RIMBA

 





GENRE : THRILLER EROTIC

JUMLAH HALAMAN : 30 HALAMAN

HARGA : Rp 10.000


Sudah lewat tengah malam. Aroma rusa guling bakar menyeruak hidungku. Air liurku menetes, demi menyaksikan Kibo yang ligat membolak balik hasil buruan kami di atas api unggun. Kami sama-sama lapar berat, karena sudah hampir setengah harian berburu rusa di rimba Papua. Untung saja, Kibo berhasil membidik seekor rusa malang yang sedang lengah.

Mata rusa itu mengerlip seperti lampu. Kibo mengarahkan dengan hati-hati senapan laras panjang jenis Mauser ke arah buruan. Ia tak ingin menimbulkan gaduh. Ah. Seekor rusa dewasa. Aku menunggu di belakang dengan senter di tangan. Sebagai seorang perempuan, aku kurang mahir berburu. Tapi kalau temanku yang berkulit hitam dan bertubuh tegap ini, jangan ditanya. Berburu rusa adalah sumber hidupnya, sebagai orang asli Papua. Selain babi, tentunya.

Kibo memberiku aba-aba untuk mengarahkan senter tepat ke arah rusa itu. Mendadak rusa itu diam mematung, terpaku melihat sinar. Dalam hitungan detik, suara senapan meletus, memekakkan telinga. Bidikan Kibo yang jitu, berhasil melumpuhkan buruan kami seketika. Dengan cekatan Kibo menyembelih dan membuang isi perutnya. Aku terkekeh-kekeh senang melihatnya. Akhirnya kami bisa makan malam.

Aku dan Kibo pernah menjelajahi pegunungan Tamrau dan Arfak untuk berburu rusa. Namun, lokasi favorit kami masih di sepanjang pantai Kepala Burung. Sayang, kini semakin susah saja untuk menemukan rusa dewasa. Hewan itu kian langka. Banyak tangan yang tidak bertanggungjawab melakukan pembantaian besar-besaran di rimba Papua.

Kibo menyobek  rusa bakar dengan gigi geliginya yang putih. Demikian juga aku, yang sedari tadi melahap hasil buruan kami dengan rakusnya. Kujejali mulutku penuh-penuh. Walau tanpa bumbu, santapan ini terasa lezat sekali. Sampai-sampai, kujilat jari jemariku yang menyisakan aroma daging.

Daging rusa guling bakar yang tersisa disayat tipis dan dimasukkan ke dalam wadah kedap udara. Kibo hendak memberikan buah tangan ini kepada dua saudaranya, Silvana, sang kakak ipar, dan Edo, adik lelakinya. Mereka berdiam di teluk Bintuni yang memerlukan waktu tempuh sekitar 6 jam lagi dari tengah rimba ini.

Kupacu jeep Wilisku dengan kecepatan sedang. Rasa kantuk kadang menyergap, sehingga aku dan Kibo harus bergantian mengemudi. Melihat fisikku yang sedemikian lelah, dia memaksaku untuk tidur saja. Tapi aku tak sampai hati. Untuk menepis kantuk, kuajak ia ngobrol sekenanya.

”Sudah berapa lama kau tidak menjenguk mereka?”

”Hampir setahun, mungkin.”  jawabnya tak bisa memastikan.

”Aku belum pernah bertemu mereka. Bagaimana kehidupan mereka di sana?” tanyaku lagi.

”Ya... seperti pada umumnya penduduk Bintuni, adikku Edo, bekerja sebagai penjual kepiting. Kalau kakak iparku, Silvana, dia sama seperti kamu, sama-sama orang luar Papua.” tukasnya.

”Suaminya sudah meninggal, ditembak aparat.” tambahnya kemudian.

”Oh, aku turut berduka.”

”Sekarang dia buka warung ikan bakar untuk menghidupi diri dan 2 anaknya.”

”Hebat! Aku suka perempuan mandiri.” pujiku terus terang.

”Ya, aku juga bangga akan Silvana. Dia perempuan tangguh. Meski, hanya sebatas kedai kecil-kecilan saja. Sedangkan adikku, Edo, ah. Dia juga lelaki kecil yang kuat.” seraut kebanggaan terpancar dari raut wajah Kibo. Kentara sekali kalau ia sangat merindukan kedua saudaranya itu.

”Mengapa kau baru sekarang memutuskan untuk pulang? Menurutku kau terlalu sibuk dengan masalah OPM itu.” ujarku. Kibo terdiam. Ia paling tak senang kalau perjuangannya diusik orang. Apalagi olehku, sebagai warga luar Papua.

”Kami ingin merdeka. Merdeka dari kebodohan dan kemiskinan. Bukan semata-mata untuk berpisah dengan Negara. Andaikan pertambangan itu tak mengisap daya hidup kami...” Sorot matanya selalu nyalang saat membicarakan tentang perjuangan.

”Apalagi aparat pemerintah yang bertugas di daerah kami bersikap sewenang-wenang.” tukasnya, menambahkan.

”Oknum.” ujarku, menyanggah. Tak semua aparat pemerintah berlaku demikian.

Perjalanan yang awalnya lancar-lancar saja mendadak berhenti. Terjadi kemacetan panjang di depan. Sepertinya ada pohon tumbang atau tanah longsor, hal yang biasa terjadi di jalanan hutan Papua.

”Wah, sepertinya malam ini kita harus tidur di hutan,” kata Kibo.

Aku mengangguk mengiyakan. Segera kuatur tempat dudukku agar dapat tidur dengan nyenyak di kursi Jeep yang keras ini. Begitu juga dengan Kibo. Kecapekan, ditambah suasana hutan yang hening dan dingin membuatku pulas dengan cepat. Tapi rasanya baru terlelap beberapa menit saat kurasakan ada tangan yang meraba-raba paha mulusku. Membuatku geli hingga akhirnya aku terbangun.

”Kibo, apa yang kau lakukan?” kutepis tangan laki-laki itu.

”Tidak tahu, Mon. Tiba-tiba saja aku pengen.” tangannya melayang, mencoba memegang payudaraku. Aku kembali menepisnya. Kusilangkan kedua tanganku untuk melindungi kedua buah dadaku yang montok ini.

”Waktunya tidak tepat, Kibo. Banyak orang disini.” aku menunjuk deretan mobil yang berhenti di depan dan belakang kami.

”Kenapa tidak pas di hutan tadi saja!” aku menambahkan. Memang, sudah biasa kami bercinta di sela-sela perburuan. Itu adalah salah satu wujud rasa terima kasihku karena Kibo sudah mau menjadi pemanduku selama menjelajahi ganasnya hutan Papua. Dia tidak mau dibayar dengan uang.

”Pengennya sekarang.” laki-laki itu terus memaksa. Bahkan kini dia sudah mengeluarkan penisnya yang besar dan hitam, yang selalu bisa membuatku orgasme berkali-kali. Memandangnya membuatku tergoda juga. Aku celingak-celinguk melihat situasi.

”Iya, tapi jangan disini.” sangat tidak aman melakukannya di mobil. Karena Jeepku berbentuk terbuka, semua orang bisa melihat perbuatan kami dengan jelas.

"Dimana?” Kibo menuntut. Aku segera memutar otak.

”Carilah tempat yang bagus di hutan. Kalau sudah ketemu, panggil aku dengan siulan.” cetusku.

Kibo segera melakukannya. Pura-pura ingin kencing, dia turun dari mobil dan pergi ke semak-semak di tepi jalan. Tidak melangkah terlalu jauh, dia sudah menemukan tempat yang cocok. Di bawah sebuah pohon Gaharu besar, tampak hamparan rumput halus yang empuk dan rata. Semak perdu rapat tumbuh di sekelilingnya, melindunginya dari pandangan orang di jalanan. Benar-benar tempat yang sangat sempurna.

”Suiittt..” tak sabar, Kibo segera bersiul pendek memanggilku.

Setelah memastikan kedaan aman, tidak ada orang yang memperhatikanku, aku pun pergi menyusulnya. Aku kaget saat melihat Kibo sudah menanggalkan celana panjangnya, hanya mengenakan celana dalam dan kaos t-shirt. Rupanya dia memang sudah benar-benar tak tahan. Kibo segera merangkulku,

”Kamu selalu bisa membuatku bergairah, Mon.” bisiknya sambil mengecup belakang telingaku. Daerah itu memang salah satu area sensitif di tubuhku, dan Kibo mengetahuinya. Dengan cepat, akupun menggelinjang dan balas mendekap tubuh kekarnya.

Tangan Kibo bergerak ke bawah, mengelus-elus paha mulusku sambil mencoba menanggalkan celana pendek yang aku pakai. Saat celana itu sudah jatuh ke tanah, dan aku berdiri cuma dengan bercelana dalam, Kibo langsung membelai-belai kaki jenjangku. Dimulai dari lutut, lalu bergerak naik perlahan ke atas menyentuh pahaku, dan terus naik hingga sampai ke selangkanganku. Tangannya berputar-putar disana, meraba benda mungil yang ada diantara kedua belahan pahaku. Dia seperti ingin merasakan kehangatan gundukan bukit kecil milikku yang masih terhalang secarik kain merah berenda.

”Ahhhh,” mendesah, aku merenggangkan kedua pahaku, memudahkan tangan Kibo untuk melaksanakan tugasnya.

Perlahan, gairahku mulai meletik. Kutarik wajah Kibo, dan segera kelumat bibirnya yang tebal dengan rakus. Lidahku menusuk, membelai dan menari-nari di dalam mulutnya, menjelajah disana dengan mesra.

”Hemph..” merasakan responku yang sangat baik, Kibo makin bersemangat.

Dia kini tidak cuma meraba, sesekali tangannya juga memijit dan mencubit-cubit pangkal pahaku. Jarinya juga sering menyelip, masuk ke belahan kemaluanku yang masih terhalang lipatan celana dalam. Telunjuknya menggosok perlahan-lahan bulu-bulu milikku yang terasa mencuat kasar.

”Aughhhh,” perbuatannya itu membuatku mulai mengerang perlahan.

Aku pun membalasnya dengan memasukkan tanganku ke balik celana dalamnya yang longgar. Dengan penuh nafsu kuraba dan kugenggam penisnya yang sudah menegang dahsyat. Aku juga meraba dan mengusap-usap biji pelirnya yang mungil kembar. Kibo paling suka kalau aku melakukan ini, belaian pada buah pelirnya. Dia langsung mengerang.

Merasakan seranganku, Kibo membalasnya dengan melancarkan serangan lain yang tak kalah nikmatnya. Kali ini jari tengahnya menelusup masuk ke dalam lipatan kemaluanku dan bergerilya disana. Celana dalamku yang menghalangi, dia geser sedikit ke samping, sekedar memberi jalan bagi jarinya untuk lewat. Tonjolan klitorisku yang sudah sangat dia kenali, digesek-geseknya dengan mesra. Sambil menggesek, dia juga terus menekan-nekan gundukan kemaluanku hingga aku makin mendesah keenakan. Sementara di atas, lidahnya terus bergerak mengulum bibirku. Kibo melumat dan mencium bibir tipisku habis-habisan.

”Hemphh…!” aku terjingkat saat jemari Kibo menyentil klitorisku.

Dan dia terus melakukannya. Semakin aku terjingkat, semakin dia menyentil lebih keras. Aku yang tidak tahan, membalasnya dengan melakukan serangan brutal pada penisnya yang berada di dalam genggamanku. Kupencet benda itu keras-keras hingga Kibo mengaduh kesakitan.


Posting Komentar

0 Komentar