JERAT BIRAHI BANDOT TUA
GENRE : DRAMA EROTIC
JUMLAH HALAMAN : 195 HALAMAN
HARGA : Rp 30.000
PART 1
Pagi yang
cerah. Mendung yang selama dua hari ini menggelayut di langit, hilang entah
kemana. Mentari pagi mengintip malu-malu dari balik pepohonan, membangunkan
burung-burung dan manusia yang berniat untuk sekedar lari pagi atau jalan kaki.
Di pelataran, kutunggui cucuku yang sedang bermain bersama teman-temannya.
Santai kunikmati kesegaran pagi ini sambil
melirik ke kiri dan ke kanan, bahkan kadang-kadang melotot apabila melihat
pemandangan yang sedikit agak menarik. Entah itu baju yang terlalu ketat, atau
rok yang terlalu pendek. Yang jelas, dua-duanya membuat air liurku menetes
deras.
”Cantiknya!”
batinku saat melihat seorang perempuan melintas menggandeng anaknya. Tanpa
menoleh, perempuan itu terus berlalu.
Cuma goyangan
pinggulnya saja yang tertinggal, memanjakan mataku yang agak sedikit juling.
Hilang perempuan itu, datang segerombolan ibu-ibu muda yang berjalan beriringan
sambil bersenda gurau. Goyangan dada mereka yang sentosa membuat mataku
terpana. Tiba di sampingku, ibu-ibu muda itu tersenyum. Mereka heran melihat
lelaki tua yang menunggui cucunya di TK.
“Ibunya
kemana, Kek?” tanya salah satunya, yang berjilbab merah.
“Ibunya
sibuk,” aku menjawab.
“Lagian, cucu saya itu lebih dekat sama saya,
dia malah nggak mau kalau diantar ibunya.”
“Ooo, begitu
ya,” mereka menyahut serempak. Setelah basa-basi sejenak, mereka pun berlalu.
Semakin siang,
suasana menjadi semakin ramai. Dan semakin banyak juga ibu-ibu cantik yang
kutemui. Rata-rata masih muda dan berusia belasan, hanya sedikit yang umurnya
lebih dari 30 tahun. Kutaksir mereka mengantar putra pertamanya ke sekolah ini,
satu hal yang mestinya juga dilakukan Furi kalau saja dia tidak sibuk. Aku sih
tidak keberatan disuruh mengantar Rangga, karena selain aku memang sayang pada
cucuku itu, aku juga bisa memanjakan mata di sini.
Bayangkan, dua
jam dikelilingi puluhan ibu-ibu cantik dan seksi, siapa yang tidak mau coba?
Apalagi banyak dari ibu-ibu itu yang ternyata ramah dan baik hati. Ramah karena
mereka tak sungkan mengajakku ngobrol. Dan baik hati karena mereka tak risih
mempertontonkan keindahan tubuhnya kepadaku. Sebagai lelaki normal, sering
jantungku dibuat kebat-kebit oleh mereka. Yang ujung-ujungnya terpaksa
kutuntaskan dengan onani di rumah karena istriku sudah meninggal dua tahun yang
lalu.
Di antara
beberapa ibu-ibu itu, aku paling suka dengan Riana. Dia yang menurutku paling
cantik. Sehari-hari berjilbab, tapi tak sungkan memakai pakaian ketat yang
sedikit mempertontonkan keindahan tubuh sintalnya. Suaminya kerja di luar kota,
pulang seminggu sekali. Jadi tak heran kalau dia agak-agak gersang, satu hal
yang nantinya akan bisa kumanfaatkan. Selain Riana, juga ada Devita. Gadis
berhidung mancung ini lebih pendiam, tapi tubuhnya lebih montok dibanding
Riana. Kalau mengantar ke sekolah sering telat, hingga harus berlari-lari masuk
ke kelas.
Dari situlah puas kunikmati goyangan
payudaranya yang memantul-mantul indah begitu dia berlari. Devita ini memiliki
sobat karib, namanya Cecil. Katanya sih teman sejak masih kuliah. Mereka kini
tinggal bertetangga. Cecil berbodi bongsor, perabot atas bawahnya gede.
Wajahnya lumayan cantik meski tidak mulus karena beberapa jerawat menjajah
bagian kening dan pipinya yang cukup berisi. Ia bermata sipit, beralis tebal,
dan berbibir sensual. Pipinya tembem. Cecil selalu mengikat rambutnya dengan
gaya kucir kuda. Jika diurai, rambutnya hanya sebatas pundak.
Selain Cecil,
juga ada Dearani yang melengkapi geng tiga sekawan ini. Dearani paling kalem di
antara mereka bertiga. Juga paling pintar. Bercandanya selalu cerdas. Meski
langsing, tapi badannya lumayan padat. Aku sering melirik ke arah bulatan
pantatnya yang bulat dan tebal, bergerak-gerak indah kalau ia berjalan. Sama
seperti Riana, sehari-hari dia berjilbab. Empat sudah kusebutkan, masih ada
beberapa lagi. Untuk sisanya kusimpan buat nanti saja, karena hari ini ada
sebuah percakapan menarik yang cukup menyita perhatianku. Kejadian itu terjadi
dua minggu sejak aku mengantar cucuku ke sekolah.
Dari puluhan
ibu-ibu yang mengantar, hampir separoh masuk ke dalam kriteriaku. Cantik dan
montok, itulah yang aku cari. Dan rata-rata mereka bisa memenuhinya. Hari ini,
si montok Jelita yang membuatku menoleh. Nampak dia sedang berusaha menenangkan
bayinya yang menangis. Tapi semakin berusaha untuk diredakan, semakin tangis
anak itu pecah. Jelita mulai kewalahan untuk membujuknya.
”Cup-cup, Nak.
Iya, sebentar lagi kita pulang. Nunggu kak Rani dulu.” rayu ibu muda itu sambil
menimang-nimang si kecil dalam gendongannya. Rani adalah nama putri sulungnya,
teman Rangga di TK A.
”Mungkin dia
lapar, Mbak.” seru Riana.
“Iya mungkin,”
Jelita membenarkan.
”Kalau begitu
cepat aja disusui.” usul Dearani.
”Dia nggak mau
minum ASI saya.” jelas Jelita.
”Botol susunya
mana?” tanya Cecil yang ikutan mendekat.
”Emm,” Jelita
nampak berpikir.
“Mbak lupa
nggak bawa?” tebak Dearani.
“Lho, kan jadi
kasihan si kecil. Dia lapar.” Devita berkata. Jelita menggeleng, tak ingin
disudutkan.
“Bukannya aku
lupa, tapi jatah yang beli kemarin sudah habis tadi pagi.”
”Maksud Mbak,
sekarang sudah nggak ada susu lagi?” Dearani menebak lagi. Jelita mengangguk
sambil menelan ludah yang terasa kian hambar di lidahnya.
”Kasian Dodie,
mbak.” Cecil mengusap kepala bayi itu.
”Kalau saja
aku bawa uang, ingin aku meminjamkannya ke mbak buat beli susunya si Dodie.”
”Ini aku bawa,
pakai ini saja dulu.” Devita membuka dompetnya. Tapi saat lembaran uang
diulurkan, Jelita malah menolaknya.
“Jangan, nggak
usah. Biar nanti aku beli setelah mas Irfan pulang,”
“Kita lapar
masih bisa nahan, Mbak. Tapi anak kecil kan nggak bisa.” Devita berkata,
kembali mengangsurkan uangnya.
”Iya, aku juga
tahu. Tapi...” Jelita masih nampak berat. Rupanya dia tipe orang yang tak ingin
dikasihani.
“Trus si Dodie
mau dibiarkan kelaparan?” Devita terus mendesak.
”Ya enggak
lah, biar kukasih air gula aja.”
”Mana ada
gizinya, mbak.” Dearani ikut mendukung.
“Sudahlah, ini
terima saja.” Jelita terdiam, nampak berpikir keras. Riana memeluk pundak
sahabatnya itu.
”Kami selalu
disini kalau Mbak butuh sesuatu.” Jelita mengangguk dan balik memeluk pinggul
Riana.
”Iya, terima
kasih ya.” Dan akhirnya, dengan terpaksa tangannya terulur, menerima uang dari
Devita.
Semua orang
tersenyum. Termasuk juga aku yang hanya melihat sedari tadi, sambil sebuah
rencana mulai terbentuk di dalam otak mesumku.
***
Sepulang
sekolah, sambil pikiranku mengembara membayangkan tubuh montok Jelita, aku
terus melangkah menyusuri jalan. Rumahku sudah tidak jauh lagi, bahkan pagarnya
pun sudah kelihatan. Terus melangkah menembus debu tipis yang melayang-layang
di atas tanah, terasa angin yang berembus lirih menerbangkan dedaunan yang
rontok di penghujung musim kemarau.
Rangga kusuruh
pulang duluan, sementara aku berbelok, singgah ke sebuah rumah yang sudah
sering kulewati, tapi luput kuperhatikan padahal penghuninya cantik sekali. Aku
melirik ke dalam dan tersenyum begitu melihat pemiliknya berdiri dalam balutan
baju kurung. Jelita sedang melepas baju anaknya ketika aku datang.
“Assalamualaikum.”
Aku mengetuk pintu, perlahan. Dia menoleh dan langsung kaget saat melihatku.
“Eh, Pak
Bakri. Kukira siapa.”
Aku tersenyum.
Kupandangi ibu muda itu tanpa berkedip. Jelita nampak cantik di usianya yang
menginjak tiga puluh tahun. Tapi bodinya masih seperti remaja. Sekal dan padat.
Terutama tonjolan buah dadanya, yang seperti mau tumpah karena penuh berisi air
susu. Aku teringat enam bulan silam, saat Jelita datang ke rumah bersama
suaminya untuk menemui menantuku. Mereka ingin meminjam uang buat biaya
persalinan.
Dengan
penampilannya yang menawan, mudah saja bagi dia untuk menarik simpati dan
akhirnya bisa pulang dengan uang lima juta tergenggam di tangan. Hari ini aku
berniat untuk menagihnya meski menantuku tidak menyuruh. Ini adalah bagian dari
rencana mesum yang sudah kususun sejak pagi.
“Mari masuk,
Pak. Silakan duduk dulu,” sambut Jelita dengan nada riang dan terkejut yang
dibuat-buat.
“Saya buatkan
minum.”
“Ah, nggak
usah, Mbak. Aku cuma mampir sebentar kok.” Dengan tangan bertumpu di pintu, aku
merunduk dan menatapnya.
Jelita
langsung salah tingkah, dia pasti tahu maksud kedatanganku. Gugup dia menyuruh
si kecil Rani agar bergegas, lalu menggigit bibir, dan meminta anaknya main di
luar. Keberadaanku ibarat malaikat kematian baginya yang siap mencabut nyawanya
kapan saja.
“Rangga mana,
Pak?” tanyanya, tak berani menatapku.
“Dia kusuruh
pulang duluan.” Aku menguap lelah.
“Wah, kan bisa
di sini dulu main sama Rani.” dia berkata.
“Maunya sih
begitu, tapi Rangga-nya nggak mau.” Kukuak pintu rumahnya dan aku masuk
selangkah.
“Nggak capek
ngantar cucu tiap hari, Pak?” tanyanya lagi sambil mundur.
“Mau gimana
lagi, menantuku sibuk mengurus butik. Bisnisnya makin ramai.”
Aku bergeser lagi. Kini jarak kami tinggal dua
meter. Jelita tidak bisa mundur lagi karena di belakangnya adalah tembok. Kalau
mau menyingkir, dia harus berjalan melewatiku. Merasa tak memiliki jalan
keluar, Jelita menatapku dan tersenyum, siap untuk bernegosiasi sampai
peluangnya yang terakhir.
“Bapak nggak
berniat nagih, kan?” tanyanya pura pura.
“Kan saya
hutangnya sama Mbak Furi, bukan sama Bapak,” Aku tersenyum. Kupaksa diriku
untuk tetap berpikir jernih saat menatap tubuhnya yang sintal itu.
“Iya, aku
tahu. Tapi Furi yang menyuruhku nagih hari ini. Katanya mau buat tambahan beli
kain.” aku berbohong. Jelita menggeleng lemas.
“Tapi uangnya masih belum ada, Pak. Berilah
saya waktu lagi".
“Sudah enam
bulan, Mbak. Padahal dulu janjinya cuma dua bulan. Kami sudah cukup berbaik
hati,”
“Iya, saya
tahu. Tapi masalahnya, saya benar-benar nggak ada uang, Pak.” katanya memelas.
“Mbak kan bisa
usaha, pinjam ke saudara atau siapa gitu.” Jelita terdiam sejenak.
“Nggak ada
yang bisa saya andalkan, Pak. Semuanya juga hidup kekurangan seperti saya.” Gantian
aku yang terdiam, antara kasihan dan nafsu.
“Mungkin kita bisa mengatur kesepakatan,”
tawarku kemudian.
Kuperhatikan
dia dengan tatapan terkunci pada dadanya yang bernapas cepat, kutebak ukurannya
35B. Lumayan membanggakan tapi tidak berlebihan untuk tinggi badan Jelita yang
160 cm. Dia mengenakan celana panjang spandex hitam dan atasan biru longgar.
Bukan jenis busana yang layak disebut menggoda, tapi toh aku tetap membelalak
juga. Tersenyum, Jelita kemudian berkata,
“I-iya, Pak.
Beri saya kesempatan.”
Aku terdiam
sejenak. Dalam benakku langsung terbayang adegan di salah satu film JAV, dimana
seorang istri rela memberikan tubuhnya untuk digunakan melunasi
hutang-hutangnya. Aku nyaris tersedak saat membayangkan itu. Tersenyum, aku
berbisik perlahan.
“Mungkin bisa
kupertimbangkan kalau mbak mau...” kuutarakan apa yang ada di kepala. Dia
langsung menatapku dengan alis terangkat, terkejut dengan keberanianku.
"Bapak
bercanda, kan?" Aku menggeleng penuh percaya diri.
“Aku serius,
mbak.”
"Bapak
sungguh tega!” katanya dengan ekspresi sedih di wajahnya yang cantik.
“Sekarang
terserah Mbak Jelita. Penuhi permintaanku, maka akan kuberi waktu satu bulan
lagi. Kalau nggak mau, yah terpaksa Mbak harus membayar saat ini juga.”
"Apa
nggak ada cara lain, Pak?" Dia menatapku.
"Ini cuma
ngocok, Mbak. Nggak lebih. Sepertinya itu cukup layak buat mengganti waktuku
yang terbuang sia sia disini". Jelita mendesah berat.
"Tapi
suami saya akan membunuhku jika sampai tahu." Aku memutar mata ke
sekeliling.
“Dia nggak ada
kan sekarang? Jadi kita aman!”
"Tapi,
Pak..." Dia melirik memelas, lalu kembali menatap.
"Gimana
kalau begini saja, Saya ijinkan Bapak melihat payudaraku. Sepertinya Bapak
tertarik, saya perhatikan dari tadi Pak Bakri terus memandanginya. Gimana? Saya
rasa ini lebih baik daripada saya harus menyentuh penis Bapak.” Aku menyeringai
saat mendengar apa yang ia katakan. Boleh juga, pikirku.
“Silakan,
kalau memang Mbak maunya begitu.” Jelita ragu-ragu sesaat, tapi kemudian dia
berjalan ke pintu dan menutupnya.
"Sepuluh detik. Bapak bisa melihat
payudaraku selama sepuluh detik, sesudah itu Bapak harus pulang dan pura-pura
ini tidak pernah terjadi. Pak Bakri mengerti?"
"Ok,
sepakat." Aku mengangguk setuju.
Dia mendesah,
dan sesaat kemudian mulai membuka kancing bajunya, memperlihatkan sebuah bra
merah berenda yang sangat seksi. Di baliknya terdapat bulatan daging segar yang
berwarna putih, yang terlihat hampir tumpah karena tak rela untuk dikurung.
Saat Jelita bernapas cepat, payudara itu pun ikut bergerak turun naik, indah
sekali.
“Ini, Pak.
Silakan dilihat!” Tanpa senyum, Jelita meraih ke belakang dan melepas kaitan
bra-nya, membebaskan dua tonjolan payudara yang sungguh sangat sempurna itu.
Aku tidak mengatakan apa-apa lagi, tapi
ekspresi wajahku sudah lebih dari cukup untuk mengungkapkan apa yang sedang
kurasakan sekarang. Tak berkedip aku menatap bulatan daging kembar itu. Selain
putih, ternyata payudara Jelita juga sangat padat sekali. Sama sekali tidak
kendur apalagi kusut, kulitnya begitu kencang dan halus, dengan tonjolan puting
mungil kemerahan menghias di puncaknya yang mengacung indah ke depan.
Ingin aku
berjalan lebih dekat untuk memegangnya, tapi perjanjian tidak memungkinkan hal
tersebut terjadi. Terpaksa aku harus puas hanya dengan menontonnya dari jauh.
Tapi itu pun sudah cukup membuat air liurku menetes deras. Benar-benar
beruntung si Irfan yang tiap malam bisa meraba dan menetek di payudara seindah
ini. Terus aku mengaguminya, sampai tak terasa hitungan sepuluh detik berlalu.
“Sudah ya,
Pak.” Jelita berusaha melingkarkan tangan kanannya di depan dada. Namun sesaat
sebelum benda itu tertutup, aku mengambil ponsel di saku baju dan memotretnya.
Masih sempat tiga kali ceklikan.
"Hei,
Pak! Jangan!" Jelita memprotes, tapi sudah terlambat. Dia ingin merebut ponselku,
tetapi menyadari kondisi tubuhnya yang telanjang, niat itu jadi tak terlaksana.
"Cepat
hapus, Pak. Bapak nggak boleh ambil fotoku!"
"Buat
jaminan, Mbak.” aku berkilah.
“Kalau
ternyata Mbak ingkar janji lagi, akan kusebarkan foto ini.” kataku sambil
mengantongi ponsel.
"Kumohon,
Pak! Hapus sekarang. Saya pasti akan melunasi hutang-hutangnya." dia
meminta.
“Nanti, Mbak.
Kalau uang dari Mbak sudah kuterima!” Tersenyum sadis, aku memutuskan untuk
menggodanya sedikit,
“Dan kalau
ternyata meleset lagi, aku nggak segan-segan untuk meminta lebih dari sekedar
di foto ini.”
"Oh,
Bapak kejam!” Dia terisak.
“Tolong
mengertilah, Pak!”
“Mbak yang
nggak mau mengerti. Jadi, maafkan kalau aku sampai berbuat seperti ini.” kataku
sambil berbalik dan berjalan ke arah pintu. Dia menggeleng, tapi tidak berkata
apa-apa lagi.
“Sampai ketemu
di sekolah besok, Mbak.” Aku menoleh sebelum keluar dari rumahnya. Jelita
menatapku.
"Tahu
nggak, susu Mbak benar-benar indah, nggak kalah dengan milik menantuku!” kataku
sambil menyeringai.
“Diam, Pak!”
hanya itu yang ia katakan, dan selanjutnya tidak kudengar lagi suaranya karena
sambil tersenyum puas, aku lekas pergi meninggalkan rumahnya. Kupandangi tiga
foto yang kudapat selama aku melangkah pulang. Segera kupindah ke folder
rahasia agar tidak sampai ada yang tahu.
***
Aku sedang
mengamati beberapa ibu yang lagi asyik ngerumpi, mencoba membandingkan
kecantikan mereka, ketika mendadak terdengar bunyi riuh. Disusul suara jerit
yang berisik, dan langkah kaki yang bergesekan dengan lantai. Aku mengerjap
terkejut. Lantas mataku menangkap berpuluh-puluh pasang mata polos dan bening,
berebutan keluar dari luar kelas. Ternyata bunyi riuh tadi berasal dari
murid-murid TK yang bubaran sekolah.
Bocah-bocah
mungil berseragam itu dengan penuh semangat bersalaman pada Ibu Guru. Awalnya
memang tertib, tetapi toh akhirnya berebut juga saling dahulu mendahului. Aku
yang kebetulan duduk di seberang pintu, sampai tertabrak oleh salah seorang
murid. Si penabrak, tanpa minta maaf, kemudian ambil langkah seribu ke arah
ibunya. Aku menyeringai pada Riana, ibu murid tersebut.
"Yah.
Lagi musimnya tabrak lari!" ujarku, lalu meneruskan dengan kalem,
"Coba
kalau yang menabrak tadi, ibunya!"
"Bisa
keterusan, dong," Riana menanggapi.
Kami tertawa
bersama, kemudian mulai berjalan pulang. Riana melangkah duluan, kuiringi dari
samping. Sementara Rangga dan Sinta, putri Riana, berlari duluan di depan. Aku
tahu bahwa ada sesuatu yang mengganggu pikiran Riana, karena sejak di sekolah
tadi kuperhatikan dia lebih banyak diam. Maka sambil jalan berdampingan, Aku
bertanya penuh minat,
"Apakah ada sesuatu yang
mengganggumu?"
"Oh.
Enggak!"
"Atau
belum?" Riana tertegun.
"Ah.
Hanya ucapan iseng belaka!" jawabku menambahkan, sambil tertawa.
"Ayolah.
Jangan sampai terlambat pulang ke rumah. Nanti suamimu menyangka, kau sudah ada
yang menggoda!" Riana tersenyum. Kecut.
Kami
meneruskan langkah menuju rumah Cecil. Dia mengundang kami menghadiri pesta
ultah anaknya. Di sana, sudah banyak ibu-ibu yang berkumpul. Sedangkan
anak-anaknya ramai bermain di ruang tengah. Pesta ulang tahun itu berlangsung
seru. Acara buka kado dilakukan di depan tetamu cilik teman-teman sekelas putri
Cecil. Pernik-pernik kado unik menyembul dari kertas kado yang disobek beringas
oleh Calista, si gadis kecil yang berulang tahun.
“Wui, boneka
Barbie!” teriak Calista.
“Itu dari aku.
Bagus ya?” celetuk seorang bocah, bangga.
“Yang dari aku
juga keren. Buka yang ini dulu,” seorang bocah meraih kado dari meja dan
menyodorkan pada Calista. Calista meladeni temannya. Ia sobek kertas kado itu.
Membundar matanya melihat boneka alligator berwajah imut. Dan selebihnya,
Calista sukses memenuhi lantai dengan sobekan-sobekan kertas kado. Tiga puluh
satu kado ditumpuk di meja.
“Ini dari
Mama,” Cecil mengangsurkan kado terakhir. Calista menyambutnya dan seberingas
sebelumnya, ia membetoti kertas pembungkus.
“Asyik. Ini
tas yang aku mau!” heboh teriakan Calista menimang tas plastik produk impor
bergambar tokoh-tokoh Frozen.
“Terimakasih,
ya, Mah.” Dan pesta dilanjutkan dengan acara makan bersama.
Meja prasmanan
dengan berbagai hidangan menarik siap untuk disantap. Aku mengikuti pesta itu
dengan duduk siaga seperti seekor elang yang sedang mengintai mangsanya.
Bagaimana tidak? Sepanjang acara itu aku disuguhi banyak paha yang terkangkang
lebar, atau belahan dada yang hampir jatuh, serta kerlingan-kerlingan nakal
saat mereka menatap celanaku yang menonjol malu-malu.
“Wah,
sepertinya Pak Bakri menikmati pesta ini,” Cecil menoleh ke arahku.Aku hanya
bisa tersenyum.
“Sering-sering
begini, aku bakal awet muda!”
“Sudah
kelihatan kok,” Mereka tertawa cekikikan.
Kurang ajar
nih, aku dikerjai! geramku dalam hati. Awas ya! Pesta terus berlanjut, meskipun
masih terdengar cekikikan yang sayup-sayup. Dasar para ibu muda.
Mentang-mentang berkelompok, aku yang laki-laki sendirian jadi bahan olok-olok.
Bahkan ada seorang ibu yang menodongku,
"Pak
Bakri, bagi pulsanya dong." wajahnya tak mau lepas dari ponselnya. Karena
niatnya usil, maka kujawab dengan tak kalah usilnya juga.
"Okey
tapi kasih dulu nomor ponselmu."
"Nggak
jadi!" jawabnya ketus.
Ia melengos dan pergi membelakangiku.
Rambutnya agak bergelombang, ditata dengan jepit kecil di depan. Aku pun
mengacuhkannya tanpa beban karena dia memang bukan tipeku. Sudah gendut, nggak
cantik lagi, batinku. Mataku lebih terfokus pada Dearani, perempuan yang sedang
berbincang dengan Riana.
Wajah ayunya
tampak bercahaya. Dan ditunjang dengan tubuh bohay, jadilah dia tambah
bersinar. Di pojok ruangan, kulihat Jelita duduk memelas. Sesekali melirik ke
arahku. Gara-gara wajahnya yang mellow itu, aku jadi agak merasa bersalah sudah
mengerjainya kemarin. Tapi, gara-gara dia sendiri sih. Punya tubuh kok sebagus
itu. Aku kan jadi kepengen!
Dan rasa
kepengen itu menemukan muaranya kala kutatap Cecil, Devita dan Dearani yang
cekikikan membicarakan sesuatu. Mereka bertiga memang kompak. Kalau jajan, suka
makan dengan tema yang sama. Bakso pedas, dan minumannya juga serempak. Hmm,
apakah mereka memakai daleman yang warnanya sama? Aku menduga-duga dengan
pikiran nakal.
Aku melirik
sekilas ke arah arloji. Pukul 12:00. Sudah siang rupanya. Beberapa tamu pamit
untuk pulang. Begitu pula dengan Riana. Tapi saat akan melewatiku, dia
menyempatkan berbisik sebentar.
“Pak, saya
bisa minta bantuan?” Aku mendongak, menatapnya.
“Iya, Mbak.
Tentu.”
“Tapi tidak
sekarang.” Riana berbisik lagi.
“Besok atau lusa akan kukabari, atau setelah
waktunya saya anggap pas.”
“Terserah Mbak
aja, pokoknya saya siap!”
Jujur saja,
aku sangat mengagumi kecantikan perempuan satu ini. Kalau memang bisa
membantunya, dan akhirnya bisa dekat dengannya, kenapa tidak? Sering aku onani
sambil membayangkan tubuh Riana. Payudaranya memang tidak terlalu besar, namun
gundukannya cukup jelas terlihat di balik jilbab lebar yang selalu ia kenakan,
dan bentuknya tegak bukan kendor!
Perut Riana
begitu rata dengan pinggang ramping, namun pantat sedikit besar. Tinggi
badannya 160 cm, lebih pendek dariku yang bertinggi 170 cm. Kulitnya putih
bagai pualam. Riana pulang, dan aku masih menunggu Rangga. Tak lama, aku pun
turut pamit. Cecil dan Devita mengantarku ke pintu depan.
“Hati-hati, Pak! Jangan sampai kesasar ke
rumah tetangga,” kata mereka menggoda.
“Yang ada, aku
kesasar masuk ke kamar kalian,” sahutku tak kalah nakal. Lalu mencolek pipi
mereka masing-masing. Usia mereka jauh di bawahku, hampir selisih separoh. Tapi
untuk urusan nafsu, tidak memandang umur, bukan?
***
Tiba di rumah,
kulihat mobil anakku sudah ada di garasi. Seperti biasa, mereka pulang untuk
makan siang. Tapi tidak kujumpai mereka di ruang makan, juga di ruang tengah
dan halaman belakang. Berarti mereka berada di kamar. Kalau siang-siang begini
sudah ngumpet, bisa kupastikan mereka akan melakukannya. Apalagi melihat pintu
dan jendela kamar yang tertutup, aku jadi makin yakin. Aku sudah hafal
kebiasaan itu. Maka cepat aku beranjak ke tempat biasa aku mengintip, setelah
sebelumnya kusuruh Rangga main PS di ruang keluarga.
Dari sebuah
celah sempit di antara daun pintu yang retak, kulihat anak dan menantuku sudah
dalam keadaan bugil, tidak memakai baju sehelai pun. Nampak Ijang sedang
menindih tubuh molek Furi dengan penuh nafsu. Dia memeluk erat sehingga tubuh
Furi jadi tidak terlihat jelas. Kedua tubuh mereka penuh oleh keringat. Kepala
Ijang rapat sekali menempel di dada montok Furi, mungkin lagi nenen di sana,
sambil pantatnya bergerak naik turun. Nampak kontol Ijang yang tidak terlalu
besar tengah menumbuki liang senggama Furi.
“Memekmu
legit, Bun. Enak. Kamu enak tidak?” Ijang menggeram. Mulutnya penuh oleh
payudara montok Furi.
“Iya enak,
Bang. Teruskan saja. Enak!” Furi menggelinjang.
Aku dapat
mendengar suara mereka dari tempatku mengintip. Anakku terdengar sangat
antusias dan penuh nafsu. Namun, suara menantuku hampir terasa datar di
telinga. Jauh sekali dengan apa yang kubayangkan. Biasanya saat menyetubuhi
perempuan, suara wanita yang kusenggamai jauh lebih bernafsu, jauh lebih manja
dan jauh lebih antusias. Mungkin karena Furi tidak terpuaskan, aku berpikir.
Atau memang watak Furi sudah begitu. Toh, selama ini memang menantuku itu
terkesan pendiam dan tidak banyak tingkah. Anggun, kata orang-orang.
Tak lama Ijang
mengejang dan menghentikkan hujamannya yang bertubi-tubi, pantatnya ditekan
keras ke bawah. Laki-laki itu melenguh. Lalu setelahnya, Ijang membalikkan
badan untuk rebah di samping Furi. Kali ini aku dapat melihat tubuh menantuku
dengan utuh. Furi yang langsing itu memiliki payudara yang bulat dan mancung.
Bulatannya hampir sebesar buah pepaya, dengan puting susu berdiameter sebesar
tutup botol kecap dan panjangnya setengah ruas jari kelingking.
Kedua payudara
itu menempel dengan manisnya di atas tubuh Furi yang ramping dan langsing.
Walaupun tidak memiliki otot perut seperti bintang sinetron, perut Furi menunjukkan
kalau sama sekali tidak ada lemak di sana. Dihiasi oleh pusar yang terlihat
hanya sebagai lubang kecil gelap. Sementara, selangkangannya ditutup oleh
bulu-bulu keriting halus yang dicukur rapi, melingkari bibir kemaluan yang
tampak sedikit saja merekah karena habis dientot. Sperma Ijang nampak mengalir
perlahan keluar dari lubang memek itu.
Melihatnya
membuatku makin bergairah. Ingin sekali aku dapat merasakan kenikmatan
menggauli tubuh menantuku yang seksi itu, tapi tentu saja itu tidak mungkin.
Aku hanya dapat kembali ke kamar dan melakukan onani sambil menatap rekaman
persetubuhan mereka di layar ponsel.
Posting Komentar
0 Komentar