SANG PEMUAS

 


GENRE : THRILLER EROTIC

JUMLAH HALAMAN : 162 HALAMAN

HARGA : Rp 20.000

PART 1

“Siapa dia?” Tanya wanita itu pada seorang lelaki bertubuh tegap di sampingnya yang membungkukkan wajahnya hingga telinganya bisa mendengar dengan jelas pertanyaan sang wanita, demi meningkahi dentuman beat music yang bergelora di dalam nightclub itu.

“Namanya Yasmin , terakhir bekerja sebagai sekretaris di perusahaan tambang batubara.”

“Sumbermu bisa dipercaya?” Tanya wanita itu lagi. Lelaki itu mengangguk pasti.

“Tukang koran yang kita taruh di sana yang memastikannya.”

“Lalu alasan dia keluar?”

Expat yang memelihara dia keluar dari perusahaan itu, kembali ke negaranya. Sementara gadis itu bukan favorit di perusahaan itu, banyak yang cemburu karena kedekatannya dengan expat yang memang jadi rebutan.”

“Jadi sekarang dia sedang melampiaskan kekesalannya.” Wanita itu mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Dan juga mencari sumber pemasukan lain.” Kata lelaki bertubuh tegap itu.

“Dia tidak dapat apa-apa dari expat itu?”

“Sepertinya hubungan mereka baru saja mulai waktu si expat memutuskan pulang ke negaranya. Dan dia mulai kesulitan untuk kembali hidup seperti sebelum expat itu menyimpannya.”

“Perfect,” Kata wanita itu sambil bangkit dari duduknya dan mendekati Yasmin yang duduk di depan bar, memandangi Bloody Mary yang berada di hadapannya. Yasmin sama sekali tidak tertarik dengan wanita yang sekarang duduk di bangku di sampingnya.

Vodka double on rocks.” Pesan wanita itu, lalu dia duduk berbalik ke arah kerumunan, wajahnya cerah ketika ia melihat seorang expat berumur datang menghampirinya.

Hi, dear. How are you doing?” Kata pria itu kepada si wanita sambil keduanya bercium pipi kiri dan kanan.

“Been a long time, babe,” Kata wanita itu, mempersilakan si expat berdiri di antara dirinya dan Yasmin.

Yasmin sedikit beringsut memberi tempat pada pria pertengahan empatpuluhan dengan wajah biasa saja dan berperut sedikit tambun itu, yang kemudian memesan minuman untuk dirinya. Yasmin sesekali mengerling ke dua orang yang kini bercengkrama itu, antara sedikit terganggu dan tak peduli.

“Ah, where’s my manners.” Kata wanita itu sambil menegakkan punggungnya dan melihat ke arah Yasmin.

“Albert, this is my friend.” Katanya.

Yasmin tertegun, ia tak menyangka wanita itu mengenalkannya pada Albert bagai seorang kawan lama, namun ia tak mau dianggap tidak sopan hingga ia menyambut uluran tangan Albert.

“Yasmin.” Jawabnya singkat.

“A lovely name.” Kata Albert.

“Lovely as the lady herself isn’t she?”

Yasmin sedikit jengah, wanita yang tak dikenalnya ini mempelakukannya bagai seonggok daging tanpa perasaan yang bisa dilempar begitu saja. Namun ia tak bergerak untuk melempar minumannya, menampar wanita itu atau hal lainnya. Ia hanya berdiam diri, ia merasa kalau wanita itu dapat membaca permasalahan keuangannya. Memang demikian ceritanya, ketika seorang bos expat dulu memelihara dirinya, ia tak pernah merasa kekurangan, namun setelah lelaki itu pergi, gaji sebagai seorang sekretaris ternyata jauh dari mencukupi gaya hidupnya yang sudah berubah.

“But is the lovely lady willing to accompany me to make my gloomy night turn bright?” Tanya pria itu sambil matanya erat menatap mata sang gadis.

Wanita itu menatap ke arah Yasmin, menanti lengan halus Yasmin menyentuh dagu sang expat, mengusap pipi lelaki itu, lalu ke belakang kepalanya, menariknya halus dan wanita itu tersenyum melihat Yasmin berciuman mesra dengan Albert.

“Until we meet again my dear.” Kata lelaki itu sambil menggamit pinggang Yasmin setelah sebelumnya meletakkan beberapa lembar uang ratusan ribu sebagai pembayar minuman dan tip untuk bartender yang tersenyum sangat lebar.

***

Yasmin mengikuti sang pria masuk ke dalam kamar hotel, memeluknya dari belakang lalu menciumi tengkuknya, lehernya. Albert berbalik, tangannya meremasi payudara sekal Yasmin, pahanya, pinggulnya, dan bermain nakal di selangkangannya. Sambil mereka berdua menghentak lepas sepatu yang mereka kenakan. Yasmin mengetahui nafsu sang pria yang mulai menggelegak, dan ia tau kalau lelaki ini tak mau menunggu lebih lama maka ia tak melakukan trick para pelacur, ia tak meminta waktu untuk ke kamar mandi. Ia membiarkan lelaki itu mengangkat backless nightdress yang dikenakannya sementara ia melepaskan kemeja penuh keringat dan bau dari tubuh sang expat.

Ia membiarkan sang lelaki merenggut bra dan underwear-nya, sementara ia melepaskan gesper, lalu meloloskan celana tiga perempat yang digunakan pria itu lalu bersimpuh di hadapan selangkangan sang expat, lalu dengan giginya ia menurunkan celana dalam sang expat, dan kemudian ia merasakan remasan di kepala dan rambutnya seiring makin masuknya penis sang expat ke dalam kerongkongannya.

***

Yasmin menghembuskan rokoknya sambil berdiri di balkon apartment mewah, berbalut seprai yang menutupi ketelanjangan tubuhnya. Ia memandang ke arah gelap malam, ke arah lampu-lampu yang menunjukkan kalau metropolitan belum lagi terlelap. Lalu ia masuk ke dalam, mengenakan pakaiannya lagi dan merapikan seadanya, mengambil uang yang memang ditujukan sebagai tip atas pelayanannya yang kini membuat sang expat tertidur dengan tenang, dengan seulas senyum tersungging di bibir keriputnya. Perlahan Yasmin menutup pintu kamar hotel itu dan melangkah sedikit terhuyung di koridor menuju lift. Ia mengambil smartphonenya dan mengirim sebuah pesan.

Yasmin tak memperdulikan pandangan mesum, melecehkan dan bernafsu para sekuriti, cleaning service dan beberapa pekerja hotel. Toh kenyataannya ia kini memang telah resmi menjadi wanita pemuas birahi. Ia terus berjalan keluar dari lobi dan menuju ke arah gerbang di mana taksi biasanya berkumpul, namun belum lama ia berjalan sebuah sedan mewah berhenti di sampingnya. Yasmin menengok arah kursi belakang, dan ia melihat wanita yang telah menjual dirinya duduk dengan anggun di sana. Yasmin lalu membuka pintu dan masuk, duduk di sebelah sang wanita, dan mobilpun kembali melaju menuju tempat yang disebutkan Yasmin.

Yasmin merasa sangat lelah. Ia pun lalu menyandarkan kepalanya ke bahu sang wanita yang mengusap lembut kepala sang gadis, seakan ingin menghiburnya. Si wanita dapat merasakan kelelahan mental dan beban moral yang dialami gadis di sampingnya , sebagaimana dirinya alami dahulu ketika pertama kali ia menjual tubuhnya kepada lelaki. Namun itulah harga yang harus dibayar sang gadis untuk kehidupan mewah yang dijalaninya. Di depan gerbang sebuah kos-kosan mewah mobil itu berhenti. Wanita itu meminta smartphone Yasmin, mengetikkan nomornya dan menyerahkannya kembali pada Yasmin.

Gadis itu lalu melangkar ke luar kendaraan dan tanpa menoleh ke belakang ia masuk ke dalam kamar kos-kosan itu. Sepanjang perjalanannya menuju kamar sayup-sayup ia bisa mendengar deru persetubuhan dari beberapa kamar, erangan lirih, dengus nafas yang memburu dan desah kepuasan. Ia mencoba menulikan telinganya dan masuk ke dalam kamarnya sendiri. Yasmin melempar dompetnya sembarangan, lalu memandang ke arah cermin. Ia memandang wajahnya, maskaranya yang sedikit luntur. Emosinya mengelegak, ia merobek nightgown-nya merenggut putus bra dan panty yang dikenakannya.

 Dengan terisak ia masuk ke dalam shower, lalu mengambil body scrub dan dengan terisak berusaha menyikat tubuhnya dengan keras seakan mencoba menghilangkan aroma sang expat dari tubuhnya, berkumur dan menelan air mentah shower, seakan mau menghilangkan aroma bibir, liur, sperma dan rasa kelat anus sang expat yang ia puaskan beberapa jam tadi dengan lidahnya. Ia menggosok, menggosok dan terus menggosok, Yasmin terisak, ia bersandar pada dinding shower, menggelosor ke lantai dingin. Ia menaikkan kedua lututnya rapat ke dada dan menangis sejadinya.

***

Pria setengah baya itu terbangun dari tidurnya, getar telepon di sampingnya membangunkan dia untuk kali kedua malam ini. Ia duduk di samping ranjang empuknya dan membaca pesan yang tertulis di layar dan mendesah. Ia bangkit menuju meja kerjanya yang memang diletakkan di kamarnya yang mewah itu. Ia mengambil sebuah berkas dan menyalakan sebatang cerutu. Pria itu lalu mengangkat intercom.

 “Nduk, tolong bawakan aku kopi.”

Ia lalu kembali melihat pesan di layar itu dan memandang ke arah berkas di hadapannya. Pesan kedua yang diterimanya meyakinkan dirinya kalau roda sudah mulai berputar. Ia sadar kalau ia akan kehilangan cukup banyak, namun hal ini harus terjadi atau ia sendiri akan terkena dampaknya. Lebih baik ia kehilangan banyak, namun pada akhirnya ia akan memperoleh lebih banyak lagi. Ia lalu mengambil berkas itu dan membukanya.

Ia tak pernah salah memilih orang, ia memiliki indra keenam untuk hal seperti itu, dan semenjak ia melihat gadis itu ketika ia diundang koleganya untuk menghadiri upacara penerimaan anggota baru, ia sudah tau kalau gadis itu akan memiliki segalanya yang ia butuhkan untuk menjalankan tugas seperti ini. Pria itu meletakkan berkas ketika mendengar pintu kamarnya dibuka. Seorang gadis muda berpenampilan manis dan lugu masuk membawa nampan dengan secangkir kopi yang mengepul. Dengan sopan gadis itu meletakkan kopi di meja sang lelaki.

“Silahkan Ndoro.” Lelaki itu menatap sang gadis yang menunduk salah tingkah, ia tak pernah salah menilai dan memilih orang.

Nduk, malam ini kamu temani aku ya?” Gadis itu mengangguk malu.

“Baik Ndoro.” Katanya sambil meloloskan dasternya, menampakkan tubuh sempurna seorang gadis muda yang telanjang dan menantang.

Gadis itu lalu bersimpuh di hadapan sang pria, menyibakkan kimono sang pria dan mulai memanjakan kelelakian sang pria yang perlahan mulai tegak mengacung. Ya, ia tak pernah salah dalam menilai orang. Lagipula, apalah salahnya ia menikmati hidupnya seperti ini, sama seperti istrinya menikmati hidupnya  sendiri, terlebih seperti saat ini ketika sang nyonya dan beberapa temannya sedang studi banding ke negara lain, dan berdasarkan informasi ajudan dari teman istrinya yang sudah ia beli, ia tau kalau selama studi banding itu, istrinya juga menjajal penis-penis gigolo muda di negara itu.

Ia menghembuskan cerutunya, merengkuh sang gadis, mengajaknya ke tempat tidur, dan menggumulinya dengan bernafsu. Kopi itu menjadi dingin, sama sekali tak tersentuh.

***

BEBERAPA WAKTU LALU

“Bisa lihat wajahnya dengan jelas?” Tanya seorang perwira polisi ke seorang polisi wanita yang duduk di depannya mengintip laptop di atas meja.

Mereka berdua sedang memandangi foto yang kelihatannya diambil dengan kamera rahasia karena agak buram dan goyang. Foto itu menampilkan beberapa orang perempuan duduk di sofa di ruangan temaram. Satu yang di tengah terlihat berpenampilan ramai, mengenakan kimono pendek bermotif belang zebra dengan tepi merah, rambutnya digerai. Wajahnya kurang jelas.

“Siap komandan, kurang jelas di foto ini.” Kata si polwan.

“Oke, kalau begitu lihat yang ini.” Si polwan menggumam melihat foto seorang komedian terkenal merangkul perempuan yang di tengah tadi, dengan wajah lebih jelas. Wajahnya putih dan cantik. Perempuan itu juga memakai kimono, dengan corak berbeda. Rambut hitamnya diikat menjadi konde kecil di belakang kepalanya.

“Lebih jelas. Dia ini suka banget pakai kimono ya?” Tanya si polwan santai, seolah sedang membahasnya bersama teman arisan.

“Mungkin disesuaikan dengan identitas yang dia pakai dalam pekerjaannya, memang kejepang-jepangan kan? Madame Harumi. Nama aslinya Faria Rosalin, tapi sepanjang kariernya dia sudah banyak dikenal dengan nama lain. Umur 35 tahun.”

“Kelihatan lebih muda.” Celetuk si polwan.

“Dia pintar jaga penampilan.” Sambung si komandan.

“Dia sudah jadi target operasi sesudah penggerebekan beberapa bulan lalu yang menangkap beberapa anak buahnya. Tapi kita belum tahu seperti apa operasi dia, seberapa besar dan luas.” Si komandan berhenti sejenak lalu memandangi si polwan.

“Saya tahu kamu sukses di penugasan kemarin, hasilnya kan kita bisa tangkap sejumlah teroris dan ungkap jaringan mereka. Makanya saya percaya kemampuan kamu. Lagian untuk tugas seperti ini, tidak ada lagi yang cocok dalam kesatuan kita selain kamu. Saya bisa kasih anggaran besar dan back up lumayan buat siapapun yang bisa masuk dan bongkar operasi dia, tapi setelah saya pikir-pikir cuma kamu yang bisa masuk ke sana.” Si polwan menghela nafas.

“Tapi, apa saya harus,” Komandannya tiba-tiba berkata keras dan tegas.

“Kamu ingat sumpah yang diucapkan ketika pertama kali masuk kesatuan ini? Saya perintahkan sebut isinya.”

“Siap komandan!” Balas si polwan dengan tegas juga. Lalu dia mengulang sumpah itu lagi.

“Melaksanakan dinas dengan penuh pengabdian dan kesadaran dan mengutamakan kepentingan masyarakat daripada kepentingan sendiri, orang, atau golongan.”

“Bagus. Saya senang kamu ingat.” Kata si komandan.

“Ipda Alya Rosmala, silakan meninggalkan ruangan, besok harap melapor ke saya ke lokasi yang sudah ditentukan dalam keadaan siap beroperasi, instruksinya ada dalam amplop ini dan segala perlengkapan akan disediakan.”

“Siap komandan!” Polwan itu, Ipda Alya, yang biasa dipanggil Alya, memberi hormat.

***

Beberapa hari kemudian,

Ipda Alya berusaha untuk menahan perasaannya ketika dia melihat wajahnya sendiri di cermin dalam kamar satu kos-kosan mewah yang menjadi pangkalan operasinya untuk misi yang diberikan kepadanya. Beda sekali dengan tugas sebelumnya, ketika dia diperintahkan menyamar dengan menutup seluruh tubuh dan wajahnya dengan pakaian panjang agar bisa menjadi istri muda seorang pemimpin kelompok kepercayaan yang akhirnya ditewaskan satuan elite dalam penyergapan anti teroris. Publik cuma melihat dirinya digiring keluar rumah yang ditembaki tanpa melihat wajahnya maupun sadar mengenai perannya menjebak si pemimpin berikut anak buahnya di rumah itu. Setidaknya dalam tugas itu wajahnya tak dilihat siapapun kecuali orang-orang yang sekarang sudah masuk kuburan.

 Di tugas sebelumnya lagi, dia memang berpenampilan beda lagi, lebih mirip dengan yang sekarang, tapi dia sekadar dijadikan umpan menjebak pengedar narkotika. Dia melihat betapa wajahnya berubah. Tapi bagaimanapun, lebih baik dia menyamar dengan wujud agak jauh dari wajah aslinya. Secara psikologis dia merasa itu lebih baik daripada perannya mempengaruhi dirinya sendiri. Menjaga jarak antara samaran dan kehidupan nyata itu perlu. Jeda beberapa bulan sejak tugas terakhir menjadi masa persiapan untuk tugas baru Alya. Tugas terakhir yang membuatnya menutup tubuh terus itu sempat membuat kulitnya pucat; kesempatan berlatih di luar ruang mengembalikan warna kulit Alya ke yang semula. Dan itu agak disesali oleh Alya sendiri karena kulit aslinya berwarna kecoklatan.

Tubuhnya pun sudah kembali kencang sesudah kurang gerak selama berbulan-bulan pada penyamaran sebelumnya. Dan dia bisa menumbuhkan rambutnya cukup panjang. Polwan biasa sesuai peraturan harus berambut pendek, tapi itu tidak berlaku bagi mereka yang bertugas penyamaran seperti Alya. Baru saja komandannya meninggalkan kamar kos yang cukup besar itu. Alya telah diinstruksikan berada di lokasi itu, yang ternyata adalah pangkalannya. Di dalam kamar kos itu ada kamar mandi sendiri, ranjang king size, meja rias besar dengan cermin, dan lemari penuh pakaian dan barang-barang, “perlengkapan misi”. Kamar itu cukup mewah meski terkesan meriah, dengan kertas dinding berwarna merah bercorak emas dan lampu bercahaya lembut di dinding. Ketika Alya datang dan melihat komandannya ada di dalam kamar itu, sesudah si komandan mengunci pintu, Alya langsung dimarahi.

“Ipda Alya. Apa yang saya perintahkan kemarin waktu briefing di kantor?” Hardiknya.

“Siap Komandan! Saya diperintahkan melapor ke lokasi yang sudah ditentukan, kamar kos ini.” jawab Alya tegas.

“Dalam keadaan apa?”

“Siap Komandan! Dalam keadaan siap operasi.”

“Terus kenapa kamu pakai pakaian biasa?”

“Siap Komandan! Sesuai standar operasi penyamaran, saya sesuaikan penampilan saya.”

“Kamu tau apa tugas kamu?”

“Siap Komandan! Infiltrasi jaringan prostitusi Harumi dengan penyamaran.”

“Dengan penyamaran jadi apa?”

“,”

“Jawab saya Ipda Alya! Jadi apa kamu?”

“Siap Komandan! Menyamar jadi calon pekerja seks komersial yang berusaha jadi anak buah Harumi!” kata Alya, agak tercekat.

“Bahasamu tuh, kayak wartawan saja. Nah, sekarang kamu sudah mirip belum sama PSK?”

Alya terdiam sejenak, dia memang hanya memakai pakaian biasa, kemeja putih dan celana panjang hitam. Tanpa dia sempat menjelaskan, si komandan langsung memerintahkan.

 “Kamu tampangnya masih terlalu bersih. Saya akan kirim orang untuk bantu ubah penampilan kamu. Saya tinggal dulu dan kalau saya balik, saya mau kamu sudah persiapkan penampilan untuk penyamaran.”




Posting Komentar

0 Komentar