KABUT GAIRAH
GENRE : DRAMA ROMANTIC
JUMLAH HALAMAN : 66 HALAMAN
HARGA : Rp 15.000
Hari sudah
menjelang senja ketika rombongan mahasiswa itu menuruni lembah Gunung Gumarang.
Hamparan lembah yang luas itu memutih oleh putik bunga-bunga Edelweiss yang
tumbuh subur di sela-sela pepohonan pinus yang menghijau. Lewat temaram senja,
Edelweiss tampak memutih memantulkan cahaya perak kekuning-kuningan. Sungguh
pesona alam yang sangat mengagumkan. Sebagian anggota pencinta alam itu
melangkah dalam hening. Hanya deru nafas mereka yang sesekali terdengar. Udara
dingin terasa keras menusuk kulit.
Rudi sebagai
pemimpin rombongan, berjalan paling depan. Pemuda berkulit hitam itu
memalingkan wajahnya sejenak ke belakang, dicarinya sosok Aline, seorang cewek
cantik yang sudah sejak tadi menarik perhatiannya, tapi gadis itu tidak tampak
dalam rombongan. Rudi menghentikan langkahnya, matanya mencari-cari. Heh, di
manakah gadis itu? Sekali lagi diperhatikannya kawan-kawannya yang lain satu
per satu. Yah, bukan saja Aline yang tidak ada. Heri, Eveline, dan Lidia pun
tak nampak di dalam rombongan itu.
”Wid, kemana
Heri?” tanya Rudi kepada Widya, cewek berambut panjang yang berjalan paling
dekat dengannya. Widya menaikkan bahunya,
“Entahlah,
mungkin masih di belakang.”
Wajah cowok
itu sedikit khawatir menatap Widya. Diliriknya jam tangan di lengan kirinya.
Pukullimalewat tiga puluh menit. Berarti sudah empat puluh menit yang lalu
mereka berkumpul di Puncak Gumarang tadi. Seharusnya rombongan yang dipandu
oleh Heri pun sudah sampai di lembah. Perjalanan dari Puncak Gumarang ke lembah
tidak terlalu jauh, paling hanya memakan waktu tiga puluh menit.
“Ada apa,
Rud?” tegur Widya.
“Nggak, nggak
ada apa-apa. Kau jalan duluan aja. Aku tunggu rombongan Heri di sini.”
”Oo tidak
bisa,” Widya menggoyangkan jari telunjuknya. Rudi yang melihatnya, langsung
tertawa.
”Kaya Sule aja
kamu, Wid.” Untuk sejenak, Rudi bisa melupakan kekhawatirannya pada Aline.
”Aku akan
menemanimu.” kata cewek cantik itu.
”Jangan. Nanti
siapa yang nyiapin makanan anak-anak?” di dalam rombongan itu, Widya memang
sudah menjadi salah satu juru masak yang bisa diandalkan.
”Kan masih ada
Atika.” Widya menunjuk cewek mungil berdada besar yang duduk kelelahan tak jauh
dari mereka. Atika yang merasa diperhatikan, menoleh dan bertanya.
”Mau
dilanjutkan nggak?”
”Kamu jalan
duluan aja. Aku sama Widya mau nunggu rombongan Heri dulu.” Kata Rudi.
”Ah, kau
terlalu khawatir, Rud. Mereka tidak apa-apa. Heri sudah berpengalaman, bukan
untuk pertama kali dia ke tempat ini. Setiap tahun, ia selalu ikut, kan?” kata
Atika sambil berdiri. Gadis itu membersihkan daun-daun kering yang menempel di
bokongnya yang bulat. Rudi tersenyum kecil.
“Ya. Tapi
sekarang ia tetap sebagian dari rombongan kita. Jangan lupa itu!” Atika
tersenyum.
”Ya udah, aku jalan dulu. Kutunggu di bawah.”
bersama anak yang lain, gadis itu meninggalkan Rudi dan Widya.
”Huh,” cowok
itu mengeluh singkat. Tidak seharusnya memang ia terlalu khawatir seperti
sekarang ini. Tapi... entahlah. Dengan ikutnya Aline dalam rombongan ini,
membuat rasa khawatirnya seperti berlebihan.
”Brrr,
dingin.” Widya merapatkan badan ke Rudi, membuat cowok yang sedang melamun itu
kaget.
”Salah
sendiri, kenapa pake jaket tipis gitu.” meski mengomel, tapi tak urung Rudi
tetap memeluk gadis itu, berusaha menjaga agar Widya tetap hangat.
”Makasih.”
Widya tersenyum. Dia menyandarkan kepalanya di pundak Rudi yang tipis.
Rudi membalas
dengan makin mempererat pelukannya. Dan entah siapa yang memulai lebih dulu,
tiba-tiba saja bibir mereka bertemu dan saling melumat. Keduanya saling memagut
dan menghisap dengan mesra. Hawa gunung yang dingin, dan juga suasana romantis
yang terbangun karena mereka cuma berdua saja di tempat yang sepi seperti itu,
membuat keduanya cepat hilang kendali.
”Eh, ahhh...
maaf.” gagap Rudi saat bibir mereka terpisah tak lama kemudian.
Widya tidak
menjawab. Gadis itu cuma memandangi Rudi dengan muka merah padam. Nafasnya juga
sudah berat, menandakan kalau gairah gadis itu sudah menguasai dirinya.
”Sebaiknya
kita tidak melakukannya sekarang.” Rudi melonggarkan pelukannya.
”Kenapa?”
Widya tak mengerti. Rudi yang biasanya gampang terpancing, sekarang malah
menolak dirinya.
”Kau takut Aline akan memergoki kita.” tebak
gadis itu.
”Bukan, bukan
itu.” Rudi menggeleng, tapi dalam hati dia membenarkan kata-kata gadis itu.
Rudi tidak mau Aline memergoki saat dia sedang melakukan perbuatan cabul dengan
Widya.
”Kalau begitu
tunggu apalagi. Aku kedinginan, hangatkan aku dengan tubuhmu.” rajuk Widya
sambil menjatuhkan diri menindih tubuh kerempeng pemuda itu. Kalau sudah
begini, Rudi jadi tidak bisa berbuat apa-apa.
Rudi memandangi
saat gadis itu mulai mencopoti bajunya satu per satu. Tubuh mulus Widya membuat
iman tipis Rudi runtuh dengan mudah. Dia jadi melupakan untuk apa dia berada
disini. Rudi tergoda, dia tak berdaya menatap bulatan payudara gadis, juga
bongkahan pantat dan pinggulnya yang besar. Hawa dingin pegunungan turut
mempercepat kekalahan pemuda itu. Rudi menoleh, dia memutar pandangannya,
melihat sekeliling, berusaha memantau situasi. Mereka berada di bawah sebuah
pohon besar, dengan dikelilingi rumput dan semak Edelweiss yang lebat dan
rimbun. Jarak dari jalan setapak cuma tiga meter. Cukup berbahaya memang kalau
tiba-tiba ada yang melintas. Tapi kalau mereka melakukannya dengan tenang dan
tanpa mengeluarkan banyak suara, mungkin akan cukup aman. Widya sudah hampir
telanjang ketika Rudi menarik dan merangkul tubuh sintal gadis itu.
”Auw,” gadis
itu menjerit senang.
Mereka
berciuman. Bibir mereka bertemu untuk saling melumat dan menghisap. Widya
tampak begitu menikmati bibir tebal Rudi yang menari-nari di mulutnya. Dia
membuka bibirnya saat lidah Rudi menerobos masuk untuk membelit lidahnya,
mengajaknya untuk saling menjilat dan bertukar air liur.
”Ehhmmhh,”
Widya mendesis saat merasakan tangan nakal Rudi meraba-raba payudaranya. Pemuda
itu meremas-remas dan memijit-mijit benda bulat besar itu dengan penuh nafsu.
”Hisap, Rud.”
bisik Widya sambil mengarahkan putingnya yang berwarna merah kecoklatan ke
mulut Rudi. Dengan cepat, pemuda itu mencaplok dan menghisapnya. Rudi
melakukannya bagai seorang bayi yang kehausan, begitu cepat dan kuat. Dengan
lidahnya yang basah, pemuda itu mencucup dan menggelitik benda mungil itu.
”Aahhhhh,”
Widya merintih
saat Rudi ganti mencaplok puting susunya yang sebelah kiri. Sementara yang kiri
diemut, puting yang kanan dipilin dan ditarik-tarik, itu membuat Widya jadi
semakin merintih dan menggelinjang keenakan. Apalagi sekarang, tangan kiri Rudi
mulai merambat turun, membelai punggung dan pinggulnya, dan terus turun hingga
ke bongkahan pantatnya.
”Uuhhh,” desis
Widya saat Rudi menyelipkan jari-jarinya ke balik CD hitam yang dikenakan gadis
itu. Widya bisa merasakan tangan Rudi yang sekarang meremas-remas bokongnya
dengan keras. Dan tidak cuma berhenti sampai disitu. Saat Widya melepas celana
dalamnya, Rudi langsung menggelitik dan mengobok-obok vaginanya.
”Aiihhh,”
jerit gadis cantik itu saat jari telunjuk Rudi masuk menusuk vaginanya. Disusul
kemudian jari tengah dan jari manis pemuda itu. Total ada tiga jari yang
menari-nari di dalam vaginanya sekarang. Itu sudah lebih dari cukup untuk
membuat Widya menjerit dan merintih-rintih keenakan.
”Sst,”
Rudi segera menyambar bibir gadis itu. Rudi
tidak ingin jeritan gadis itu sampai didengar orang. Sambil melumat bibir
Widya, Rudi terus menggerakkan tangannya: mengocok dan menstimulasi vagina
gadis itu, memberi kepuasan pada Widya seperti yang sudah sering dilakukannya
selama ini.
”S-sudah, Rud.
Aku nggak tahan lagi. Geli banget.” Widya menarik tangan Rudi. Nafas gadis itu
tersengal-sengal, tubuhnya gemetar, sementara butiran keringat membasahi dahi
dan lehernya, padahal saat itu udara begitu dingin. Tersenyum, Rudi
memperlihatkan tiga jari kirinya yang basah.
”Tapi enak
kan?” godanya. Widya pura-pura mau memukul pemuda itu,
”Dasar!”
“Nih,
lepasin.” Rudi meminta bantuan Widya untuk melepas baju dan celananya.
Tampaknya, pemuda kurus jelek itu juga sudah tidak tahan.
Dengan cepat
Widya melakukannya. Hanya dalam hitungan detik, Rudi sudah telanjang, sama
seperti dirinya. Bedanya, kalau tubuh Widya putih dan montok, kalau tubuh Rudi
kurus dan kering, hitam lagi. Tapi jangan salah, biar kurus kering, Rudi
mempunyai senjata dahsyat yang selalu diidam-idamkan kaum wanita. Penis Rudi
panjang dan besar, dengan warna hitam mengkilat saat penis itu tegang. Itulah
kenapa Widya takluk kepada pemuda itu. Cuma Rudi yang bisa memberi kepuasan
pada gadis itu. Tanpa perlu disuruh, gadis itu segera menunduk dan memasukkan
penis itu ke dalam mulutnya. Dengan sedikit kesulitan, Widya menjilat dan
mengulum benda itu. Rudi yang keenakan, cuma bisa merintih dan menikmati sambil
memejamkan mata.
”Terus. Jilat
terus. Ohh, enak banget, Wid. Terus!” rintih pemuda itu.
Dengan penuh
semangat Widya melakukannya, dia memasukkan penis itu, mengocok-ngocok dengan
mulutnya, membasahi benda itu, hingga tak lama kemudian penis itu menegang
penuh, siap untuk digunakan. Vagina Widya juga sudah basah, begitu juga dengan
penis itu. Inilah saat yang tepat untuk mempertemukan benda itu satu sama lain.
Rudi segera
menghamparkan baju dan jaketnya sebagai alas. Dia menunggu hingga Widya siap
dengan berbaring telentang mengangkang di depannya. Pelan, Rudi mengarahkan
penisnya ke lubang kencing gadis itu. Widya memejamkan matanya saat ujung penis
Rudi menyentuh bibir kemaluannya.
”Ahhh,” Widya
merintih.
Dia menahan
nafas, menunggu saat-saat yang mendebarkan itu, saat dimana penis Rudi yang
besar menerobos masuk menembus vaginanya. Tapi alih-alih mendorong, Rudi malah
menggesek-gesekkan penisnya naik turun. Dia sepertinya masih ingin bermain-main
terlebih dahulu, membuat Widya yang sudah tidak tahan, menjadi tidak sabar.
”Ayolah, Rud.
Masukkan.” Widya menarik pinggul laki-laki itu. Dan akibatnya, penis Rudi yang
sedang menempel di kemaluannya, langsung terdorong masuk, bless!
”AAAHHHH!”
Widya menjerit lirih. Tubuhnya bergetar dan menggelinjang saat merasakan penis
Rudi yang besar menggesek dan memenuhi liang vaginanya.
”Uuhhh,” Rudi
juga melenguh keenakan, jepitan dan kehangatan vagina Widya benar-benar
membuatnya melayang. Meski sudah sering menyetubuhi gadis itu, tak urung Rudi
tetap surprise juga. Kemaluan gadis itu seperti tidak pernah berubah, tetap
seret dan rapet seperti lima bulan lalu, saat Rudi pertama kali menikmatinya di
WC kampus.
”Sakit?” Rudi
bertanya saat melihat kernyitan di bibir Widya.
”Nggak,” gadis
itu menggeleng.
”Malah enak.
Nggak apa-apa, teruskan saja.”
Perlahan, Rudi
menggerakkan pinggulnya. Pemuda itu menarik dan mendorong penisnya maju mundur,
mengocok dan menggesek-gesek vagina Widya, hingga membuat kernyitan di bibir
gadis itu berubah menjadi rintihan penuh kenikmatan tak lama kemudian.
”Uuhhh, terus.
Enak, Rud. Terus!” Widya berbisik. Gadis itu menarik tangan Rudi ke arah
payudaranya. Widya ingin agar sambil menggoyang, Rudi juga meremas-remas benda
bulat besar itu.
”Wid,” bisik
Rudi sambil mencium bibir gadis itu.
Dengan malas
Widya membuka matanya. Tampak sekali kalau gadis itu tengah mengalami
kenikmatan yang amat sangat. Nafas Widya memburu, sementara mukanya merah
padam, dengan keringat dingin membanjiri tubuhnya yang sintal. Saat Rudi
mempercepat goyangannya, gadis itu juga memperkeras rintihannya, membuat Rudi
makin bersemangat dan bergairah untuk menyetubuhinya. Angin dingin yang bertiup
dari arah puncak gunung tidak menyurutkan hasrat keduanya.
Posting Komentar
0 Komentar