MALAM BIRAHI
GENRE : DRAMA EROTIC
JUMLAH HALAMAN : 34 HALAMAN
HARGA : Rp 10.000
Sebuah suara
terdengar dari sebelah meja kerjaku yang dipisahkan sebuah lorong tempat lemari
arsip berada, terdengar suara yang sangat aku hafal dan begitu khasnya. Suara
tersebut adalah milik teman sekaligus staffku Ifa Sartika, aku melihatnya lewat
jendela ruangan yang memisahkan ruangan kami. Wajahnya terlihat sangat ceria
sambil mengobrol manja dengan HP berada dekat telinganya. Hingga akhirnya
kedatanganku membuat ia terpaksa menjauhkan HPnya dari telinganya untuk fokus
mendengarkan permintaanku.
“Bagaimana
Bu?” ucapnya dengan sopan.
“Bu.. Ba.. Bu,
emang aku ibumu, udah ngobrolnya? Ayokk dah lapar nih! Ke kantin yuk! Jangan
nelpon aja ih!”
“Hehehe, maaf Teh.”
ucapnya sambil kembali meletakkan HPnya di dekat telinga.
“Ehh sayang..
ups, maksudnya nanti aku telpon lagi ya, si bos ngajak lunch nih.. oke..
byee..” ucapnya lagi yang terlihat salah tingkah karena kata “sayang” yang ia
ucapkan.
“Dasar kamu,
buruan nikah sana! Manggil sayang.. sayang mulu!” Ucapku yang memang sering
bercanda ketus pada adik kampus sekalian bawahanku ini yang sekarang sudah
menjadi teman akrabku di kantor 6 bulan belakangan.
“Yee Teteh
sirik amat, maklum Teh aku kan masih puber. Hehehehe…”
“Ihh udah gede
juga, puber apaan?”
“Iya deh
ngalah sama yang udah nikah, aku mah apa.”
“Ihh kamu mah,
ayok keburu jam makan siang selesai nih!”
Kami kemudian
melangkahkan kaki menuju sebuah kantin dekat dengan kantor pemerintahan tempat
dimana kami berkerja untuk menyantap makan siang.
“Ehh Teh,
gimana kabar Aldi? Nggak apa-apa dia sendirian sama pembantu di rumah?”
“Nggak apa-apa
kok, udah biasa ini, mau 6 bulan juga.“
“Kalau Mas
Imran?” tanyanya yang membuatku ikut membayang sosok yang ia sebutkan itu.
“Ya begitulah,
masih banyak proyek. Lagian dia juga sibuk buat ujian Tesisnya.” ucapku yang
kini membayangkan wajah suamiku, Imran.
“Aduh, kok
murung gitu si Teh? Maaf kalau pertanyaan Ifa buat Teteh sedih, kangen ya sama
Mas Imran?”
“Ya, begitulah
Fa, namanya juga suami pasti dikangeninlah apa lagi jauh. Kamu aja yang bedanya
cuma kecamatan tiap hari telponan mesra-mesraan, apalagi Teteh yang beda negara?”
“Ihh.. apaan
sih teh.. jealous deh… kan sayang.. tapi bener juga sih teh, hehehe.”
Akhirnya
obrolan kami sedikit terhenti karena pesanan makanan kami sudah datang di meja.
1 porsi nasi Ayam dan 1 porsi nasi Rendang khas padang serta 2 gelas es teh,
membuat fokus kami yang asik bercerita buyar karena perut yang keroncongan.
Dengan lahapnya kami berdua menyantap makanan yang terasa begitu lezatnya
hingga hanya menyisakan piring kosong dan juga gelas berisi es yang belum
sempurna mencair.
“Wah emang
kita udah lewat jam makan nih teh, ludes habis nih mah.” ucap Ifa dengan wajah
cerianya.
“Yee..
gara-gara kamu asik nelponan kan kita jadi telat makan.”
“Hehehe.. iya
juga teh.. masih 15 menit nih teh, nyantai dulu ya teh.”
“Iya.. iya..
makananya juga belum turun.”
Kami berdua
akhirnya sedikit beristrahat di kantin yang ternyata masih ramai dengan para
pengunjungnya dan membawa kami asik bercerita, terutama Ifa, ia asik curhat
tentang kekasihnya yang bernama Denny, yang menurutnya tajir juga baik padanya,
selain itu dari foto yang ia tunjukan Denny juga terlihat ganteng. Ya cocoklah
dengan Ifa yang memang juga cantik pintar dan pekerja keras. Meski hubungan
mereka baru berjalan 2 bulan, namun terlihat keseriusan Deny yang rela menunggu
Ifa pulang dan mengantarkannya.
“Aduh Fa, ini
udah lewat sejam kita disini loh.” ucapku yang ternyata baru sadar jam makan
siang sudah selesai 1 jam yang lalu.
“Masa sih Teh?
Ya ampun maaf teh, Ifa asik ngomong nggak sadar.”
"Iya nih,
teteh juga asik banget dengarin kamu cerita sampai nggak sadar, ini juga
pegawai nih pada belum masuk apa masih banyak mondar-mandir di sini.”
“Maklum teh
katanya si bos besar, Pak Bupati lagi ke luar daerah.”
“Iya juga sih,
tapi kerjaan kita numpuk nih, wah bisa telat pulang nih kita.”
“Iya juga ya!
Aduh ayukk teh kita balik aja.”
Benar saja pekerjaan
yang seharusnya bisa kami kerjakan ternyata terlambat membuat kami harus lembur
untuk mengejar target. Karena bahan yang kami kerjakan ini keesokan harinya
akan dipakai oleh Kepala dinas, sebagai bahan meeting bulanan bersama para
kepala dinas lainnya.
“Aduh teh,
maaf aku buat teteh ikut lembur juga bantuin aku.”
“Iya nggak
apa-apa Fa, salah teteh juga nggak disiplin diri.”
“Aduh teh aku
jadi nggak enak, kan Aldi pasti nunggu ini udah jam 6 loh.”
“Oh iya ya,
aduh gimana ya?” aku yang baru sadar kalau pembantuku tadi minta ijin pulang
duluan karena ada urusan keluarga.
“Ya udah teh,
tinggalin aja biar Ifa yang kerjain sisanya nanti teteh bawa ini aja sebagian
buat besok di kasi ke Pak Kepala.” ucap Ifa padaku yang sibuk mengecek HP
menelpon ke rumah.
“Assalamualaikum..
iya.. ohh syukurlah ini bentar lagi ya otw pulang, terima kasih ya mbak.”
ucapku di HP setelah tahu mbak yang menjaga Aldi menunda kepulangannya karena
aku belum kunjung pulang.
Akhirnya aku
membereskan berkas-berkas yang akan dipakai esok harinya setelah itu beranjak
meninggalkan Ifa yang sendirian di sana, di kantor yang memang ruangannya
sedikit terpisah dari ruangan utama, bahkan punya akses tersendiri di bagian
belakang gedung sehingga kami para pegawai biasanya memarkir kendaraan di
bagian belakang. Gedung perkantoran pada jam segini memang sudah mulai sepi
karena banyak yang juga sudah pulang, jarang banget ada yang lembur dan masih
bekerja kecuali sudah sangat kepepet seperti aku dan Ifa tadi.
Saat aku
bejalan menyusuri halaman belakang kantor, aku melihat sebuah mobil yang sering
juga aku lihat menjemput Ifa, berada persis di samping mobilku dan terlihat
sesosok pria yang sedang duduk menunggu di dalam mobil sambil kepulan asap
keluar lewat jendela yang terbuka lebar.
“Ehh ibu udah
selesai?”
“Iya, mau
jemput Ifa ya? Waduh kasihan harus nunggu, paling 30 menit lagi Ifa selesai,
ada sedikit kerjaan tadi.” ucapku menerangkan sambil membuka pintu dan
memasukan berkas-berkas di jok sebelahnya.
“Iya nggak
apa-apa bu udah biasa.”
“Ya udah, saya
pamit dulu ya.” ucapku yang langsung masuk mobil dan tancap gas menuju rumahku.
Untungnya
jalanan sore ini tak terlalu macet, ya karena tempatku bukan kota besar, serta
jarak tempuh ke rumahku yang memang dekat membuat hanya 10 menit aku
mengendarai mobil dan sudah sampai di rumahku. Aku bergegas masuk dan menemukan
anakku sudah tertidur, di samping penjaganya yang terlihat lelah juga.
“Aduh maaf
mbak saya harus ada kerjaan dadakan.”
“Iya nggak
apa-apa bu, udah dari tadi sih tidurnya, capek mungkin seharian mainan air di
kolam.” ucap penjaganya sembari menunjuk kolam buatan dari karet yang berada di
halaman belakang.
“Aduh mbak
maaf ya. Oh ya ini ada sedikit tip buat mbak..”
“Nggak usah
bu, nggak apa-apa, lagian nggak jadi juga kegiatan di rumah.”
“Aduh saya
nggak enak mbak, anggap aja uang lembur, kan kita profesional, udah ambil aja ya.”
“Aduh jadi
nggak enak saya bu.”
“Nggak
apa-apa, ini ambil.” ucapku sambil memberi sedikit tip pada pengasuh anakku ini
karena memang pekerjaannya bagus dan juga cakap, lagian dia juga berhak
mendapatkannya.
Melihat anakku
yang terlelap, aku tak tega membangunkannya, sehingga hanya kecupan yang aku
berikan, lalu aku teringat dengan berkas di mobil yang harus aku siapkan untuk
besok, kakiku kemudian melangkah menuju mobilku.
“Ya ampun kok
ini sih? Aduh salah nih.” ucapku sambil mencoba menghubungi nomor Ifa
berkali-kali namun tak ada jawaban.
“Aduh, besok
dipakai lagi, gimana nih!” ucapku yang kemudian sedikit termenung.
Akhirnya aku
menuju kamarku menggendong anaku yang tertidur lelap, kemudian memasukannya
dalam mobil dan membawanya bersamaku menuju kantorku kembali. Aku tiba, suasana
kantor sudah lumayan sepi namun aku masih menemukan mobil pacar Ifa di sana,
tapi tidak dengan orangnya.
“Syukurlah
mungkin masih beres-beres dia.” ucapku yang kemudian turun meninggalkan anaku
sendirian di mobil menuju ruangan kantorku.
“Loh kok udah
gelap ya?” ucapku yang ingin mencari penjaga gedung siapa tahu masih ada
berkasnya dan tak dibawa oleh Ifa pulang.
Namun sebelum
beranjak jauh, dari luar aku melihat ternyata pintu ruangan kantor sedikit
terbuka sehingga kuputuskan untuk melihat dulu sekitar. Kebetulan tadi setelah
pulang aku mengganti sepatu kerja dengan sendal yang aku gunakan sekarang
sehingga kedatanganku sedikit bercampur dengan suasana hening. Sesampainya di
depan pintu, benar saja aku mendapatkan pintu sedikit terbuka dan dari dalam
ada sedikit cahaya dari ruang arsip yang tak memiliki jendela. Memang dari luar
tadi tak terlihat adanya cahaya dikarenakan terhalang oleh lemari yang menutupi
ruangan tersebut.
Ruang arsip
itu terletak persis di samping kiri ruangan kalau dari pintu masuk, dengan
pintu ruang arsip yang menghadap pada arah matahari terbit, tempat dimana tadi
aku berusaha melihat cahaya dari luar namun memang terhalangi oleh lemari besar
disamping kanan pintu. Dengan suasana yang sepi seperti ini dan gelap cukup
aneh melihat keadaan kantor yang tak terkunci apalagi ruangan arsip masih
menyala membuat rasa penasaranku timbul mendekati ruang tersebut.
Baru 2-3
langkah aku menuju ruang arsip yang pintunya ada di depan, ada suara aneh yang
aku dengar dari dalam ruangan tersebut, membuat aku seketika memperlambat jalan
dan seperti sudah insting, suara kakiku berusaha aku redam dengan jalan yang
mengendap-endap. Suara itu terdengar mulai lebih keras saat tubuhku mulai
mendekat pada pintu ruang arsip yang terbuka. Wajahku berusaha melihat kearah
dalam namun yang kulihat pertama adalah lemari arsip didepanku yang bersandar
pada tembok.
Ya ruang ini
hanyalah ruangan berbentuk 7×2 meter, sehingga apa yang aku lihat pertama
adalah lemari. Wajahku berusaha untuk melihat kearah dalam lagi namun tubuhku
berhenti seolah hanya mengijinkan wajahku untuk masuk. Dan apa yang aku lihat
sunggu di luar dugaan, dan ini menjelaskan asal muasal suara aneh yang sekarang
semakin jelas di telingaku. Dengan mata dan kepalaku sendiri aku melihat Ifa
tengah berdiri menyandarkan tubuhnya pada lemari besi di belakangnya, wajahnya
seperti meringis melukiskan pesan berarti dengan mulut yang terbuka seperti
menyebut huruf “O” dengan mata merem melek.
Suara aneh itu
semakin terdengar bercampur dengan suara serak dari tenggorokan Ifa. Aku
mengarahkan pandanganku ke arah bawah asal suara itu berada, namun yang aku
lihat hanyalah meja yang menghalangi pandanganku pada sosok di bawah sana, ia
berjongkok sambil kepalanya dan rambutnya diremas Ifa yang terlihat pasrah
tubuh bagian bawahnya mengeluarkan suara aneh, suara becek yang khas..
“Astagfirullah,
Ifa???” ucapkan yang serak dan hampir tak keluar suara akibat shock kaget
melihat kejadian di depan mata.
Bisa kulihat
salah satu kaki Ifa ia angkat dan letakan pada kursi di depannya sedangkan
roknya sudah terangkat hingga pinggulnya, di atas meja bahkan bisa kulihat
celana dalam wanita berwarna putih tergeletak disana, celana dalam yang aku
yakini adalah kepunyaan Ifa.Tubuhku merinding melihat ini semua, sebuah sensasi
yang tak pernah aku bayangkan sebelumnya, tubuhku terpaku disana sedikit
memepetkan diri pada tepi pintu agar tak terlihat oleh Ifa yang nampaknya juga
sedang menikmati permainan di bagian ke wanita nanya itu.
“Cleckhh..
Clecckk.. Cleckk.. Slurpp..“ bunyi suara-suara aneh yang terdengar jelas.
“Ssst…Ouucchhhh…Aaacchhhh….”
desah pelan Ifa, dimana kedua tangannya berpindah beberapa kali dari menutup
mulutnya dan meremas rambut dan kepala pria dibawah selangkangannya itu.
Ada sekitar 2
menit aku berada di depan pintu itu terpana dan terhipnotis di sana, hingga
akhirnya sebuah tangan dan tubuh merangkulku dari belakang dimana tangannya
mengancing kedua tanganku yang sedang menekuk hingga aku tak bisa bergerak,
tangan kanannya kemudian menutup mulutku berserta dua telapak tanganku yang
memang sudah berada disana sejak tadi.
“Ssttt.. Bu
jangan berisik ini Denny!“ ucap sosok yang berbisik pelan di belakang
telingaku.
Aku tersentak
lebih kaget lagi, segala macam rasa bercampur, marah, takut, gugup dan juga
khawatir aku rasakan, bercampur membuatku binggung dan sensor motorikku seolah
ikut bingung sehingga aku hanya terdiam saja dalam pelukan pria yang mengaku
sebagai Denny pacar Ifa. Pikiranku masih kalut, detak jantungku berdetak begitu
cepatnya rasa-rasanya aku begitu lemas dalam pelukan pria yang begitu erat
mendekapku ini.
“Ibu ngapain?
Bukannya tadi sudah pulang?” tanya pria yang masih belum bisa aku lihat
wajahnya itu.
“Arrrggggggghhhttt…”
Tiba-tiba
terdengar erangan dan lenguhan suara di depan kami, sebuah suara yang keluar
dari bibir mungil Ifa. Tubuh Ifa mengeliat menimbulkan suara berisik dari
gesekan tubuhnya dengan lemari di belakangnya itu. Aku dan pria yang mendekapku
sempat terdiam sesaat sebelum akhirnya kami sedikit bersembunyi di balik tembok
karena sosok di bawah tubuh Ifa bangkit dari tempatnya.
Dan kini aku
bisa melihat sosok yang mendekapku sedari tadi karena posisi kami saat ini
saling berhadapan, ia masih memepet tubuhku dan menutup mulutku dengan telapak
tangannya, sedangkan kedua lenganku tertekuk dan ia tekan di area dadaku. Pria
ini yang sering aku lihat bersama Ifa, yang tadi juga sempat aku sapa sebelum
pergi meninggalkan kantor, Pria yang tingginya kutaksir 180cm dan berbadan
tegap ini adalah Denny pacar Ifa.
“Neng Ifa
udah dapet ya? Sekarang gantian ya, nungging, mau bapak masukin.” ucap pria
tersebut.
“Tunggu pak,
Ifa basahin dulu…”
“Nggak usah
neng, punya neng udah becek, bapak udah nggak tahan, mau ambil jatah dulu! Lagian
kasihan pacar neng tungguin.” ucap pria tersebut.
Aku saat itu
hanya tertegun mendengar ucapan pria yang sangat aku kenal suaranya itu, tanpa
melihat pun dari suara berat pria tersebut aku cukup tahu kalau itu adalah Pak
Yadi seorang Kepala keamanan di gedung
pemerintahan ini. Ia sering menyapaku dan berbincang bahkan dalam beberapa
kesempatan ia pernah meminjam uang padaku.
“Ssshhhtt..
Ouuhhhh Pakkk!” desah Ifa yang terdengar seperti bergetar.
Posting Komentar
0 Komentar