suamiku itu bukan tipe pria yang ahli soal sex, gaya mainnya monoton, minim eksplorasi, dan lebih parahnya Mas Danar sejak dulu tak pernah bisa membuatku orgasme.

Aku mendekatkan telinga ke sisi tembok, lenguhan manja serta desahan binal Linda terdengar makin jelas. Sungguh ini membuat bulu kudukku meremang, membayangkan Linda tengah digenjot secara kasar dan keras oleh lawan mainnya. Lambat laun alam bawah sadarku mulai membayangkan jika Aku berada di posisi tetangga kontrakanku itu. Disetubuhi secara brutal hingga berteriak keenakan seperti ini adalah salah satu fantasiku, sebuah keinginan yang entah kapan akan bisa dipenuhi oleh Mas Danar.

Sambil terus mendengar desahan Linda dan pasangan mesumnya, perlahan satu tanganku meremasi payudaraku sendiri yang masih terbungkus kain daster. Aku menyandarkan punggungku di sisi luar tembok kamar, memposisikan tubuhku senyaman mungkin sambil perlahan membuka kedua pahaku hingga mengangkang. Selangkanganku terasa lembab, nyaris basah.

Di balik tembok persetubuhan Linda dengan lawan mainnya makin panas, tak jarang Aku bisa mendengar tetangga kontrakanku itu sampai mengumpat dengan kata-kata kasar. Aku pernah mempraktekannya dulu saat bercinta dengan Mas Danar, bukannya makin bersemangat, suamiku itu justru jadi badmood dan enggan melanjutkan persetubuhan. Tidak sopan katanya. Padahal umpatan dan makian saat bercinta membuat birahiku semakin membara, tapi sekali lagi Mas Danar tak pernah memahami hal seperti itu. Baginya hubungan suami istri adalah hubungan yang sakral dan suci, maka umpatan serta makian tak layak diikutsertakan di dalam kegiatan itu. Kolot dan monoton!

Tak puas hanya menjamah bagian dada saja, satu tanganku mulai menjalar ke bawah. Tentu saja yang Aku sasar adalah bagian selangkangan yang makin lama terasa begitu lembab menjurus basah. Sedikit menarik pantatku ke atas, Aku segera melepas celana dalamku. Vagina yang ditumbuhi bulu-bulu tipis nan rapi langsung terlihat jelas. Ujung jariku mulai menyentuh permukaan vagina, menggeseknya secara perlahan, naik turun. Gesekan demi gesekan jariku dengan diiringi lenguhan Linda di seberang kamar membuat khayalan nakalku terbang tinggi.

Bayangan disetubuhi seperti yang tengah dialami oleh Linda saat ini memenuhi tiap jengkal isi kepalaku. Aku horny! Benar-benar horny! Badanku meremang hebat, malah cenderung terasa hangat. Maka segera Aku melepas dasterku hingga telanjang bulat sebelum kembali melanjutkan kegiatan masturbasiku.

"Eeehhmmmmm...."

Desis lirih terdengar dari mulutku ketika Aku paksakan satu ruas jari telunjukku masuk ke dalam liang vaginaku. Tak sebesar penis Mas Danar memang, tapi itu sudah cukup mengobati rasa gatal di dalam rahimku. Dengan kedua paha mengangkang lebar, pelan tapi pasti Aku gerakkan jariku keluar masuk, mengocok bagian dalam vagina. Sementara ujung bagian jempolku Aku gunakan untuk menggesek kelentit yang terasa makin keras.

"Oouucchhhh......"

Aku melenguh panjang, suara dari kamar Linda masih terdengar sesekali diiringi teriakan melengking dari wanita itu. Aku membayangkan saat ini mungkin dia sedang digenjot begitu keras oleh pasangannya dari atas. Dari suara tumbukan badan keduanya mungkin saja apa yang Aku bayangkan saat ini ada benarnya. Satu jari rupanya tak cukup buat memenuhi kekalutan birahiku, maka Aku masukkan ruas jari tengah untuk menemani jari telunjukku di dalam liang vagina. Aku menambah kecepatan kocokan, sementara satu tanganku yang lain meremas makin keras payudaraku secara bergantian, sesekali Aku tak sungkan untuk menarik paksa putingku yang sudah sangat keras.

"Ouucchhhh! Pak! Jangan di dalem lagi! Aaachh! Jangan buang di dalem Pak! Aaach!!"

"Haaahhh!! Haahhh!! Kenapa sayang? Bukannya kamu suka kalo Bapak keluarin di dalem?"

"Jangan malam ini Pak! Aaacchhh! Aku lagi subur!"

"AARGGGHHTTTT!!!"

Percakapan antara Linda dengan pasangannya terdengar cukup jelas. Aku sempat mengrenyitkan dahi kenapa Linda menyebut pasangannya dengan panggilan Pak? Apakah mereka berdua terpaut usia yang cukup jauh? Kalaupun jika itu benar, maka Aku sangat salut dengan stamina pria itu karena bisa membuat Linda kalang kabut karena disetubuhi secara keras dan brutal.

Tak mau terjebak dalam berbagai macam pertanyaan soal Linda dan pasangannya, Aku kembali meusatkan konsentrasi pada kegiatan masturbasiku. Gerakan tanganku pada vagina yang sudah basah kuyuk makin cepat. Aku sengaja mengocoknya dengan kecepatan tinggi untuk menjemput gelombang orgasme. Aku tak peduli jika desahanku juga ikut terdengar dari balik tembok milik Linda, satu-satunya yang ingin Aku capai saat ini adalah kepuasan diriku sendiri, persetan dengan orang lain.

"Ouuucchhhh!! Anjing!!!!"

Bunyi kecipak tumbukan dua jari tanganku dengan bagian permukaan vaginaku yang basah bahkan sampai ikut terdengar. Aku melirik ke bawah sambil terus mengocok vaginaku sendiri, memang sudah sangat basah. Beberapa saat kemudian gelombang kenikmatan itu datang menyerang. Tubuhku menegang, melenting disertai hantaman kenikmatan yang membuat syaraf-syaraf dalam tubuhku kaku untuk beberapa saat.

"Aaaaaccchhhhhh...!!!"

Nafasku menderu bak hantaman ombak yang menabrak karang secara bertubi-tubi. Saking enaknya, Aku sudah tak mempedulikan lagi suara erangan Linda dan pasangannya yang masih terus memacu birahi.

"HAAAH!! HAAAHH!!! HAAAAHH!!"

Nafasku masih tak beraturan namun lambat laun mulai mereda seiring berkurangnya efek orgasme yang menerpa tubuhku. Samar Aku dengar di balik tembok kamar Linda terdengar percakapan ringan antara dirinya dengan sang pejantan. Aku menduga persetubuhan mereka berdua juga telah usai. Sesekali Linda tertawa manja dan masih mendesah lirih, mungkin saja pasangannya masih memberikan serviz tambahan setelah beres ejakulasi. Ah, andai saja Mas Danar seperti itu. Sekali lagi Aku mengutuki kemampuan seksualitas suamiku tersebut.

Setelah memakai kembali daster, Aku segera membenahi seprei tempat tidurku yang berantakan akibat ulahku tadi. Entah darimana pikiran itu datang, Aku masih penasaran dengan sosok pria yang menjadi lawan main Linda. Aku melangkahkan kaki keluar kamar, sesampainya di ruang tamu perlahan Aku membuka jendela, mengintip dari dalam siapa tau pria itu keluar dari kontrakan Linda untuk mencari angin segar setelah puas bercinta.

Benar saja, beberapa menit kemudian terdengar pintu kontrakan Linda terbuka dari dalam. Aku terhenyak karena sosok Pak Jasim, pemilik kontrakan kami, yang menunjukkan batang hidungnya dari dalam kontrakan Linda. Pria botak bertubuh sedikit tambun itu keluar dengan wajah berseri, di belakangnya mengekor Linda yang hanya mengenakan tangtop dan celana pendek sebatas paha.

"Bapak pulang dulu ya, inget bulan depan jangan telat lagi bayar kontrakannya." Ujar Pak Jasim.

"Ah Bapak mesti gitu mulu. Kan Linda udah bilang kalo bulan ini lagi sepi job, lagian kalo bulan depan Linda nggak bisa bayar lagi emang Pak Jasim tega ngusir Linda?" Balas Linda dengan ekspresi manja. Pak Jasim tersenyum mesum sambil mencolek dagu tetangga kontrakanku itu.

"Kamu tu paling bisa bikin Bapak nggak tegaan."

"Ah Bapak..."

"Ya  sudah Bapak pulang dulu, nanti dicariin istriku bisa berabe."

"Nanti malam kalo masih mau ngewe lagi, kamar Linda nggak dikunci kok. Hihihihi..." Goda Linda tanpa malu-malu.

"Hehehehe, bener ya? Awas bohong." Sahut Pak Jasim tak kalah genit.

"Bener Bapak sayang....Lagian Linda yakin kalo yang di rumah nggak bisa ngejepit kayak punya Linda kan?" Wanita itu secara vulgar menggosok selangkangannya tepat di hadapan Pak Jasim.

"Hahahahaha! Paling bisa kamu! Udah-udah Bapak pulang dulu."

Pak Jasim melangkah pergi dari kontrakan Linda, wanita tetangga kontrakanku itu masih berdiri di depan pintu rumahnya hingga sosok Pak Jasim menghilang setelah menutup pagar. Aku tak menyangka jika Linda dan pak Jasim memiliki hubungan terlarang seperti ini. Tapi bukan itu yang membuatku gelisah, tapi benarkah Pak Jasim yang gendut dan tua itu begitu hebat dalam urusan sex hingga membuat Linda sedari tadi mendesah keenakan?

Benarkah Pak Jasim sehebat itu...?

***

Waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam, beberapa karyawan pabrik yang telah menyelesaikan shift malam beranjak menuju tempat parkiran sepeda motor, tak terkecuali Danar. Berjalan di sampingnya Agus, seorang teman akrab sekaligus rekan kerja Danar. Karena hujan mulai turun kedua karyawan itu berlari menuju area parkir motor yang berjarak kurang dari 100 meter lagi sambil berusaha menutupi bagian kepala mereka menggunakan tangan.

"Duh! Kenapa mesti hujan sekarang sih?" Gerutu Danar sambil membersihkan cipratan air di bajunya. Pria berwajah tirus itu melihat ke atas berharap hujan akan segera berhenti.

"Udah jangan ngeluh mulu, masih mending dikasih hujan bro daripada dikasih masalah. Hahahaha." Seloroh Agus meledek komplain sahabatnya itu.

"Hujan ini juga bagian dari masalah Gus." Bantah Danar, dia mengeluarkan sebungkus rokok dari kantong celananya lalu segera menyalakannya dengan korek api.

"Eh iya, Lu jadi pindah ke kontrakan itu?" Tanya Agus, pria dengan jenggot lebat itu juga ikut mengeluarkan sebungkus rokok dari saku baju kerjanya sebelum ikut menikmati tembakau bakar seperti Danar.

"Jadi, Laras udah cocok di situ. Tadi pagi kami udah mulai tinggal di sana."

"Oooh, pesenku cuma satu aja. Hati-hati sama pemiliknya, suka kurang ajar sama penghuni perempuan." Ucapan Agus barusan seketika mengalihkan konsentrasi Danar yang asyik menikmati rokok. Suami Laras itu mengalihkan pandangannya pada Agus dengan mimik muka serius.

"Maksud Lu Pak Jasim?"

"Gue lupa namanya siapa, yang pasti orangnya gendut, kepalanya botak, usianya mungkin 50 tahunan." Ujar Agus menjelaskan ciri-ciri fisik yang memang identik dengan Pak Jasim, pemilik kontrakan yang ditempati oleh Danar.

"Kurang ajar gimana maksudnya?" Danar makin penasaran. Agus menghisap rokoknya dalam-dalam kemudian menghembuskan asap tebal dari dalam mulutnya sebelum kembali bercerita.

"Kamu masih inget Anwar? Anak HRD yang satu tahun lalu ditangkep Polisi?"

"Anwar? Ah iya, Gue inget! Orangnya yang pendek kecil itu kan?" Ujar Danar.

"Yup betul."

"Kenapa emangnya dengan Anwar?"

"Satu tahun lalu, dia sama istrinya juga ngontrak di situ. Karena ada masalah, dia sempat nunggak pembayaran beberapa bulan." Ujar Agus, kembali dia menghisap rokoknya dalam-dalam, pikirannya kembali mengingat kejadian satu tahun lalu.

"Terus?" Danar makin penasaran.

"Karena tunggakan itu pemilik kontrakan ngasih ultimatum ke Anwar dan istrinya buat angkat kaki. Awalnya Anwar terima dengan keputusan itu dan mulai mikir buat cari tempat baru, tapi tiba-tiba besoknya si Anwar emosi dan ngancam bunuh si pemilik kontrakan sambil bawa parang. Rame banget waktu itu, celakanya si pemilik kontrakan telpon Polisi. Jadi, akhirnya Anwar masuk bui."

Danar menyimak cerita Agus dengan seksama, pikirannya kembali teringat oleh ucapan Pak Jasim beberapa hari lalu saat bercerita jika satu tahun lalu ada penghuni kontrakan yang juga kerja di pabrik Texo, tempat dia bekerja saat ini. Apakah yang dimaksud oleh Pak Jasim itu adalah Anwar?

"Lah? Emang Anwar emosi kenapa? Bukannya dia udah setuju buat angkat kaki dari kontrakan?" Tanya Danar.

"Kata anak-anak yang jenguk Anwar di penjara, dia emosi karena si pemilik kontrakan mengijinkan dia tetap tinggal di sana sampai tiga bulan berikutnya asal istri Anwar mau diajak tidur. Muntablah dia." Kata Agus sebelum kembali menghembuskan asap rokok dari dalam mulutnya.

Danar tercengang, dia kembali mengingat momen saat pandangan jalang Pak Jasim seperti menelanjangi tubuh istrinya ketika mereka pertama kali bertemu. Cerita Agus barusan seolah sedang memancing rasa takut dalam dirinya, bagaimana keadaan Laras saat ini ketika dia kerja malam? Apakah Pak Jasim akan senekat itu pada istrinya?

"Heh?! Malah bengong!" Hardik Agus menyadarkan Danar dari lamunannya. Suami Laras itu lalu bergegas mencari keberadaannya motornya yang berada di bagian ujung area parkir.

"Lah mau kemana?" Agus tampak heran melihat perubahan perilaku sahabatnya itu.

"Mau balik ke kontrakan, udah malem banget ini." Jawab Danar tergesa.

"Lah? Masih hujan ini."

"Udah nggak apa-apa, hujan air doang. Gue cabut dulu ya bro!" Sahut Danar setelah menyalakan motornya, meninggalkan Agus yang masih bingung.

***

DANAR POV

Aku bergegas mengetuk pintu rumah kontrakanku sesaat setelah memarkirkan sepeda motor, badanku basah kuyup akibat nekat menembus hujan deras. Tak lama pintu terbuka, Laras menatapku dengan tatapan bingung. Malam ini istriku itu hanya mengenakan daster tipis sebatas paha, kulitnya yang putih mulus begitu kontras dengan warna daster yang dikenakannya.

"Kenapa nggak neduh dulu sih Mas? Jadi basah kuyup kayak gini." Gerutu Laras saat melihatku melepas jaket dan sepatu.

"Hehehe nggak apa-apa Dek, udah laper banget." Jawabku beralasan.

"Loh emangnya tadi di pabrik nggak makan?"

"Ya makan, tapi cuma dikit. Dek ambilin handuk dong, dingin banget." Laras langsung kembali masuk ke dalam, tak lama dia kembali sambil menyerahkan selembar handuk padaku.

"Buruan mandi biar nggak masuk angin. Kamu mau Aku masakin air anget buat mandi Mas?"

"Nggak usah Dek, kelamaan ntar." Kataku sambil mengeringkan bagian rambutku yang basah.

"Ya udah kalo gitu, Aku angetin sayurnya dulu buat makan Kamu Mas."

"Iya Dek makasih."

Tak lama Aku bergegas menuju kamar mandi, pakaian kerjaku yang basah diletakkan Laras di tempat jemur pakaian yang ada di bagian belakang rumah kontrakan kami. Setelah selesai mandi, di meja makan sudah tersaji sayur sop hangat dan tahu tempe goreng. Tak mau mengecewakan istriku, Aku menyantapnya dengan lahap meskipun jujur perutku masih kenyang.

"Mau dibikinin teh anget Mas?" Tawar Laras.

"Nggak usah Dek, kamu duduk sini aja deket Mas." Kataku, Laras hanya tersenyum dan meraih kursi lalu dekat di sampingku.

Entah kenapa cerita Agus tadi membuat kekhawatiranku terhadap Laras menjadi semakin tinggi. Apalagi sikap dan tingkah Pak Jasim saat melihat Laras semakin menguatkan kebenaran cerita Agus. Tapi ada sesuatu yang menggelitik pikiranku, entah datangnya darimana yang pasti sejak dari perjalanan pulang tadi Aku malah membayangkan Laras menyambut godaan dari Pak Jasim. Perasaan cemburu dan sesuatu yang sangat asing bagiku, nafsu.

Ya! Aku merasakan nafsu saat membayangkan kulit keriput dan badan tambun Pak Jasim bersentuhan dengan kulit mulus istriku. Membayangkan wanita yang begitu Aku cintai merintih keenakan saat disetubuhi oleh pemilik kontrakan mesum. Kebejatan Pak Jasim dan kebinalan Laras saat bercinta sepertinya akan begitu menarik jika bisa Aku saksikan dengan mata kepalaku sendiri. Ya Tuhan! Kegilaan macam apa yang sedang meracuni otakku saat ini?!

"Mas? Kamu kenapa Mas?" Laras menggoyang-goyangkan bahuku, menyadarkanku dari lamunan, bahkan tanpa Aku sadari tanganku masih memegang sendok yang berisi nasi dan belum menyuapkannya ke mulut.

"Nggak enak ya masakanku?" Tanya Laras.

"Eh..Eh..Anu Dek, nggak apa-apa. Enak kok, enak banget malah." Buru-buru Aku melahap makanan yang ada di sendok. Pikiranku yang beberapa detik lalu terbang entah kemana kini seketika kembali pada habitatnya.

"Kamu aneh banget hari ini Mas." Rajuk Laras, tangan kanannya menyentuh pahaku, Aku baru menyadari jika karena fantasi gilaku beberapa saat lalu ternyata serta merta membuat penisku berdiri. Laras mengrenyitkan dahi.

"Loh kok berdiri Mas? kamu lagi pengen ya?" Tanya Laras antusias.

Belum sempat Aku menjawab, Laras langsung beranjak dari tempat duduknya. Tanpa bisa Aku cegah dia meraih ujung celana boxerku, menariknya ke bawah hingga membuat bagian bawah tubuhku terbuka begitu saja tanpa penutup. Penisku yang sudah mengeras mengacung tegak.

"Loh Dek! Mau ngapain?"

"Udah, kamu terusin aja makannya Mas...."

Laras bersimpuh di bawah kursi yang Aku duduki, diraihnya batang penisku dengan tangan kanannya. Istriku itu mulai mengocoknya secara perlahan, naik turun dengan kecepatan sedang. Bibirnya tak tinggal diam, kecupan lembut tepat di lubang kencingku sontak membuatku melenguh dan melupakan makanan yang ada di meja.

"Ouughhhh Dek..." Aku membelai lembut rambutnya, Laras melirikku dengan tatapan binal.

"Eeemmccchhh...Dasar Mas Danar nakal, ngacengan."

"Hush! Jangan ngomong gitu." Selaku ketika Laras meracau tak aturan.

Kecupan bibirnya berubah menjadi kuluman lembut, penisku yang berukuran standar dengan mudah menelusup masuk di rongga mulut Laras. Sambil terus mengocok batang penisku menggunakan tangan, mulutnya menghisapi batang penisku dengan sangat telaten. Lidahnya seperti mengular, menyusuri tiap jengkal bagian kemaluanku. Tak jarang hisapannya beralih ke bawah, menyasar dua bola pelirku yang menggantung sempurna. Tak ayal, remasanku pada rambutnya kian erat, seiring dengan kepala Laras yang bergerak naik turun, dengusan nafasku pun makin tak beraturan menahan nikmat.

"Ouucchhh Dekkk!"

"Eeemmcchhh..Eeemcchhh..."

Laras tak bisa menyahut, mulutnya telah penuh terisi batang penisku yang makin menegang. Sensasi lembut, basah, serta hangat menyergap bagian bawah tubuhku. Dia melanjutkan dengan menjilati seluruh batang penisku.  Lalu didorongnya penisku hingga menyentuh perutku. Dijilatinya permukaan bawah penisku, kemudian turun ke bawah dan lidahnya mulai menyusuri buah zakar. Dihisap dan dikulumnya buah zakarku satu per satu. Dimainkannya pangkal buah zakarku dengan ujung lidahnya.

Laras mencoba mengangkat kedua kakiku dengan memegang bagian belakang lututku dengan kedua tangannya. Aku pun ikut membantunya dengan mengangkat kedua kakiku dan menekuknya seperti posisi setengah jongkok. Kemudian dimainkannya lubang anusku dengan ujung lidahnya. Disapunya seluruh permukaan lubang anusku. Aku bergeming, sejak kapan Laras menyukai hal sejorok ini? Tapi yang lebih gila lagi adalah, arah pikiranku yang kembali membayangkan Pak Jasim sedang bersama kami saat ini, menikmati tubuh istriku dari belakang di saat mulut istriku sedang disibukkan oleh batang penisku. Fantasi gila ini membuat birahiku makin terpacu tak karuan.

Kutempatkan tangan kananku di kepala Laras. Sambil ku usap rambutnya yang lurus sebatas bahu. Mulutnya mulai menelan penisku. Tidak sampai seluruhnya, mulutnya terlihat kesulitan saat mencapai pertengahan batang kemaluanku yang menggemuk. Terus dia berulang kali memasukkan dan mengeluarkan penisku dalam mulutnya. Aku ingin sedikit memberikan pelajaran kepadanya. Kutahan kepalanya pada saat dia akan mengeluarkan penisku dari mulutnya. Kutekan kepalanya sampai batas maksimal tenggorokkannya.

Grokh

Grokh

Grokh

Terdengar dari mulutnya dan matanya pun melirik ke arahku seolah-olah ingin memprotes tindakanku. Kulonggarkan tekanan tanganku di kepalanya, dia pun kembali mengocok penisku dengan mulutnya. Semakin cepat dia mengocok penisku. Hingga aku merasakan penisku mulai berkedut, menandakan sebentar lagi aku akan mencapai klimaks. Orgasme itu akan datang namun tiba-tiba Laras menghentikan aksi nakalnya.

"Loh Dek?" Protesku karena Laras menghentikan oral sex secara tiba-tiba ketika ejakulasi sudah di ujung penis.

"Aku juga pengen ngrasain enak Mas."

Entah sejak kapan Laras melepas celana dalamnya, yang pasti ketika dia naik ke atas pangkuanku selangkangannya yang basah sudah tanpa penutup apapun. Sambil mengecupi bibirku, Laras meraih batang penisku dengan tangannya dan langsung memasukkannya ke liang vagina. Kami mendesah perlahan. Laras mulai bergerak naik turun, maju mundur. Penisku terasa seperti diperas di dalam sana, Aku sudah tahan.

"Ouucchhh Dek!!!"

"Sebentar Mas, jangan dikeluarin dulu!"

"AAARGGHHTTTTTT!!"

Aku memeluk tubuh Laras dengan sangat erat, tanpa mengindahkan permintaannya Aku tak kuasa menahan gejolak orgasme yang menerpa tubuhku. Spermaku menyemprot begitu saja di dalam rahim Laras tanpa bisa Aku tahan lagi. Nafasku masih menderu ketika Laras dengan wajah cemberut bangkit dari atas pangkuanku dan beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan sisa sperma yang menyerang liang senggamanya.

"Ma-Maaf Dek, mas udah nggak tahan banget." Kataku.

"Iya nggak apa-apa." sahut Laras singkat sambil terus berjalan menuju kamar mandi. Dari nada bicaranya Aku tau kalo Laras kecewa padaku.


Posting Komentar

0 Komentar