ISTRIKU DAN PRIA LAIN
PART 1
"Benar di sini Mas?"
"Kok sepi banget ya?"
Laras segera turun dari boncengan
motorku, tanpa melepas helm yang dikenakannya, istriku itu mendekati sebuah
pagar besi yang sudah berkarat setinggi dada orang dewasa. Aku memakirkan
sepeda motorku tak jauh dari pagar yang tertutup itu lalu mendekati Laras. Kami
berdua melihat deretan kamar petak yang tertata rapi memanjang ke belakang.
Semua kamar bercat seragam putih pucat dengan ornamen gambar bunga di setiap
bagian pintunya. Benar kata Laras, suasananya sangat sepi padahal baru jam 11
siang. Aku mencoba kembali melongo ke dalam pagar, berharap menemukan
keberadaan seseorang.
"Bener di sini kok, nih liat
iklannya. Alamatnya udah bener, nomor 17C." Aku memperlihatkan layar
ponselku pada Laras, menunjukkan sebuah iklan rumah kontrakan yang Aku dapat
dari facebook beberapa hari lalu.
"Terus gimana ini Mas? Emang
nggak ada nomor yang bisa dihubungi?" Tanya Laras.
"Bentar, Aku telepon dulu ya
orangnya." Kataku sambil mencari nomor telepon pengiklan kontrakan.
"Selamat siang? Mau cari siapa
Dek?"
Belum sempat Aku melakukan panggilan,
tiba-tiba kami dikejutkan oleh suara seorang pria yang muncul dari arah
belakang kami. Seorang pria berusia sekitar 50 tahunan, bertubuh tambun dengan
perut membuncit hanya mengenakan celana pendek dan kaos singlet warna putih
yang sudah memudar berjalan mendekat ke arahku.
"Permisi Pak, Kami mau lihat
kamar kontrakan. Apa Bapak kenal sama yang jaga?" Ujarku.
"Oh, iya..iya. Ayo mari masuk.
Kenalkan, saya Jasim, kebetulan saya yang punya tempat ini." Pria dengan
rambut tipis dan cenderung botak itu memperkenalkan diri, menjabat tanganku dan
Laras.
"Saya Danar, ini istri Saya
Laras." Ujarku.
"Ayo masuk dulu Mas, sepeda
motornya dimasukin juga sekalian."
"Baik Pak."
Pak Jasim membuka pintu pagar,
mempersilahkan Laras untuk masuk terlebih dahulu. Sekilas aku bisa melihat pria
itu memandangi bagian belakang tubuh istriku dengan pandangan berbeda, jenis
pandangan yang sering Aku jumpai pada mata pria-pria lain saat menatap
kemolekan tubuh Laras. Ah, rupanya sama saja. Dasar bandot tua, nggak bisa
banget liat body bohay dikit aja.
Aku membawa masuk sepeda motorku,
memarkirkannya di bagian depan sebuah kamar, tempat dimana Pak Jasim sedang
membuka pintunya. Laras menyerahkan helm yang sedari tadi dia kenakan, istriku
yang cantik ini tampak begitu exited karena setelah berminggu-minggu kami
mencari tempat tinggal baru akhirnya hari ini bisa terlaksana juga.
Aku dan Laras sudah menikah hampir 2
tahun ini. Selama menikah kami berdua tinggal di rumah mertuaku, orang tua
Laras. Benar kata orang jika dalam satu rumah akan sulit jika hidup lebih dari
satu keluarga. Hal itulah yang terjadi pada rumah tanggaku dan Laras, awalnya
mungkin hanya konfilk-konflik kecil, namun kelamaan konflik itu mulai merembet
ke permasalahan intern rumah tanggaku. Mertuaku, khususnya Ibu Mertuaku, mulai
sering ikut campur kepentingan rumah tanggaku. Bahkan tak jarang dia mulai
menyinggung kemampuanku dalam hal mencukupi kebutuhan Laras.
Sejak awal pacaran Aku sudah mencium
gelagat ketidaksukaan Ibu Laras terhadapku, salah satu penyebabnya adalah
pekerjaanku yang hanya sebagai pekerja pabrik biasa. Apalagi waktu itu yang
mendekati Laras bukan hanya Aku saja, banyak pria yang lebih mapan secara
ekonomi ikut mendekati istriku ini meskipun saat itu statusnya adalah sudah
menjadi pacarku. Namun begitu Laras tetap teguh pada pendiriannya dan memilihku
sebagai pendamping hidupnya meskipun tentangan dari Ibu serta Ayahnya begitu
besar.
Tak mau keharmonisan rumah tanggaku
semakin terganggu, satu bulan yang lalu Aku memberanikan diri untuk meminjam
uang di koperasi karyawan. Tujuanku adalah agar memiliki cukup dana untuk
setidaknya membayar kontrakan rumah sendiri. Rencanaku ini diamini sepenuhnya
oleh Laras, dia sendiripun merasa risih karena harus mendengar omelan Ibunya
tentang Aku hampir setiap hari. Meskipun keputusan untuk meminjam uang tersebut
memaksaku untuk bekerja lebih keras lagi tapi itu harga yang sepadan untuk
menyelamatkan biduk rumah tanggaku bersama Laras yang baru seumur jagung. Maka
disinilah kami berdua hari ini.
"Ya kayak gini Mas ruangannya,
kamarnya cuma ada satu, kamar mandinya juga satu. Ini dapurnya, di belakang ada
dapur bersama juga biasanya penghuni di sini patungan untuk beli gas."
Ujar Pak Jasim menunjukkan detail kontrakan yang akan kami sewa. Laras mengecek
kamar mandi terlebih dahulu, mengecek air dan segala tetek bengeknya.
"Per bulannya berapa ya
Pak?" Tanyaku.
"Per bulannya 800 ribu, untuk
pengontrak baru langsung bayar untuk 6 bulan ke depan Mas." Jelas Pak
Jasim, kembali dia melirik tubuh istriku yang baru saja keluar dari dalam kamar
mandi.
"Gimana? Lancar airnya?"
Tanyaku pada Laras.
"Lancar kok Mas." Sahut
Laras sebelum beralih ke ruangan tempat tidur. Mata Pak Jasim kembali mengekor,
menatap jalang tubuh istriku yang hari ini mengenakan jins ketat dan tshirt
tipis dipadu sweter tenun.
"Di sini penghuninya pasangan
suami istri semua Pak?" Tanyaku memecah konsentrasi Pak jasim yang tanpa
malu-malu masih saja melihat tubuh istriku dari belakang.
"Oh nggak semua Mas." Pak
Jasim agak terkaget menjawab pertanyaanku.
"Ada yang single juga kok, tapi
hampir semuanya pekerja." Lanjutnya menjelaskan.
"Masnya kerja di mana?"
Tanya Pak Jasim kemudian.
"Saya kerja di pabrik Texo
Pak."
"Oh yang deket kantor pengadilan
itu ya?"
"Iya bener Pak." Jawabku.
"Dulu di sini juga ada yang
kerja di situ tapi sudah hampir setahun lebih kayaknya udah pindah."
Laras keluar dari kamar tidur, dari
raut wajahnya Aku bisa menerka jika dia cocok dengan kontrakan ini. Meskipun
Aku kurang menyukai sikap Pak Jasim yang tanpa malu-malu menunjukkan
kegenitannya tapi ini tak lebih baik dibanding harus tetap tinggal bersama
mertuaku. Laras berjalan mendekatiku, mengangguk perlahan tanda jika dia setuju
untuk pindah ke sini.
"Baik Pak kami ambil untuk 6
bulan dulu, pembayarannya gimana ya?" Kataku.
"Ah baik, pembayarannya bisa
hari ini, bisa juga nanti kalo Mas udah mulai masuk. Nanti Mas juga perlu
ngasih fotocopy KTP sama fotocopy surat nikah, untuk administrasi
lingkungan." Jelas Pak Jasim.
"Baik kalo begitu kami DP dulu
Pak, sisanya besok pas kami sudah masuk ke sini." Ujarku.
"Ah, boleh-boleh. Sekarang mari
ke rumah Saya dulu, sekalian Saya kasih nota pembayarannya." Balas Pak
Jasim.
***
1 HARI KEMUDIAN
Aku menyeka keringat yang membasahi
kening serta wajahku, di dapur Laras masih merapikan beberapa peralatan
memasak. Setelah memastikan tempat tidur serta beberapa perabot lain sudah
masuk ke dalam rumah Aku memilih untuk beristirahat di depan kontrakan sambil
menghisap sebatang rokok. Hari ini adalah hari pertama kami menempati tempat
tinggal baru, mungkin juga cerita baru setelah setahun terakhir kami berdua
tinggal bersama orang tua Laras. Meskipun sederhana, Aku tetap merasa bahagia,
setidaknya Aku tidak lagi canggung untuk melakukan apapun bersama Laras karena
berada di rumah sendiri.
Teringat dulu waktu masih tinggal
bersama orang tua Laras, untuk berhubungan badanpun Aku harus memilih waktu
yang tepat, tidak bisa seenaknya. Belum lagi Laras adalah tipe wanita yang
cukup berisik ketika berhubungan badan, desahan serta teriakannya tak jarang
mengundang ketukan pintu dari luar diiringi semprotan dari Ibu mertuaku. Maka
bayangkan saja bagaimana ketidaknyamananku selama ini tinggal di sana.
"Ini Mas minum dulu." Laras
duduk di sampingku sembari menyerahkan segelas air putih.
"Terima kasih Dek." Kataku
sebelum meneguk habis air putih itu, segar sekali.
"Kamu nanti berangkat kerja jam
berapa Mas?"
"Ya seperti biasa Dek, jam 5
sore mungkin. Kayaknya sampai minggu depan Aku bakal dapat shift sore
terus." Kataku.
"Oh gitu, jangan capek-capek ya
Mas."
"Iya Dek, tenang aja. Gimana?
Udah beres semua?"
"Udah kok Mas, paling tinggal
beresin pakaian aja. Ntar malem aja ya, biar Aku ada kegiatan pas Kamu tinggal
kerja."
"Iya Dek, selonggarnya Kamu
aja." Ujarku sambil tersenyum.
"Mas..."
"Ya Dek..?" Laras mengapit
lenganku, tubuhnya merapat pada tubuhku.
"Kamu nggak pengen? Mumpung
sekarang kita udah tinggal sendiri."
Aku tau apa maksud perkataan Laras,
maka tanpa banyak bicara Aku langsung mematikan rokokku dan bergegas menarik
Laras masuk ke dalam rumah kontrakan kami. Siang ini kami bercinta begitu liar,
Aku bahkan tak peduli lagi dengan erangan serta desahan Laras yang melengking
tinggi. Biasanya Aku selalu sigap menutup mulutnya saat dia mulai berteriak,
agar tidak terdengar oleh Ayah atau Ibu mertuaku, tapi siang ini Aku biarkan
Laras bebas mengekspresikan dirinya saat bersetubuh denganku. Siang ini kami
benar-benar seperti pengantin baru yang pertama kalinya bercinta. Berbagai
macam gaya kami coba tanpa khawatir akan menimbulkan kegaduhan, tempat tinggal
baru sepertinya jadi awal cerita baru kami pula. Semoga saja begitu.
***
LARAS POV
Selepas Mas Danar berangkat kerja,
Aku kembali menyibukkan diri untuk membereskan beberapa potong pakaian dan
meletakkannya di dalam lemari kayu berukuran sedang milik kami. Pindah ke
tempat tinggal baru artinya Aku harus mulai beradaptasi dengan lingkungan baru
juga. Seharusnya ini bukan masalah besar bagiku, apalagi mengingat selama ini
Aku dan Mas Danar harus tinggal bersama orang tuaku. Mengenal lingkungan baru
tak akan lebih sulit dibanding menghadapi komplain Ibuku yang hampir setiap
hari terpaksa Aku dengarkan. Karena hal inilah kami memutuskan untuk mengambil
pinjaman di koperasi perusahaan tempat suamiku bekerja. Dengan uang pinjaman
itu, kami bisa mencari tempat tinggal baru dan hidup terpisah dari kedua orang
tuaku.
Rumah kontrakanku terlihat seperti
layaknya kamar kos, ruangannya tak cukup besar untuk disebut sebagai rumah.
Sebidang ruang tamu kecil ditambah satu kamar tidur dan satu kamar mandi yang
berdempetan langsung dengan dapur cukup memberi gambaran jika tempat tinggalku
saat ini sangat jauh untuk dikatakan sebagai layak huni bagi pasangan suami
istri. Namun sekali lagi, ini jauh lebih baik dibanding tetap tinggal bersama
orang tuaku. Ada 8 buah bangunan serupa yang berdiri berjajar, empat bangunan
di tiap sisinya. Dari 8 bangunan ini hanya tersisa 2 bangunan yang tak
berpenghuni, sisanya sudah terisi oleh para penyewa.
Aku sebenarnya kasihan dengan Mas
Danar, dia harus bekerja lebih keras lagi untuk menambah penghasilan karena
mulai bulan depan kami mesti membayar cicilan hutang di koperasi demi untuk
bisa mendapatkan tempat tinggal sendiri. Tapi dia meyakinkanku jika resiko ini
sepadan dengan ketenangan hidup yang akan kami terima dibanding terus bertahan
dan tetap tinggal bersama kedua orang tuaku. Pada akhirnya Aku hanya bisa
mendoakan saja, semoga keputusan kami ini akan berbuah manis.
"Aaaahhh...Aahhhh..Mentokin
sayang!! Mentokin!!!"
DUG
DUG
DUG
"Aaahh…Teruss
sayaaangg...Genjotin yang kenceng!!!"
Aku terhenyak beberapa saat karena
tembok kamarku berdentum beberapa kali diiringi suara desahan wanita. Cukup
keras terdengar. Linda, Aku mengingat betul siapa nama penghuni tepat di
samping rumahku ini. Siang tadi wanita bertubuh cubby dengan rambut dicat
pirang itu memperkenalkan dirinya padaku. Usianya mungkin sekitar 22 tahun, dia
mengaku bekerja sebagai SPG rokok dan tinggal sendirian di sini. Kesan awal
yang diberikannya padaku saat berkenalan, Linda adalah tipe wanita yang genit,
tak hanya dari penampilannya yang sangat seksi tapi juga dari cara bicara dan
sikapnya. Beruntung tadi Mas Danar hanya sekilas saja menemui wanita itu, jadi
Aku tak sampai melihat reaksi suamiku saat menyaksikan tubuh semok nan bohai
milik Linda.
DUG
DUG
DUG
Tembok kamarku kembali berdentum,
kali ini suaranya jauh lebih keras dibanding sebelumnya. Bahkan desahan Linda
pun demikian, bukan desahan lagi sepertinya, tapi lebih tepat disebut dengan
teriakan. Suaranya bersahutan dengan suara berat seorang pria, itu artinya dia
di dalam kontrakannya tak seorang diri. Lalu dia bersama siapa? Seharusnya ini
bukan menjadi urusanku, tapi entah kenapa suara desahan Linda dan pria yang
sedang bersama dirinya membuat birahiku lama kelamaan menjadi tergelitik. Siang
tadi Aku dan Mas Danar memang sudah bersetubuh tapi itu sama sekali tak cukup
untukku. Apalagi suamiku itu bukan tipe pria yang ahli soal sex, gaya mainnya
monoton, minim eksplorasi, dan lebih parahnya Mas Danar sejak dulu tak pernah
bisa membuatku orgasme.
Aku mendekatkan telinga ke sisi
tembok, lenguhan manja serta desahan binal Linda terdengar makin jelas. Sungguh
ini membuat bulu kudukku meremang, membayangkan Linda tengah digenjot secara
kasar dan keras oleh lawan mainnya. Lambat laun alam bawah sadarku mulai
membayangkan jika Aku berada di posisi tetangga kontrakanku itu. Disetubuhi
secara brutal hingga berteriak keenakan seperti ini adalah salah satu
fantasiku, sebuah keinginan yang entah kapan akan bisa dipenuhi oleh Mas Danar.
Sambil terus mendengar desahan Linda
dan pasangan mesumnya, perlahan satu tanganku meremasi payudaraku sendiri yang
masih terbungkus kain daster. Aku menyandarkan punggungku di sisi luar tembok
kamar, memposisikan tubuhku senyaman mungkin sambil perlahan membuka kedua
pahaku hingga mengangkang. Selangkanganku terasa lembab, nyaris basah.
Di balik tembok persetubuhan Linda
dengan lawan mainnya makin panas, tak jarang Aku bisa mendengar tetangga
kontrakanku itu sampai mengumpat dengan kata-kata kasar. Aku pernah
mempraktekannya dulu saat bercinta dengan Mas Danar, bukannya makin bersemangat,
suamiku itu justru jadi badmood dan enggan melanjutkan persetubuhan. Tidak
sopan katanya. Padahal umpatan dan makian saat bercinta membuat birahiku
semakin membara, tapi sekali lagi Mas Danar tak pernah memahami hal seperti
itu. Baginya hubungan suami istri adalah hubungan yang sakral dan suci, maka
umpatan serta makian tak layak diikutsertakan di dalam kegiatan itu. Kolot dan
monoton!
Tak puas hanya menjamah bagian dada
saja, satu tanganku mulai menjalar ke bawah. Tentu saja yang Aku sasar adalah
bagian selangkangan yang makin lama terasa begitu lembab menjurus basah.
Sedikit menarik pantatku ke atas, Aku segera melepas celana dalamku. Vagina
yang ditumbuhi bulu-bulu tipis nan rapi langsung terlihat jelas. Ujung jariku
mulai menyentuh permukaan vagina, menggeseknya secara perlahan, naik turun.
Gesekan demi gesekan jariku dengan diiringi lenguhan Linda di seberang kamar
membuat khayalan nakalku terbang tinggi.
Bayangan disetubuhi seperti yang
tengah dialami oleh Linda saat ini memenuhi tiap jengkal isi kepalaku. Aku
horny! Benar-benar horny! Badanku meremang hebat, malah cenderung terasa
hangat. Maka segera Aku melepas dasterku hingga telanjang bulat sebelum kembali
melanjutkan kegiatan masturbasiku.
"Eeehhmmmmm...."
Desis lirih terdengar dari mulutku
ketika Aku paksakan satu ruas jari telunjukku masuk ke dalam liang vaginaku.
Tak sebesar penis Mas Danar memang, tapi itu sudah cukup mengobati rasa gatal
di dalam rahimku. Dengan kedua paha mengangkang lebar, pelan tapi pasti Aku
gerakkan jariku keluar masuk, mengocok bagian dalam vagina. Sementara ujung
bagian jempolku Aku gunakan untuk menggesek kelentit yang terasa makin keras.
"Oouucchhhh......"
Aku melenguh panjang, suara dari
kamar Linda masih terdengar sesekali diiringi teriakan melengking dari wanita
itu. Aku membayangkan saat ini mungkin dia sedang digenjot begitu keras oleh
pasangannya dari atas. Dari suara tumbukan badan keduanya mungkin saja apa yang
Aku bayangkan saat ini ada benarnya. Satu jari rupanya tak cukup buat memenuhi
kekalutan birahiku, maka Aku masukkan ruas jari tengah untuk menemani jari
telunjukku di dalam liang vagina. Aku menambah kecepatan kocokan, sementara
satu tanganku yang lain meremas makin keras payudaraku secara bergantian,
sesekali Aku tak sungkan untuk menarik paksa putingku yang sudah sangat keras.
"Ouucchhhh! Pak! Jangan di dalem
lagi! Aaachh! Jangan buang di dalem Pak! Aaach!!"
"Haaahhh!! Haahhh!! Kenapa
sayang? Bukannya kamu suka kalo Bapak keluarin di dalem?"
"Jangan malam ini Pak! Aaacchhh!
Aku lagi subur!"
"AARGGGHHTTTT!!!"
Percakapan antara Linda dengan
pasangannya terdengar cukup jelas. Aku sempat mengrenyitkan dahi kenapa Linda
menyebut pasangannya dengan panggilan Pak? Apakah mereka berdua terpaut usia
yang cukup jauh? Kalaupun jika itu benar, maka Aku sangat salut dengan stamina
pria itu karena bisa membuat Linda kalang kabut karena disetubuhi secara keras
dan brutal.
Tak mau terjebak dalam berbagai macam
pertanyaan soal Linda dan pasangannya, Aku kembali meusatkan konsentrasi pada
kegiatan masturbasiku. Gerakan tanganku pada vagina yang sudah basah kuyuk
makin cepat. Aku sengaja mengocoknya dengan kecepatan tinggi untuk menjemput
gelombang orgasme. Aku tak peduli jika desahanku juga ikut terdengar dari balik
tembok milik Linda, satu-satunya yang ingin Aku capai saat ini adalah kepuasan
diriku sendiri, persetan dengan orang lain.
"Ouuucchhhh!! Anjing!!!!"
Bunyi kecipak tumbukan dua jari
tanganku dengan bagian permukaan vaginaku yang basah bahkan sampai ikut
terdengar. Aku melirik ke bawah sambil terus mengocok vaginaku sendiri, memang
sudah sangat basah. Beberapa saat kemudian gelombang kenikmatan itu datang
menyerang. Tubuhku menegang, melenting disertai hantaman kenikmatan yang
membuat syaraf-syaraf dalam tubuhku kaku untuk beberapa saat.
"Aaaaaccchhhhhh...!!!"
Nafasku menderu bak hantaman ombak
yang menabrak karang secara bertubi-tubi. Saking enaknya, Aku sudah tak
mempedulikan lagi suara erangan Linda dan pasangannya yang masih terus memacu
birahi.
"HAAAH!! HAAAHH!!!
HAAAAHH!!"
Nafasku masih tak beraturan namun
lambat laun mulai mereda seiring berkurangnya efek orgasme yang menerpa
tubuhku. Samar Aku dengar di balik tembok kamar Linda terdengar percakapan
ringan antara dirinya dengan sang pejantan. Aku menduga persetubuhan mereka
berdua juga telah usai. Sesekali Linda tertawa manja dan masih mendesah lirih,
mungkin saja pasangannya masih memberikan serviz tambahan setelah beres
ejakulasi. Ah, andai saja Mas Danar seperti itu. Sekali lagi Aku mengutuki
kemampuan seksualitas suamiku tersebut.
Setelah memakai kembali daster, Aku
segera membenahi seprei tempat tidurku yang berantakan akibat ulahku tadi.
Entah darimana pikiran itu datang, Aku masih penasaran dengan sosok pria yang
menjadi lawan main Linda. Aku melangkahkan kaki keluar kamar, sesampainya di
ruang tamu perlahan Aku membuka jendela, mengintip dari dalam siapa tau pria
itu keluar dari kontrakan Linda untuk mencari angin segar setelah puas
bercinta.
Benar saja, beberapa menit kemudian
terdengar pintu kontrakan Linda terbuka dari dalam. Aku terhenyak karena sosok
Pak Jasim, pemilik kontrakan kami, yang menunjukkan batang hidungnya dari dalam
kontrakan Linda. Pria botak bertubuh sedikit tambun itu keluar dengan wajah
berseri, di belakangnya mengekor Linda yang hanya mengenakan tangtop dan celana
pendek sebatas paha.
"Bapak pulang dulu ya, inget
bulan depan jangan telat lagi bayar kontrakannya." Ujar Pak Jasim.
"Ah Bapak mesti gitu mulu. Kan
Linda udah bilang kalo bulan ini lagi sepi job, lagian kalo bulan depan Linda
nggak bisa bayar lagi emang Pak Jasim tega ngusir Linda?" Balas Linda
dengan ekspresi manja. Pak Jasim tersenyum mesum sambil mencolek dagu tetangga
kontrakanku itu.
"Kamu tu paling bisa bikin Bapak
nggak tegaan."
"Ah Bapak..."
"Ya sudah Bapak pulang dulu, nanti dicariin
istriku bisa berabe."
"Nanti malam kalo masih mau
ngewe lagi, kamar Linda nggak dikunci kok. Hihihihi..." Goda Linda tanpa
malu-malu.
"Hehehehe, bener ya? Awas
bohong." Sahut Pak Jasim tak kalah genit.
"Bener Bapak sayang....Lagian
Linda yakin kalo yang di rumah nggak bisa ngejepit kayak punya Linda kan?"
Wanita itu secara vulgar menggosok selangkangannya tepat di hadapan Pak Jasim.
"Hahahahaha! Paling bisa kamu!
Udah-udah Bapak pulang dulu."
Pak Jasim melangkah pergi dari
kontrakan Linda, wanita tetangga kontrakanku itu masih berdiri di depan pintu
rumahnya hingga sosok Pak Jasim menghilang setelah menutup pagar. Aku tak
menyangka jika Linda dan pak Jasim memiliki hubungan terlarang seperti ini.
Tapi bukan itu yang membuatku gelisah, tapi benarkah Pak Jasim yang gendut dan
tua itu begitu hebat dalam urusan sex hingga membuat Linda sedari tadi mendesah
keenakan?
Benarkah Pak Jasim sehebat itu...?
***
Waktu sudah menunjukkan pukul 11
malam, beberapa karyawan pabrik yang telah menyelesaikan shift malam beranjak
menuju tempat parkiran sepeda motor, tak terkecuali Danar. Berjalan di
sampingnya Agus, seorang teman akrab sekaligus rekan kerja Danar. Karena hujan
mulai turun kedua karyawan itu berlari menuju area parkir motor yang berjarak
kurang dari 100 meter lagi sambil berusaha menutupi bagian kepala mereka
menggunakan tangan.
"Duh! Kenapa mesti hujan
sekarang sih?" Gerutu Danar sambil membersihkan cipratan air di bajunya.
Pria berwajah tirus itu melihat ke atas berharap hujan akan segera berhenti.
"Udah jangan ngeluh mulu, masih
mending dikasih hujan bro daripada dikasih masalah. Hahahaha." Seloroh
Agus meledek komplain sahabatnya itu.
"Hujan ini juga bagian dari
masalah Gus." Bantah Danar, dia mengeluarkan sebungkus rokok dari kantong
celananya lalu segera menyalakannya dengan korek api.
"Eh iya, Lu jadi pindah ke
kontrakan itu?" Tanya Agus, pria dengan jenggot lebat itu juga ikut
mengeluarkan sebungkus rokok dari saku baju kerjanya sebelum ikut menikmati
tembakau bakar seperti Danar.
"Jadi, Laras udah cocok di situ.
Tadi pagi kami udah mulai tinggal di sana."
"Oooh, pesenku cuma satu aja.
Hati-hati sama pemiliknya, suka kurang ajar sama penghuni perempuan."
Ucapan Agus barusan seketika mengalihkan konsentrasi Danar yang asyik menikmati
rokok. Suami Laras itu mengalihkan pandangannya pada Agus dengan mimik muka
serius.
"Maksud Lu Pak Jasim?"
"Gue lupa namanya siapa, yang
pasti orangnya gendut, kepalanya botak, usianya mungkin 50 tahunan." Ujar
Agus menjelaskan ciri-ciri fisik yang memang identik dengan Pak Jasim, pemilik
kontrakan yang ditempati oleh Danar.
"Kurang ajar gimana
maksudnya?" Danar makin penasaran. Agus menghisap rokoknya dalam-dalam
kemudian menghembuskan asap tebal dari dalam mulutnya sebelum kembali
bercerita.
"Kamu masih inget Anwar? Anak
HRD yang satu tahun lalu ditangkep Polisi?"
"Anwar? Ah iya, Gue inget!
Orangnya yang pendek kecil itu kan?" Ujar Danar.
"Yup betul."
"Kenapa emangnya dengan
Anwar?"
"Satu tahun lalu, dia sama
istrinya juga ngontrak di situ. Karena ada masalah, dia sempat nunggak
pembayaran beberapa bulan." Ujar Agus, kembali dia menghisap rokoknya
dalam-dalam, pikirannya kembali mengingat kejadian satu tahun lalu.
"Terus?" Danar makin
penasaran.
"Karena tunggakan itu pemilik
kontrakan ngasih ultimatum ke Anwar dan istrinya buat angkat kaki. Awalnya
Anwar terima dengan keputusan itu dan mulai mikir buat cari tempat baru, tapi
tiba-tiba besoknya si Anwar emosi dan ngancam bunuh si pemilik kontrakan sambil
bawa parang. Rame banget waktu itu, celakanya si pemilik kontrakan telpon
Polisi. Jadi, akhirnya Anwar masuk bui."
Danar menyimak cerita Agus dengan
seksama, pikirannya kembali teringat oleh ucapan Pak Jasim beberapa hari lalu
saat bercerita jika satu tahun lalu ada penghuni kontrakan yang juga kerja di
pabrik Texo, tempat dia bekerja saat ini. Apakah yang dimaksud oleh Pak Jasim
itu adalah Anwar?
"Lah? Emang Anwar emosi kenapa?
Bukannya dia udah setuju buat angkat kaki dari kontrakan?" Tanya Danar.
"Kata anak-anak yang jenguk
Anwar di penjara, dia emosi karena si pemilik kontrakan mengijinkan dia tetap
tinggal di sana sampai tiga bulan berikutnya asal istri Anwar mau diajak tidur.
Muntablah dia." Kata Agus sebelum kembali menghembuskan asap rokok dari
dalam mulutnya.
Danar tercengang, dia kembali
mengingat momen saat pandangan jalang Pak Jasim seperti menelanjangi tubuh
istrinya ketika mereka pertama kali bertemu. Cerita Agus barusan seolah sedang
memancing rasa takut dalam dirinya, bagaimana keadaan Laras saat ini ketika dia
kerja malam? Apakah Pak Jasim akan senekat itu pada istrinya?
"Heh?! Malah bengong!"
Hardik Agus menyadarkan Danar dari lamunannya. Suami Laras itu lalu bergegas
mencari keberadaannya motornya yang berada di bagian ujung area parkir.
"Lah mau kemana?" Agus
tampak heran melihat perubahan perilaku sahabatnya itu.
"Mau balik ke kontrakan, udah
malem banget ini." Jawab Danar tergesa.
"Lah? Masih hujan ini."
"Udah nggak apa-apa, hujan air
doang. Gue cabut dulu ya bro!" Sahut Danar setelah menyalakan motornya,
meninggalkan Agus yang masih bingung.
***
DANAR POV
Aku bergegas mengetuk pintu rumah
kontrakanku sesaat setelah memarkirkan sepeda motor, badanku basah kuyup akibat
nekat menembus hujan deras. Tak lama pintu terbuka, Laras menatapku dengan
tatapan bingung. Malam ini istriku itu hanya mengenakan daster tipis sebatas
paha, kulitnya yang putih mulus begitu kontras dengan warna daster yang
dikenakannya.
"Kenapa nggak neduh dulu sih
Mas? Jadi basah kuyup kayak gini." Gerutu Laras saat melihatku melepas
jaket dan sepatu.
"Hehehe nggak apa-apa Dek, udah
laper banget." Jawabku beralasan.
"Loh emangnya tadi di pabrik
nggak makan?"
"Ya makan, tapi cuma dikit. Dek
ambilin handuk dong, dingin banget." Laras langsung kembali masuk ke
dalam, tak lama dia kembali sambil menyerahkan selembar handuk padaku.
"Buruan mandi biar nggak masuk
angin. Kamu mau Aku masakin air anget buat mandi Mas?"
"Nggak usah Dek, kelamaan
ntar." Kataku sambil mengeringkan bagian rambutku yang basah.
"Ya udah kalo gitu, Aku angetin
sayurnya dulu buat makan Kamu Mas."
"Iya Dek makasih."
Tak lama Aku bergegas menuju kamar
mandi, pakaian kerjaku yang basah diletakkan Laras di tempat jemur pakaian yang
ada di bagian belakang rumah kontrakan kami. Setelah selesai mandi, di meja
makan sudah tersaji sayur sop hangat dan tahu tempe goreng. Tak mau
mengecewakan istriku, Aku menyantapnya dengan lahap meskipun jujur perutku
masih kenyang.
"Mau dibikinin teh anget
Mas?" Tawar Laras.
"Nggak usah Dek, kamu duduk sini
aja deket Mas." Kataku, Laras hanya tersenyum dan meraih kursi lalu dekat
di sampingku.
Entah kenapa cerita Agus tadi membuat
kekhawatiranku terhadap Laras menjadi semakin tinggi. Apalagi sikap dan tingkah
Pak Jasim saat melihat Laras semakin menguatkan kebenaran cerita Agus. Tapi ada
sesuatu yang menggelitik pikiranku, entah datangnya darimana yang pasti sejak
dari perjalanan pulang tadi Aku malah membayangkan Laras menyambut godaan dari
Pak Jasim. Perasaan cemburu dan sesuatu yang sangat asing bagiku, nafsu.
Ya! Aku merasakan nafsu saat
membayangkan kulit keriput dan badan tambun Pak Jasim bersentuhan dengan kulit
mulus istriku. Membayangkan wanita yang begitu Aku cintai merintih keenakan
saat disetubuhi oleh pemilik kontrakan mesum. Kebejatan Pak Jasim dan kebinalan
Laras saat bercinta sepertinya akan begitu menarik jika bisa Aku saksikan
dengan mata kepalaku sendiri. Ya Tuhan! Kegilaan macam apa yang sedang meracuni
otakku saat ini?!
"Mas? Kamu kenapa Mas?"
Laras menggoyang-goyangkan bahuku, menyadarkanku dari lamunan, bahkan tanpa Aku
sadari tanganku masih memegang sendok yang berisi nasi dan belum menyuapkannya
ke mulut.
"Nggak enak ya masakanku?"
Tanya Laras.
"Eh..Eh..Anu Dek, nggak apa-apa.
Enak kok, enak banget malah." Buru-buru Aku melahap makanan yang ada di
sendok. Pikiranku yang beberapa detik lalu terbang entah kemana kini seketika
kembali pada habitatnya.
"Kamu aneh banget hari ini
Mas." Rajuk Laras, tangan kanannya menyentuh pahaku, Aku baru menyadari
jika karena fantasi gilaku beberapa saat lalu ternyata serta merta membuat
penisku berdiri. Laras mengrenyitkan dahi.
"Loh kok berdiri Mas? kamu lagi
pengen ya?" Tanya Laras antusias.
Belum sempat Aku menjawab, Laras
langsung beranjak dari tempat duduknya. Tanpa bisa Aku cegah dia meraih ujung
celana boxerku, menariknya ke bawah hingga membuat bagian bawah tubuhku terbuka
begitu saja tanpa penutup. Penisku yang sudah mengeras mengacung tegak.
"Loh Dek! Mau ngapain?"
"Udah, kamu terusin aja makannya
Mas...."
Laras bersimpuh di bawah kursi yang
Aku duduki, diraihnya batang penisku dengan tangan kanannya. Istriku itu mulai
mengocoknya secara perlahan, naik turun dengan kecepatan sedang. Bibirnya tak
tinggal diam, kecupan lembut tepat di lubang kencingku sontak membuatku
melenguh dan melupakan makanan yang ada di meja.
"Ouughhhh Dek..." Aku
membelai lembut rambutnya, Laras melirikku dengan tatapan binal.
"Eeemmccchhh...Dasar Mas Danar
nakal, ngacengan."
"Hush! Jangan ngomong
gitu." Selaku ketika Laras meracau tak aturan.
Kecupan bibirnya berubah menjadi
kuluman lembut, penisku yang berukuran standar dengan mudah menelusup masuk di
rongga mulut Laras. Sambil terus mengocok batang penisku menggunakan tangan,
mulutnya menghisapi batang penisku dengan sangat telaten. Lidahnya seperti
mengular, menyusuri tiap jengkal bagian kemaluanku. Tak jarang hisapannya
beralih ke bawah, menyasar dua bola pelirku yang menggantung sempurna. Tak
ayal, remasanku pada rambutnya kian erat, seiring dengan kepala Laras yang
bergerak naik turun, dengusan nafasku pun makin tak beraturan menahan nikmat.
"Ouucchhh Dekkk!"
"Eeemmcchhh..Eeemcchhh..."
Laras tak bisa menyahut, mulutnya
telah penuh terisi batang penisku yang makin menegang. Sensasi lembut, basah,
serta hangat menyergap bagian bawah tubuhku. Dia melanjutkan dengan menjilati
seluruh batang penisku. Lalu didorongnya
penisku hingga menyentuh perutku. Dijilatinya permukaan bawah penisku, kemudian
turun ke bawah dan lidahnya mulai menyusuri buah zakar. Dihisap dan dikulumnya
buah zakarku satu per satu. Dimainkannya pangkal buah zakarku dengan ujung lidahnya.
Laras mencoba mengangkat kedua kakiku
dengan memegang bagian belakang lututku dengan kedua tangannya. Aku pun ikut
membantunya dengan mengangkat kedua kakiku dan menekuknya seperti posisi
setengah jongkok. Kemudian dimainkannya lubang anusku dengan ujung lidahnya.
Disapunya seluruh permukaan lubang anusku. Aku bergeming, sejak kapan Laras
menyukai hal sejorok ini? Tapi yang lebih gila lagi adalah, arah pikiranku yang
kembali membayangkan Pak Jasim sedang bersama kami saat ini, menikmati tubuh
istriku dari belakang di saat mulut istriku sedang disibukkan oleh batang
penisku. Fantasi gila ini membuat birahiku makin terpacu tak karuan.
Kutempatkan tangan kananku di kepala
Laras. Sambil ku usap rambutnya yang lurus sebatas bahu. Mulutnya mulai menelan
penisku. Tidak sampai seluruhnya, mulutnya terlihat kesulitan saat mencapai
pertengahan batang kemaluanku yang menggemuk. Terus dia berulang kali
memasukkan dan mengeluarkan penisku dalam mulutnya. Aku ingin sedikit
memberikan pelajaran kepadanya. Kutahan kepalanya pada saat dia akan
mengeluarkan penisku dari mulutnya. Kutekan kepalanya sampai batas maksimal
tenggorokkannya.
Grokh
Grokh
Grokh
Terdengar dari mulutnya dan matanya
pun melirik ke arahku seolah-olah ingin memprotes tindakanku. Kulonggarkan
tekanan tanganku di kepalanya, dia pun kembali mengocok penisku dengan
mulutnya. Semakin cepat dia mengocok penisku. Hingga aku merasakan penisku
mulai berkedut, menandakan sebentar lagi aku akan mencapai klimaks. Orgasme itu
akan datang namun tiba-tiba Laras menghentikan aksi nakalnya.
"Loh Dek?" Protesku karena
Laras menghentikan oral sex secara tiba-tiba ketika ejakulasi sudah di ujung
penis.
"Aku juga pengen ngrasain enak
Mas."
Entah sejak kapan Laras melepas
celana dalamnya, yang pasti ketika dia naik ke atas pangkuanku selangkangannya
yang basah sudah tanpa penutup apapun. Sambil mengecupi bibirku, Laras meraih
batang penisku dengan tangannya dan langsung memasukkannya ke liang vagina.
Kami mendesah perlahan. Laras mulai bergerak naik turun, maju mundur. Penisku
terasa seperti diperas di dalam sana, Aku sudah tahan.
"Ouucchhh Dek!!!"
"Sebentar Mas, jangan dikeluarin
dulu!"
"AAARGGHHTTTTTT!!"
Aku memeluk tubuh Laras dengan sangat
erat, tanpa mengindahkan permintaannya Aku tak kuasa menahan gejolak orgasme
yang menerpa tubuhku. Spermaku menyemprot begitu saja di dalam rahim Laras
tanpa bisa Aku tahan lagi. Nafasku masih menderu ketika Laras dengan wajah
cemberut bangkit dari atas pangkuanku dan beranjak ke kamar mandi untuk
membersihkan sisa sperma yang menyerang liang senggamanya.
"Ma-Maaf Dek, mas udah nggak
tahan banget." Kataku.
"Iya nggak apa-apa." sahut
Laras singkat sambil terus berjalan menuju kamar mandi. Dari nada bicaranya Aku
tau kalo Laras kecewa padaku.
Posting Komentar
0 Komentar