TANTE SARAH (REMAKE)
GENRE : DRAMA EROTIC
JUMLAH HALAMAN : 245 HALAMAN
HARGA : Rp 30.000
PART 1
SARAH
Wanita muda
yang dikaruniai wajah jelita. Usianya baru 22 tahun saat dia menikah. Heru,
suaminya kini, melamarnya setelah 2 tahun memacarinya. Bagi sebagian orang
terutama kalangan modern penghuni kota besar, usia itu jelas dipandang terlalu
muda buat menikah. Sarah sendiri menyadari hal itu. Teman-temannya saat itu
juga banyak yang mengkritik,
“Buru-buru
amat lo Sar, ngga pingin meniti karir dulu?”
“Beneran lo
dah mantep sama si Heru?”
“Kuliah lo
gimana Sar?”
Dan banyak
lagi kata-kata semacam itu dari teman-temannya, tak terkecuali dari orang
tuanya sendiri. Tapi Sarah tak bergeming. Usia Sarah terpaut 6 tahun dengan
Heru yang saat itu 28 tahun. Sebenarnya di usia itu Heru telah menjadi seorang
eksekutif muda yang sukses, jadi masalah ekonomi sudah bukan masalah bagi
keluarga baru mereka kelak. Tapi, disamping masalah ekonomi itu, Sarah punya
alasan lain mengapa ia langsung menerima saat Heru melamarnya.
Sepanjang 2
tahun berpacaran dengan Heru, mereka telah terbiasa dengan hubungan seks yang
bebas. Sarah sendiri memang sudah terbiasa dengan pergaulan bebas sejak masih
berstatus sebagai pelajar. Sebelum berpacaran dengan Heru, dia menghitung sudah
5 pria yang pernah bersetubuh dengannya. Tidak semuanya pacar, hanya 2 orang
yang pernah benar-benar berpacaran dengannya, 3 lainnya hanyalah teman sesaat.
Jadi Heru adalah laki-laki keenam yang hadir dalam kehidupan seks bebas Sarah.
Diam-diam,
saat itu Sarah yang benar-benar mencintai Heru dan sempat berpikiran bahwa Heru
harus menjadi laki-laki terakhirnya. Sebenarnya saat berpacaran dengannya pun
Sarah beberapa kali menjalin hubungan persetubuhan dengan seorang mantan
pacarnya. Orang bilang itu selingkuh, tapi bagi Sarah sendiri, dia melakukannya
hanya untuk bersenang-senang karna dia memang sudah terbiasa melakukan itu.
Mantan
pacarnya itu pun sudah mempunyai pacar yang lain lagi. Jadi, Sarah tetap
mencintai Heru yang dia pandang sudah mapan, lebih dewasa, dan secara
penampilan, bagi Sarah Heru itu paling tampan dibanding lainnya. Selama menikah
Sarah bersyukur memiliki Heru dan tak ingin kehilangan dia. Tapi dasar
kelakuannya itu sudah susah diubah, kadang dia pun memaki dirinya sendiri yang
terlalu ‘kegatelan’. Sarah tidak berdaya dan kembali jatuh ke dalam hubungan
persetubuhan dengan laki-laki lain lagi yang baru dia kenal. Anton, namanya.
Anton adalah
tetangga sebelah rumah Sarah. Anton ini ini memang terkenal playboy. Penjahat
kelamin sejati. Wajahnya memang cukup ganteng, pacarnya barangkali ada selusin
lebih. Tapi, sekali lagi, hubungan Sarah dengannya juga sebatas
bersenang-senang. Anton dan Sarah sama-sama tahu keliaran masing-masing.
Hubungan mereka benar-benar tanpa adanya embel-embel cinta dan tuntutan apapun.
Semuanya murni nafsu. Celakanya, karna Anton itu tetangga Sarah, maka hubungan
persetubuhan mereka pun intensitasnya mulai melebihi hubungan Sarah dengan Heru
yang sedang berjarak cukup jauh darinya. Apalagi ditambah dengan kesibukannya
gara-gara karirnya yang memang sedang menanjak. Sungguh Sarah benar-benar lemah
kalau soal godaan seks ini.
Walhasil,
sudah 7 laki-laki pernah mengisi kehidupan liar Sarah saat itu. Angka 6 yang
dianggapnya lebih dari cukup, ternyata tidak bertahan lama. Tapi bagaimanapun
Sarah berpikir, hatinya tetap milik Heru, sang laki-laki keenam. Itulah
sebabnya dia langsung menerima lamaran Heru saat itu. Bahkan Sarah meminta Heru
untuk mempercepat pernikahan mereka. Heru yang baru dapat promosi senang saja
waktu itu tanpa ada kecurigaan apapun.
Sarah sendiri
juga merasa tulus, hubungannya dengan laki-laki lain tidak pernah dianggapnya
sebagai penghianatan, walau tentu saja tetap dirahasiakan dari Heru. Sarah
benar-benar berharap dengan status barunya sebagai seorang istri bisa meredam
gejolak liarnya, dan juga menghalangi orang untuk menggoda dirinya yang memang
berwajah di atas rata-rata itu. Kalau saja niat Sarah yang tulus itu
benar-benar bisa berjalan lancar tentu cerita ini tidak akan pernah ada. Yah,
apa daya, walau dia telah menikah, Anton tetap saja kerap mengunjunginya. Sarah
juga tak kuasa menolaknya. Suatu ketika dengan perasaan was-was, Sarah
mengingatkan pada Anton,
“Ingat Ton,
jangan ada cinta! Hatiku tetap milik mas Heru!”
Dia khawatir
Anton yang tak berhenti mengunjunginya itu gara-gara diam-diam menaruh cinta
padanya. Tapi kekhawatirannya agaknya tak terbukti.
“Tenang mbak,
siapa sih yang tidak senang bisa berhubungan dengan wanita secantik mbak tanpa
ada tuntutan tanggung jawab apapun?” jawabnya terkekeh.
“Aku juga
masih muda, semua ini kita lakukan just for fun kan?"
"Aku
masih sadar dan merasa beruntung dengan itu.” Anton menegaskan pada Sarah untuk
tidak khawatir dengan perasaannya.
"Kurang
ajar juga." pikir Sarah.
Tapi Sarah
sendiri pun sudah terbiasa menikmati hubungan semacam itu. Dia pun mencoba
menunjukkan sikap tidak tersinggung dengan itu. Kadang dalam hati saat sedang
merenung Sarah kerap berapologi membela diri sendiri.
“Suamiku
sudah sangat sibuk di kantornya. Dia berangkat kerja pagi jam 7 dan pulang ke
rumah jam 7 malamnya. Itu kalau tidak lembur. Apalagi tidak jarang juga di
akhir pekan dia ada tugas keluar kota.” Gumamnya dalam hati.
“Walau
memang hal itu sama sekali tidak mengurangi kemesraan kami sih…"
Saat ada di
rumah, mas Heru agaknya tahu bagaimana memanfaatkan waktu yang tidak lama itu
untuk habis-habisan bercumbu denganku.
"Aku
pun merasa senang dengan hal itu. Hubungan seks-ku dengan suamiku tetap mesra,
panas, dan baik-baik saja."
"Yang
menjadi masalah mungkin hanya kurang sering saja.” pikirnya lebih lanjut.
“Agaknya
libidoku ini memang terlalu tinggi…” Keluhnya.
Bagaimanapun
juga, hubungan gelap Sarah itu harus terhenti ketika ia mulai hamil. Anton tahu
diri. Walau begitu, sebagai teman, mereka kadang tetap mengunjungi Sarah tanpa
mengharapkan seks. Sarah senang mereka begitu. Kehamilannya ini tidak
mengurangi kesibukan Heru, jadi sering sekali dia membutuhkan teman di siang
hari saat Heru bekerja. Saat itu hadirlah seorang laki-laki lain dalam
kehidupan Sarah....
***
TEJO
Keponakan yang
datang dari desa. Tejo adalah anak dari kakaknya Heru. Berbeda dengan Heru yang
merantau ke kota dan menggapai sukses, kakaknya itu tetap di desa dan hidup
biasa-biasa saja. Namun karna kondisi kakak Heru yang berkekurangan dan
akhirnya dia mengalami kesulitan dalam menanggung biaya pendidikan Tejo. Heru
mendengar hal itu, berinisiatif untuk mengajak Tejo tinggal bersama dia dan
Sarah di kota untuk menimba ilmu disana.
Tentu saja
Heru akan menanggung seluruh biaya hidup Tejo. Hitung-hitung untuk sekalian
Tejo menemani Sarah dan anaknya yang akan lahir, ketika Heru sedang dinas
keluar kota. Yah bisa dikatakan seperti mengambil anak angkat, tapi memang
tidak ada kata-kata mengangkat anak, adopsi, atau yang semacamnya. Niat Heru
itu langsung disetujui oleh kakaknya dan dia merasa sangat berutang Budi dengan
begitu. Tejo sendiri nurut-nurut saja, dan Sarah juga sama sekali tidak
menunjukkan rasa keberatan.
***
POV Tejo
Jakarta!
Ya, akhirnya
jadi juga aku ke Jakarta. Kota impian semua orang, paling tidak bagi orang desa
sepertiku. Aku ke Jakarta atas seizin orang tuaku yang menginginginkan aku
mendapatkan pendidikan yang lebih layak, bahkan merekalah yang mendorongnya.
Pada mulanya aku sebenarnya enggan meninggalkan keluargaku, tapi ayahku
berharap aku untuk memiliki kehidupan yang lebih baik di Jakarta, dengan
tinggal bersama Adiknya.
Ayahku sangat
jarang berhubungan dengan adik itu. Paling hanya beberapa kali melalui surat,
karena telepon belum masuk ke desaku. Kabar terakhir yang aku dengar dari
ayahku, adik itu, sebut saja Oom Heru, punya usaha sendiri dan sukses, sudah
berkeluarga dengan satu anak lelaki yang baru saja lahir dan berkecukupan.
Rumahnya lumayan besar. Jadi, dengan berbekal alamat yang diberikan aku
berangkat ke Jakarta.
Stasiun
Manggarai, pukul 14.30 siang aku dicekam kebingungan. Begitu banyak manusia dan
kendaraan berlalu lalang, sangat jauh berbeda dengan suasana desaku yang sepi
dan hening. Singkat cerita, setelah berjuang hampir 3 jam, tanya ke sana
kemari, dua kali naik mikrolet (sekali salah naik), sekali naik ojek yang
mahalnya bukan main, sampailah aku pada sebuah rumah dengan taman yang asri
yang cocok dengan alamat yang kubawa. Berdebar-debar aku masuki pintu pagar
yang sedikit terbuka, ketok pintu dan menunggu. Seorang wanita muda, berkulit
bersih, dan ..
“Ya ampun,
cantik sekali.” ucapku dalam hati.
Wanita yang
berdiri di depanku itu memandang dengan sedikit curiga. Setelah aku jelaskan
asal-usulku, wajahnya berubah cerah.
"Tejo
ya?"
"Ayo
masuk, masuk."
"Kenalkan,
saya Tantemu, Tante Sarah." Dengan gugup aku menyambut tangannya yang
terjulur. Tangan itu halus sekali.
"Tadinya
Oom Heru mau jemput ke Manggarai, tapi ada keperluan mendadak."
"Naik apa
tadi? Nyasar gak kamu?" cecarnya dengan ramah.
Sungguh aku
tak menduga sambutan yang begitu ramah. Menurut cerita yang aku dengar, orang
Jakarta terkenal individualis, tidak ramah dengan orang asing, antar tetangga
tak saling kenal. Tapi wanita tadi, isteri Oom ku, Tante sarah, orangnya ramah
dan cantik lagi.
Aku diberi
kamar sendiri, walaupun agak di belakang tapi masih di rumah utama, dekat
dengan ruang keluarga. Kamarku ada AC-nya, memang seluruh ruang yang ada di
rumah utama ber-AC. Ini suatu kemewahan bagiku. Dipanku ada kasur yang empuk
dan selimut tebal. Walaupun AC-nya cukup dingin, rasanya aku tak memerlukan
selimut tebal itu. Mungkin aku cukup menggunakan sprei putih tipis yang di
lemari itu untuk selimut.
Rumah di desaku cukup dingin karena letaknya
di kaki gunung, aku tak pernah pakai selimut, tidur di dipan kayu hanya beralas
tikar. Aku diberi kewenangan untuk mengatur kamarku sendiri. Aku masih merasa
canggung berada di rumah mewah ini. Petang itu aku tak tahu apa yang musti
kukerjakan. Selesai beres-beres kamar, aku hanya bengong saja di kamar.
***
Pada hari
kedatangan Tejo, Sarah mengamati perawakannya dalam-dalam. Badannya tidak
terlalu kurus, kulitnya hitam legam. Dia tidak terlalu tinggi, dan wajahnya
jauh dari tampan, yang terlintas spontan di benak Sarah saat itu adalah,
“Benar-benar
ndeso….” batin Sarah.
Walaupun tentu
saja banyak sekali orang-orang desa yang tampan. Contohnya ya suaminya sendiri,
Heru yang notabene berasal dari desa yang sama dengan Tejo.
"Tejo!
sini, jangan ngumpet aja di kamar!" panggil Tante Sarah. Tejo pun beranjak
turun menuju ke ruang keluarga, menghampiri Tante Sarah yang sedang duduk di
sofa, menonton TV.
"Sudah
lapar belum jo?" tanya Tante Sarah.
"Belum
Tante, sore tadi aku makan kue-kue yang disedian Tante tadi." jawab Tejo.
"Kita
nunggu Om Heru ya berarti. Nanti kita makan malam bersama-sama." ujarnya.
***
JAM 7 MALAM
"Selamat
malam, Om." sapa Tejo.
“Duh Tejo apa
kabarnya kamu? Udah gede ya kamu Jo!" jawab Heru.
"Iya
Om."
"Gimana
kabarnya Mas Kardi dan Bu Siti?" Heru menanyakan kabar Ayah dan Ibu Tejo.
"Baik-baik
saja Oom".
Di meja makan
Oom banyak bercerita tentang rencana untuk Tejo selama di Jakarta. Tejo akan
didaftarkan untuk menujang pendidikan Tejo yang lebih baik, yang berada dekat
dengan rumahnya. Tejo juga diminta untuk menjaga rumah, sebab Oom Heru
kadang-kadang harus ke Bandung atau Surabaya mengurusi bisnisnya.
"Iya,
saya kadang-kadang takut juga engga ada laki-laki di rumah." timpal Tante
Sarah.
“Apalagi
kondisiku saat ini sedang hamil.” tambah Sarah menjelaskan.
“Ya, kamu
baik-baik ya di sini, belajar yang baik nanti.” Kata Sarah.
“Di sini
santai saja nggak usah canggung, anggap saja rumah sendiri."
"Tante
cuma berdua sama Oom-mu di rumah ini.” Lanjutnya.
“Om tiap hari
ngantor. Kami tidak ada pembantu. Jadi nanti kamu bantu-bantu tantemu ya.” Heru
menjelaskan kondisi rumah ini kepada Tejo.
Tejo tidak
banyak bicara saat itu, hanya sekedar mengangguk atau menggeleng dalam menjawab
penjelasan-penjelasan Heru. Pikiran sebagai laki-laki terusik dengan kecantikan
Sarah. Benar-benar Sarah ini wanita tercantik yang pernah dia tahu sepanjang
hidupnya. Tejo memandangi Sarah dengan tertegun saat itu. Dia tidak berusaha
menyembunyikan pandangannya, atau mengalihkan muka dan berusaha curi-curi
pandang pada Sarah.
Tidak. Dia
benar-benar terang-terangan memandangi wajah Sarah. Hanya saat bertemu
pandangan mata dengan Sarah saja dia merasa segan dan mengalihkan pandangannya
dari wajah Sarah, tapi turun ke tubuh Sarah dan bukan memandang ke arah lain. Sama
sekali tidak kelihatan salah tingkah, termasuk saat Sarah mengantar ke kamarnya
dan membantu membereskan barangnya. Sarah jelas menyadari hal itu.
“Anak ini
antara lugu atau tidak sopan?” pikirnya. Tampak tipis perbedaannya, tapi
tentu Sarah menganggapnya lugu.
“Belum
pernah lihat cewek cantik mulus ya?” Pikirnya lagi dalam hati kegeeran. Memang
dalam pandangan Tejo itu tidak bisa disembunyikan kekagumannya pada tantenya
itu.
"Aduh,
aku ini mikir apa sih, binal banget!” Sarah menghardik dirinya sendiri
dalam hati.
Saat itu Sarah
mengenakan pakaian sehari-hari biasa, daster tipis yang bawahnya hampir
sejengkal di atas lutut. Pakaian yang dipikirnya jauh dari seksi. Daster yang
sangat biasa sekali, jauh dari seksi karna agak longgar supaya tidak gerah.
Benar-benar pakaian yang biasa dipakai ibu-ibu di rumah. Tapi, ibu yang satu
ini masih muda, putih, langsing, dan segar dipandang.
Begitulah
Sarah yang walaupun sudah jadi ibu tapi usianya memang masih terbilang muda.
Tejo sendiri memang silau dengan paha Sarah yang terbuka bebas itu. Putih dan
mulusnya itu benar-benar gak nahan. Desa asalnya yang dekat pesisir itu memang
nyaris tidak ada manusia berkulit putih di sana, semuanya berkulit gelap, hitam
terbakar matahari yang sangat terik, tidak terkecuali anak-anak sekalipun dan
para wanitanya. Heru sendiri juga berkulit gelap. Jadi, maklum saja, jangankan
Tejo yang dari desa, pemuda kota seperti Anton pun blingsatan jika memandangi
tubuh mulus Sarah itu.
Walaupun
tengah hamil saat itu, Tejo tetap terpesona dengan tantenya itu. Berkali-kali
dia menelan ludah, dan itu kentara sekali hingga disadari oleh Sarah sendiri.
Dasar binal, Sarah tidak merasa risih sama sekali. Dalam hati dia malah jadi
tidak bisa berhenti memuji-muji diri sendiri. Akibatnya dari luar tidak sadar
dia suka senyum-senyum sendiri.
“Ada apa
senyum-senyum sendiri?” tanya Heru membuyarkan lamunannya. Sarah terkaget,
“Eh… mas ini,
gak papa, gak ada apa-apa!” sahutnya tergagap.
“Tejonya
mana?” Tanya Heru lagi.
“Ya lagi
beres-beres pakaiannya di lemarinya mas, banyak juga bawaan dia,” jawab Sarah.
“Tadi aku
bantu sebentar dengan barang-barangnya, tapi masalah pakaian biarlah dia yang
menata sendiri.” Kata Sarah lagi.
***
Hari ini, hari
pertama dimana Tejo melanjutkan pendidikannya, di daerah Tebet, tak jauh dari
rumah Oom Heru dan Tante Sarah. Untuk mencapai ke sana, Tejo hanya perlu
berjalan kaki. Tejo memang belum sepenuhnya dapat melepas kecanggungannya. Bayang
orang udik yang kuper sekarang melanjutkan pendidikan yang lebih baik di
Metropolitan. Kawan yang biasanya lelaki melulu, kini banyak teman wanita, dan
beberapa diantaranya cantik-cantik.
“Cantik?”
pikir Tejo.
Ya, sejak di
Jakarta ini, Tejo jadi tahu mana wanita yang dianggap cantik, tentunya menurut
ukuran Tejo. Dan Tantenya, Tante Sarah. Isteri Oom Heru menurut Tejo adalah
yang paling cantik, dibandingkan dengan kawan-kawan barunya. Dibanding dengan
Tante sebelah kiri rumah atau gadis yang ngekost tiga rumah ke kanan.
“Ah, mikir
apa kau Jo?” batin Tejo
Cepat-cepat
Tejo mengusir bayangan wajah Tante Sarah yang tiba-tiba muncul. Tak baik
membayangkan wajah Tante sendiri. Pada umumnya teman-teman baru Tejo baik,
walaupun kadang-kadang mereka memanggilnya dengan sebutan "Jawa" atau
meledek cara bicara Tejo yang mereka sebut, ‘medok’.
“Tak apalah,
tapi saya tetap akan minta mereka panggil saya Tejo.”
Alasan Tejo,
kalau memanggil dengan sebutan Jawa, toh banyak orang Jawa di tempat itu dan
bukan hanya aku. Mereka akhirnya mau menerima usulan Tejo. Terus terang, Tejo
menjadi cepat populer, bukan karena pandai bergaul. Dibandingkan kawannya yang
lain, tubuh Tejo paling tinggi dan paling besar. Bukan sombong, tapi Tejo juga
termasuk yang pintar. Tejo memang serius kalau urusan belajar, kegemaran Tejo
adalah membaca.
Kegemaran Tejo
yang suka membaca inilah yang mendorong Tejo bongkar-bongkar isi rak buku di
kamarnya. Rak buku ini milik Oom Heru. Nah, di antara tumpukan buku, aku
menemukan selembar majalah bergambar, namanya Popular. Rupanya penemuan majalah
inilah merupakan titik awalku belajar mandiri tentang wanita. Majalah itu
banyak memuat gambar-gambar wanita yang bagus. Bagus kualitas fotonya dan
modelnya. Dengan berdebar-debar, satu-persatu Tejo menelusuri, halaman demi
halaman.
“Ini memang
majalah hiburan khusus pria!” pikirnya.
Semua model
yang terpampang di majalah itu pakaiannya terbuka dan seronok. Ada yang pakai
rok demikian pendeknya, sehingga hampir seluruh pahanya terlihat, dan mulus.
Ada yang pakai blus rendah dan membungkuk memperlihatkan bagian belahan buah
dada. Dan, ini yang membuat jantungku keras berdegup. Memakai T-shirt yang
basah karena disiram, sementara dalamnya tidak ada apa-apa lagi. Samar-samar
bentuk sepasang buah kembar kelihatan.
“Oh, begini
toh bentuk tubuh wanita.” batin Tejo,
Dasarnya Tejo
sangat jarang ketemu wanita. Kalau ketemu pun wanita desa atau embok-embok. Dan
yang Tejo lihat hanyalah bagian wajah. Bagaimana Tejo tidak deg-deg-an baru
pertama kali melihat gambar tubuh wanita, walaupun hanya gambar paha dan
sebagian atas dada. Sejak ketemu majalah Popular itu, Tejo jadi lain jika
memandang wanita. Tidak hanya wajahnya yang dilihat, tapi kaki, paha dan
dadanya ‘diteliti’.
***
TEJO POV
Ah aku
sekarang punya “wawasan” lain kalau memandang perempuan. Dan aku kepikiran
Tante Sarah.
Ya!! Tante
Sarah!!
Kenapa selama
ini aku belum melihat dengan cara lain. Mungkin karena ia isteri Oomku, orang
yang aku hormati, yang membiayai hidupku, pendidikanku. Mana berani aku
menggodanya meskipun hanya dari cara memandang. Sampai detik ini aku melihat
Tante Sarah sebagai wanita yang wajahnya putih bersih dan cantik. Tapi dasar
setan selalu menggoda manusia, bagaimana tubuhnya? Ah, aku jadi pengin
cepat-cepat pulang untuk ‘meneliti’ Tanteku.
"Jangan
ah, aku menghormati Tanteku." ujarku secara akal sehat.
Seperti biasa,
kalau pulang aku masuk dari pintu pagar langsung ke ruang keluarga di
tengah-tengah rumah. Melewati ruang keluarga, sedikit ke belakang sampai ke
kamarku. Isi ruang keluarga ini dapat kugambarkan, di tengahnya terhampar
karpet tebal yang empuk yang biasa digunakan tante untuk membaca sambil
rebahan. Agak di belakang ada satu set sofa dan pesawat TV di seberangnya.
Sewaktu
melewati ruang keluarga, aku menjumpai Tante Sarah duduk di kursi dekat TV
menyilang kaki sedang menyulam, berpakaian model kimono. Duduknya dengan kaki
disilang, memperlihatkan kaki indahnya. Putih, bersih, panjang, di betis
bawahnya dihiasi bulu-bulu halus ke atas sampai paha.
Tanpa disadari
Tante belahan kimononya tersingkap hingga ke bagian paha agak atas. Tanpa
sengaja pula aku jadi tahu bahwa tante memiliki paha selain putih bersih juga
berbulu lembut. Sejenak aku terpana, dan lagi-lagi tegang. Untung aku cepat
sadar dan untung lagi Tante begitu asyik menyulam sehingga tidak melihat ulah
keponakannya yang dengan kurang ajar ‘memeriksa’ pahanya.
“Ah,
kacau.”
Sebenarnya
tidak sekali ini aku melihat Tante memakai kimono. Kenapa aku tadi terangsang
mungkin karena penghayatan yang lain, gara-gara majalah itu. Selesai makan ada
dorongan aku ingin ke ruang tengah, meneruskan ‘penelitianku’ tadi. Mungkin aku
mulai kurang ajar, mengambil posisi duduk di sofa nonton TV tepat di depan
Tante, searah-pandang kalau mengamati pahanya!
“Gimana harimu
tadi Jo” tanya Tante Sarah tiba-tiba yang sempat membuatku kaget. Sebab aku
sedang memperhatikan bulu-bulu kakinya.
“Biasa-biasa
saja Tante.”
“Biasa
gimana?“
“Ada kesulitan
engga?” tanya Tante Sarah.
"Engga
Tante." jawabku singkat.
"Udah
banyak dapat kawan?"
"Kalau
kamu pengin main lihat-lihat kota, silakan aja ya."
"Terima
kasih Tante."
"Tapi
Tejo belum hafal angkutannya."
"Harus
dicoba, yah nyasar-nyasar dikit engga apa-apa,"
"Toh kamu
tahu jalan pulang." papar Tante Sarah.
"Iya
Tante, mungkin hari Minggu Tejo akan coba." Jawabku.
"Kalau
perlu apa-apa, uang jajan misalnya atau perlu beli apa, ngomong aja sama Tante
ya, engga usah malu-malu." ucap Sarah lagi. Gimana kurang baiknya Tanteku
ini, keponakannya saja yang nakal...
“Nakal?”
Ah? Kan cuma
dalam pikiran saja, lagi pula hanya ‘meneliti’ kaki yang tanpa sengaja
terlihat. Apa salahnya?
"Terima
kasih Tante, uang yang kemarin masih ada kok." Jawabku.
"Emang
kamu engga jajan kemarin-kemarin?" Tanya Tante Sarah.
Berdesir
darahku. Sambil mengucapkan kata jajan tadi, Tante Sarah mengubah posisi
kakinya sehingga sekejap, tak sampai sedetik, sempat terlihat warna merah jambu
celana dalamnya! Aku berusaha keras menenangkan diri.
"Jajan
juga sih, hanya minuman dan makanan kecil." Akupun ikut-ikutan mengubah
posisi.
Ada sesuatu
yang mengganjal di dalam celanaku. Untung Tante tidak memperhatikan perubahan
wajahku. Sepanjang siang ini aku bukannya nonton TV. Mataku lebih sering ke
arah Tante, terutama bagian bawahnya!
***
Hari-hari
berikutnya tak ada kejadian istimewa. Rutin saja, beraktifitas belajar, makan
siang, nonton TV, sesekali melirik kaki Tante. Om Heru pulang kantor selalu
malam hari. Saat ketemu Omku hanya pada makan malam, bertiga. Pada acara makan
malam ini, sebetulnya aku punya kesempatan untuk menikmati paha mulus Tante
Sarah, sebab malam ini ia memakai rok pendek, biasanya memakai daster.
Tapi mana
berani aku menatap pemandangan indah ini di depan Om. Betapa bahagianya mereka
menurut pandanganku. Keesokkan harinya ada kejadian ‘penting’ yang perlu
kuceritakan. Pagi-pagi ketika aku sedang menyusun buku-buku yang akan kubawa, ada
beberapa lembar halaman yang mungkin lepasan atau sobekan dari majalah luar
negeri terselip di antara buku-buku pelajaranku. Aku belum sempat mengamati
lembaran itu, karena buru-buru mau berangkat takut telat. Pikiranku sempat
terganggu, mengingat sobekan majalah berbahasa Inggris itu,
“Milik
siapa ya?”
Tadi pagi
sekilas kulihat ada gambarnya wanita hanya memakai celana jeans tak berbaju.
Inilah yang mengganggu pikiranku. Sempat kubayangkan, bagaimana kalau Tante
Sarah hanya memakai jeans. Kaki dan pahanya yang mulus putih itu tertutup, sementara
bulatan dadanya yang besar terlihat jelas
“Ah.. nakal
kamu Jo!”
Pulang
beraktifitas tidak seperti biasa aku tidak langsung ke meja makan, tapi ngumpet
di kamarku. Pintu kamar kukunci dan mulai mengamati sobekan majalah itu.
Ada 4 lembar, kebanyakan tulisan yang tentu saja tidak kubaca. Aku belum
paham Bahasa Inggris. Di setiap pojok bawah lembaran itu tertulis, Penthouse.
Langsung saja ke gambar. Gemetaran aku dibuatnya. Wanita bule, berpose
membusungkan dadanya yang besar, putih, mulus, dan terbuka seluruhnya!
Paha dan kakinya meskipun tertutup jean ketat, tapi punya bentuk yang indah,
panjang, persis kaki milik Tante Sarah.
“Hah,
kenapa aku jadi membandingkan dengan tubuh Tante Sarah?”
Peduli amat,
tapi itulah yang terbayang. Kenapa aku sebut kejadian penting, karena baru
sekaranglah aku tahu bentuk utuh sepasang buah dada, meskipun hanya dari
foto. Bulat, di tengah ada bulatan kecil warna coklat, dan di
tengah-tengah bulatan ada ujungnya yang menonjol keluar.
Segera saja
tubuhku bereaksi, penisku tegang, dada berdebar-debar. Halaman berikutnya
membuatku lemas, mungkin belum makan. Masih wanita bule yang tadi tapi
sekarang di close-up. Buah dadanya makin jelas, sampai ke pori-porinya.
Ini kesempatanku untuk mempelajari anatomi buah kembar itu. Dari atas kulit itu
bergerak naik, sampai puting yang merupakan puncaknya, kemudian turun
lagi, membulat? Ya, beginilah bentuk buah dada wanita. Putingnya, apakah
selalu menonjol keluar seperti menunjuk ke depan? Tiba-tiba terlintas
pikiran nakal, Tante Sarah!
“Bagaimana
ya bentuk buah dada Tanteku itu?”
“Ah, kenapa
selama ini aku tak memperhatikannya!!”
“Asyik
lihat ke bawah terus sih!”
Memang
kesempatannya baru lihat paha. Kimono Tante waktu itu, kalau tak salah,
tertutup sampai dibawah lehernya. Tapi kan bisa lihat bentuk luarnya.
Ah, memang mataku tak sampai kesitu. Melihat bentuk paha dan kaki cewe bule ini
mirip milik Tante Sarah, aku rasa bentuk dadanya pun tak jauh berbeda,
begitu aku mencoba memperkirakan. Begitu banyak aku berdialog dengan
diri sendiri tentang buah dada. Begitu banyak pertanyaan yang bermuara pada
pertanyaan inti.
“Bagaimana
bentuk buah dada Tanteku yang cantik itu?”
Untungnya atau
celakanya, pertanyaanku itu segera mendapat jawaban, di meja makan. Di
pertengahan makan siangku, Tante muncul istimewa. Mengenakan baju-mandi,
baju mirip kimono tapi pendek dari bahan seperti handuk tapi lebih tipis
warna putih dan ada pengikat di pinggangnya. Tante kelihatan lain siang itu,
segar, cerah. Kelihatannya baru selesai mandi dan keramas, sebab
rambutnya diikat handuk ke atas.
“Oh, kamu
sudah pulang, engga kedengaran masuknya.” sapanya ramah sambil berjalan menuju
ke tempatku.
“Dari tadi
Tante.” jawabku singkat.
Ia berhenti,
berdiri tak jauh dari dudukku. Kedua tangannya ke atas membenahi handuk di
rambutnya. Posisi tubuh Tante yang beginilah memberi jawaban atas
pertanyaanku tadi.
“Luar biasa
besar juga buah dada Tante ini!”
“Persis
seperti perkiraanku tadi!”
“Bentuknya
mirip punya cewe bule di Penthouse tadi...”
Meskipun aku
melihatnya masih terbungkus baju-mandi, tapi jelas alurnya, bulat menonjol ke
depan. Di bagian kanan baju mandinya rupanya ada yang basah, ini makin
mempertegas bentuk buah indah itu. Samar-samar aku bisa melihat lingkaran kecil
di tengahnya. Sehabis mandi mungkin hanya baju-mandi itu saja yang membungkus
tubuhnya sekarang. Bawahnya aku tak tahu.
Bawahnya! Ya,
aku melupakan pahanya. Segera saja mataku turun. Kini lebih jelas, bulu-bulu
lembut di pahanya seperti diatur, berbaris rapi. Ah aku sekarang lagi
tergila-gila buah dada. Pandanganku ke atas lagi. Mudah-mudahan ia tak
melihatku melahap ‘dengan mata’ tubuhnya. Memang ia tidak memperhatikanku,
pandangannya ke arah lain masih terus asyik merapikan rambutnya. Tapi aku tak
bisa berlama-lama begini, disamping takut ketahuan, lagipula aku kan sedang
makan. Kuteruskan makanku. Bagaimana reaksi tubuhku, susah diceritakan. Yang
jelas kelaminku tegang luar biasa. Tiba-tiba ia menarik kursi makan di
sebelahku dan duduk. Ah, wangi tubuhnya terhirup olehku!!
“Makan yang
banyak, tambah lagi tuh ayamnya.” ujar Tante Sarah.
Bagaimana mau
makan banyak, kalau terganggu seperti ini. Aku mengiyakan saja. Rupanya
gangguan nikmat belum selesai. Aku duduk menghadap ke utara. Di dekatku duduk
si Badan-sintal yang habis mandi, menghadap ke timur. Aku bebas melihat
tubuhnya dari samping kiri. Ia menundukkan kepalanya dan mengurai rambutnya ke
depan. Dengan posisi seperti ini, badan agak membungkuk ke depan dan
satu-satunya pengikat baju ada di pinggang, dengan serta merta baju mandinya
terbelah dan menampakkan pemandangan yang bukan main. Buah dada kirinya dapat
kulihat dari samping dengan jelas.
“Ampun..
putihnya, dan membulat.”
Kalau aku
menggeser kepalaku agak ke kiri, mungkin aku bisa melihat putingnya. Tapi ini
sih ketahuan banget. Jangan sampai. Betapa tersiksanya aku siang ini. Tersiksa
tapi nikmat! Oh Tuhan, janganlah aku Kau beri siksa yang begini. Aku khawatir
tak sanggup menahan diri. Rasa-rasanya tanganku ingin menelusup ke belahan baju
mandi ini lalu meremas buah putih itu? Kalau itu terjadi, bisa-bisa aku
dipulangkan, dan hilanglah kesempatanku meraih masa depan yang lebih baik. Apa
yang kubilang pada ayahku? Dapat kupastikan ia marah besar, dan artinya, kiamat
bagiku. Untung, atau sialnya, Tante cepat bangkit menuju ke kamar sambil
berkata,
“Teruskan ya
makannya.”
“Ya Tante.”
sahutku masih gemetaran.
Aku menemukan
sesuatu lagi. Aku mengamati Tante berjalan ke kamarnya dari belakang, gerakan
pinggulnya indah sekali. Pinggul yang tak begitu lebar, tapi pantatnya demikian
menonjol ke belakang. Tubuh ideal, memang.
***
“Tejo, kamu
makan duluan ya.”
“Tante
menunggu Oom yang telat pulang malam nih.” pinta Tante Sarah.
Masih
terbayang kejadian siang tadi bagaimana aku menikmati pemandangan dada Tante
Sarah yang membuat aku tak begitu selera makan. Tiba-tiba aku dikejutkan oleh
kedatangan Tante yang muncul dari kamarnya. Masih mengenakan baju-mandi yang
tadi, rambutnya juga masih diikat handuk. Langsung ia duduk disebelahku persis
di kursi yang tadi.
Belum habis
rasa kagetku, tiba-tiba pula ia pindah dan duduk di pangkuanku! Bayangkan,
bagaimana nervous-nya aku. Yang jelas batang kejantananku langsung mengeras
merasakan tindihan pantat Tante yang padat. Disingkirkannya piringku, memegang
tangan kiriku dan dituntunnya menyelinap ke belahan baju-mandinya. Aku tidak
menyia-nyiakan kesempatan emas ini. Kuremas dadanya dengan gemas.
"Hangat,
padat dan lembut."
Tantepun
menggoyang pantatnya, terasa enak di kelaminku. Goyangan makin cepat, aku jadi
merasa geli di ujung kemaluanku. Rasa geli makin meningkat dan meningkat, dan..
Hah?!
Aku
terbangun...
“Sialan!”
“Cuma mimpi
rupanya!!”
“Masa
memimpikan Tante?” gerutuku yang baru saja terbangun dari impian
yang hampir indah itu.
Aku jadi malu
sendiri. Kejadian siang tadi begitu membekas sampai terbawa mimpi. Eh, celanaku
basah. Mana mungkin aku ngompol. Lalu apa dong? Cepat-cepat aku
periksa. Memang aku ngompol! Tapi tunggu dulu, kok airnya lain, lengket-lengket
agak kental. Ah, kenapa pula aku ini? Apa yang terjadi denganku?
Besok coba aku tanya pada Om.
“Gila apa!
Jangan sama Om dong!”
Lalu tanya
kepada Tante, tak mungkin juga. Mungkin temanku ada yang tahu, besok aku
tanyakan.
***
Esoknya aku
ceritakan hal itu kepada Yadi teman paling dekat. Sudah barang tentu kisahnya
aku modifikasi, bukan Tante yang duduk di pangkuanku, tapi seseorang yang tak
kukenal.
“Itu namanya
mimpi basah Jo!” jawab Yadi.
“Mimpi basah?”
tanyaku. Malu juga aku belum tahu mimpi basah.
“Rupanya kamu
badan aja yang gede, pikiran masih anak-anak.” ujar Yadi.
“Ah biar
saja!” jawabku.
“Kamu punya
pacar??”
“Atau pernah
pacaran??” tanya Yadi.
“Engga.”
jawabku.
“Kalau pacaran
ngapain aja sih??” tanyaku lugu. Memang betul aku belum tahu tentang pacaran.
Tentang wanita pun aku baru tahu beberapa hari lalu.
“Hahaha!
Kampungan lu!” gelak Yadi.
“Ya tergantung
orangnya.”
“Kalau aku sih
paling-paling ciuman, raba-raba, udah.”
“Kalau si Luki
kelewatan, sampai pacarnya hamil!!” ujar Yadi.
Ciuman,
raba-raba. Aku pernah lihat orang ciuman di film TV, enak juga kelihatannya,
belum pernah aku membayangkan. Kalau meraba, pernah kubayangkan meremas dada
Tante Sarah. Tapi kalau Hamil? Pelajaran baru nih.
“Ada juga yang
sampai ‘gitu’ tapi engga hamil.”
“Engga tahu
aku caranya gimana...” Yadi menerangkan sesuatu yang tidak aku paham maksudnya.
“Gitu
gimana??” tanyaku penuh penasaran. Apa maksudnya dari kata ‘gitu’ yang Yadi
lontarkan.
“Kamu
betul-betul engga tahu??” ujar Yadi penuh keheranan. Lalu ia cerita bagaimana
hubungan kelamin itu. Dengan bisik-bisik tentunya. Aku jadi tegang.
"Bagaimana
mungkin kelaminku sebesar ini bisa masuk ke lubang pipis wanita?"
"Sebesar
apa lubangnya?" pikir Tejo.
Dalam
perjalanan pulang aku membayangkan bagaimana seandainya aku pacaran sama Tante
Sarah. Pahanya yang mulus enak dielus-elus. Tanganku terus ke atas membuka
kancing bajunya, lalu menyelusup dan? Tiba-tiba sopir Bajaj memaki-maki
membuyarkan lamunanku. Tanpa sadar aku berjalan terlalu ke tengah.
Melamun itu
memang enak, bisa kita atur semau kita. Ketika membuka kancing baju Tante Sarah
aku mulai tegang. Kususupkan empat jariku ke balik kaos Tante Sarah. Nah ini,
montok, keras dan halus. Telapak tanganku tak cukup buat menampung dada Tante
Sarah. Aku berhenti, menunggu lampu penyeberangan menyala hijau. Sampai di
seberang jalan kusambung khayalanku.
Tante Sarah
memang manis, apalagi kalau tersenyum, bibirnya indah, setidaknya menurutku.
Aku mulai mendekatkan mulutku ke bibir Tante Sarah yang kemudian membuka
mulutnya sedikit, persis seperti di film TV kemarin. Kamipun berciuman lama.
Kancing baju Tante Sarahpun mulai kulepas, dua kancing dari atas saja cukup.
Kubayangkan, meski dari luar dada Tante Sarah menonjol biasa, tak kecil dan tak
besar, ternyata dadanya besar juga. Kuremas-remas sepuasnya...
***
Sampai tiba di
depan rumah Aku kembali ke dunia nyata. Masuk melalui pintu garasi seperti
biasa, membuka pintu tengah sampai ke ruang keluarga. Juga seperti biasa kalau
mendapati Tante sedang membaca majalah sambil rebahan di karpet, atau menyulam,
atau sekedar nonton TV di ruang keluarga. Yang tidak biasa adalah, kedua bukit
kembar itu. Tante membaca sambil tengkurap menghadap pintu yang sedang
kumasuki.
Posisi
punggungnya tetap tegak dengan bertumpu pada siku tangannya. Mengenakan daster
dengan potongan dada rendah, rendah sekali. Inipun tak biasa, atau karena aku
jarang memperhatikan bagian atas. Tak ayal lagi, kedua bukit putih itu hampir
seluruhnya tampak. Belahannya jelas, sampai urat-urat lembut agak kehijauan di
kedua buah dada itu samar-samar nampak. Aku tak melewatkan kesempatan emas ini.
Tante melihat sebentar ke arahku, senyum sekejap, terus membaca lagi. Akupun
berjalan amat perlahan sambil mataku tak lepas dari pemandangan amat indah ini?
Hampir lengkap
aku mempelajari tubuh Tanteku ini. Wajah dan komponennya, mata, alis, hidung,
pipi, bibir, semuanya indah yang menghasilkan cantik. Walaupun dilihat sekejap,
apalagi berlama-lama. Paha dan kaki, panjang, semuanya putih, mulus, berbulu
halus. Pinggul, meski baru lihat dari bentuknya saja, tak begitu lebar,
proporsional, dengan pantat yang menonjol bulat ke belakang. Pinggang, begitu
sempit dan perut yang rata. Ini juga hanya dari luar.
Dan yang
terakhir buah dada. Hanya puting ke bawah saja yang belum aku lihat langsung.
Kalau daerah pinggul, bagian depannya saja yang aku belum bisa membayangkan.
Memang aku belum pernah membayangkan, apalagi melihat kelamin wanita dewasa.
Aku masih penasaran pada yang satu ini.
***
Keesokkan
harinya, siang-siang, Yadi memberiku sampul warna coklat agak besar, secara
sembunyi-sembunyi.
"Nih,
buat kamu"
"Apa
nih?"
"Simpan
aja dulu, lihatnya di rumah. Hati-hati" Aku makin penasaran.
"Lanjutan
pelajaranku kemarin. Gambar-gambar asyik." bisiknya.
Sampai di
rumah aku berniat langsung masuk kamar untuk memeriksa benda pemberian Yadi.
Tante lagi membaca di karpet, kali ini terlentang, mengenakan daster dengan
kancing di tengah membelah badannya dari atas ke bawah. Kancingnya yang
terbawah lepas sebuah yang mengakibatkan sebagian pahanya tampak, putih.
‘Suguhan’ yang nikmat sebenarnya, tapi kunikmati hanya sebentar saja, pikiranku
sedang tertuju ke sampul coklat. Dengan tak sabaran kubuka sampul itu, sesudah
mengunci pintu kamar, tentunya.
Wow, gambar
wanita bule telanjang bulat! Sepertinya ini lembaran tengah suatu majalah,
sebab gambarnya memenuhi dua halaman penuh. Wanita bule berambut coklat
berbaring terlentang di tempat tidur. Buah dadanya besar bulat, putingnya
lagi-lagi menonjol ke atas warna coklat muda. Perutnya halus, dan ini dia,
kelaminnya! Sungguh beda jauh dengan apa yang selama ini kuketahui.
Ada daging
berlipat di kanan kirinya, ada tonjolan kecil di ujung atasnya, lubangnya di
tengah terbuka sedikit. Mungkin di sinilah tempat masuknya kelamin lelaki.
Tapi, mana cukup? Oo, seperti inilah rupanya wujud kelamin wanita dewasa.
Tiba-tiba pikiran nakalku kambuh.
“Begini
jugakah punya Tante Sarah?” Pertanyaan yang jelas-jelas tak mungkin
mendapatkan jawaban...
Posting Komentar
0 Komentar