TANTE SARAH (REMAKE)

 


GENRE : DRAMA EROTIC

JUMLAH HALAMAN : 245 HALAMAN

HARGA : Rp 30.000


PART 1

SARAH

Wanita muda yang dikaruniai wajah jelita. Usianya baru 22 tahun saat dia menikah. Heru, suaminya kini, melamarnya setelah 2 tahun memacarinya. Bagi sebagian orang terutama kalangan modern penghuni kota besar, usia itu jelas dipandang terlalu muda buat menikah. Sarah sendiri menyadari hal itu. Teman-temannya saat itu juga banyak yang mengkritik,

“Buru-buru amat lo Sar, ngga pingin meniti karir dulu?”

“Beneran lo dah mantep sama si Heru?”

“Kuliah lo gimana Sar?”

Dan banyak lagi kata-kata semacam itu dari teman-temannya, tak terkecuali dari orang tuanya sendiri. Tapi Sarah tak bergeming. Usia Sarah terpaut 6 tahun dengan Heru yang saat itu 28 tahun. Sebenarnya di usia itu Heru telah menjadi seorang eksekutif muda yang sukses, jadi masalah ekonomi sudah bukan masalah bagi keluarga baru mereka kelak. Tapi, disamping masalah ekonomi itu, Sarah punya alasan lain mengapa ia langsung menerima saat Heru melamarnya.

Sepanjang 2 tahun berpacaran dengan Heru, mereka telah terbiasa dengan hubungan seks yang bebas. Sarah sendiri memang sudah terbiasa dengan pergaulan bebas sejak masih berstatus sebagai pelajar. Sebelum berpacaran dengan Heru, dia menghitung sudah 5 pria yang pernah bersetubuh dengannya. Tidak semuanya pacar, hanya 2 orang yang pernah benar-benar berpacaran dengannya, 3 lainnya hanyalah teman sesaat. Jadi Heru adalah laki-laki keenam yang hadir dalam kehidupan seks bebas Sarah.

Diam-diam, saat itu Sarah yang benar-benar mencintai Heru dan sempat berpikiran bahwa Heru harus menjadi laki-laki terakhirnya. Sebenarnya saat berpacaran dengannya pun Sarah beberapa kali menjalin hubungan persetubuhan dengan seorang mantan pacarnya. Orang bilang itu selingkuh, tapi bagi Sarah sendiri, dia melakukannya hanya untuk bersenang-senang karna dia memang sudah terbiasa melakukan itu.

Mantan pacarnya itu pun sudah mempunyai pacar yang lain lagi. Jadi, Sarah tetap mencintai Heru yang dia pandang sudah mapan, lebih dewasa, dan secara penampilan, bagi Sarah Heru itu paling tampan dibanding lainnya. Selama menikah Sarah bersyukur memiliki Heru dan tak ingin kehilangan dia. Tapi dasar kelakuannya itu sudah susah diubah, kadang dia pun memaki dirinya sendiri yang terlalu ‘kegatelan’. Sarah tidak berdaya dan kembali jatuh ke dalam hubungan persetubuhan dengan laki-laki lain lagi yang baru dia kenal. Anton, namanya.

Anton adalah tetangga sebelah rumah Sarah. Anton ini ini memang terkenal playboy. Penjahat kelamin sejati. Wajahnya memang cukup ganteng, pacarnya barangkali ada selusin lebih. Tapi, sekali lagi, hubungan Sarah dengannya juga sebatas bersenang-senang. Anton dan Sarah sama-sama tahu keliaran masing-masing. Hubungan mereka benar-benar tanpa adanya embel-embel cinta dan tuntutan apapun. Semuanya murni nafsu. Celakanya, karna Anton itu tetangga Sarah, maka hubungan persetubuhan mereka pun intensitasnya mulai melebihi hubungan Sarah dengan Heru yang sedang berjarak cukup jauh darinya. Apalagi ditambah dengan kesibukannya gara-gara karirnya yang memang sedang menanjak. Sungguh Sarah benar-benar lemah kalau soal godaan seks ini.

Walhasil, sudah 7 laki-laki pernah mengisi kehidupan liar Sarah saat itu. Angka 6 yang dianggapnya lebih dari cukup, ternyata tidak bertahan lama. Tapi bagaimanapun Sarah berpikir, hatinya tetap milik Heru, sang laki-laki keenam. Itulah sebabnya dia langsung menerima lamaran Heru saat itu. Bahkan Sarah meminta Heru untuk mempercepat pernikahan mereka. Heru yang baru dapat promosi senang saja waktu itu tanpa ada kecurigaan apapun.

Sarah sendiri juga merasa tulus, hubungannya dengan laki-laki lain tidak pernah dianggapnya sebagai penghianatan, walau tentu saja tetap dirahasiakan dari Heru. Sarah benar-benar berharap dengan status barunya sebagai seorang istri bisa meredam gejolak liarnya, dan juga menghalangi orang untuk menggoda dirinya yang memang berwajah di atas rata-rata itu. Kalau saja niat Sarah yang tulus itu benar-benar bisa berjalan lancar tentu cerita ini tidak akan pernah ada. Yah, apa daya, walau dia telah menikah, Anton tetap saja kerap mengunjunginya. Sarah juga tak kuasa menolaknya. Suatu ketika dengan perasaan was-was, Sarah mengingatkan pada Anton,

“Ingat Ton, jangan ada cinta! Hatiku tetap milik mas Heru!”

Dia khawatir Anton yang tak berhenti mengunjunginya itu gara-gara diam-diam menaruh cinta padanya. Tapi kekhawatirannya agaknya tak terbukti.

“Tenang mbak, siapa sih yang tidak senang bisa berhubungan dengan wanita secantik mbak tanpa ada tuntutan tanggung jawab apapun?” jawabnya terkekeh.

“Aku juga masih muda, semua ini kita lakukan just for fun kan?"

"Aku masih sadar dan merasa beruntung dengan itu.” Anton menegaskan pada Sarah untuk tidak khawatir dengan perasaannya.

"Kurang ajar juga." pikir Sarah.

Tapi Sarah sendiri pun sudah terbiasa menikmati hubungan semacam itu. Dia pun mencoba menunjukkan sikap tidak tersinggung dengan itu. Kadang dalam hati saat sedang merenung Sarah kerap berapologi membela diri sendiri.

“Suamiku sudah sangat sibuk di kantornya. Dia berangkat kerja pagi jam 7 dan pulang ke rumah jam 7 malamnya. Itu kalau tidak lembur. Apalagi tidak jarang juga di akhir pekan dia ada tugas keluar kota.” Gumamnya dalam hati.

“Walau memang hal itu sama sekali tidak mengurangi kemesraan kami sih…"

Saat ada di rumah, mas Heru agaknya tahu bagaimana memanfaatkan waktu yang tidak lama itu untuk habis-habisan bercumbu denganku.

"Aku pun merasa senang dengan hal itu. Hubungan seks-ku dengan suamiku tetap mesra, panas, dan baik-baik saja."

"Yang menjadi masalah mungkin hanya kurang sering saja.” pikirnya lebih lanjut.

“Agaknya libidoku ini memang terlalu tinggi…” Keluhnya.

Bagaimanapun juga, hubungan gelap Sarah itu harus terhenti ketika ia mulai hamil. Anton tahu diri. Walau begitu, sebagai teman, mereka kadang tetap mengunjungi Sarah tanpa mengharapkan seks. Sarah senang mereka begitu. Kehamilannya ini tidak mengurangi kesibukan Heru, jadi sering sekali dia membutuhkan teman di siang hari saat Heru bekerja. Saat itu hadirlah seorang laki-laki lain dalam kehidupan Sarah....

***

TEJO

Keponakan yang datang dari desa. Tejo adalah anak dari kakaknya Heru. Berbeda dengan Heru yang merantau ke kota dan menggapai sukses, kakaknya itu tetap di desa dan hidup biasa-biasa saja. Namun karna kondisi kakak Heru yang berkekurangan dan akhirnya dia mengalami kesulitan dalam menanggung biaya pendidikan Tejo. Heru mendengar hal itu, berinisiatif untuk mengajak Tejo tinggal bersama dia dan Sarah di kota untuk menimba ilmu disana.

Tentu saja Heru akan menanggung seluruh biaya hidup Tejo. Hitung-hitung untuk sekalian Tejo menemani Sarah dan anaknya yang akan lahir, ketika Heru sedang dinas keluar kota. Yah bisa dikatakan seperti mengambil anak angkat, tapi memang tidak ada kata-kata mengangkat anak, adopsi, atau yang semacamnya. Niat Heru itu langsung disetujui oleh kakaknya dan dia merasa sangat berutang Budi dengan begitu. Tejo sendiri nurut-nurut saja, dan Sarah juga sama sekali tidak menunjukkan rasa keberatan.

***

POV Tejo

Jakarta!

Ya, akhirnya jadi juga aku ke Jakarta. Kota impian semua orang, paling tidak bagi orang desa sepertiku. Aku ke Jakarta atas seizin orang tuaku yang menginginginkan aku mendapatkan pendidikan yang lebih layak, bahkan merekalah yang mendorongnya. Pada mulanya aku sebenarnya enggan meninggalkan keluargaku, tapi ayahku berharap aku untuk memiliki kehidupan yang lebih baik di Jakarta, dengan tinggal bersama Adiknya.

Ayahku sangat jarang berhubungan dengan adik itu. Paling hanya beberapa kali melalui surat, karena telepon belum masuk ke desaku. Kabar terakhir yang aku dengar dari ayahku, adik itu, sebut saja Oom Heru, punya usaha sendiri dan sukses, sudah berkeluarga dengan satu anak lelaki yang baru saja lahir dan berkecukupan. Rumahnya lumayan besar. Jadi, dengan berbekal alamat yang diberikan aku berangkat ke Jakarta.

Stasiun Manggarai, pukul 14.30 siang aku dicekam kebingungan. Begitu banyak manusia dan kendaraan berlalu lalang, sangat jauh berbeda dengan suasana desaku yang sepi dan hening. Singkat cerita, setelah berjuang hampir 3 jam, tanya ke sana kemari, dua kali naik mikrolet (sekali salah naik), sekali naik ojek yang mahalnya bukan main, sampailah aku pada sebuah rumah dengan taman yang asri yang cocok dengan alamat yang kubawa. Berdebar-debar aku masuki pintu pagar yang sedikit terbuka, ketok pintu dan menunggu. Seorang wanita muda, berkulit bersih, dan ..

“Ya ampun, cantik sekali.” ucapku dalam hati.

Wanita yang berdiri di depanku itu memandang dengan sedikit curiga. Setelah aku jelaskan asal-usulku, wajahnya berubah cerah.

"Tejo ya?"

"Ayo masuk, masuk."

"Kenalkan, saya Tantemu, Tante Sarah." Dengan gugup aku menyambut tangannya yang terjulur. Tangan itu halus sekali.

"Tadinya Oom Heru mau jemput ke Manggarai, tapi ada keperluan mendadak."

"Naik apa tadi? Nyasar gak kamu?" cecarnya dengan ramah.

Sungguh aku tak menduga sambutan yang begitu ramah. Menurut cerita yang aku dengar, orang Jakarta terkenal individualis, tidak ramah dengan orang asing, antar tetangga tak saling kenal. Tapi wanita tadi, isteri Oom ku, Tante sarah, orangnya ramah dan cantik lagi.

Aku diberi kamar sendiri, walaupun agak di belakang tapi masih di rumah utama, dekat dengan ruang keluarga. Kamarku ada AC-nya, memang seluruh ruang yang ada di rumah utama ber-AC. Ini suatu kemewahan bagiku. Dipanku ada kasur yang empuk dan selimut tebal. Walaupun AC-nya cukup dingin, rasanya aku tak memerlukan selimut tebal itu. Mungkin aku cukup menggunakan sprei putih tipis yang di lemari itu untuk selimut.

 Rumah di desaku cukup dingin karena letaknya di kaki gunung, aku tak pernah pakai selimut, tidur di dipan kayu hanya beralas tikar. Aku diberi kewenangan untuk mengatur kamarku sendiri. Aku masih merasa canggung berada di rumah mewah ini. Petang itu aku tak tahu apa yang musti kukerjakan. Selesai beres-beres kamar, aku hanya bengong saja di kamar.

***

Pada hari kedatangan Tejo, Sarah mengamati perawakannya dalam-dalam. Badannya tidak terlalu kurus, kulitnya hitam legam. Dia tidak terlalu tinggi, dan wajahnya jauh dari tampan, yang terlintas spontan di benak Sarah saat itu adalah,

“Benar-benar ndeso….” batin Sarah.

Walaupun tentu saja banyak sekali orang-orang desa yang tampan. Contohnya ya suaminya sendiri, Heru yang notabene berasal dari desa yang sama dengan Tejo.

"Tejo! sini, jangan ngumpet aja di kamar!" panggil Tante Sarah. Tejo pun beranjak turun menuju ke ruang keluarga, menghampiri Tante Sarah yang sedang duduk di sofa, menonton TV.

"Sudah lapar belum jo?" tanya Tante Sarah.

"Belum Tante, sore tadi aku makan kue-kue yang disedian Tante tadi." jawab Tejo.

"Kita nunggu Om Heru ya berarti. Nanti kita makan malam bersama-sama." ujarnya.

***

JAM 7 MALAM

"Selamat malam, Om." sapa Tejo.

“Duh Tejo apa kabarnya kamu? Udah gede ya kamu Jo!" jawab Heru.

"Iya Om."

"Gimana kabarnya Mas Kardi dan Bu Siti?" Heru menanyakan kabar Ayah dan Ibu Tejo.

"Baik-baik saja Oom".

Di meja makan Oom banyak bercerita tentang rencana untuk Tejo selama di Jakarta. Tejo akan didaftarkan untuk menujang pendidikan Tejo yang lebih baik, yang berada dekat dengan rumahnya. Tejo juga diminta untuk menjaga rumah, sebab Oom Heru kadang-kadang harus ke Bandung atau Surabaya mengurusi bisnisnya.

"Iya, saya kadang-kadang takut juga engga ada laki-laki di rumah." timpal Tante Sarah.

“Apalagi kondisiku saat ini sedang hamil.” tambah Sarah menjelaskan.

“Ya, kamu baik-baik ya di sini, belajar yang baik nanti.” Kata Sarah.

“Di sini santai saja nggak usah canggung, anggap saja rumah sendiri."

"Tante cuma berdua sama Oom-mu di rumah ini.” Lanjutnya.

“Om tiap hari ngantor. Kami tidak ada pembantu. Jadi nanti kamu bantu-bantu tantemu ya.” Heru menjelaskan kondisi rumah ini kepada Tejo.

Tejo tidak banyak bicara saat itu, hanya sekedar mengangguk atau menggeleng dalam menjawab penjelasan-penjelasan Heru. Pikiran sebagai laki-laki terusik dengan kecantikan Sarah. Benar-benar Sarah ini wanita tercantik yang pernah dia tahu sepanjang hidupnya. Tejo memandangi Sarah dengan tertegun saat itu. Dia tidak berusaha menyembunyikan pandangannya, atau mengalihkan muka dan berusaha curi-curi pandang pada Sarah.

Tidak. Dia benar-benar terang-terangan memandangi wajah Sarah. Hanya saat bertemu pandangan mata dengan Sarah saja dia merasa segan dan mengalihkan pandangannya dari wajah Sarah, tapi turun ke tubuh Sarah dan bukan memandang ke arah lain. Sama sekali tidak kelihatan salah tingkah, termasuk saat Sarah mengantar ke kamarnya dan membantu membereskan barangnya. Sarah jelas menyadari hal itu.

“Anak ini antara lugu atau tidak sopan?” pikirnya. Tampak tipis perbedaannya, tapi tentu Sarah menganggapnya lugu.

“Belum pernah lihat cewek cantik mulus ya?” Pikirnya lagi dalam hati kegeeran. Memang dalam pandangan Tejo itu tidak bisa disembunyikan kekagumannya pada tantenya itu.

"Aduh, aku ini mikir apa sih, binal banget!” Sarah menghardik dirinya sendiri dalam hati.

Saat itu Sarah mengenakan pakaian sehari-hari biasa, daster tipis yang bawahnya hampir sejengkal di atas lutut. Pakaian yang dipikirnya jauh dari seksi. Daster yang sangat biasa sekali, jauh dari seksi karna agak longgar supaya tidak gerah. Benar-benar pakaian yang biasa dipakai ibu-ibu di rumah. Tapi, ibu yang satu ini masih muda, putih, langsing, dan segar dipandang.

Begitulah Sarah yang walaupun sudah jadi ibu tapi usianya memang masih terbilang muda. Tejo sendiri memang silau dengan paha Sarah yang terbuka bebas itu. Putih dan mulusnya itu benar-benar gak nahan. Desa asalnya yang dekat pesisir itu memang nyaris tidak ada manusia berkulit putih di sana, semuanya berkulit gelap, hitam terbakar matahari yang sangat terik, tidak terkecuali anak-anak sekalipun dan para wanitanya. Heru sendiri juga berkulit gelap. Jadi, maklum saja, jangankan Tejo yang dari desa, pemuda kota seperti Anton pun blingsatan jika memandangi tubuh mulus Sarah itu.

Walaupun tengah hamil saat itu, Tejo tetap terpesona dengan tantenya itu. Berkali-kali dia menelan ludah, dan itu kentara sekali hingga disadari oleh Sarah sendiri. Dasar binal, Sarah tidak merasa risih sama sekali. Dalam hati dia malah jadi tidak bisa berhenti memuji-muji diri sendiri. Akibatnya dari luar tidak sadar dia suka senyum-senyum sendiri.

“Ada apa senyum-senyum sendiri?” tanya Heru membuyarkan lamunannya. Sarah terkaget,

“Eh… mas ini, gak papa, gak ada apa-apa!” sahutnya tergagap.

“Tejonya mana?” Tanya Heru lagi.

“Ya lagi beres-beres pakaiannya di lemarinya mas, banyak juga bawaan dia,” jawab Sarah.

“Tadi aku bantu sebentar dengan barang-barangnya, tapi masalah pakaian biarlah dia yang menata sendiri.” Kata Sarah lagi.

***

Hari ini, hari pertama dimana Tejo melanjutkan pendidikannya, di daerah Tebet, tak jauh dari rumah Oom Heru dan Tante Sarah. Untuk mencapai ke sana, Tejo hanya perlu berjalan kaki. Tejo memang belum sepenuhnya dapat melepas kecanggungannya. Bayang orang udik yang kuper sekarang melanjutkan pendidikan yang lebih baik di Metropolitan. Kawan yang biasanya lelaki melulu, kini banyak teman wanita, dan beberapa diantaranya cantik-cantik.

“Cantik?” pikir Tejo.

Ya, sejak di Jakarta ini, Tejo jadi tahu mana wanita yang dianggap cantik, tentunya menurut ukuran Tejo. Dan Tantenya, Tante Sarah. Isteri Oom Heru menurut Tejo adalah yang paling cantik, dibandingkan dengan kawan-kawan barunya. Dibanding dengan Tante sebelah kiri rumah atau gadis yang ngekost tiga rumah ke kanan.

“Ah, mikir apa kau Jo?” batin Tejo

Cepat-cepat Tejo mengusir bayangan wajah Tante Sarah yang tiba-tiba muncul. Tak baik membayangkan wajah Tante sendiri. Pada umumnya teman-teman baru Tejo baik, walaupun kadang-kadang mereka memanggilnya dengan sebutan "Jawa" atau meledek cara bicara Tejo yang mereka sebut, ‘medok’.

“Tak apalah, tapi saya tetap akan minta mereka panggil saya Tejo.”

Alasan Tejo, kalau memanggil dengan sebutan Jawa, toh banyak orang Jawa di tempat itu dan bukan hanya aku. Mereka akhirnya mau menerima usulan Tejo. Terus terang, Tejo menjadi cepat populer, bukan karena pandai bergaul. Dibandingkan kawannya yang lain, tubuh Tejo paling tinggi dan paling besar. Bukan sombong, tapi Tejo juga termasuk yang pintar. Tejo memang serius kalau urusan belajar, kegemaran Tejo adalah membaca.

Kegemaran Tejo yang suka membaca inilah yang mendorong Tejo bongkar-bongkar isi rak buku di kamarnya. Rak buku ini milik Oom Heru. Nah, di antara tumpukan buku, aku menemukan selembar majalah bergambar, namanya Popular. Rupanya penemuan majalah inilah merupakan titik awalku belajar mandiri tentang wanita. Majalah itu banyak memuat gambar-gambar wanita yang bagus. Bagus kualitas fotonya dan modelnya. Dengan berdebar-debar, satu-persatu Tejo menelusuri, halaman demi halaman.

“Ini memang majalah hiburan khusus pria!” pikirnya.

Semua model yang terpampang di majalah itu pakaiannya terbuka dan seronok. Ada yang pakai rok demikian pendeknya, sehingga hampir seluruh pahanya terlihat, dan mulus. Ada yang pakai blus rendah dan membungkuk memperlihatkan bagian belahan buah dada. Dan, ini yang membuat jantungku keras berdegup. Memakai T-shirt yang basah karena disiram, sementara dalamnya tidak ada apa-apa lagi. Samar-samar bentuk sepasang buah kembar kelihatan.

“Oh, begini toh bentuk tubuh wanita.” batin Tejo,

Dasarnya Tejo sangat jarang ketemu wanita. Kalau ketemu pun wanita desa atau embok-embok. Dan yang Tejo lihat hanyalah bagian wajah. Bagaimana Tejo tidak deg-deg-an baru pertama kali melihat gambar tubuh wanita, walaupun hanya gambar paha dan sebagian atas dada. Sejak ketemu majalah Popular itu, Tejo jadi lain jika memandang wanita. Tidak hanya wajahnya yang dilihat, tapi kaki, paha dan dadanya ‘diteliti’.

***

TEJO POV

Ah aku sekarang punya “wawasan” lain kalau memandang perempuan. Dan aku kepikiran Tante Sarah.

Ya!! Tante Sarah!!

Kenapa selama ini aku belum melihat dengan cara lain. Mungkin karena ia isteri Oomku, orang yang aku hormati, yang membiayai hidupku, pendidikanku. Mana berani aku menggodanya meskipun hanya dari cara memandang. Sampai detik ini aku melihat Tante Sarah sebagai wanita yang wajahnya putih bersih dan cantik. Tapi dasar setan selalu menggoda manusia, bagaimana tubuhnya? Ah, aku jadi pengin cepat-cepat pulang untuk ‘meneliti’ Tanteku.

"Jangan ah, aku menghormati Tanteku." ujarku secara akal sehat.

Seperti biasa, kalau pulang aku masuk dari pintu pagar langsung ke ruang keluarga di tengah-tengah rumah. Melewati ruang keluarga, sedikit ke belakang sampai ke kamarku. Isi ruang keluarga ini dapat kugambarkan, di tengahnya terhampar karpet tebal yang empuk yang biasa digunakan tante untuk membaca sambil rebahan. Agak di belakang ada satu set sofa dan pesawat TV di seberangnya.

Sewaktu melewati ruang keluarga, aku menjumpai Tante Sarah duduk di kursi dekat TV menyilang kaki sedang menyulam, berpakaian model kimono. Duduknya dengan kaki disilang, memperlihatkan kaki indahnya. Putih, bersih, panjang, di betis bawahnya dihiasi bulu-bulu halus ke atas sampai paha.

Tanpa disadari Tante belahan kimononya tersingkap hingga ke bagian paha agak atas. Tanpa sengaja pula aku jadi tahu bahwa tante memiliki paha selain putih bersih juga berbulu lembut. Sejenak aku terpana, dan lagi-lagi tegang. Untung aku cepat sadar dan untung lagi Tante begitu asyik menyulam sehingga tidak melihat ulah keponakannya yang dengan kurang ajar ‘memeriksa’ pahanya.

“Ah, kacau.”

Sebenarnya tidak sekali ini aku melihat Tante memakai kimono. Kenapa aku tadi terangsang mungkin karena penghayatan yang lain, gara-gara majalah itu. Selesai makan ada dorongan aku ingin ke ruang tengah, meneruskan ‘penelitianku’ tadi. Mungkin aku mulai kurang ajar, mengambil posisi duduk di sofa nonton TV tepat di depan Tante, searah-pandang kalau mengamati pahanya!

“Gimana harimu tadi Jo” tanya Tante Sarah tiba-tiba yang sempat membuatku kaget. Sebab aku sedang memperhatikan bulu-bulu kakinya.

“Biasa-biasa saja Tante.”

“Biasa gimana?“

“Ada kesulitan engga?” tanya Tante Sarah.

"Engga Tante." jawabku singkat.

"Udah banyak dapat kawan?"

"Kalau kamu pengin main lihat-lihat kota, silakan aja ya."

"Terima kasih Tante."

"Tapi Tejo belum hafal angkutannya."

"Harus dicoba, yah nyasar-nyasar dikit engga apa-apa,"

"Toh kamu tahu jalan pulang." papar Tante Sarah.

"Iya Tante, mungkin hari Minggu Tejo akan coba." Jawabku.

"Kalau perlu apa-apa, uang jajan misalnya atau perlu beli apa, ngomong aja sama Tante ya, engga usah malu-malu." ucap Sarah lagi. Gimana kurang baiknya Tanteku ini, keponakannya saja yang nakal...

“Nakal?”

Ah? Kan cuma dalam pikiran saja, lagi pula hanya ‘meneliti’ kaki yang tanpa sengaja terlihat. Apa salahnya?

"Terima kasih Tante, uang yang kemarin masih ada kok." Jawabku.

"Emang kamu engga jajan kemarin-kemarin?" Tanya Tante Sarah.

Berdesir darahku. Sambil mengucapkan kata jajan tadi, Tante Sarah mengubah posisi kakinya sehingga sekejap, tak sampai sedetik, sempat terlihat warna merah jambu celana dalamnya! Aku berusaha keras menenangkan diri.

"Jajan juga sih, hanya minuman dan makanan kecil." Akupun ikut-ikutan mengubah posisi.

Ada sesuatu yang mengganjal di dalam celanaku. Untung Tante tidak memperhatikan perubahan wajahku. Sepanjang siang ini aku bukannya nonton TV. Mataku lebih sering ke arah Tante, terutama bagian bawahnya!

***

Hari-hari berikutnya tak ada kejadian istimewa. Rutin saja, beraktifitas belajar, makan siang, nonton TV, sesekali melirik kaki Tante. Om Heru pulang kantor selalu malam hari. Saat ketemu Omku hanya pada makan malam, bertiga. Pada acara makan malam ini, sebetulnya aku punya kesempatan untuk menikmati paha mulus Tante Sarah, sebab malam ini ia memakai rok pendek, biasanya memakai daster.

Tapi mana berani aku menatap pemandangan indah ini di depan Om. Betapa bahagianya mereka menurut pandanganku. Keesokkan harinya ada kejadian ‘penting’ yang perlu kuceritakan. Pagi-pagi ketika aku sedang menyusun buku-buku yang akan kubawa, ada beberapa lembar halaman yang mungkin lepasan atau sobekan dari majalah luar negeri terselip di antara buku-buku pelajaranku. Aku belum sempat mengamati lembaran itu, karena buru-buru mau berangkat takut telat. Pikiranku sempat terganggu, mengingat sobekan majalah berbahasa Inggris itu,

“Milik siapa ya?”

Tadi pagi sekilas kulihat ada gambarnya wanita hanya memakai celana jeans tak berbaju. Inilah yang mengganggu pikiranku. Sempat kubayangkan, bagaimana kalau Tante Sarah hanya memakai jeans. Kaki dan pahanya yang mulus putih itu tertutup, sementara bulatan dadanya yang besar terlihat jelas

“Ah.. nakal kamu Jo!”

Pulang beraktifitas tidak seperti biasa aku tidak langsung ke meja makan, tapi ngumpet di kamarku. Pintu kamar kukunci dan mulai mengamati sobekan majalah itu. Ada 4 lembar, kebanyakan tulisan yang tentu saja tidak kubaca. Aku belum paham Bahasa Inggris. Di setiap pojok bawah lembaran itu tertulis, Penthouse. Langsung saja ke gambar. Gemetaran aku dibuatnya. Wanita bule, berpose membusungkan dadanya yang besar, putih, mulus, dan terbuka seluruhnya! Paha dan kakinya meskipun tertutup jean ketat, tapi punya bentuk yang indah, panjang, persis kaki milik Tante Sarah.

“Hah, kenapa aku jadi membandingkan dengan tubuh Tante Sarah?”

Peduli amat, tapi itulah yang terbayang. Kenapa aku sebut kejadian penting, karena baru sekaranglah aku tahu bentuk utuh sepasang buah dada, meskipun hanya dari foto. Bulat, di tengah ada bulatan kecil warna coklat, dan di tengah-tengah bulatan ada ujungnya yang menonjol keluar.

Segera saja tubuhku bereaksi, penisku tegang, dada berdebar-debar. Halaman berikutnya membuatku lemas, mungkin belum makan. Masih wanita bule yang tadi tapi sekarang di close-up. Buah dadanya makin jelas, sampai ke pori-porinya. Ini kesempatanku untuk mempelajari anatomi buah kembar itu. Dari atas kulit itu bergerak naik, sampai puting yang merupakan puncaknya, kemudian turun lagi, membulat? Ya, beginilah bentuk buah dada wanita. Putingnya, apakah selalu menonjol keluar seperti menunjuk ke depan? Tiba-tiba terlintas pikiran nakal, Tante Sarah!

“Bagaimana ya bentuk buah dada Tanteku itu?”

“Ah, kenapa selama ini aku tak memperhatikannya!!”

“Asyik lihat ke bawah terus sih!” 

Memang kesempatannya baru lihat paha. Kimono Tante waktu itu, kalau tak salah, tertutup sampai dibawah lehernya. Tapi kan bisa lihat bentuk luarnya. Ah, memang mataku tak sampai kesitu. Melihat bentuk paha dan kaki cewe bule ini mirip milik Tante Sarah, aku rasa bentuk dadanya pun tak jauh berbeda, begitu aku mencoba memperkirakan. Begitu banyak aku berdialog dengan diri sendiri tentang buah dada. Begitu banyak pertanyaan yang bermuara pada pertanyaan inti.

“Bagaimana bentuk buah dada Tanteku yang cantik itu?”

Untungnya atau celakanya, pertanyaanku itu segera mendapat jawaban, di meja makan. Di pertengahan makan siangku, Tante muncul istimewa. Mengenakan baju-mandi, baju mirip kimono tapi pendek dari bahan seperti handuk tapi lebih tipis warna putih dan ada pengikat di pinggangnya. Tante kelihatan lain siang itu, segar, cerah. Kelihatannya baru selesai mandi dan keramas, sebab rambutnya diikat handuk ke atas.

“Oh, kamu sudah pulang, engga kedengaran masuknya.” sapanya ramah sambil berjalan menuju ke tempatku.

“Dari tadi Tante.” jawabku singkat.

Ia berhenti, berdiri tak jauh dari dudukku. Kedua tangannya ke atas membenahi handuk di rambutnya. Posisi tubuh Tante yang beginilah memberi jawaban atas pertanyaanku tadi.

“Luar biasa besar juga buah dada Tante ini!”

“Persis seperti perkiraanku tadi!”

“Bentuknya mirip punya cewe bule di Penthouse tadi...”

Meskipun aku melihatnya masih terbungkus baju-mandi, tapi jelas alurnya, bulat menonjol ke depan. Di bagian kanan baju mandinya rupanya ada yang basah, ini makin mempertegas bentuk buah indah itu. Samar-samar aku bisa melihat lingkaran kecil di tengahnya. Sehabis mandi mungkin hanya baju-mandi itu saja yang membungkus tubuhnya sekarang. Bawahnya aku tak tahu.

Bawahnya! Ya, aku melupakan pahanya. Segera saja mataku turun. Kini lebih jelas, bulu-bulu lembut di pahanya seperti diatur, berbaris rapi. Ah aku sekarang lagi tergila-gila buah dada. Pandanganku ke atas lagi. Mudah-mudahan ia tak melihatku melahap ‘dengan mata’ tubuhnya. Memang ia tidak memperhatikanku, pandangannya ke arah lain masih terus asyik merapikan rambutnya. Tapi aku tak bisa berlama-lama begini, disamping takut ketahuan, lagipula aku kan sedang makan. Kuteruskan makanku. Bagaimana reaksi tubuhku, susah diceritakan. Yang jelas kelaminku tegang luar biasa. Tiba-tiba ia menarik kursi makan di sebelahku dan duduk. Ah, wangi tubuhnya terhirup olehku!!

“Makan yang banyak, tambah lagi tuh ayamnya.” ujar Tante Sarah.

Bagaimana mau makan banyak, kalau terganggu seperti ini. Aku mengiyakan saja. Rupanya gangguan nikmat belum selesai. Aku duduk menghadap ke utara. Di dekatku duduk si Badan-sintal yang habis mandi, menghadap ke timur. Aku bebas melihat tubuhnya dari samping kiri. Ia menundukkan kepalanya dan mengurai rambutnya ke depan. Dengan posisi seperti ini, badan agak membungkuk ke depan dan satu-satunya pengikat baju ada di pinggang, dengan serta merta baju mandinya terbelah dan menampakkan pemandangan yang bukan main. Buah dada kirinya dapat kulihat dari samping dengan jelas.

“Ampun.. putihnya, dan membulat.”

Kalau aku menggeser kepalaku agak ke kiri, mungkin aku bisa melihat putingnya. Tapi ini sih ketahuan banget. Jangan sampai. Betapa tersiksanya aku siang ini. Tersiksa tapi nikmat! Oh Tuhan, janganlah aku Kau beri siksa yang begini. Aku khawatir tak sanggup menahan diri. Rasa-rasanya tanganku ingin menelusup ke belahan baju mandi ini lalu meremas buah putih itu? Kalau itu terjadi, bisa-bisa aku dipulangkan, dan hilanglah kesempatanku meraih masa depan yang lebih baik. Apa yang kubilang pada ayahku? Dapat kupastikan ia marah besar, dan artinya, kiamat bagiku. Untung, atau sialnya, Tante cepat bangkit menuju ke kamar sambil berkata,

“Teruskan ya makannya.”

“Ya Tante.” sahutku masih gemetaran.

Aku menemukan sesuatu lagi. Aku mengamati Tante berjalan ke kamarnya dari belakang, gerakan pinggulnya indah sekali. Pinggul yang tak begitu lebar, tapi pantatnya demikian menonjol ke belakang. Tubuh ideal, memang.

***

“Tejo, kamu makan duluan ya.”

“Tante menunggu Oom yang telat pulang malam nih.” pinta Tante Sarah.

Masih terbayang kejadian siang tadi bagaimana aku menikmati pemandangan dada Tante Sarah yang membuat aku tak begitu selera makan. Tiba-tiba aku dikejutkan oleh kedatangan Tante yang muncul dari kamarnya. Masih mengenakan baju-mandi yang tadi, rambutnya juga masih diikat handuk. Langsung ia duduk disebelahku persis di kursi yang tadi.

Belum habis rasa kagetku, tiba-tiba pula ia pindah dan duduk di pangkuanku! Bayangkan, bagaimana nervous-nya aku. Yang jelas batang kejantananku langsung mengeras merasakan tindihan pantat Tante yang padat. Disingkirkannya piringku, memegang tangan kiriku dan dituntunnya menyelinap ke belahan baju-mandinya. Aku tidak menyia-nyiakan kesempatan emas ini. Kuremas dadanya dengan gemas.

"Hangat, padat dan lembut."

Tantepun menggoyang pantatnya, terasa enak di kelaminku. Goyangan makin cepat, aku jadi merasa geli di ujung kemaluanku. Rasa geli makin meningkat dan meningkat, dan..

Hah?!

Aku terbangun...

“Sialan!”

“Cuma mimpi rupanya!!”

“Masa memimpikan Tante?” gerutuku yang baru saja terbangun dari impian yang hampir indah itu.

Aku jadi malu sendiri. Kejadian siang tadi begitu membekas sampai terbawa mimpi. Eh, celanaku basah. Mana mungkin aku ngompol. Lalu apa dong? Cepat-cepat aku periksa. Memang aku ngompol! Tapi tunggu dulu, kok airnya lain, lengket-lengket agak kental. Ah, kenapa pula aku ini? Apa yang terjadi denganku? Besok coba aku tanya pada Om.

“Gila apa! Jangan sama Om dong!”

Lalu tanya kepada Tante, tak mungkin juga. Mungkin temanku ada yang tahu, besok aku tanyakan.

***

Esoknya aku ceritakan hal itu kepada Yadi teman paling dekat. Sudah barang tentu kisahnya aku modifikasi, bukan Tante yang duduk di pangkuanku, tapi seseorang yang tak kukenal.

“Itu namanya mimpi basah Jo!” jawab Yadi.

“Mimpi basah?” tanyaku. Malu juga aku belum tahu mimpi basah.

“Rupanya kamu badan aja yang gede, pikiran masih anak-anak.” ujar Yadi.

“Ah biar saja!” jawabku.

“Kamu punya pacar??”

“Atau pernah pacaran??” tanya Yadi.

“Engga.” jawabku.

“Kalau pacaran ngapain aja sih??” tanyaku lugu. Memang betul aku belum tahu tentang pacaran. Tentang wanita pun aku baru tahu beberapa hari lalu.

“Hahaha! Kampungan lu!” gelak Yadi.

“Ya tergantung orangnya.”

“Kalau aku sih paling-paling ciuman, raba-raba, udah.”

“Kalau si Luki kelewatan, sampai pacarnya hamil!!” ujar Yadi.

Ciuman, raba-raba. Aku pernah lihat orang ciuman di film TV, enak juga kelihatannya, belum pernah aku membayangkan. Kalau meraba, pernah kubayangkan meremas dada Tante Sarah. Tapi kalau Hamil? Pelajaran baru nih.

“Ada juga yang sampai ‘gitu’ tapi engga hamil.”

“Engga tahu aku caranya gimana...” Yadi menerangkan sesuatu yang tidak aku paham maksudnya.

“Gitu gimana??” tanyaku penuh penasaran. Apa maksudnya dari kata ‘gitu’ yang Yadi lontarkan.

“Kamu betul-betul engga tahu??” ujar Yadi penuh keheranan. Lalu ia cerita bagaimana hubungan kelamin itu. Dengan bisik-bisik tentunya. Aku jadi tegang.

"Bagaimana mungkin kelaminku sebesar ini bisa masuk ke lubang pipis wanita?"

"Sebesar apa lubangnya?" pikir Tejo.

Dalam perjalanan pulang aku membayangkan bagaimana seandainya aku pacaran sama Tante Sarah. Pahanya yang mulus enak dielus-elus. Tanganku terus ke atas membuka kancing bajunya, lalu menyelusup dan? Tiba-tiba sopir Bajaj memaki-maki membuyarkan lamunanku. Tanpa sadar aku berjalan terlalu ke tengah.

Melamun itu memang enak, bisa kita atur semau kita. Ketika membuka kancing baju Tante Sarah aku mulai tegang. Kususupkan empat jariku ke balik kaos Tante Sarah. Nah ini, montok, keras dan halus. Telapak tanganku tak cukup buat menampung dada Tante Sarah. Aku berhenti, menunggu lampu penyeberangan menyala hijau. Sampai di seberang jalan kusambung khayalanku.

Tante Sarah memang manis, apalagi kalau tersenyum, bibirnya indah, setidaknya menurutku. Aku mulai mendekatkan mulutku ke bibir Tante Sarah yang kemudian membuka mulutnya sedikit, persis seperti di film TV kemarin. Kamipun berciuman lama. Kancing baju Tante Sarahpun mulai kulepas, dua kancing dari atas saja cukup. Kubayangkan, meski dari luar dada Tante Sarah menonjol biasa, tak kecil dan tak besar, ternyata dadanya besar juga. Kuremas-remas sepuasnya...

***

Sampai tiba di depan rumah Aku kembali ke dunia nyata. Masuk melalui pintu garasi seperti biasa, membuka pintu tengah sampai ke ruang keluarga. Juga seperti biasa kalau mendapati Tante sedang membaca majalah sambil rebahan di karpet, atau menyulam, atau sekedar nonton TV di ruang keluarga. Yang tidak biasa adalah, kedua bukit kembar itu. Tante membaca sambil tengkurap menghadap pintu yang sedang kumasuki.

Posisi punggungnya tetap tegak dengan bertumpu pada siku tangannya. Mengenakan daster dengan potongan dada rendah, rendah sekali. Inipun tak biasa, atau karena aku jarang memperhatikan bagian atas. Tak ayal lagi, kedua bukit putih itu hampir seluruhnya tampak. Belahannya jelas, sampai urat-urat lembut agak kehijauan di kedua buah dada itu samar-samar nampak. Aku tak melewatkan kesempatan emas ini. Tante melihat sebentar ke arahku, senyum sekejap, terus membaca lagi. Akupun berjalan amat perlahan sambil mataku tak lepas dari pemandangan amat indah ini?

Hampir lengkap aku mempelajari tubuh Tanteku ini. Wajah dan komponennya, mata, alis, hidung, pipi, bibir, semuanya indah yang menghasilkan cantik. Walaupun dilihat sekejap, apalagi berlama-lama. Paha dan kaki, panjang, semuanya putih, mulus, berbulu halus. Pinggul, meski baru lihat dari bentuknya saja, tak begitu lebar, proporsional, dengan pantat yang menonjol bulat ke belakang. Pinggang, begitu sempit dan perut yang rata. Ini juga hanya dari luar.

Dan yang terakhir buah dada. Hanya puting ke bawah saja yang belum aku lihat langsung. Kalau daerah pinggul, bagian depannya saja yang aku belum bisa membayangkan. Memang aku belum pernah membayangkan, apalagi melihat kelamin wanita dewasa. Aku masih penasaran pada yang satu ini.

***

Keesokkan harinya, siang-siang, Yadi memberiku sampul warna coklat agak besar, secara sembunyi-sembunyi.

"Nih, buat kamu"

"Apa nih?"

"Simpan aja dulu, lihatnya di rumah. Hati-hati" Aku makin penasaran.

"Lanjutan pelajaranku kemarin. Gambar-gambar asyik." bisiknya.

Sampai di rumah aku berniat langsung masuk kamar untuk memeriksa benda pemberian Yadi. Tante lagi membaca di karpet, kali ini terlentang, mengenakan daster dengan kancing di tengah membelah badannya dari atas ke bawah. Kancingnya yang terbawah lepas sebuah yang mengakibatkan sebagian pahanya tampak, putih. ‘Suguhan’ yang nikmat sebenarnya, tapi kunikmati hanya sebentar saja, pikiranku sedang tertuju ke sampul coklat. Dengan tak sabaran kubuka sampul itu, sesudah mengunci pintu kamar, tentunya.

Wow, gambar wanita bule telanjang bulat! Sepertinya ini lembaran tengah suatu majalah, sebab gambarnya memenuhi dua halaman penuh. Wanita bule berambut coklat berbaring terlentang di tempat tidur. Buah dadanya besar bulat, putingnya lagi-lagi menonjol ke atas warna coklat muda. Perutnya halus, dan ini dia, kelaminnya! Sungguh beda jauh dengan apa yang selama ini kuketahui.

Ada daging berlipat di kanan kirinya, ada tonjolan kecil di ujung atasnya, lubangnya di tengah terbuka sedikit. Mungkin di sinilah tempat masuknya kelamin lelaki. Tapi, mana cukup? Oo, seperti inilah rupanya wujud kelamin wanita dewasa. Tiba-tiba pikiran nakalku kambuh.

“Begini jugakah punya Tante Sarah?” Pertanyaan yang jelas-jelas tak mungkin mendapatkan jawaban...


Posting Komentar

0 Komentar