OM NAKAL
GENRE : DRAMA EROTIC
JUMLAH HALAMAN : 274 HALAMAN
HARGA : Rp 30.000
PART 1
Namaku Indra
Herlambang, usiaku 32 tahun dengan satu orang istri dan satu orang anak.
Lingkungan rumah tempat tinggalku adalah kompleks perumahan yang jarak antar
rumah dalam satu baris saling berdempetan. Itulah kenapa tembok rumahku dan
tembok rumah tetanggaku jadi satu. Kadang aku bisa mendengar sayup-sayup
pembicaraan tetanggaku saat keadaan sedang sepi.
Tetanggaku
yang berada di sebelah kiri rumahku adalah seorang pekerja pabrik, sedangkan
istrinya sebagai ibu rumah tangga biasa. Mereka punya dua orang anak perempuan,
yang pertama umurnya sekitar 19 tahunan, tahun kemarin baru saja lulus SMA dan
yang kedua masih kelas 5 sekolah dasar. Nah, anak yang pertama inilah yang
sering jadi pembicaraan tetanggaku lainnya karena parasnya yang cantik.
Namanya
Paramita Isnawati, atau biasa dipanggil Mita. Wajahnya memang cantik, kulitnya
putih bersih dan tubuhnya langsing. Tinggi badannya pun cocok kalau dia jadi
seorang pramugari. Dia dan keluargaku sangat akrab karena dulu waktu dia masih
kecil sering bermain-main ke rumahku. Akupun selama ini biasa-biasa saja
memandangnya, sampai aku menyadari kalau dia sekarang sudah benar-benar matang
secara fisik sebagai seorang perempuan.
Suatu pagi aku
sengaja membersihkan angin-angin di tembok ruang dapurku. Lobang angin-angin
itu tembus ke rumah tetanggaku bagian dapur juga, tapi tepat di lorong depan
pintu dapurnya. Sehingga lewat lobang angin-angin itu aku bisa melihat kondisi
ruang dapur tetanggaku meski sebatas lebar pintu dapurnya. Sejenak aku
membersihkan lobang angin-angin itu dari debu dan sarang laba-laba yang
menutupinya. Tiba-tiba di depan pintu dapur tetanggaku kulihat Mita sedang
berjalan masuk kedalam rumah.
Aku sempat
terpana pada Mita yang saat itu hanya memakai selembar handuk yang menutupi
tubuhnya. Melihat kondisi rambutnya yang basah aku rasa dia baru selesai mandi.
Dalam balutan selembar handuk itu bisa kulihat kulit dada dan pahanya yang
putih mulus. Sedangkan kedua buah dadanya yang bulat menonjol seakan-akan
berontak ingin lepas dari belitan handuk yang menahannya.
Pikiranku sempat
berhenti berpikir saat kulihat pemandangan tubuh Mita yang hanya terbelit
handuk itu, namun segera kusingkirkan pikiran yang aneh-aneh karena kuanggap
hal itu biasa saja. Aku terus melakukan pekerjaanku membersihkan lobang
angin-angin ruang dapurku. Sempat kudengar Mita dan ibunya ngobrol di ruang
dapur mereka, tapi tak kudengar dengan jelas apa yang mereka bicararakan.
Lubang
angin-angin yang kubersihkan hanya kurang beberapa bagian lagi. Aku masih
berdiri di atas tangga sambil membawa sapu kecil dan kain lap. Lagi-lagi tanpa
sengaja aku disuguhi kejadian menarik lagi. Kali ini Mita lewat didepan pintu
hanya memakai celana pendek saja. Tubuh bagian atasnya terbuka tanpa penutup
apa-apa, sehingga aku bisa melihat buah dadanya yang ranum, putih bersih,
dengan ujungnya yang merah muda. Mataku terbelalak melihatnya. Kemudian
kudengar Mita bertanya pada ibunya tentang bra miliknya. Ibunya menjawab masih
belum kering semuanya, lalu Mita kembali lewat depan pintu lagi dan masuk ke
dalam ruangan tengah.
Pemandangan
pagi itu terekam jelas di otakku. Akhirnya setiap aku ketemu dengan Mita pasti
aku membayangkan dirinya hanya memakai celana pendek saja. Parahnya lagi ketika
aku bersetubuh dengan istriku, nafsuku akan memuncak saat membayangkan tubuh
Mita, bahkan setelah membayangkan tubuhnya aku akan menyetubuhi istriku
habis-habisan. Duh, kalau begini terus bisa kacau pikiranku.
***
Sore itu aku
dan istriku duduk di beranda depan sambil ngobrol tentang keluarga kami. Aku
menikmati secangkir kopi sambil membaca chat yang dikirimkan padaku. Tiba-tiba
istriku bicara sesuatu yang mambuatku seperti kejatuhan bulan.
“Pah, besok
balik ke kota jam berapa?”
“Ya seperti
biasa mah, subuh berangkat.” jawabku.
“Gini Pa, Bu
Anik tetangga kita, mau nitip Mita.”
“Ehh, nitip
gimana maksudnya?” tanyaku kaget campur penasaran.
“Mita itu
nggak nerusin kuliah, jadi maunya kerja aja, nah, dia dua hari lagi ada tes
wawancara di sebuah hotel, kebetulan tempatnya ngga jauh dari rumah kita di
kota.“
Oh iya, di
kota kami juga punya rumah sendiri. Dulu kami beli supaya lebih dekat dengan
tempat kerjaku, namun setelah mertuaku sakit dan butuh perawatan akhirnya kami
pulang ke kampung dan hanya aku saja yang tinggal di kota. Dalam kondisi
sekarang ini seminggu sekali aku pulang ke kampung, karena perjalanan dari
kampung ke tempat kerjaku butuh waktu sekitar 4 jam.
“Lah, apa
nggak kos aja di sana?” jawabku merespon perkataan istriku tadi.
“Diterima
kerja aja belum Pah, masak udah disuruh cari kos?”
“Eh, iya yah,
Hehehe, terus maunya gimana?”
“Makanya itu,
tadi pagi Bu Anik bilang mau titip Mita buat numpang di rumah kita selama
seminggu aja.”
Otakku mulai
berpikir keras, apakah aku mau dapat durian runtuh? Ataukah ini tantangan? Atau
godaan pada imanku? Mau nolak juga susah, mau setuju juga susah. Ah, mending
aku nggak usah mikir yang aneh-aneh.
“Ya udah kalo
gitu, kasih tau besok aku berangkat subuh.”
“Iya ntar aku
bilang ke Bu Anik.“
Singkat
cerita, Mita akhirnya ikut denganku pergi ke kota. Setelah menempuh jalan darat
selama 3 jam lebih, akhirnya kami sampai juga di rumahku. Posisi rumahku ini di
ujung gang sebuah kompleks perumahan sederhana. Rumahnya tak terlalu besar tapi
tanahnya cukup luas karena dulu ada sisa lahan yang dihibahkan oleh pihak
developer. Pagarnya sudah rapat dan di sisi belakang rumah sudah kubangun
tembok pembatas yang lumayan tinggi hingga orang di luar tak bisa menengok ke
dalam rumahku bagian belakang.
Mita duduk di
kursi panjang setelah selesai menurunkan barang-barangnya. Meski agak canggung
karena berada di tempat asing tapi kulihat wajah Mita masih nampak cantik.
Tubuhnya yang tumbuh sempurna saat itu dibalut dengan kemeja lengan panjang
warna biru dan celana jeans biru tua. Tak lupa dia memakai jilbab warna biru
muda juga, sepertinya tema hari ini adalah warna biru.
“Mit, kamu ngga
usah canggung gitu, anggap aja rumah sendiri.” kataku memecah keheningan
suasana.
“Eh, iya Om,
iya makasih,” jawabnya sambil tersenyum dengan manis.
“Kamu nanti
tidur di kamar depan yah, yang belakang itu kamarnya Om.”
“Iya Om makasih,
maaf udah ngerepotin.”
“Ngga apa-apa
kok, eh masukin barang-barangmu ke dalam kamar gih.”
“Iya Om.”
“Terus nanti
kamarnya kamu tata sendiri, terserah pokoknya yang membuatmu nyaman.”
“Iya baik Om.”
Setelah itu
Mita kemudian masuk ke dalam kamar yang kumaksud sambil membawa
barang-barangnya. Sebenarnya barangnya nggak banyak, hanya sebuah koper dan
sebuah kardus yang isinya lauk yang dibawakan ibunya untuk makan seminggu. Khas
banget orang kampung yang pergi ke kota kalau begitu. Beberapa lama kemudian
Mita keluar dari dalam kamarnya. Dia sudah melepas jilbab yang dipakainya tadi.
Rambutnya yang panjangnya sebahu tergerai dengan ditahan sebuah bando hitam di
atas kepalanya.
“Mit, sebentar
lagi Om mau berangkat kerja, kamu istirahat aja kalau kamu belum ada rencana
mau kemana-mana.”
“Iya Om.”
“Terus kalau
kamu mau makan, nanti tunggu Mak Ijah yang punya warung di depan gang ngirim
makanan ke sini. Om sudah langganan sama dia buat makan kamu selama seminggu
ini.”
“Wahh, makasih
lho Om, kok jadi merepotkan terus saya.” balas Mita sambil tersenyum memamerkan
giginya yang rata itu.
Setelah
bersiap-siap, aku kemudian menuju ke rumah Pak RT yang jaraknya dua rumah dari
rumahku. Kulaporkan kalau ada ponakanku yang menginap selama seminggu, supaya
tidak ada kecurigaan padaku dari tetangga di lingkunganku. Setelah semuanya
beres akupun segera menuju kantor tempatku bekerja.
***
Sore harinya
aku pulang dari kantor tepat waktu. Untung saja lalu-lintas di perjalanan tidak
begitu padat hingga akhirnya aku tiba di rumahku sekitar pukul 5 sore.
Kuparkirkan mobilku di garasi lalu aku segera masuk ke dalam rumah. Akupun
masuk ke dalam rumah dengan mengucap salam karena di rumahku ada Mita.
Namun salamku
tak dibalasnya, akupun segera masuk ke belakang rumah untuk meletakkan sepatu
dan melepas kaos kaki yang kupakai seharian ini. Sayup-sayup kudengar suara
musik yang keluar dari speaker HP dari dalam kamar Mita. Aku kira dia mungkin
sedang tiduran sambil menikmati alunan musik. Aku kemudian duduk di kursi
panjang yang kebetulan posisinya menghadap ke pintu kamar Mita.
“Eh, sudah
pulang Om?” suara Mita mengejutkanku yang sedang rebahan di kursi.
“Iya, tadi pas
masuk Om kira ngga ada orang.” Balasku.
Mita keluar
dari dalam kamar sepertinya mau mandi, karena tubuhnya hanya tertutupi selembar
handuk yang melilit tubuhnya. Sebenarnya aku terpesona melihat kemolekan tubuhnya,
tapi aku berusaha menutupinya dengan rapat, karena aku menjaga jangan sampai
dia cerita yang macam-macam pada istriku.
“Mau mandi
ya?” tanyaku sambil masih terbaring malas.
“Iya Om, apa
Om mau duluan?”
“Enggak, kamu
duluan aja.”
“Oh iya udah
kalo gitu Om,” kemudian Mita berjalan menuju ke kamar mandi.
Kamar mandi di
rumahku itu dulunya berada di dalam rumah, tapi karena saran dari temanku untuk
memindahnya maka saat renovasi rumah aku sengaja memindahkan lokasinya di
belakang rumah. Jadi sekarang ini posisi kamar mandinya berada di bagian paling
belakang setelah dapur.
Setelah Mita
pergi ke kamar mandi aku juga beranjak pergi menuju dapur. Kulihat di atas meja
makan sudah ada beberapa bungkus makanan. Berarti sore tadi Mak Ijah pemilik
warung depan gang sudah kirim makanan. Kuambil piring dan mulai meletakkan nasi
dan beberapa lauk di atasnya. Langsung saja mulai kumakan nasi beserta lauknya
itu dengan lahap. Di tengah-tengah acara makan tiba-tiba lewat Mita di depanku.
“Eh, makan
dulu yukk,” tawarku padanya.
“Lauknya apa
Om?” jawab Mita sambil berhenti di depanku.
“Ikan gurami
nih.” Sahutku.
Mita masih
membelitkan selembar handuk di tubuhnya seperti tadi. Bedanya sekarang tubuhnya
baunya wangi dan titik-titik air kulihat masih menetes di badannya. Bisa
kupastikan di balik handuk yang menutupi tubuhnya itu dia sudah tak memakai
apa-apa lagi. Kuperhatikan warna kulit di sekitar dadanya putih mulus dengan
buah dada bagian atas yang sedikit menyembul dibalik belitan handuk seakan
ingin mengintip siapa saja yang di depannya.
Entah kenapa
dia tak merasa canggung lagi padaku, dengan handuk yang dipakainya itu kalau
dia membungkuk sedikit saja pastilah aku bisa melihat celah vaginanya. Harusnya
dia segera masuk kedalam kamarnya untuk memakai baju, bukannya malah duduk
menemaniku.
“Ambil piring
sana, jangan cuma diliatin aja.” kataku kemudian.
“Ok Om,”
balasnya.
Diluar
dugaanku, ternyata Mita beneran mengambil piring lalu kembali duduk di depanku.
Dia mulai mengambil nasi lengkap dengan lauknya sama sepertiku. Aku diam saja,
tak kuperingatkan dia untuk segera memakai baju, karena memang aku menikmati
sekali pemandangan di depanku. Enak banget kalau pas lagi makan ditemani
seorang cewek cantik yang hanya membelitkan handuk untuk menutupi tubuhnya.
Setelah
selesai makan kutinggalkan Mita membereskan sisa-sia makanan kami. Termasuk
mencuci piring kotor dan menyimpan sisa makanan ke dalam kulkas. Saat selesai
mandi aku tak lagi melihat Mita lagi, entah apa yang dia lakukan di dalam
kamarnya. Pukul 9 malam kumatikan beberapa lampu yang tidak diperlukan dan
akupun masuk ke dalam kamar untuk istirahat.
***
Sekitar jam 1
malam aku merasa ingin kencing, maka langsung saja aku pergi menuju ke kamar
mandi. Setelah selesai membuang bebanku, akupun segera keluar dari dalam kamar
mandi. Namun begitu keluar dari dalam kamar mandi kulihat lampu dapur menyala,
padahal saat aku lewat tadi masih mati. Tanpa ragu aku masuk ke dalam ruang
dapur dan kulihat ternyata sudah ada Mita disitu.
“Ngapain kamu Mit?”
“Eh, Om, laper
nih Om, mau bikin mie rebus.”
Kuperhatikan
Mita malam itu memakai kain bali sebagai kemben di tubuhnya. Rambutnya yang
panjang sebahu dia gulung jadi sanggul kecil di kepalanya. Saat dia membungkuk
untuk mencari sesuatu di dalam kulkas bisa kulihat tak ada garis celana dalam
di pantatnya. Itu artinya dia tidak memakai BH dan juga tidak memakai CD juga.
Apakah sudah biasa dia seperti itu saat di rumahnya?
“Om mau
enggak?”
“Eh, apa? Apa Mit?”
jawabku sedikit kaget karena melamun.
“Mie rebus Om,”
“Ohh, enggak, Om
mau tidur aja.”
“Oke Om.”
Kutinggalkan
Mita di dapur, aku menuju kembali ke kamarku untuk tidur karena pagi nanti aku
harus berangkat kerja.
***
Pukul 06:00
pagi alarm di HP berbunyi membangunkan aku dari lelapnya tidur. Rasanya
bener-bener malas mau berangkat kerja, tapi apa daya kewajibanku harus mampu
mengalahkan kemalasanku. Akupun segera beranjak dari tempat tidur kemudian
menuju ke belakang menuju kamar mandi. Sesampainya di dapur aku melihat Mita
sedang makan sarapannya. Seperti kemarin dia hanya melilitkan handuk di
tubuhnya. Entahlah, kalau dilihat sih bukan karena dia kurang pakaian, tapi aku
yakin karena kebiasaan. Aku juga tak terlalu mempermasalahkannya.
“Eh, pagi Om.”
“Iya pagi juga
Mit, kamu udah mandi?”
“Udah dong Om.”
“Ya udah Om
mau mandi dulu kalo gitu.”
Akupun segera
meninggalkannya menuju kamar mandi. Setelah buang hajat dan membersihkan
seluruh tubuhku dalam guyuran air aku segera keluar dari kamar mandi.
Kubelitkan handuk untuk menutupi pinggang ke bawah tanpa ada daleman lagi
melapisinya. Bukannya bermaksud apa-apa tapi begitulah aku sehari-harinya.
Setelah aku sampai di dapur lagi, kulihat Mita masih duduk disana sambil
menghadap piringnya yang sudah kosong.
“Jam berapa
tadi Mak Ijah nganterin makanan?”
“Barusan kok
Om, sebelum Om bangun tadi.” jawabnya enteng.
Kulihat ada
paha ayam dan sayur kangkung di atas meja. Masih bertelanjang dada aku langsung
mengambil piring dan segera makan pagi. Jadilah aku dan Mita pagi itu makan
semeja masih dalam balutan handuk kami masing-masing. Tak ada rasa canggung
diantara kami, dia kulihat enjoy saja dan akupun juga sama.
“Om, doain
yah, ntar aku ada tes wawancara di Hotel Balero.”
“Iya semoga lancar
ya Mit, eh jam berapa ntar kamu berangkat?”
“Jam 10 pagi
om jadwalnya.”
“Oh, ya udah
ntar kamu jam setengah sepuluh berangkat aja, deket kok lokasinya.”
“Iya Om.”
“Ntar kamu
naik ojol aja, paling cuma kena sepuluh ribu.”
“Iya Om
beres.”
Selesai
sarapan aku segera siap-siap berangkat kerja. Jam sudah menunjukkan pukul 07:15
tandanya aku harus buru-buru berangkat, supaya sampai kantor tidak terlambat.
Aku kasih Mita kunci pintu depan supaya nanti dia bisa meninggalkan rumah dalam
kondisi terkunci semuanya. Tak lupa aku kasih dia uang saku secukupnya.
***
Pukul 17:30
aku sudah kembali ke rumahku. Hari ini tidak melelahkan seperti hari-hari sebelumnya.
Meskipun ada beberapa meeting tapi tidak sampai membutuhkan waktu yang panjang.
Saat masuk ke dalam rumah tak kulihat adanya Mita, tumben dia masih belum
pulang, apa tes kerjanya sampai malam ya?
Setelah
selesai mandi aku duduk di kursi ruang tamu. Aku masih bertelanjang dada dan
hanya memakai celana pendek boxer tanpa celana dalam. Kuputar musik yang easy
listening pada home teather dengan volume rendah sambil membalas chat di HP ku.
Sejenak aku menikmati suasana yang rileks dan santai tapi tiba-tiba Mita datang
sambil mengucap salam. Kulihat dia masuk ke dalam rumah dengan muka yang kusut,
sepertinya dia capek banget.
Beberapa saat
kemudian Mita keluar lagi dari dalam kamarnya hanya dengan belitan handuk di
tubuhnya, dia langsung berjalan menuju belakang rumah. Sekitar sepuluh menit
kemudian dia kembali dengan raut wajah yang lebih segar dibanding saat dia
pulang.
“Gimana tes
kerjanya Mit?”
“Lolos Om!”
jawabnya sambil ikut duduk di sampingku. Anak ini sepertinya sudah nyaman
berada di dekatku, kalau masih canggung harusnya dia duduk di depanku.
“Syukur deh kalau
kamu lolos, terus kenapa pulang-pulang tadi kok kusut gitu?”
“Capek baget
Om.”
“Yahh, namanya
orang kerja itu ya pasti capek Mit, semangat aja pokoknya.”
“Ada minyak
gosok nggak Om?”
“Ada, tuh di
lemari kamarnya Om.”
“Minta dong Om,
pegel banget kaki sama pinggangku.” Aku kemudian mengambil sebotol minyak urut
yang ada kamarku lalu kembali mendekati Mita.
“Eh, mau Om
pijitin?”
“Hihihi, ya
mau dong Om.” balas Mita sambil terkekeh memamerkan deretan giginya yang rata
dan putih bersih.
“Oke sekarang
kita masuk ke kamar kamu aja.“ ujarku
“Kok di kamar
Mita Om?”
“Ntar kamu
ketiduran di sini, om nggak bisa gendong kamu ke kamar nanti.”
“Hihihi, ya udah
Om, kita ke kamar aja.”
Aku dan Mita
lalu masuk ke dalam kamarnya. Segera kusuruh Mita berbaring di atas tempat
tidur dengan posisi tengkurap. Sambil ngobrol kumulai saja sapuan tanganku pada
betis kirinya dan berikutnya betis bagian kanan. Aku tak menekan betisnya
terlalu kuat supaya dia merasa nyaman dan tidak kesakitan. Berikutnya aku pijat
juga bagian paha kiri dan kanan. Aku masih menahan gerak tanganku agar tak
terlalu ke daerah pangkal pahanya. Namun begitu aku masih sempat melihat
belahan memek Mita yang masih rapat terhimpit pangkal pahanya.
“Enak nggak
pijatan Om?”
“Hemmm, enak
banget Om, kakiku jadi enteng.”
Aku ajak
ngobrol Mita sambil tanganku masih memijat daerah pangkal pahanya. Sempat
beberapa kali aku hampir menyenggol permukaan vaginanya, namun aku masih
hati-hati supaya dia tak mengira aku sengaja mengerjainya. Setelah kupijit
kakinya, sekarang aku gantian memijat pundaknya. Kubalurkan minyak urut
secukupnya pada daerah kedua pundaknya kiri dan kanan. Kuusap-usap permukaan
kulit Mita yang tadi kuberi minyak.
“Uhhh, tambah
enak Om.”
“Masak sih?”
Aku terus
memijat pundaknya dengan lembut sambil berusaha menurunkan ikatan handuknya
perlahan-lahan. Kusenggol-senggol ikatan handuknya dengan jempol tanganku
supaya agak turun sedikit.
“Kenapa Om?”
tanya Mita yang menyadari aku mengalami gangguan.
“Ini handuknya
tebel, jadi susah mau mijitnya, kamu ganti pake kaos dulu gih.”
“Ohh, gini aja
Om, mending aku lepas aja handuknya, ngga papa kan?”
“Eh, ja, jang,
anu, em, boleh, boleh,” jawabku agak bingung juga pada kenekatannya.
“Asal Om nggak
pikiran macem-macem aja ya!” ledeknya.
Aku termenung
sebentar. Sebenarnya inilah ujian keimananku dan kesetiaanku pada istriku. Di
depanku sekarang ada gadis belia yang tengah matang-matangnya. Bisa saja aku
perkosa dia kalau birahiku sudah mengalahkan akal sehatku.
“Hahaha,
enggak lah, kamu ini udah aku anggap keluarga Om sendiri.” ucapku. Mungkin
bunyi kata-kataku itu lebih tepatnya untuk mensugesti otak mesumku.
Mita kemudian
duduk dan melepas handuk yang menutupi tubuhnya. Seketika itu juga aku melihat
tubuh Mita yang tumbuh dengan sempurna. Pesonanya sungguh membuat mata lelaki
manapun akan tergoda. Tubuhnya langsing, dengan warna kulit kuning langsat dan
lekuk pinggangnya yang mirip gitar. Untung saja dia masih pada posisi
membelakangiku, hingga aku hanya bisa melihat bongkahan pantatnya yang padat
berisi itu. Setelah handuk yang dipakainya dia lepaskan lalu Mita kembali
tengkurap di atas tempat tidur seperti awal tadi.
“Om mulai lagi
ya?”
“Lanjutkan
Om!!” balas Mita bersemangat.
Iya pasti dia
merasa enak-enak saja kupijit, nih batang di balik celana sudah mulai
menyiksaku karena berontak bangun dari tidurnya. Apalagi aku saat itu nggak
pake celana dalam, jadilah ada tonjolan yang jelas terlihat di balik celana
boxer yang kupakai. Namun begitu aku masih terus memijat area sekitar pinggang
Mita yang seksi itu dengan telaten.
“Om…”
“Hemm, kenapa
lagi?”
“Sengaja ya
tangan Om kena teteknya Mita?”
“Ohh, itu buat
memperlancar aliran darah di pangkal ketiak kamu, terus kan ada artikel yang
bilang kalau payudara itu harus sering dipijit biar nggak kena kanker, biar
tetep kenceng juga.” jawabku yang mendadak mirip terapis.
“Eh iya bener
Om, Mama juga pernah bilang gitu sih, tapi emang Om bisa cara mijitnya?”
“Lah, ya bisa
dong Mita sayang.” aduh kenapa pake sayang-sayang segala.
“Beneran?”
“Beneran, Om
belajar dari video youtube.“ balasku meyakinkannya. Tiba-tiba Mita bangun lalu
duduk pada posisi yang masih membelakangiku. Aku juga masih setia di
belakangnya menikmati pundak dan pinggangnya yang seksi itu.
“Kalau gitu
Mita boleh dong dipijit teteknya sama Om! Tapi Om ngga boleh lihat yah!”
“Heh?? Tapi,
ah ya sudah, beres dah!” Aneh juga anak satu ini, biasanya itu boleh dilihat
tapi nggak boleh dipegang, tapi yang ini malah boleh dipegang tapi nggak boleh
dilihat.
Dengan ragu
aku mulai mendekatkan tanganku ke dada Mita. Tangan yang telah kulumuri dengan
minyak urut itu mulai mendekati buah dada gadis cantik yang tengah duduk di
depanku itu. Kedua tangan Mita diangkat untuk memudahkan tanganku menggapai
payudaranya yang kenyal itu. Saat telapak taganku mendarat di payudaranya
serasa detak jantungku bertambah cepat.
Pelan-pelan
mulai kuremas dan ku urut buah dada Mita dari celah ketiak menuju kedepan.
Terus menerus kulakukan pijatan dan remasan itu sampai akhirnya Mita mulai
terbuai dalam rangsangan nikmat di tubuhnya.
“Ahh, Omm, kok
enak banget sih?”
“Udah pernah
diurut kayak gini?”
“Uhhh, belum
Om, tapi kalo aku remes-remes sendiri udah sering.”
“Enakan mana
remes sendiri apa Om yang remes?”
“Ahhh, enak
diremes Om… Adduhh…”
Mita mungkin
mulai larut dalam rangsangan tanganku pada buah dadanya. Buktinya sekarang dia
menyandarkan kepalanya pada pundakku sebelah kiri, hingga kedua pipi kami
bertemu. Aku terus meremas dan mengurut buah dadanya dengan tempo yang pelan.
Rasanya ingin kunikmati sensasi ini lebih lama lagi.
“Ihh, Om
curang yah!”
“Emang
kenapa?”
“Kok cuma Mita
aja yang telanjang sih?”
“Hehe, iya nggak
apa-apa, kan kamu yang sedang dipijitin.”
“Gak, gak adil,
pokoknya Om juga harus ikut bugil juga!”
Aku bimbang,
sebimbang-bimbangnya. Bagaimana mungkin aku akan menuruti kemauan anak gadis
itu untuk menelanjangi diriku sendiri. Namun setelah kupertimbangkan lagi,
mungkin supaya ada rasa adil diantara kami akhirnya aku menuruti kemauannya.
Kupelorotkan celana pendek boxer yang kupakai lalu kulemparkan di sebelah
ranjang. Batang penisku yang sedari tadi memang sudah tegang kini terbuka
dengan bebas. Rasanya memang lega banget saat batang penisku lepas dari
kurungan.
“Waahh, besar
juga ya punya Om!!” seloroh Mita melihat batang penisku.
“Hehehe,
enggak gede banget kok.”
“Ayo Om kita
lanjut lagi.”
Aku kemudin
kembali duduk di atas tempat tidur dengan posisi kaki bersila. Tapi posisi itu
di protes oleh Mita, katanya kakiku mengganjal pinggangnya. Kemudian aku
selonjorkan kedua kakiku sambil kubuka agak lebar supaya Mita bisa berada di
antaranya.
“Nahh, enakan
gini Om.”
“Iya tapi
masih ada yang ngeganjal lagi kan?” maksudku batang penisku mengganjal di
pinggangnya.
“Udah nggak
apa-apa Om, yukk lanjutin aja!”
Kembali aku
remas-remas buah dada Mita yang posisinya masih seperti tadi. Kepalanya dia
sandarkan pada pundakku. Pada posisi seperti ini bisa saja bibir kami bertemu
dan saling mencumbu, tapi itu tidak akan terjadi, aku masih punya perhitungan
kalau yang kita lakukan malam ini akan dia ceritakan pada istriku nanti.
“Auhhh, itunya
juga di pijitin ya Om?” tanya Mita saat tanganku sengaja memijit dan memelintir
puting susunya.
“Loh, ini kan
bagian dari terapi.” alasanku.
“Uuhh, iya nggak
apa-apa sih Om, jadi tambah enak nihh. Aahh…”
“Kamu mau yang
lebih enak lagi nggak?”
“Ahh, mau dong
Om!”
“Kalau gitu
kamu harus janji ya?”
“Janji apa sih
Om?”
“Janji ngga
bakalan cerita kejadian ini pada siapapun, terutama tante Ana!”
“Wahh, itu
gampang Om, iya Mita janji!”
Eh iya, tante
Ana itu maksudnya istriku, panggilannya Ana. Setelah Mita mengucapkan kata
janji, tangan kiriku segera turun mencari celah vaginanya. Seperti dugaanku
celah vagina Mita ini masih rapat dan sempit, tapi saat itu sudah basah banget.
“Kamu masih
perawan ya?”
“Iya dong Om.”
“Baiklah, akan
Om jaga keperawananmu.”
Selesai
berkata demikian jari tangan kiriku mulai menggosok-gosok celah vagina Mita dan
mulai memainkan klitorisnya. Usahaku tak menemui hambatan karena Mita dengan
suka rela merenggangkan pahanya, lagian juga gerakan jariku semakin lincah
karena rembesan cairan memeknya.
“Ahh…Ahhh…Mita
diapain Om?”
“Udah tenang,
nikmati aja.”
“Iya Om. Ahh…kok
enak banget sih? Uhh…”
Memang baru
pertama kali bagi Mita menerima rangsangan dari orang lain pada celah
vaginanya. Tubuhnya bergerak naik turun, kadang juga meliuk-liuk seperti
seorang penari. Semakin lama gerakan tubuhnya mengikuti kocokan jari tanganku
pada klitorisnya. Namun yang jelas tak lama lagi pasti dia akan mencapai
puncaknya.
“Aduh, aduh,
Mita mau pipis Om! Aaahh! Enak Om!”
“Pipis aja di sini.”
“Nggak, ntar
basah kasurnya…Uuhh….”
“Udah ngga apa-apa
pipis aja jangan ditahan, ntar Om yang bersihkan.“ Begitu aku selesai berkata,
tubuh Mita tiba-tiba bergetar dan mengejang beberapa saat lamanya.
“Oohhh….Ooohhhh..Ommm…Ooohh..”
Kudekap celah
vagina Mita dengan telapak tanganku. Biasanya cewek paling suka saat orgasme
ada sesuatu yang menahan vaginanya. Efeknya bisa membuat tubuhnya akan bergetar
lebih lama dari biasanya.
“Aaaahhhh…Omm!!!
Aduuuhh!!!”
Aku tak berani
berbuat lebih jauh lagi. Segera kubaringkan tubuh Mita yang masih kehilangan
tenaga akibat orgasme yang menimpanya. Kutidurkan Mita dengan posisi telungkup,
kuluruskan kaki kirinya dan kutekuk kaki kanannya.
“Ahhh…Lemes
banget Om. Tapi makasih ya Om.”
“Iya
sama-sama, kamu istirahat aja, udah malam nih, Om juga mau tidur.” Kukecup
keningnya dengan rasa sayang lalu kuambil celana pendekku dan segera melangkah
pergi keluar dari kamar Mita.
Posting Komentar
0 Komentar