EROTISME TABU
GENRE : DRAMA EROTIC
JUMLAH HALAMAN : 460 HALAMAN
HARGA : Rp 40.000
PART 1
Kisah ini
dimulai saat waktu menunjukkan pukul sebelas malam. Saat seorang pemuda mabuk,
berjalan sempoyongan menelusuri gang senggol yang sudah sepi. Ridwan nama
pemuda itu. Berusia hampir dua puluh tahun, bekerja di sebuah bengkel mobil
sebagai montir. Pekerjaan itu didapatkannya seusai lulus sekolah SMK jurusan
teknik mesin dua tahun yang lalu.
Dua tahun yang
lalu itu ia baru mengetahui bahwa dia ternyata adalah anak asuh dari sebuah
keluarga yang tidak mempunyai keturunan. Orang tua aslinya, baru dikenalnya,
ketika mereka datang menemui ke dua orang tuanya untuk mengambil kembali hak
asuh dari anak biologis mereka. Kisah yang lazim dari fakta sebenarnya sering
terjadi di masyarakat kita.
Perlu
berhari-hari, ke dua pasangan orang tua itu meyakinkan kenyataan kepada Ridwan
yang marah dan mengamuk. Bahwasanya dia dilahirkan dari seorang ibu bernama
Maya, yang mengandung di luar nikah hasil dari pemerkosaan seorang pria yang
terpaksa harus dibui demi mempertanggung jawabkan pekerjaan maksiatnya itu.
Sebenarnya si pria itu berani bertanggung jawab untuk menikahi Maya, cuma
karena ia seorang pria beristri dan si istri yang marah itu memperkarakan
perbuatan si suaminya. Terpaksa vonis lima tahun penjara untuk sang suami
dijalaninya secara terpaksa. Kehilangan pekerjaan, istri, harta, itulah karma
untuk seorang pemerkosa.
Sekeluarnya
dari penjara, Si pemerkosa mampu meyakinkan Maya untuk mau dilamar menjadi
istrinya, walau pun usia mereka terpaut cukup jauh. Si Pemerkosa berusia empat
puluh tahun saat itu, dan Si Korban masih tujuh belas tahun, yang terpaksa
harus putus sekolah akibat hamil duluan.
Si Bayi yang
tanpa dosa itu, diambil sepasang suami istri yang masih kerabat Maya, untuk
dirawat dan dibesarkan. Maya yang tidak punya pilihan, terpaksa menerima
lamaran pria pemrkosanya. Orang tua Maya sendiri, selesai anaknya dinikahi,
mengultimatum anak dan menantunya langsung untuk berpisah rumah dengan mereka.
Dan mereka berdua pergi pindah kota, mengontrak di sebuah bilik yang murah di
pinggiran Jakarta.
Rudi, nama si
pemerkosa itu, harus banting tulang mulai merintis usaha kecil-kecilan. Setelah
usahanya mulai berhasil, walau pun hanya untuk hidup berdua dengan istrinya,
beberapa kali mereka mencoba menemui kerabat dari Maya untuk mengambil hak asuh
dari Ridwan. Cuma dengan berbagai alasan, salah satunya adalah bahwa Maya dan
suaminya masih belum mapan. Keinginan untuk mengasuh anak mereka pun menemui
kegagalan.
Hingga dua
tahun yang lalu. Mereka datang lagi, tepatnya hanya Maya yang datang. Memohon
kepada kerabatnya itu untuk menyerahkan Ridwan kepadanya. Dengan alasan yang
menghiba, bahwa suaminya telah mengalami penyakit stroke setahun yang lalu.
Yang mengakibatkan pekerjaan suaminya terhenti, dan mereka telah kehabisan
uang. Maya terpaksa banting tulang bekerja sebagai pembantu rumah tangga,
mencuci dan menerima titipan mengasuh anak tetangganya dengan upah tidak
seberapa. Dia memohon untuk mengambil Ridwan, semoga anaknya itu bisa dan mau
bekerja sehingga bisa meringankan beban kesulitan sehari-hari mereka, apalagi
Rudi yang sedang stroke itu harus terus berobat jalan. Yang tentu membutuhkan
uang yang bukan sedikit.
Maka, dengan
berat hati. Sepasang kerabat suami istri itu harus merelakan juga Ridwan untuk
ikut dengan ibunya. Dapat dibayangkan kekecewaan dan kemarahan Ridwan saat itu.
Mau tak mau ia terpaksa ikut ke rumah ibunya yang baru dikenalnya. Tepatnya
bukan rumah, tapi kontrakan sempit yang berdempetan dengan kontrakan-kontrakan
lainnya di lingkungan kumuh kota Jakarta yang belum tersentuh rencana tata
kota. Karena rasa kecewa dan kemarahan yang berlarut-larut itulah, Ridwan mulai
bergaul dengan bergajulan, apalagi di lingkungan kerjanya kesehariannya tak
jauh dari kegiatan para berandalan. Ridwan mulai kenal minuman keras, pil
koplo, dan lain-lainnya.
Pulang kerja,
dia bukannya pulang ke rumah, melainkan nongkrong di warung minuman Bang Manap.
Pulang dini hari dalam keadaan mabuk, berangkat kerja siang. Uang hasil
kerjanya, tak pernah diberikan langsung ke tangan ibunya, keseringan ia taruh
di atas televisi. Hingga jarang sekali, ia bercakap-cakap dengan ke dua orang
tuanya. Dua tahun berlalu, keluarga itu masih juga dalam kekakuan dan kebisuan.
Itulah sekelumit latar belakang, perkenalan dari keluarga yang menjadi tokoh
utama dalam kisah ini.
***
Jam sebelas
malam itu, memang bukan jam kebiasaan Ridwan pulang ke rumahnya, karena
biasanya ia pulang subuh. Dikarenakan malam itu ada hiburan dangdut di kampung
sebelah, teman-temannya yang biasa nongkrong, berangkat nonton semua, kecuali
Ridwan yang memang tak terlalu suka musik dangdut. Dengan terpaksa, daripada
bengong sendirian, ia pun memilih untuk pulang dengan kepala pusing akibat
minuman keras.
Sesampainya
Ridwan di depan pintu kontrakan, saat ia mau memasukan kunci, mendadak
terhenti. Kepalanya sedikit miring, mencoba mendengarkan sesuatu. Karena ia
seperti mendengar suara bercakap-cakap lirih dari dalam. Agak aneh juga, karena
sepulangnya ke rumah, biasanya rumah dalam keadaan sepi menandakan ibunya sudah
tidur. Ia lupa, karena biasanya ia pulang paling telat jam tiga subuh.
Karena
penasaran, Ridwan tidak buru-buru masuk. Ia mencoba mendengarkan ibunya sedang
bercakap-cakap dengan siapa, agaknya lelaki, lawan bicara ibunya itu. Kalau
dengan ayahnya yang sedang stroke tentulah tidak mungkin. Jangankan untuk
bercakap-cakap, smengucapkan sepatah kata saja, susahnya bukan main.
“Ayolah, buka
cepat!” terdengar suara si pria.
“Iyaaa,
sabarrr...” itu suara ibunya, yang diiringi seperti sedang terkikik geli.
Dalam keadaan
setengah mabuk, Ridwan mulai curiga. Dia mencari-cari sesuatu untuk membantunya
melihat apa yang sedang terjadi di dalam. Dan ia melihat kursi yang biasanya
dipakai duduk berjemur oleh ayahnya pagi-pagi. dia mencoba untuk berhati-hati,
mabuknya sudah hampir hilang saking tegangnya. Kursi tersebut diangkatnya
perlahan-lahan, kemudian ditaruhnya di depan pintu, untuk memudahkannya
mengintip ke dalam melalui sela-sela lubang angin.
Rumah
kontrakan yang ditinggali Ridwan sekeluarga, mempunyai tiga petak, petak satu
yang paling depan adalah kamar tidur orang tuanya, sementara petak yang kedua
adalah kamar tidurnya. Sementara petak ke tiga lebih panjang berdampingan
dengan ke dua kamar tidur, singkatnya, pintu ke dua kamar, berhadapan langsung
dengan petak ke tiga yang menjadi ruang keluarga sekaligus ruang makan,
sedangkan dapur dan kamar mandi, berada di belakang.
Dan
pemandangan yang dilihat Ridwan di dalam ruang keluarga itulah yang sekarang
dilihatnya. Ia menyaksikan ibunya dalam keadaan setengah telanjang, tengah
duduk dipangkuan seorang pria! Duduk saling berhadapan, sayangnya, si pria
dalam posisi membelakangi arah pandangannya. Sehingga sulit untuk mengenalinya.
Ridwan hampir
saja gelap mata dan menendang pintu rumah kontrakannya, kalau saja ia tidak
merasakan napasnya mulai memburu, saat melihat tangan si pria sedang melepaskan
baju tidur ibunya. Dan pemandangan yang dilihatnya, telah membuat penisnya
mengejang kaku! Payudara ibunya terlihat begitu padat dan kenyal, dengan besar
proporsional. Jari-jari si pria tampak sibuk meremas dan memilin payudara itu.
Sesekali, bahkan menekan punggung ibunya agar mulut si pria bisa menghisap dan
menggigit puting payudara yang mengkal tersebut.
“Keparat!”
dengus Ridwan dalam hatinya. Sementara matanya terus menikmati tontonan gratis
tersebut.
“Enggh...,”
terdengar rintihan halus dari ibunya, mengangkat kepalanya sampai mendongak.
Menggigit bibirnya. Sementara badannya, terayun-ayun naik turun. Badan yang
sintal dan tak kalah padatnya dibandingkan badan Si Ningsih, pelayan warung
minuman Bang Manap yang pernah digarapnya.
“Nikmaaat,
sayaaang,” terdengar erangan dari si pria.
Ridwan sedikit
mengerutkan keningnya. Ia seperti mengenal suara itu. Tubuh si pria lawan main
ibunya itu gempal dengan perut buncit. Tapi Ridwan tidak mau bersusah-susah
untuk mengingat siapa pria itu. Karena ia sedang asik memasukkan tangannya ke
dalam celana, mengocok-ocok penisnya sambil melihat siaran langsung
persetubuhan itu.
Tak lama
kemudian, si pria tampak mengejang sambil mengerang panjang. Agaknya ia telah
mencapai orgasmenya, ibunya yang dalam posisi WOT cepat mengangkap pinggulnya,
melepaskan penis lawan mainnya. Agaknya, ia tdak menginginkan penis itu
mengeluarkan air maninya di dalam vaginanya. Dari penis pendek dan gemuk itu,
menyembur sperma lumayan banyaknya. Membasahi perut buncit si pria.
Tampak raut
muka kecewa dari ibu Ridwan, agaknya ia belum terpuaskan dengan persetubuhan
itu. Ia terduduk di samping si pria yang masih terlentang menikmati kepuasan
bercintanya dengan mata terpejam. Beberapa saat kemudian, ia bangun dengan
susah payah, memeluk sambil mencium bibir ibunya Ridwan.
“Enak sekali
memekmu, Maya. Legiiit,” terdengar gumaman dari si pria itu.
Ridwan yang
sedang mati-matian mengocok penisnya, terbelalak saat muka si pria itu kini
menghadap ke arah pandangannya. Pak Hendi!
Pak Hendi
tetangga kontrakan terpisah beberapa sekat dari kontrakannya. Kerjanya si Pak
Hendi ini menjadi satpam yang bertugas jaga malam di konveksi yang berada di
mulut gang tempat mereka tinggal. Gila! Berani benar dia berselingkuh dengan
ibunya dan meninggalkan tugas jaganya. Bagaimana kalau istrinya yang juga
bekerja di konveksi itu mengetahuinya? Atau warga dan juga tetangga kontrakan
mengetahui skandal ini? Benar-benar cari mati dia. Ridwan menghentikan kegiatan
mengocok-ocok penisnya yang masih menegang kaku. Ia belum juga mencapai
kenikmatan mengeluarkan maninya. Mungkin dikarenakan persetubuhan antara ibunya
dan Pak Hendi terlalu cepat selesainya.
Dilihatnya Pak
Hendi sudah mulai berpakaian, sementara ibunya juga sudah memakai kembali baju
tidurnya. Seusai memakai seragam satpamnya, masih sempet-sempetnya ia memeluk
dan mencium bibir ibunya Ridwan yang membalas alakadarnya. Karena masih
terlihat raut muka kekecewaan akibat hasratnya yang belum terpenuhi dalam
persetubuhan barusan.
“Ini, buat
bayar kontrakanmu yang tertunggak dua bulan, tapi dengan syarat kau harus
melayaniku saat aku ingin tubuhmu, Sayang,” kata Pak Hendi sambil memberikan
sejumlah uang kepada ibunya.
“Terima
kasih,” gumam ibunya Ridwan pelan. Dan diam saja saat Pak Hendi yang masih
penasaran, memeluk dan mencium bibirnya, ke dua tangannya meremas nakal pantat
yang padat di balik baju tidur itu.
Ridwan
buru-buru meloncat dan memindahkan kembali kursi yang dipakainya sebagai
pijakan ke tempatnya semula, saat tahu Pak Hendi melangkah hendak ke luar
rumahnya. Dengan bingung, Ridwan buru-buru menyelinap ke sela-sela antara rumah
kontrakannya. Terselip sejenak di situ. Sementara Pak Hendi yang tidak
mengetahui bahwa perbuatannya tadi ada yang mengintip, berjalan sedikit
berjingkat-jingkat, agar suara sepatunya tidak terlalu berbunyi di malam yang
sepi itu. Menuju kembali ke tempat jaganya di konveksi.
Setelah
dirasanya, Pak Hendi sudah jauh, Ridwan kembali ke depan rumah kontrakannya,
berdiri sebentar di depan pintu, mencoba mendengar kegiatan ibunya di dalam.
Dan ia mendengar keran air yang mengucur di bak mandi, agaknya ibunya sedang
berada di kamar mandi. Cepat-cepat ia masuk, karena ternyata pintu tidak dalam
keadaan terkunci. Pelan sekali, ia menutup pintu kembali agar tidak
mengeluarkan suara. Melintas ke kamar depan, ia menyibak tirai kamar orang
tuanya, mengintip ke dalam, karena yakin ibunya masih di kamar mandi.
Di dalam, di
atas tempat tidur, ayahnya yang sakit stroke tampak terlelap dalam tidurnya.
Tahukah dia akan kejadian di ruang depan kamarnya ini? Bahwa demi membayar
tagihan kontrakan, istrinya sampai hati menjual tubuhnya kepada satpam tetangga
kontrakan? Pedih perasaan Ridwan melihat ketak berdayaan ayahnya. Sekaligus ia
malu hati, seharusnya ia ikut peduli akan kesusahan dari orang tuanya,
seharusnya ia lebih peduli dan bekerja lebih keras untuk mendapatkan uang, agar
mampu menghidupi ke dua orang tuanya. Selama ini ia hanya memberikan uang
sekedarnya, sisa dari membeli minuman keras, atau bersenang-senang sendiri.
Sampai ibunya bekerja sebagai pengurus rumah orang kaya, atau mengasuh anak
yang dititipkan tetangganya yang ke dua-duanya bekerja, ia sama sekali tidak
mau tahu.
Dengan langkah
gontai, dia menuju kamarnya, saat hendak masuk. Entah kenapa ia menjadi
penasaran dengan ibunya yang sedang berada di kamar mandi. Tiba-tiba saja,
pemandangan saat tubuh ibunya telanjang dan berkeringat, kembali terbayang
dalam benaknya. Begitu terbayang, mendadak penisnya kembali menegang. Sialan!
Ia mengumpat dalam hatinya. Tapi langkahnya berbalik menuju ke belakang, di
mana letak kamar mandi dan dapur berada.
Di depan kamar
mandi ia mengendap-endap, ia tahu benar bahwa pintu kamar mandi yang dari
triplek itu telah robek dan bolong-bolong. Dalam gemericik suara air keran, ia
mendengar desahan dan rintihan ibunya! Sedang apa dia? Kata Ridwan dalam
hatinya. Penasaran, ia mengintip dalam lobang pintu kamar mandi.
Dilihatnya,
ibunya dalam keadaan telanjang membelakangi pintu kamar mandi, tengah
mengggosok-gosok selangkangannya dengan cepat, sementara yang satu tangan lagi
meremas-remas payudaranya. Satu kakinya berpijak dan tertekuk di pinggiran bak.
“Enggghhh..., ughhhh,”
erangan halusnya makin sering.
Ridwan yang
mengintip, merasakan napasnya sesak. Sementara penisnya terasa memberontak
dalam celana ketatnya. Pinggul ibunya terlihat padat menggemaskan,
bergerak-gerak memutar. Pinggangnya yang ramping terlihat lentur dan
menggelinjang.
“Owhhhh,”
tiba-tiba erangan terdengar keras, diiringi tubuh sintal itu mengejang kaku.
Kepala mendongak ke langit-langit kamar mandi.
Sepi sesaat. Di depan pintu kamar, Ridwan
memejamkan mata, ikut mengejang dengan mulut terbuka. Merasakan semburan panas
sperma ke telapak tangannya. Dua tubuh terhalang hanya selembar triplek penutup
kamar mandi, tertekuk lemas. Sesaat kemudian terdengar gayung kamar mandi
mengguyur tubuh yang di dalam. Sementara Ridwan mengundurkan diri, masuk ke
dalam kamarnya dengan hati yang berdebar-debar. Sperma yang membanjir dalam
telapak tangannya terpaksa dipeperin ke tirai kamar tidurnya.
Sambil
meredakan napsu birahinya, Ridwan tergeletak di atas kasur. Mulai sadar dengan
perbuatannya, rasa malu membuatnya hatinya penuh ketakutan saat ada bayangan
terlihat dari tirai kamarnya, melintas santai. Bayangan tubuh ibunya, tentu
hanya memakai handuk. Menuju kamarnya untuk memakai baju.
Terbayang
kembali tubuh telanjang itu, yang tadi berkeringat saat bercinta dengan Pak
Hendi dan saat berada di kamar mandi, tubuh sintal dan padat, yang berusia
sekitar tiga puluh delapan tahun. Begitu matang dan berisi. Penis Ridwan
kembali menegang! Sialan! Sialan! Ia mengumpat-umpat dalam hati, mencoba
memejamkan matanya. Mengelus-elus penisnya seolah menghiburnya agar bersabar.
Dalam kegelisahan karena bayangan sintal tubuh ibunya selalu terbayang-bayang.
Akhirnya Ridwan mampu juga untuk tidur.
***
Ridwan bangun
kesiangan. Saat keluar pintu kamarnya, dia mendengar ibunya sedang mengolah
masakan. Teringat kejadian semalam, otak sadarnya merasa malu hati, bahkan tak
berani untuk sekadar pergi ke kamar mandi untuk cuci muka. Dengan
mengendap-endap seperti maling jemuran, Ridwan keluar rumah kontrakannya,
langsung tancap gas, terbirit-birit menuju bengkel tempat kerjanya. Selama
bekerja, Ridwan gelisah sekali. Kerja pun serba salah. Hingga beberapa kali
kena semprot Koh Ahong, si pemilik bengkel.
Dan sepulang
kerja, seperti biasanya dia mampir untuk nongkrong di warung minuman Bang
Manap, di situ dia minum gila-gilaan. Bahkan sampai dikira sinting, saking
banyaknya minuman yang membakar usus di perutnya. Belum lagi pil koplo yang
ditenggaknya bareng minuman.
Dan gilanya,
makin mabuk, otaknya makin membayangkan tubuh telanjang berkeringat ibunya.
Untungnya Si Ningsih, pelayan warung minuman Bang Manap sedang masuk angin
gara-gara semalam nonton dangdutan pulang subuh. Kalau ada di situ, mungkin
sudah diperkosa sama Ridwan yang sedang mengalami birahi tinggi. Tadinya Ridwan
berniat mabuk sampai pagi, namun entah apa yang terjadi.
Tiba-tiba saja
dia berdiri sempoyongan, melemparkan uang seratus ribuan ke meja Bang Manap
yang sedang anteng nonton sinetron, tanpa menunggu kembalian, dengan langkah
terhuyung-huyung dia pergi. Tak memperdulikan teriakan teman-temannya yang
memangggilnya dengan rasa heran. Aneh memang, biasanya dia betah mabuk di situ
sampai jam tiga subuh, sementara sekarang baru jam sembilan, anak itu sudah
pulang.
Entah sadar
atau tidak, langkah mabuk Ridwan membawa kakinya menuju ke arah rumahnya!
Beberapa kali dia hampir kecebur got gara-gara mabuknya yang sudah kelewatan.
Sesampainya di depan pintu rumah kontrakannya, ia tertegun kebingungan. Hanya
karena otak mabuk yang sudah terpengaruh bisikan setan, berhasil memaksanya
masuk ke dalam rumah. Setengah membanting pintu dia menutup kembali pintu
kontrakannya.
Ibunya yang sedang asik menonton sinetron
sampai terlonjak kaget mendengar suara bantingan pintu. Terheran-heran melihat
Ridwan sudah pulang. Melihat jalannya yang terhuyung-huyung, maklumlah dia,
bahwa anak itu sedang mabuk. Maya, ibu Ridwan, tidak terlalu kaget melihat
Ridwan mabuk, karena ia sering mendengar anaknya sepulang kerja selalu
mabuk-mabukan di warung minuman Bang Manap. Tak berani ia menegur, karena
merasa ikut bersalah akan keadaan yang terjadi sebelumnya, ia paham sekali
kenapa Ridwan jadi pemabuk seperti itu dan hanya mampu berdoa di dalam hati,
walau pun sering mabuk, semoga Ridwan tidak sampai membuat keonaran di tempat
umum yang tentu saja akan membuat masalah tambah besar.
“Tumben sudah
pulang?” tanya Maya dengan suara heran.
“Hmmmhhh...,”
gumam Ridwan tak jelas.
Langkahnya
makin tak tetap, sementara Ibunya kembali duduk melanjutkan kegiatannya
menonton sinetron. Tanpa menyadari sedikit pun akan mata nyalang anaknya yang
sedang menatap tubuhnya. Dalam pandangan Ridwan, tubuh itu seakan sedang duduk
dalam keadaan bugil, sedang berkeringat, dengan pinggul naik-turun bergoyang
dan berputar.
Otak Ridwan
benar-benar dalam keadaan sinting. Apalagi ketika tanpa sengaja, saat ibunya
merubah posisi duduknya, baju tidurnya tersingkap sehingga pahanya yang putih
padat terpampang jelas. Setan segera melihat kesempatan tersebut, membisikkan
sesuatu ke hati Ridwan yang sudah menggelegak panas.
Dengan sedikit
kesadaran yang tersisa, Ridwan masuk ke dalam kamarnya, mengambil kaset film
biru dari laci lemari pakaiannya, setelah sebelumnya menyambar pisau cutter dan
diselipkan ke balik bajunya. Celana jeans dilepaskan hingga menyisakan celana
kolor yang menonjol akibat penisnya yang sudah kaku menegang. Setelah keluar
kamar, ia menghampiri ibunya yang sedang asik menonton.
“Apa itu?”
tanya ibunya, saat Ridwan tanpa bicara menghidupkan VCD room.
“Kaset film,”
jawab Ridwan pendek.
“Ntar aja
dulu, lagi nonton sinetron, tanggung! Kamu sudah makan? Di dapur masih ada nasi
sama lauknya? Atau mandi dulu biar segar,” protes ibunya.
“Sudah makan
di warung. Nonton film saja mendingan,” sahut Ridwan lagi.
“Ya sudah,
film apa? Film India?”
“Jangan banyak
omong! Nonton saja!” Ridwan melotot. Lalu duduk di samping ibunya, duduknya
begitu mepet. Sehingga ibunya mencium aroma alkohol dari napas Ridwan yang
memburu.
“Iya, kalau
begitu ibu bikinin minum aja dulu, mau teh manis atau tawar?” sahut ibunya
hendak bangkit, risih dengan duduk Ridwan yang begitu mepet. Tapi secepat kilat
Ridwan menarik tangan ibunya, memaksanya untuk duduk kembali. Menahan pundak
ibunya agar tak bisa bangkit lagi.
“Sudah diam!
Duduk saja!” bentak Ridwan kasar. Ibunya terdiam, takut juga hatinya dengan
kekasaran Ridwan yang sedang dalam keadaan mabuk.
“Ikhhh!”
mendadak dia menjerit tertahan. Saat melihat tontonan mesum dari film yang
distel anaknya. Mencoba meronta saat Ridwan mendekapnya.
“Apa-apaan
kamu! Lepaskan! Kamu mabuk tau!”
“Diam!”
tiba-tiba saja, di leher ibunya sudah menempel pisau cutter.
“Kamu...!”
“Diam dan
tonton filmnya! Atau kamu memilih mati!” geram Ridwan pelan, sebelah tangan
mempererat pelukannya.
Diancam
seperti itu, ibunya sama sekali tak berkutik, di leher pisau cutter telah
menempel, sekali gores saja, habis sudah. Sementara pelukan Ridwan semakin
erat, napasnya terasa panas memburu, meniup pipinya. Dengan posisi badan tak
berkutik seperti itu, mau tak mau, Maya terpaksa melihat tontonan mesum dari
VCD yang tengah berlangsung. Risih benar dia menontonnya. Tapi entah kenapa,
tiba-tiba saja dia merasa ada yang menggeliat dari hasratnya yang berusaha
ditekannya dalam-dalam. Mencoba untuk mempertahankan alam sadarnya dengan
memejamkan mata.
“Kk..., kamu,
kamu mabuk, Nak. Ini ibu..., ibumu. Tt..., tto-long lepaskan!” pinta Maya
menghiba. Mencoba sedikit meronta.
“Kubilang
diam! Tonton saja!” bentak Ridwan kembali, napasnya makin memburu. Tak
disangka-sangka, tiba-tiba dia mencoba mencium bibir ibunya yang langsung
memberontak kaget. Pisau cutter yang menempel di leher, bereaksi. Mengiris
sedikit leher putih dan jenjang itu. Darah mulai merembes.
“Aduhhh...,”
rintih Maya merasakan perih di lehernya.
“Minta mampus
kau!” Ridwan melotot marah.
“Aku ibumu,
Nak! Nyebut.., nyebuuut!” rintih Maya mulai menangis ketakutan.
“Masabodoh!”
jawab Ridwan tak perduli. Dia benar-benar sudah dikuasai nafsu setan. Mendekap
erat tubuh montok dan padat itu.
“Leee...,
lepaskan! Atau aku akan teriak!” ancam Maya yang sudah tidak mempunyai pilihan.
“Teriaklah!
Dan sekampung akan tahu perselingkuhanmu dengan Si Bangsat Hendi satpam itu!”
Ridwan menyeringai kejam.
“Aa..., apa?!”
Maya membelalak kaget. Serasa mendengar ada petir yang meledak di samping
telinganya,
“Kk..., kamu!”
tak sanggup ia melanjutkan kata-katanya saking terkejutnya.
“Ya! Aku
melihat semuanya semalam. Kalau Si Satpam Bangsat itu bisa, kenapa aku tidak?
Dia memberi uang buat bayar kontrakan, sementara aku membiayai hampir seluruh
hidupmu dan biaya berobat bapak! Kenapa aku tidak bisa? Hah!” bentak Ridwan
makin keras. Hatinya benar-benar panas sekali.
“Ppe-pelankan
suaramu! Ibu mohon maaf, ta..., tapi bukan seperti ini caranya. ..., kemarin
ibu bingung dan gelap mata. Yang punya kontrakan terus datang menagih. Ibu
mohon, kita bicara baik-baik,” pinta Maya dengan suara memelas.
“Kau butuh
duit berapa? Makanya bilang! Jadi nggak sampai jual tubuh!” makin keras benar
suara Ridwan. Muka Maya tambah pucat,
“Pelankan
suaramu, masih banyak orang di luar, tidak enak. Ibu mohon lepaskan dulu ibu.
Kita bicara baik-baik, Nak!”
“Hmmm, takut
ketahuan Mbak Rohanah kamu ya? Bahwa suaminya malam-malam ada di sini!” dengus
Ridwan sinis. Maya terdiam, lehernya terasa perih bekas goresan pisau cutter
yang masih jg menempel.
“Lalu..., kamu
mau apa?’ tanyanya kemudian dengan suara lemas.
“Kamu nonton
dan diam saja. Kalau masih cerewet juga, kamu perlu tahu. Perselingkuhanmu
semalam dengan Si Hendi sudah kurekam di HP, kalau masih juga kamu menolak
semua keinginanku, akan kusebarkan video perselingkuhanmu ke semua orang!”
ancam Ridwan sambil menyeringai penuh kemenangan. Maya benar-benar tidak bisa
berkutik lagi. Tubuhnya benar-benar lemas oleh keadaan yang tengah dihadapinya
saat ini,
“Kamu
benar-benar gila! Aku ibumu, Nak. Sadarlah!” ujarnya masih mencoba untuk
menyadarkan Ridwan.
“Sialan! Bisa
diam tidak sih? Atau sekarang juga aku ke Mbak Rohanah buat kasih liat
videonya?” tukas Ridwan mulai kesal.
“Jj...,
jangan. Tt..., ttapi jauhkan dulu pisaunya, aduhhh perihhh,” rintih Maya dalam
keputus asaannya.
“Asal kau mau berjanji
tidak cerewet saja!”
“Aa..., ibu,
ibu berjanji!” Maya mengangguk lemas.
Sambil tertawa
penuh kemenangan, Ridwan melempar jauh pisaunya. Ke dua tangannya makin leluasa
untuk memeluk ibunya,
“Tonton saja
filmnya!” bisik Ridwan sambil menjilat kuping Maya yang segera bergidik
kegelian.
Maya merasakan
hatinya hancur. Namun ia memang sudah tidak mempunyai pilihan lain untuk
menghadapi kegilaan dari Ridwan anaknya ini. Ia seperti tengah bermimpi buruk
yang sangat menakutkan. Dalam pelukan erat Ridwan yang tangannya mulai merayap
ke mana-mana. Maya mencoba mengalihkan perhatiannya dengan menonton film mesum
yang mempertontonkan adegan yang makin panas saja. Diam-diam gairahnya mulai
terbangkitkan oleh tontonan mesum itu. Gairah yang sudah terpendam
selama-bertahun-tahun, dari mulai Rudi, suaminya, mengalami stroke. Gairah yang
hampir terlampiaskan semalam dengan Pak hendi yang ternyata tak mampu
memuaskannya.
Maya menggigit
bibirnya saat jari-jari tangan Ridwan merayap ke balik pakaian tidurnya yang
longgar, meremas-remas gemas payudaranya yang masih terbungkus bra. Mulut
Ridwan menjelajahi lehernya, tengkuknya, bahkan menjilati darah yang menetes
akibat irisan pisau cutternya tadi. Maya mulai menggelinjang geli, dia
merasakan seluruh bulu-bulu rambutnya merinding. Namun saat mulut Ridwan mau
mencium bibirnya, Maya menghindar. Kehormatannya masih melarang dia untuk
menerima ciuman penuh nafsu dari Ridwan. Ridwan itu anakmu! Begitu peringatan
alam sadarnya yang sudah mulai goyah, terbuai oleh sentuhan dan remasan
jari-jari Ridwan.
“Hrrrr!”
dengus Ridwan marah. Dia menarik kepala ibunya agar menghadap dia, tanpa
kata-kata, segera ia melumat bibir ibunya dengan ganas.
“Hmmmfffhhh,”
Maya menggeleng-gelengkan kepalanya, matanya terpejam, dengan bibir terkatup
erat. Mencoba bertahan dari serangan ciuman Ridwan. Hatinya sangat hancur
sudah.
“Buka!” bentak
Ridwan marah.
“Wan...,hmfh.”
Hanya sepatah kata itu saja.
Karena Ridwan
sudah menyerbu bibirnya, menjilat, mengecup dan memagut, lidahnya menyerbu jauh
menelusuri ke dalam rongga mulut Maya yang mengap-mengap. Bau alkohol memuakkan
menekan ulu hatinya. Hampir saja ia muntah. Jari-jari tangan Ridwan makin sibuk
bergerilya, kini dia membuka beberapa kancing atas baju tidur ibunya, setelah
melonggar, ditariknya hingga ke bawah pundak. Dengan cepat ia melepaskan
kancing bra yang membungkus payudara ibunya.
Begitu
terpampang sepasang payudara yang putih bulat, padat dan kenyal itu. Ridwan
seperti mendadak edan. Mulutnya menyelusup di antara dua daging padat itu.
Dibantu tangannya yang meremas-remas gemas. Dia mencucup, menghisap, menggigit
bergantian ke dua puting yang mulai mengeras itu. Tubuh Maya mulai mengejang,
dia mencoba untuk menahan mati-matian rangsangan birahinya. Namun akhirnya,
pertahanannya jebol, saat jari-jari ke dua tangan Ridwan turun menelusuri
punggungnya, kemudian singgah untuk meremas-remas ke dua buah pantatnya yang
mengkal dan memelorotkan celana dalamnya ke lutut.
Hatinya
menjerit-jerit untuk melawan, hanya saja seluruh otot-otot tubuhnya telah
melemas. Apalagi saat jari-jari tersebut menyentuh belahan vaginanya yang sudah
mulai basah dan licin. Mengelus dan mengorek. Beberapa kali, pantatnya reflek
mengedut ketika jari-jari itu menyentuh benda paling sensitif di vaginanya.
“Enggghhhh...,
Wan, ibu mmoo-honnn, hentikaaaan...., ahhhhh,” Maya mendongak, matanya seakan
hendak terbalik. Ketika merasakan satu jari Ridwan menyelusup masuk dan
mengocok vaginanya, “Clek-clek-clek...,” terdengar bunyi berdecak berirama.
Ridwan mulai
tak sabaran. Ia segera melepaskan baju tidur dan celana dalam ibunya, kemudian
melemparkannya sembarangan. Selesai itu, dia juga melepaskan celana kolornya,
tanpa memakai celana dalam. Penisnya yang berukuran besar dan berurat, terlihat
kekar berotot, mengacung tegak gagah perkasa.
Sekilas Maya
melihat pemandangan menakjubkan dari penis anaknya itu, tapi ia segera
memejamkan mata dengan hati berdebar-debar. Jauh sekali perbedaan penisnya
Ridwan dengan penis Hendi yang semalam memasuki vaginanya. Penis Pak Hendi Cuma
punya gemuk, tapi pendek dan cepat letoy, kalau dibandingkan dengan penis
suaminya, Rudi, ternyata lebih kekar punya Ridwan, belum lagi urat-urat yang
menonjol melingkar-lingkar batang penisnya.
Gila kamu! Itu
anakmu...! itu anakmuuu! Nurani Maya terus berseru-seru. Tapi akhirnya hanya
menjadi bisikan sayup-sayup ketika Ridwan telah menindih tubuh ibunya yang
sudah telentang pasrah.
Ke dua paha
Maya diangkat supaya memudahkan penetrasi penis Ridwan masuk. Kepala penisnya
yang mirip helm baja itu mengelus naik turun, membelah bibir vagina ibunya yang
membusung tembem dan sudah membanjir oleh lendir birahi. Begitu licin dan
basah.
Ke dua telapak
tangan Ridwan meremas dan memijit sepasang payudara putih padat ibunya. Membuat
si pemilik payudara mulutnya mengap-mengap seperti orang kehabisan udara. Dan
mulut mungil itu pun telah disambar oleh mulut Ridwan yang berbau alkohol.
Kembali memagut, menjilat, menggigit. Tapi Maya masih bertahan untuk bersikap
pasif, ternyata alam bawah sadarnya masih terus mengirimkan sinyal peringatan,
yang terus melemah, dan kemudian lenyap. Saat kepala penis besar Ridwan
mendesak ke liang vaginanya!
“Enghhhhhh...,”
Maya mengerang panjang.
Punggungnya
melengkung ke atas saat kepala penis itu telah memaksa masuk dengan susah payah
ke dalam vaginanya. Baru kepalanya saja yang masuk, Maya sudah merasa sesak
napas dan sesak selangkangan. Ridwan pun merasa kesulitan untuk terus mendesak
penisnya masuk ke dalam lubang vagina ibunya. Ia menarik napas sebelum menarik
mundur penisnya yang sudah mulai dihisap oleh tarikan dinding-dinding vagina
ibunya yang lembut dan panas. Pelan-pelan ia mulai maju mundur, sehingga
perlahan tapi pasti, penisnya terus melesak masuk.
“Aggghhhh!
Sakiiittt,” Maya melengak. Matanya membeliak. Saat sepertiga batang penis
Ridwan telah berada di dalam rahimnya.
“Hhhhrrr,”
Ridwan mengggeram. Merasakan dari mulai batang penisnya sampai kepalanya terasa
ngilu oleh pijatan dan remasan lembut namun panas dari vagina ibunya. Tapi ia
masih memaksakan menekan terus penisnya, hingga batas batas maksimal.
“Arrgghhhh!”
“Hrrrrr!”
Dua tubuh
mengejang kaku. Memejamkan mata, menikmati sensasi kenikmatan yang membuat
mereka serasa melayang-layang di nirwana. Maya merasakan kenikmatan tiada tara
sampai terasa kebas ke buku-buku jari kakinya.
Sesaat
kemudian, Ridwan mulai aktif menaik-turunkan pantatnya. Memompa dengan
kecepatan konstan. Terlihat indah, saat batang penisnya ditarik, bibir vagina
ibunya ikut tertarik sampai monyong, dan saat ditekan, bibir vagina itu turut
melesak dalam. Batang penis Ridwan telah penuh berlumur cairan putih dari
vagina ibunya yang seolah-olah menjadi pelumas sehingga memudahkannya untuk
mengayuh bahtera kenikmatan yang luar biasa tersebut.
Maya
berdesis-desis seperti kepedasan. Matanya meram-melek. Malu hatinya mengakui
bahwa pengalaman persetubuhan ini baru pertama kali dialaminya. Dan gilanya,
hal ini dilakukan dengan anaknya!
Beberapa saat
kemudian, Maya merasakan ada yang mendesaknya untuk cepat sampai ke puncak
kenikmatan. Rintihannya makin keras. Sampai suatu ketika, ke dua tangannya
memeluk punggung Ridwan erat-erat. Pinggulnya ditekan keatas, menahan hentakan
dari pinggul Ridwan. Dia tengah mengalami orgasme pertamanya! Badannya
menjengking dengan pinggang melenting.
Kenikmatan
luar biasa, merayap ke seluruh pori-pori tubuhnya, dari ubun-ubun sampai ke
buku-buku jarinya terasa kram. Sementara Ridwan merasakan batang penisnya
seperti diperas dan diremas habis. Ngilu luar biasa. Ngilu yang nikmatnya tiada
tara. Dia ikut terdiam, pompaan pantatnya merasakan pijatan dari dinding vagina
ketat ibunya yang terus berkedut-kedut sambil terasa ada cairan panas
membanjiri batang penisnya. Saat mereka sedang terdiam dalam kebisuan yang
nikmat, medadak terdengar suara keras dari dalam kamar depan.
“Mmm...,
maaayyy. Mmm-maaayyy!” Itulah suara Rudi, suami Maya, bapaknya Ridwan.
Maya membuka
matanya, mendorong tubuh Ridwan, “Plop!” terdengar bunyi tersebut saat penis
Ridwan tertarik paksa keluar dari lubang vagina ibunya. Tubuh Ridwan terguling.
Secepat kilat Maya berdiri, tertegun sejenak setengah kebingungan dengan tubuh
berkeringat dan telanjang menatap bergantian kepada tubuh Ridwan yang telanjang
juga ke tubuhnya.
“Aaa-paaa
kita? Ini..., ini,” serunya gagap dan terengah-engah.
Dia menyambar
baju tidurnya dan memakainya dengan cepat tanpa mempedulikan celana dalam dan
branya yang masih berserakan. Saat ia hendak beranjak, secepat kilat Ridwan
bangkit dan menangkap pinggang ibunya. Penisnya yang masih menegang menekan
pantat Maya hanya terhalang selembar tipis baju tidur.
“Mau ke mana?”
geram Ridwan.
“Bapakmu...,
bapakmu mungkin hendak ke kamar mandi!”
“Hhhh, biarkan
saja!” tukas Ridwan sambil berusaha mencium bibir ibunya yang segera melengos.
“Jjja-ngaaan.
Nanti dia bisa curiga. Ibu mohon lepaskan ibu, biar membawa dulu bapakmu ke
kamar mandi. Tolong berpakaianlah sebentar,” ujar ibunya memohon pengertian.
“Baiklah, tapi
selesai mengantar bapak, kamu kemari lagi,” kata Ridwan setelah berpikir
sejenak.
Kemudian dia
mengambil celana kolornya, memakainya tanpa memakai kembali kaosnya, hanya
bertelanjang dada masuk ke kamarnya hanya untuk mengambil sebotol minuman
keras, karena persetubuhan barusan, selain menyita energinya juga telah banyak
menurunkan otak mabuknya menjadi setengah sadar. Karena tanggung malu, akhirnya
ia nekad untuk mabuk lagi, setidaknya ia bisa menendang rasa malu yang barusan
menerpa alam sadarnya.
Ridwan duduk
selonjoran, sambil sesekali meneguk minuman keras. Dia menonton kelanjutan dari
film mesum yang masih berlangsung. Dan di luar sana masih ada keramaian dari
lalu-lintas motor yang ke luar masuk gang atau pun suara dari para ibu-ibu
sebelah kontrakannya yang sedang ramai bergosip.
Ridwan
berusaha tak perduli, apakah perbuatannya barusan ada yang mencurigai dari
orang-orang di luar sana atau tidak. Pikiran itu juga yang menggelayuti Maya
yang merasa cemas. Kalau sampai ketahuan perbuatan tabu sama anaknya, akibatnya
tentu akan lebih hebat daripada ia ketahuan berselingkuh dengan Pak Hendi.
Setelah memindahkan tubuh suaminya yang sudah tak berdaya ke kursi roda,
diam-diam Maya tambah khawatir, takut sekali suaminya mengetahui perbuatan
mereka di ruang depan kamarnya. Tapi suaminya hanya diam saja, kalau tahu tentu
sudah meracau begitu ia masuk ke kamar.
Sambil
mendorong kursi roda keluar kamar menuju kamar mandi, lewat ke ruangan tadi ia
mendengar suara mesum dari film yang sedang ditonton oleh Ridwan.
“Pelankan
suaranya! Malu terdengar suara tetangga!” katanya tanpa menoleh ke Ridwan yang
menyeringai senang, matanya menatap tajam pinggul dari ibunya yang
bergoyang-goyang mendorong kursi roda menuju ke kamar mandi.
“Gue akan
menikmati kembali pinggul itu,” pikir Ridwan senang, otaknya sudah mulai tidak
normal lagi akibat dikuasai minuman memabukkan yang terus-menerus ditenggaknya.
Sementara di
kamar mandi, sambil menunggu suaminya yang sedang buang hajat, diam-diam Maya
mencuci vaginanya yang masih basah dari cairan sisa orgasmenya tadi. Vaginanya
terasa sedikit perih. Air matanya menetes kembali, dari penyesalan atas
persetubuhan dengan anaknya barusan,
“Duh
Gustiii, ampuni hamba!” keluhnya dengan hati pedih.
Posting Komentar
0 Komentar