THE GLADIATOR

 

GENRE : THRILLER EROTIC

JUMLAH HALAMAN : 66 HALAMAN

HARGA : Rp 10.000


Gegap gempita keriuhan penonton di arena pertandingan gladiator itu sementara mereda ketika dua gerbang besar dibuka , satu di setiap sisi arena . Dari keluar dari gerbang timur melangkah seorang gladitor retiarius dengan tubuh tinggi dan berotot, kulit hitam legamnya yang berkeringat nampak mengkilap di bawah sinar matahari yang hari itu bersinar terik. Sebagai catatan, retiarius adalah gladiator dengan dengan senjata jaring untuk menjerat lawan mereka serta sebilah tombak trisula. Pelindung badan retiarius lebih minim, hanya berupa pelindung lengan, bahu serta tulang kering, tanpa helm, karena type petarung ini lebih mengandalkan kecepatan dan kelincahan.

“Kita sambut....HASDRUBAL!! Jagal dari Sahara!!” seru pembawa acara dari podium utama.

Penonton menyambut meriah dengan teriakan dan tepuk tangan, taruhan mulai dipasang di antara mereka. Setelah itu gerbang barat membuka dan seorang gladiator type myrmilo yang akan menjadi lawan Hasdrubal melangkah keluar ke arena berpasir. Ia memiliki tubuh yang lebih besar dan kulitnya pucat, wajahnya tertutup oleh helm berukiran ikan mitologis dan rambut pirangnya yang panjang melambai tertiup angin. Lengan kanannya yang bertato khas Celtik memegang pedang gladius yang masih berlumuran darah lawan sebelumnya sementara tangan kirinya memegang perisai berukuran sedang.

Seketika semua orang dalam kerumunan itu mengenalinya karena dialah sesungguhnya yang ditunggu-tunggu oleh mereka, juara  tak terkalahkan dari arena, pembunuh tak kenal ampun dari kepulauan Britania yang saat itu masih barbar. Dia pernah menghabisi lima lawan sekaligus dalam suatu pertandingan, bukan hanya manusia, binatang-binatang liar seperti macan, singa, dan beruang pun sudah menjadi korbannya.

“Dan dari sisi barat, inilah dia sang juara bertahan, LIBERIUS!! Bayangan Kematian!!”

Sambutan penonton lebih meriah dan histeris dari sebelumnya, mereka sudah tidak sabar melihat darah tertumpah di arena. Kedua gladiator tersebut mendekati pusat arena dan berbalik menghadap podium utama dimana tamu penting yang meliputi senator, pejabat lokal, lanista (pemilik sekolah gladiator), beserta keluarganya duduk. Setelah editor (penyelenggara acara) memberi isyarat tanda pertarungan dimulai, terompet pun dibunykan. Hasdrubal membuka serangan awal dengan melompat ke arah Liberius yang dikejutkan oleh kecepatannya belum cukup sadar untuk menghindari ujung trisulanya. Sambil berlindung di balik tamengnya ia berusaha mendekati Hasdrubal.

Namun gladiator dari Afrika itu menggunakan kelincahannya tetap menjaga jarak dan menyerang Liberius dengan trisulanya. Begitu Liberius menjauh, ia mulai mempersiapkan serangan jaring, mula-mula ia tancapkan mata garpunya ke pasir guna mencegah senjata itu tersangkut ke jaring. Ia memutar-mutar jaring itu lalu melemparkannya ke arah Liberius dan mengena, namun bagaikan singa, Liberius terus merangsek ke depan dalam jeratan jaring. Gladius di tangannya berkelebat dan menusuk paha Hasdrubal hingga ia terjatuh. Namun dengan lincah ia berguling ke samping dan berhasil bangkit ketika Liberius melangkah maju dan berusaha menyerang lengannya yang memegang jaring. Meskipun dihalau dengan trisula, Liberius yang dilindungi oleh tamengnya terus melancarkan serangan. Senjata mereka beradu menimbulkan bunyi berdentang yang nyaring. Keduanya melompat ke belakang menjaga jarak dan bersiap menyerang kembali.

Orang-orang menahan nafas menyaksikan duel ini semakin mendebarkan. Kedua gladiator ini memang petarung berpengalaman yang sudah memiliki rekor bertarung yang tidak diragukan lagi, sehingga tidak heran penonton hari itu lebih banyak dari hari-hari biasa. Hasdrubal kembali menyerang, kali ini ia merangsek ke depan sambil mengayunkan trisulanya berusaha menebas Liberius. ‘Trang!’ Liberius menghantamkan tamengnya pada senjata lawan membuat tangan Hasdrubal bergetar, saat itulah ia melakukan manuver berupa gerakan memutar ke belakang punggung si gladiator Afrika  dan menyikut punggungnya.

“Aaakkhhh!!” Hasdrubal mengaduh dan terhuyung-huyung merasakan sakit pada tulang punggungnya.

Tanpa memberi kesempatan, Liberius menerjang dan menebaskan gladiusnya, namun gerakannya dengan segera terbaca oleh Hasdrubal yang menusukkan trisulanya. Sekali lagi tameng Liberius menyelamatkannya namun kali ini karena jarak yang dekat, trisula Hasdrubal berhasil menggores lengan kiri Liberius lalu ‘trang!’ Hasdrubal dengan cepat memutar senjatanya dan memakai ujung bawahnya menghantam kepala Liberius yang dilindungi helm. Walaupun pukulan itu hanya menghantam helmnya, namun tak urung Liberius pun terhuyung ke belakang dan telinganya berdenging akibat hantaman keras itu pada pelindung kepalanya. Selama beberapa saat keduanya saling hindar, saling tangkis dan saling tunggu kesempatan menyerang balik.

Hasdrubal nampak berada di atas angin ketika ia kembali menyarangkan pukulan ke helm Liberius sehingga memaksa gladiator bertubuh raksasa itu melepas dan membuang helmnya karena penyok sehingga terlihatlah wajah garang di balik helm itu yang terdapat beberapa luka codet hasil pertarungan. Namun akhirnya dalam suatu kesempatan Liberius berhasil menemukan celah di antara serangan Hasdrubal yang meleset dan berhasil memotong lengannya yang memegang trisula.

Penonton langsung berseru kegirangan melihat adegan darah tertumpah dan anggota tubuh terpotong itu. Kemunafikan sikap sosial masyarakat Romawi terhadap gladiator tersebut menyebabkan beberapa filsuf secara gamblang menyerang para senator dan warga professional yang menganggap gladiator itu rendah dan sederajat dengan pelacur namun juga gemar menonton aksi mereka di arena.

“Liberius!! Liberius!! Liberius!!” demikian seruan dari bangku penonton mengelu-elukan nama sang juara bertahan yang berhasil mengalahkan lawannya.

Hasdrubal berlutut dan meringis kesakitan memegangi lengannya yang terpotong, ia telah kalah dan siap untuk menerima nasibnya.

“Selamat, kau pemenangnya, cepat lakukan, aku tidak sudi hidup sebagai orang cacat!” kata Hasdrubal.

“Akan kulakukan secepat mungkin kawan, tanpa rasa sakit!”

Liberius meletakkan pedangnya di depan tenggorokan Hasdrubal. Setelah menunggu beberapa saat untuk melihat suasana hati para penonton, editor bersiap memberi keputusan.  Ia merentangakan tangannya yang terkepal ke depan, menyiapkan jempolnya, inilah saat yang paling mendebarkan karena akan menentukan hidup atau matinya mereka yang kalah. Beberapa detik kemudian, sang editor mengarahkan jempolnya ke bawah, pertanda Hasdrubal harus mati. Liberius yang juga ingin mengakhiri penderitaan lawannya itu segera mendorongnya ke depan hingga gladius itu mengiris leher Hasdrubal.

Pertandingan selesai, Hasdrubal ambruk ke pasir bergelimang darahnya. Seorang budak segera masuk ke arena untuk menyeret tubuh Hasdrubal yang sudah tidak bernyawa itu keluar dari arena. Sementara sang pemenang, Liberius, mendapat hadiah uang, ketenaran, perhatian publik dan ranting palma. Sebuah kemenangan gemilang yang mengakhiri pertandingan seru hari itu

***

Di kamarnya Liberius menghitung uang yang didapatnya hari itu, jumlah yang cukup besar. Dia memperhatikan catatan tabungannya dengan hati senang.

"Ya...segera!" ia mengingatkan dirinya sendiri,

"Segera kebebasan itu akan kuperoleh!" Ia tidak sadar seseorang sudah berdiri di pintu kamarnya yang setengah terbuka dan memperhatikannya.

“Ohhh, dominus (tuan), maaf saya tidak memperhatikan.” Sahut pria bertubuh besar itu lalu berdiri ketika menyadari kehadiran tuannya.

“Tidak apa, santai saja...” Pria umur empat puluhan berpostur sedang itu tersenyum dan melangkah masuk.

Pria ini bernama Quintus Ampilatus, salah satu lanista terkenal di Pompeii, sudah empat tahun lebih Liberius bertarung di bawah nama ludusnya. Ia sudah mendatangkan banyak keuntungan bagi pria ini melalui pertaruhan nyawa di arena. Sebagai gladiator andalan, Ampilatus pun memberikannya kamar pribadi, terpisah dari para budak dan gladiator lainnya yang kebanyakan tidur bersama dalam sel atau kamar sempit.

"Penampilan yang bagus Liberius!" katanya.

"Seperti biasa kau memang tidak pernah mengecewakan!” Puji pria itu seraya menepuk pundaknya.

“Melayani anda, kehormatan bagiku.” Liberius berkata dengan suara rendah.

“Besok malam kita mendapat undangan untuk hadir di villa Senator Gaius, bersiaplah untuk itu! Bersihkan dirimu, saya sudah menyiapkan hadiah kecil di kamar mandi." Ampilatus mengangkat alis dengan senyum penuh arti.

***

“Selamat sore tuan!” Sapa seorang gadis budak berparas cantik menyambut Liberius di tempat pemandian.

Liberius hanya mengangguk membalas sapaan gadis itu, inilah hadiah yang dimaksud oleh tuannya, seperti biasa Ampilatus memang terbilang royal dalam memberi penghargaan bagi para gladiator maupun pelayannya. Gadis berambut hitam ikal itu membuka ikat pinggang Liberius kemudian tuniknya. Terakhir ia membuka cawat pria itu dan langsung tertegun melihat penis Liberius yang berukuran besar itu, padahal itu baru setengah ereksi.

Gladiator itu pun melangkah masuk ke dalam bak dan menyandarkan punggung lalu menghela nafas. Air dingin itu terasa memberi kesegaran di musim panas seperti ini, bekas-bekas pertarungan tadi seolah hilang olehnya. Setelah merapikan pakaian Liberius, gadis itu pun melepas pakaiannya, gaun biru muda dari bahan tipis itu pun terlepas dari tubuhnya lalu ia melepaskan juga celana dalamnya. Kemudian dengan santai ia pun masuk ke bak, meraih handuk bersih di bibir bak dan mulai mengelap tubuh kekar Liberius.

“Aku baru pernah melihatmu, siapa namamu?” Tanya Liberius bersandar pada posisi nyaman merenggangkan otot-ototnya, meskipun matanya setengah terpejam, ia mengamati tubuh telanjang si gadis budak itu, begitu indah dan putih dengan payudara sedang dan bulu kemaluan dibiarkan tumbuh lebat pada selangkangannya.

“Marcia! Aku baru bulan kemarin masuk ke sini dan bekerja di bagian dapur.” Jawab gadis itu sambil mengelap pundak Liberius, darahnya berdesir meraba lengannya yang kokoh itu, tubuhnya yang penuh luka tebasan dan tato di lengan kanannya menciptakan aura macho dalam diri gladiator itu.

“Nama yang indah, seindah orangnya.” Puji Liberius.

“Darimana asalmu? Dari logat bicara sepertinya kau dari timur. Hmm, biar kutebak, Persia?” Marcia menggeleng dengan wajah tertunduk menyembunyikan senyum dikulum, merasa tersanjung dengan pujian tadi.

“Mesir? Tidak-tidak, mereka tidak seputih ini, Asiria?” Tebaknya lagi Marcia mengangguk dan tersenyum, ia berpindah ke pundak yang satu lagi disertai pijatan.

“Kau berasal dari jauh, apa masih punya keluarga di sini?” Gadis itu menggeleng,

“Kedua orang tua dan dua adik saya semua meninggal, wabah, hanya aku yang selamat dan berakhir di tangan penjual budak dan sampai di tempat ini.” Katanya lirih. Liberius manggut-manggut perlahan, ia merasa kasihan dengan gadis itu.

“Nasehatku manis, keraslah pada dirimu di negeri asing ini, maka kehidupan itu akan terasa lembut, jangan sebaliknya karena itu akan menjadi bencana bagimu.” Kata gladiator itu menatap tajam mata Marcia.

“Eeemmm.” Gadis itu mengangguk memikirkan kata-kata bijak sang gladiator, ia tak menyangka dari orang kasar seperti Liberius bisa keluar nasehat seperti itu.

Tiba-tiba ia terhenyak ketika tangan pria itu meraih pantatnya dan menariknya mendekat, wajah sangar gladiator itu kini tidak sampai sejengkal dengan vaginanya, hembusan nafasnya terasa betul. Marcia terdiam mematung, ia memang sudah siap untuk momen ini, pandangan mereka bertemu ketika Liberius menengadah melihat reaksi wajahnya. Ia pasrah saja dan saat gladiator itu mendekatkan wajahnya dan mencium wilayah kewanitaannya tersebut.

“Eeemmmhhh!” Lenguh gadis itu dengan mata terpejam.

Tubuh Marcia pun semakin bergetar, ia merapatkan selangkangannya ke bibir Liberius sambil meremas rambut pirang panjang pria itu. Lidah Liberius semakin liar mengais-ngais liang kenikmatannya. Marcia merasakan vaginanya semakin membasah seiring dengan rangsangan yang semakin kuat dan tanpa sadar ia pun mulai menggoyangkan pinggulnya supaya Liberius lebih leluasa menciumi kemaluannya.

Gladiator itu menghisap klitorisnya kuat-kuat serta ujung lidahnya dengan lincah menggelitik titik sensitif itu. Jari-jari tangannya yang besar ikutan mengocok liang kenikmatan Marcia diselingi permainan lidah di klitorisnya. Marcia makin menjerit nikmat, ia benar benar dibuatnya kelojotan karena permainan tangan dan oralnya, nikmat sekali.

“Yahhh! Masukin sekarang, aku sudah tidak tahan!” desahnya memohon.

Namun Liberius tidak menggubrisnya, ia masih menikmati menjilati vagina gadis budak itu, ia hanya menyeringai mesum melihat wajah Marcia yang telah memerah akibat birahi tinggi, rambut hitamnya yang terurai membuatnya terkesan semakin seksi saja.


Posting Komentar

0 Komentar