GOOD GIRL
GENRE : THRILLER EROTIC
JUMLAH HALAMAN : 185 HALAMAN
HARGA : Rp 25.000
PART 1
1 APRIL
Hari rabu ini Vania
resmi menjalani hari pertamanya sebagai Detektif di Divisi Kriminal Kota Deviantus.
Sebelumnya dia bertugas di Divisi Lalu Lintas selama lima tahun. Sebenarnya Vania
sangat betah di Divisi Lalu Lintas tapi baru setelah suaminya, yang dari dua
tahun lalu mereka menikah, ikut pindah ke Divisi yang sama dengannya masalah
timbul. Suami Istri tidak boleh berada di satu Divisi yang sama. Jadi siapa
yang harus mengalah? Jawabannya mudah, Vania-lah yang harus mengalah dan dia
dipindah tugaskan ke Divisi Kriminal.
Masalahnya
bekerja di Divisi Kriminal bukanlah hal yang menyenangkan bagi Vania. Bagaimana
tidak, tantangan di Divisi ini bukan lagi soal pelanggaran lalu lintas tapi
lebih luas melingkupi berbagai tindak kriminalitas yang terjadi, termasuk
pembunuhan dan pemerkosaan. Tapi nasi sudah menjadi bubur, inilah kontrak yang
ditanda tangani lima tahun lalu ketika Vania dulu mendaftar sebagai Detektif wanita,
yaitu harus siap ditempatkan di mana saja.
Padahal secara
fisik, Vania tidaklah cocok ditempatkan sebagai Detektif Kriminal. Secara fisik
Vania tergolong sangat cantik dan menjadi rebutan banyak laki-laki. Sebagian
besar orang mengatakan Vania mirip super model Indonesia Indah Kalalo yang
berkulit eksotik, tinggi semampai di atas 170 cm, wajah tirus, mata tajam, dan
memiliki tubuh berisi dengan payudara yang menonjol.
Dulu, sebelum Vania
menikah, banyak sekali rekan sesama Detektif atau pun dari orang luar yang
berusaha memperistrinya karena alasan yang menggiurkan ini. Tapi Vania sangat
selektif terhadap laki-laki dan dia lebih memilih pacar pertamanya sesama
Detektif sebagai pendampingnya. Sampai sekarang rumah tangga Vania masih sangat
harmonis walaupun dari pernikahan mereka masih juga belum dikaruniai keturunan.
“Detektif Vania.”
Seseorang memanggil, setibanya Vania di lokasi sebuah kasus kriminalitas di
hari pertamanya bertugas.
“Selamat pagi
dan selamat datang di Divisi Kriminal. Ini laporan kejadiannya. Nanti kamu
laporkan kepada Detektif Deren yang akan datang sebentar lagi. Detektif Deren
yang akan mengambil alih kasus ini!” Kata Petugas itu.
“Siaap.” Jawab
Vania tanpa basa basi sambil mengambil berkas laporan yang diserahkan dan
langsung mempelajarinya.
Vania membaca
bahwa kasus yang terjadi merupakan kasus pembunuhan. Di sana, di dalam garis
kuning, telah terbujur sesosok mayat yang berdasar laporan adalah seorang
laki-laki berusia sekitar lima puluhan, berkulit cokelat, tinggi badan 165 cm,
ditemukan tewas karena pukulan benda tumpul di tengkuknya. Sambil berjalan
mendekati lokasi garis kuning, Vania berupaya menguatkan dirinya karena
bagaimana pun bau mayat manusia pasti membuatnya ingin muntah.
“Mual?” Seseorang
tiba-tiba hadir di sebelahnya mengagetkan Vania.
“Siaap,
Detektive Deren…Hormat..” Kata Vania kaget mendapati kedatangan atasannya yang
tiba-tiba.
“Untung kamu
tidak latah. Hari pertamamu di Divisi Kriminal?”
“Siap, Pak.”
“Kamu istrinya
Farhan, kan?”
“Betul, Pak.”
jawab Vania dengan tegas dan sikap sempurna.
“Apa kabar dia?
Masih di lalu lintas?”
“Masih, Pak.”
“Ok, sampaikan
salamku buat Farhan, ya.”
“Siaap, Pak.”
“Namamu, Vania,
kan? Dulu kamu terkenal sekali di Lalu Lintas!” Puji Deren. Vania tersipu malu
sebelum menjawab,
“Siap, Pak.
Terima kasih banyak, Pak.” Deren memandangi Vania lekat-lekat sejenak seperti
terpesona oleh kecantikannya sebelum tersadar dan berkata ,
“Kasus apa
yang kita dapatkan?”
Vania
membacakan laporan persis seperti yang tadi dibacanya. Tapi sembari membaca
laporan itu Vania mengamati Deren baik-baik. Deren berwajah ganteng. Mirip Dede
Yusuf waktu masih muda. Secara fisik Deren berpostur jauh lebih tinggi darinya.
Padahal tingginya saja sudah lebih dari 170 cm, tapi Deren pasti 10 cm di
atasnya dan berpostur kekar, dadanya bidang, sayap dan bahunya lebar. Banyak
Detektif Wanita bilang Deren adalah bujangan keren di kotanya karena di usia
yang baru 35 tahun kariernya melejit, sangat ganteng, kekar, dan segar. Kata
mereka besok akan ada pergantian pimpinan kantor Detektif dan pimpinan yang
baru nanti adalah orang yang sangat menyukai Deren. Vania sendiri bisa
membayangkan betapa melejitnya karier Deren dengan pergantian itu.
“Sebentar.”
Kata Deren menghentikan laporan Vania yang sedang asyik membaca laporan,
“Pukulan benda
tumpul di tengkuknya?” Tanya Deren.
“Betul, Pak.”
“Kamu belum
lihat buktinya, kan? Kan kamu belum lihat mayatnya.”
“Eemmm belum, Pak.
Betul…. Saya belum lihat mayatnya…” Detektif Deren tiba-tiba memegang
pergelangan tangan Vania tanpa ragu ragu.
“Kalo gitu ayo
kita masuk!”
“Tapi… Tapi….”
Seketika mereka berdua meyeruak ke dalam garis kuning, dan di dalam garis itu
Detektif Deren mendekatkan kepalanya ke wajah Vania dan menyindir,
“Kamu takut lihat mayat, ya? Kamu jangan masuk
Divisi Kriminal kalo takut lihat mayat.” Vania tersentak mendapat sindiran
tiba-tiba,
“Tidak… Saya
tidak takut, Pak.” Deren masih mendekatkan kepalanya ke kepala Vania sampai
hidung mereka seperti hampir bersentuhan karena jarak yang demikian dekat.
“Mual, Kamu??
Gak sanggup nyium bau mayat?”
“Siiiaap,
tidak, Pak.”
“YANG JELAS
JAWABNYA!” Bentak Deren di depan muka Vania.
“SIAAAP TIDAK,
PAK.” Balas Vania serius.
“Bagus. Ayo
kesini!” Vania baru sadar kalo selama ini, Deren tetap mengenggam tangannya
erat sejak masuk ke garis kuning tadi.
“Ini yang
namanya lokasi pembunuhan, Vania,” Deren menerangkan kepada Vania. Gaya dan
tangannya seperti Dosen yang sedang mengajar di kelas.
“Di sini hanya
ada dua jenis mahluk , mayat dan jejak dari pelaku. Kamu bisa merasakannya?”
“Siaaap….
belum, Pak.” Detektif Deren manatap lekat mata Vania.
“Nanti kamu
akan belajar!” Katanya singkat lalu melanjutkan ,
”Kamu amati
dulu sekitar sini. Amati semuanya bahkan daun yang berjatuhan di pasir pun kamu
amati bahkan juga pasir, jejak sepatu, aroma mayat, sidik jari kalo ada, semua
yang ada di sekitar sini kamu amati!” Vania memperhatikan baik-baik.
“Buka seluruh
inderamu, Vania! Panca indramu. Bukan hanya matamu. Tapi juga hidung, telinga,
hati, dan seluruh inderamu gunakan menguak fakta-fakta yang tersembunyi di lokasi
pembunuhan.”
“Siap, Pak.” Detektif
Deren lalu kembali memicingkan mata dan menyindir lagi,
“Kamu harus
bisa mengamati semuanya. Sebagai wanita kamu jangan hanya bisa buka baju saja
di depan Farhan lalu telanjang bulat di hadapannya.” Vania kaget mendengar Deren
bisa berubah perkataannya setajam itu,
“Siiap, Pak.”
Jawabnya ragu.
“Jangan juga
kamu hanya bisa kelejotan waktu merasakan Deren ngisep puting susumu. tapi kamu
juga harus bisa merasakan sensasi lain yang ada di tempat ini. Sensasi yang
merindingkan bulu roma. Sensasi yang membangkitkan penasaran dan gairah
menyala-nyala,” lanjut Deren yang setiap katanya menggelisahkan Vania.
“Kalo main
sama Farhan kamu bisa orgasme berapa kali, Vania?” Vania menggelengkan kepala
bingung sebelum menjawab ,
”Siaap, tidak
tau, Pak.”
“Siaap, tidak
tau?” Vania ganti melongo bingung dan menjawab sekenanya,
“Siaap tidak…
tau, Pak.” Detektif Deren kembali mendekatkan wajahnya kepada Vania. Memiliki
postur tubuh yang lebih tinggi, Deren mudah mengintimidasi Vania dengan
tingginya.
“Kamu bahkan
tidak bisa menjawab berapa kali kamu ini orgasme, Vania. Payah!”
“Payah
bagaimana, Pak??”
“Dua tahun
menikah, sudahkah kamu tau apa sih itu orgasme, Vania??”
“Pak maaf
pertanyaan itu, kan..tidak pantas…”
“Salah! Itu
malah pertanyaan yang harus kamu jawab! Kenapa? Kamu takut menjawab pertanyaan
itu?”
“Siap, tidak.”
“Lalu?”
“Masalahnya..”
“Kamu malu??
KALO GITU COBA JAWAB!”
“Siap, Pak ,
SAYA PERNAH MERASAKAN ORGASME DARI SUAMI SAYA.” Vania menjawab sambil menekan
setiap kata-katanya.
“Tapi apakah
itu merupakan orgasme yang sejati?” Deren terus saja bertanya. Vania terdiam. Dia
enggan untuk menjawab.
“Bukan orgasme
yang bisa kamu palsukan hanya buat menyenangkan suamimu??”
“Pak….”
“Vania, Kalo
kamu sudah berani menjawab pertanyaan ini kamu mungkin sudah cocok bergabung ke
dalam Divisi Kriminal kami. Divisi Kriminal adalah sebuah Divisi dimana keterus
terangan adalah hal yang paling esensial.” Vania menyimak dalam diam.
“Sekarang
kutugaskan kamu coba selidiki mayat ini dan laporkan apa hasilnya.”
“Siaap, Pak.”
***
31 MARET, Jam 13.00
Kota Deviantus
sedang hujan. Alangkah indahnya udara sejuk terasa sampai di ujung pori-pori
kulit. Membangkitkan kerinduan. Menumbuhkan benih-benih kehidupan di bumi
semesta. Aku sedang duduk menunggu di restoran sebuah hotel berbintang empat di
Kota Deviantus. Ditemani secangkir kopi hitam. Memandang lurus diantara
meja-meja segi empat yang sepi pengunjung. Alunan musik jazz santai menemaniku
menunggu.
Kombinasi
petikan nada-nadanya menari di telingaku mendatangkan rasa nyaman. Ingin
rasanya aku menari santai diantara bait indah lagu jazz ini. Namun bunyi dering
di ponselku membuatku tersadar.
“Halo, Akang.”
Kata suara wanita yang menelpon ponselku. Suaranya sangat lembut.
“Halo.”
Jawabku.
“Vania udah
nyampe, Akang.”
“Sudah sampai
hotel?”
“Ini udah di
loby, Akang.” Aku melongok ke Loby Hotel yang dapat dilihat dari tempat duduk.
“Akang lagi
duduk di dalam resto nih. Vania masuk aja!”
Selepas
panggilan itu suasana restoran masih juga sepi. Lantunan musik jazz tetap
melantun. Membawakan irama syahdu. Perlahan mengantarkan langkah seorang wanita
cantik yang perlahan memasuki pintu masuk restoran. Wanita yang sempurna di
mataku. Namanya Vania. Tinggi semampai. Kulitnya cokelat manis. Berusia muda
dan sedang menempuh semester tahun terakhirnya. Tubuhnya berisi akibat
kombinasi dari rutinitas makan teratur dan olah raga. Inilah sebabnya sebagai
wanita muda Vania memiliki dada dan pantat yang terlihat menonjol.
Hari ini dia
mengenakan atasan setelan putih tanpa lengan berkerah yang dikombinasi dengan
jeans ketat. Terlihat serasi menemani rambut pendek berwarna hitam yang
semuanya berpadu menambah indah warna kulit tubuhnya yang cokelat eksotis.
Aku teringat
kilas balik tentang Vania. Kekasihku – kalo mau dibilang begitu- yang usianya
15 tahun lebih muda. Kami bertemu enam tahun lalu. Usianya baru 17 tahun waktu
itu. Anak baru gede. Tapi sangat cerdas. Bintang Sekolah. Berprestasi di
tingkat daerah. Pada saat itu aku menghadiri acara di sekolahnya sebagai
narasumber sebuah topik khas anak-anak SMA yang harus menjauhi narkotika. Aku
narasumber. Vania moderatornya.
Selama acara
berlangsung, mata kami saling beradu pandang. Senyum diantara kami terus
bersemi dan Vania tak pernah henti menatapku dengan mata yang penuh kekaguman. Setelah
acara itu selesai kami saling bertukar nomer telepon dan sejak saat itu, Vania
lah yang selalu menghubungiku terlebih dahulu. Dalam kurun waktu singkat, Vania
minta dibimbing supaya bisa masuk ke kampus tujuannya di Deviantus. Tentunya
tanpa harus terjerumus ke dalam bahaya narkotika. Aku membantunya secara total
sampai Dia berhasil meraih cita-citanya. Seperti tadi sudah aku bilang, Vania
memang sangat cerdas. Tanpa bantuanku sebenarnya tempat kuliah mana pun yang dia
mau pasti bisa. Namun masalahnya Vania percaya padaku.
“Apa kabar,
Akang?” Vania telah tiba di hadapanku.
“Baik,” Aku
menyambutnya dengan senyum.
“Vania apa
kabar?” Tanyaku. Vania menarik kursi dan duduk di sampingku.
“Enggak baik,
Akang,” Wajah cantiknya berubah murung.
“Akang sih…..
Apa sih… yang…..”
“Ssssstttt,”
aku mengacungkan jari di depan bibirnya yang sexy. Vania menggeleng.
“Vania gak mau
diputusin sama Akang….” Sebutir air mata menetes dari pelupuk matanya.
“Vania gak
mau.”
“Ssssssst,”
aku kembali meletakkan telunjuk di depan bibirnya. Menyuruhnya diam sejenak.
“Akang belum
memutuskan akan mutusin Vania. Mungkin hari ini, mungkin besok.” Tubuh Vania
bergetar. Dirinya seakan tidak kuasa menahan diri untuk menangis. Linangan air
mata mulai mengalir membasahi pipinya.
“Akang masih
menunggu keputusan terbaik.”
“Maksud,
Akang?” Sekarang Vania berusaha menyeka air mata di pipinya.
Aku tepikan
tangannya. Alih alih kugunakan jemari tangan kananku untuk menyeka air mata di
salah satu sudut pipinya, lalu kucium sisa air mata yang mengalir langsung dari
pipi halusnya. Seketika aku merasakan rasa dari air mata seorang gadis yang
begitu murni, polos, penuh perasaan, dan duka tak tertahan.
Vania kaget
menghadapi ciumanku di pipinya. Dia sangat tidak menyangka aku berani
mengecupnya di depan umum. Namun aku memang tidak peduli. Sangat langka bisa
mengecup seorang gadis cantik dan merasakan butir air mata yang mengalir dari
pelupuk matanya. Butiran air yang berasal dari kegelisahan akan ditinggalkan
selamanya oleh kekasih hatinya. Sebuah air yang bukan tipuan. Atau rekayasa.
Tapi murni berasal dari relung hati yang perih.
“Keputusan
Akang barangkali hari ini,” kataku setelah menyeka air mata indah itu dengan
bibirku.
“Kalo Vania jadi gadis Akang yang baik hari
ini… Barangkali Akang akan berubah pikiran.” Vania tidak mampu menjawab.
Badannya bergetar. Air mata siap mengalir kembali.
“Jangan
menangis lagi, Vania!” Kataku.
“Kalo
mengangis lagi Akang akan pergi.”
“Jangan,Akang!”
Rajuknya.
“Kalo tidak
mau Akang pergi. Jadilah gadis Akang yang baik hari ini, oke? Jangan menangis!”
Vania mengangguk. Butir air mata tidak kuasa dia cegah tetap mengalir. Tapi dia
berusaha lebih kuat. Lalu mengangguk lagi. Lebih tegar dari sebelumnya.
“Mengerti?”
Aku mendekatkan wajahku kepadanya.
“Jangan
menangis lagi hari ini!”
“Iya, Akang.” Vania
mengangguk kembali lalu memelukku dengan sepenuh hati. Pelukan Vania membuat
suasana restoran di salah satu hotel di Deviantus ini menjadi lebih hangat dari
sebelumnya.
***
“Kamu sexy
pake baju ini.” kataku pada Vania setibanya kami di kamar. Vania tertunduk
malu.
“Akang,
sebenarnya Vania gak nyaman, tau…..” Pipinya bersemu merah.
“Orang-orang
pada ngeliatin semua.”
Aku senang
melihat rasa malu dalam diri Vania. Rasa malu yang bisa membuatnya menjadi
pasangan setia dan membuatku ingin mengelus pergelangan tangannya. Sambil
perlahan kugunakan jari merasakan kehalusan kulit lengannya yang mulus. Dengan
ilmu kepekaan rasa yang kumiliki kurasakan semua rasa yang ada di balik
pori-pori kulit ini.
Semua yang ada
tidaklah sama seperti yang bisa dilihat oleh mata. Inilah yang kupelajari dari
ilmu kepekaan rasa yang kumiliki. Setiap orang memiliki potensinya
masing-masing. Semuanya tersembunyi di dalam sisi tersembunyi diri. Lengkap
bersama seluruh misteri yang di luar pemahaman nalar.
Vania juga
sama. Sambil mengelus lengannya yang mulus. Aku bermain-main di sisi kedalaman
antara aspek kelembutan dan sensualitas seorang gadis belia. Di balik bulu-bulu
halus yang bisa terlihat, Vania menyimpan gairah, potensi sensualitas yang
meluap-luap. Kuibaratkan bagai lahar di kawah sebuah gunung berapi aktif yang
siap meluap kapan saja. Namun potensi itu masih malu untuk menampakkan diri.
Masih terselubung oleh berbagai keresahan dan ketidakyakinan diri.
“Kamu semakin
menggairahkan, Akang seneng ngeliat kamu pakai baju ini.”
Mendengar
pujianku Vania semakin tersipu dan merunduk. Aku terus mengelus lengannya
menggunakan kedua tangan sambil berupaya menyentuh kedua sisi lengan berwarna
coklat eksotis nan menggoda.
Dari sentuhan
kedua tangan aku makin bisa merasakan potensi terdalam dalam diri Vania.
Ketakutan bahwa hari ini adalah hari terakhirnya menjadi kekasihku tergambar
jelas dalam benakku. Ketakutan itu terasa dominan. Mendatangkan beban demikian
besar di pikiran Vania untuk melayaniku semaksimal mungkin. Sebuah beban yang
sangat tidak aku inginkan. Karena beban-beban pikiran itu hanya akan menghambat
kenikmatan yang lebih besar.
“Jangan
tegang, gadis cantikku.” Kataku berusaha memberikan pijatan ringan.
“Relax!
Biarkan hari ini menjadi milik kita berdua. Tidak perlu tegang. Nikmatilah!”
Aku mengangkat
dagu Vania yang masih merunduk, berusaha membawanya agar mendangak sengaja
mengajak mempertemukan kedua mata kami sehingga aku bisa melihat mata Vania
langsung di kedua bola matanya yang indah.
Tangan kananku
masih berupaya menahan dagu cantik Vania agar tidak kembali merunduk. Di saat
pandangan kami bertemu, Vania seakan bersiap kembali menangis. Namun tatapanku
mencegah hal menyedihkan itu. Tatapanku yang tanpa kata-kata, seolah menegaskan
ajakan agar Dia tenang. Agar Dia selalu berharap bahwa barangkali hari ini
bukanlah hari terakhir bagi cinta kami.
Dari sisi
sebaliknya, Vania kurasakan bisa menangkap pesanku. Tatapannya sayu. Sangat
penuh kepasrahan. Tatapan yang mengandung setitik harapan akan cinta yang
mungkin saja masih bisa bertahan. Barangkali dari tatapan kami itu mulai bisa
membangkitkan secuil keyakinan yang kemudian menggerakkan Vania berani maju,
mencodongkan wajah yang cantik, sambil menawarkan bibir mungil indahnya untuk
kucumbu. Maka aku pun menyambut keyakinannya. Kucumbu Dia. Lebih dalam dari
biasanya. Penuh gairah dan harapan akan sensasi keintiman. Kurasakan bibir Vania
mengandung secercah keyakinan. Menyiratkan bahwa Dia ingin kupertahankan.
Cumbuan kami
indah terpojok di tepi ranjang. Bagaikan dua sejoli. Ibarat gita cinta SMA yang
seumuran. Padahal kami terpaut usia cukup jauh. Di saat momen indah ini, aku
merasakan keinginan merubah posisi agar bisa lebih menikmati makna cumbuan kami
sebagai pasangan dewasa. Jadi sambil tetap berupaya merasakan segala makna yang
terkandung di dalam keindahan ciuman Vania, aku ajak dia beranjak ke tengah
ranjang lalu aku tindih dia dalam posisi terlentang sambil kunikmati ciuman
kami yang semakin intim.
Desiran detak
nadi Vania kurasakan berdesir makin cepat. Berbagai kombinasi hormon dalam
dirinya berlompatan saling menindih, saling berlomba secepatnya bergerak
mewujudkan kepasarahan dan penyerahan diri yang total kepadaku.
“Vania mau
melayani Akang?” Bisikku sambil mencium kuping kanan Vania lalu mengulum daun
telinganya. “Akang tidak memaksa.”
“Mmmmmh…… Mau
Akang…..” Jawab Vania sambil mendesah. Kugunakan lidahku menjilati telinga
kanan Vania secara lembut lalu kembali berbisik ,
”Tidak
terpaksa, kan?” Vania menggeleng lemah.
“Kalo gitu
tunjukkan! Akang yakin Vania tau kenapa Akang pengen Vania pake baju putih
tanpa lengan. Sekarang angkat kedua tangannya, Vania!”
“Mmmmmhh,” Vania
menurut. Kedua tangannya diangkatnya tinggi di atas kepala. Kepalanya miring ke
kanan karena kupingnya masih saja kuhisap.
Sangat
perlahan aku menikmati rasa dari telinga indah ini, sebelum bergerak pelan.
Sangat perlahan beranjak ke bagian kesukaanku , ke area ketiak Vania yang mulus
tanpa sehalai bulu pun. Kuciumi aroma harum di ketiak Vania yang sebelah kiri. Vania
memalingkan wajahnya ke arahku. Malu-malu Dia berusaha melihatku. Namun kemudian
beranjak memalingkan wajah karena malu saat kutatap balik.
Aku menciumi
aroma ketiaknya yang harum. Ketiak ini dirawat oleh Vania sangat total.
Dijaganya begitu baik dari bulu-bulu yang tidak seharusnya tumbuh. Dijaga
begitu cermat ketiaknya agar tidak berbau tidak enak menggunakan pengharum yang
aromanya menggoda selera. Lidahku mulai bergerak menjiati secara perlahan
ketiak Vania.
“Uuuuummmm….
Akang….Ummmmmm…”
Vania
mendesah. Lidahku merasakan aura kenikmatan mulai menjalar di tubuhnya. Desiran
aliran darahnya terasa bergerak lancar mengalir. Membawa aliran darah yang
membawa rasa nikmat yang kemudian mulai diantarkan ke seluruh tubuh.
Dari sana
lidahku seakan tidak mau berhenti terus menyusuri setiap lembah ketiak Vania
membawa kelembutan dan sensasi basah yang menggodanya. Berkali-kali Vania
berusaha mengangkat tangan kirinya tapi kembali kubuat rebah tak berdaya agar
bisa dijilati tanpa henti. Jilatanku bergerak bergantian ke kedua ketiaknya
yang kanan dan kiri. Masing masing membawa sensasi tubuh yang unik dan semuanya
bisa kurasakan menggunakan ilmu kepekaaan rasa yang kumiliki.
Pada saat aku
menjilati ketiak Vania yang kanan, ilmu kepekaan bisa membuatku merasa aliran
cairan alami kewanitaan mulai bergerak dari balik area kewanitaan Vania yang
masih terbungkus rapat. Sengaja untuk membebaskan cairan alami itu, kedua
tanganku bekerja sama melepaskan celana jeans ketat di bawah lalu melepaskannya
meninggalkan celana dalam mini sexy berwarna putih.
Demikian pula,
saat jilatanku beralih ke ketiak Vania yang sebelah kiri, ilmu kepekaan mampu
membuatku merasakan sengatan-sengatan listrik kenikmatan telah merongrong ujung
pentil payudara Vania yang masih terkurung oleh baju tanpa lengan dan BH di
baliknya. Maka setelah kulepaskan celana jeans ketat itu, kugunakan kedua
tanganku untuk membuka kemeja tanpa lengannya yang berkancing.
Satu demi satu
kancing kemaja Vania kulolosi dan begitu semua sudah terbuka, kuturunkan
sejenak tangan Vania yang masih terlentang pasrah untuk membebaskan dirinya
dari kemeja ini. Tentu saja dalam sekejap Vania telah kehilangan pembukus
tubuhnya. Hanya tersisa BH dan CD warna putih sexy yang membuat penampilan
tubuh eksotis Vania terlihat semakin menggairahkan.
“Uuuuuhhhh…..Aaaaakkkaaang…..Emmmmmmmmmmhhh.”
Vania kembali
mendesah lirih. Tangannya kembali kuangkat tinggi lalu kujilati ketiaknya yang
teramat menggairahkan itu. Tapi sekarang tanganku tidak diam seperti tadi. Aku
bisa merasakan pentil susu Vania mengacung saat kedua tanganku menyentuhnya
dari balik BH, sehingga aku ingin menggodanya, mencubitnya, memilin gemas dan
memaksa desahan Vania beralih dari lirih menjadi nyaring lepas tak tertahan.
“Aaaaaaaaaaaahhhhh,”
Raungnya saat pentil payudara indahnya kupelintir….
“Eeeeeeeeeeeeeeeeggggghhhh.”
Susulnya kemudian ketika menyadari jilatanku di ketiak belum beranjak dan
mendatangkan multi sensasi kenikmatan yang tidak bisa Dia kendalikan.
“Good Girl….”
Pujiku melihat reaksi tubuh Vania yang kehilangan kendali.
“Very… very
good Girl….” sambungku kembali bersemangat menjilati ketiak Vania.
Menghadapi
semangat, gairah, dan nafsuku yang membara membuat semakin pasrah pulalah Vania
menerima segala rangsanganku. Kedua tangannya tampak pasrah. Tidak berupaya
melawan, hanya menerima terus menerus dijilati kedua ketiak yang teramat indah
oleh seorang laki-laki yang katanya masih diakui sebagai kekasihnya.
Aku sangat
menikmati momen ini, apalagi saat Vania terus menerus tenggelam dalam lautan
kenikmatan, tanpa Dia sadari, tanganku telah menyusup dari balik punggungnya
dan membuka kaitan BH Putih itu sehingga dengan mudah kulolosi pertahanan tubuh
atas terakhir miliknya dan kusaksikan payudara kencang milik Vania terbuka
tanpa penghalang apa pun di mataku.
Payudara itu
terlihat begitu menggoda. Sangat montok. Terasa hangat. Seakan mengandung susu
hangat penuh gizi yang siap menyembur. Ilmu kepekaanku berkerja. Dengan
menyentuh sisi terluar payudara Vania menggunakan hidungku, aku merasakan
sensasi yang tengah Dia rasakan. Sensasi payudara seorang gadis belia berusia
23 tahun yang akan segera terjamah tanpa ampun.
Dimataku
bentuk kedua payudara Vania sangatlah proporsional. Warnanya cokelat. Putting
susunya cokelat kehitaman. Sangat berisi. Saat hidungku menyentuh payudara itu
kurasakan desiran aliran darah Vania begitu deras mengalir. Bahkan aliran darah
itu menjadi semakin kencang saat hidungku mendekati area puting payudara dan
mulai berganti menggunakan lidahku yang mulai menari di puncak putingnya.
Kurasakan
aliran darah Vania mendesak desak, secara penuh ingin segera dilahap olehku.
Aku memahami desakan ini dan tanpa ragu melahap putting payudara Vania secara
rakus. Seperti tidak ingin kehilangan setetes pun susu dari payudara ini. Hisapanku
menyedot payudara Vania. Membuat Dia histeris melentingkan tubuh indahnya.
Kedua tangan Vania, dengan kedua ketiak yang basah terkena cairan lidahku tetap
terangkat tinggi membuat ukuran payudaranya menyembul ke ukuran maksimal.
“Akaaaaaaaaaaaaaang…………Uuuuuuuuuuuuggggghhhhh……Aggggggghhhhhhhhh.”
“Good Girl,”
Pujiku sembari melepaskan kenyotan lalu beralih menggigit puncak puting
payudara Vania.
“Uuuuuuuuuuuuuhhhhhhhhhhhhh….
Aaaaghhhhhhhh,” Vania melenting ke angkasa.
Tanganku
meremas kedua payudaranya saat Dia melenting sambil tetap menggigit puting.
Menggenggam erat. Seperti peternak memerah susu. Kemudian melemaskan lagi. Lalu
meremas kencang lagi berharap Vania merasa semakin nikmat.
“Uuuuggggh….
Akang…..Uuuuuugggghhhh….. Ampuuunnnn.” Vania membanting kepalanya ke kanan dan
ke kiri. Tidak mampu menahan sensasi kenikmatan tubuh yang muncul tak
terkendali, tanpa bisa dikendalikan membawa aliran kenikmatan ke seluruh titik
erotik tubuhnya.
Di tengah
kekalutan Vania, ilmu kepekaan rasa kembali membuatku bisa merasakan apa yang
tengah dirasakannya. Kurasakan aliran darah dalam tubuh Vania seperti lahar
yang telah keluar dari puncak gunung berapi. Aku merasakannya saat satu
tanganku turun mengelus sisi terluar area kewanitaannya yang masih terbungkus
celana dalam berwarna putih. Rupanya bukan hanya puncak gunung yang tengah
bergelora di bawah sana, Dia juga sedemikian basah. Lendir lendir kenikmatan
telah menembus bendungan celana dalam putih itu. Menyadari bendungan Vania
sudah bocor, sambil menikmati lentingan tubuhnya di bawahku, Aku melepaskan
gigitan sembari melolosi CD itu.
“Mmmmm….
mulus… basah.. dan gundul.” Pujiku saat melihat apa yang ada di balik CD putih.
“Vania cukur,
ya?” Tanyaku
“Huuuuh….
Huuuh…..Sudah Vania potong demi Akang,” jawabnya. Nafasnya masih memburu oleh
nafsu.
“Mmmmm very
sexy,” pujiku kembali sebelum bergerak perlahan meninggalkan kedua gunung
montok payudaranya dan turun ke lembah harta karun miliknya yang telah demikian
basah dan gundul.
Posting Komentar
0 Komentar