DANGEROUS GAME

 


GENRE : THRILER EROTIC

JUMLAH HALAMAN : 108 HALAMAN

HARGA : Rp 15.000


PART 1

Langit bersemu merah seiring munculnya sang mentari. Suara binatang mulai terdengar di dalam hutan yang penuh pepohonan besar. Pepohonan itu mengelilingi sebuah villa yang berdiri kokoh di lereng gunung dengan posisi menghadap ke sebuah danau. Suara berisik terdengar dari dalam villa. Dari sebuah kamar luas yang memiliki teras terbuka.

“Pikiran gue blank. Boring!! ” Seorang perempuan berambut pirang berucap keras.

“Super dingin! Brrrrrr!” Wanita mengenakan jaket tebal menyahut, jemari lentiknya menjepit sebatang rokok yang menyala.

“Liat ini! Susu gue mengkerut!”

“Signal buruk sekali. Payah!” Terdengar sahutan dari wanita lain yang rebah di sofa dibalut selimut tebal. Bibirnya berdecak galau karena signal di handphone-nya tidak stabil.

“Tanpa lelaki?! It’s okay, but at least, harus ada sesuatu yang bikin gairah gue membara. It’s totally failed!”

Dua pasang mata melirik malas ke arah sumber suara. Mereka menarik nafas panjang, kemudian mengalihkan pandangan ke hamparan danau yang tenang. Mereka enggan meladeni ocehan teman-temanya yang menggangu keheningan pagi.

“Gue bela-belain kaga tidur semaleman. Gue kira bakal ada kejutan. Nothing happened!”

“Em, elo payah kalo bikin rencana! ”

“Next event gue yang urus!! Gue udah punya rencana super duper hebooh!!!"

***

              Anggi mendesah resah di dalam mobil mewah yang melaju meninggalkan kampung menuju ibu kota. Wajah cantiknya keruh. Perempuan muda berperawakan sedang itu duduk bertopang dagu. Mata indahnya mengintip lewat kaca mobil, melihat pepohonan yang melambai sedih mengucapkan salam perpisahan untuknya.

Anggi melirik Emilia yang tertidur nyenyak di sampingnya. Emilia adalah wanita yang menawarkan pekerjaan kepada gadis berumur dua puluh tahun itu. Tawaran gaji yang menggiurkan membuat Anggi menerima pekerjaan tanpa berpikir panjang. Anggi mengenal Eimilia dua hari yang lalu ketika dia mendapat tugas mengantar perempuan cantik nan kaya itu berkeliling kampung untuk melihat beberapa tempat wisata.

“Apakah Bu Emilia benar-benar orang baik?” Anggi membatin ragu. Dia kemudian memejamkan mata. Mencoba menghilangkan pikiran negatif yang beberapa kali berkelebat di kepalanya.

“Bu, kita udah sampe.”

Anggi tersentak mendengar suara si supir. Dia mengucek mata dan merapikan rambut yang acak-acakan. Kesadaran belum sepenuhnya kembali ke tubuhnya. Emilia sudah turun lebih dulu.

“Ini rumah saya, Anggi.”

Anggi turun dari mobil kemudian mengikuti Emilia melangkah di jalan berpaving yang membelah taman menuju pintu rumah. Lantai marmer yang berkilau indah membuat Anggi semakin terpukau. Anggi merasa berada di tempat asing tetapi mengagumkan. Anggi mengikuti langkah Emilia. Membantu menjijing tas milik Emilia menaiki tangga kayu menuju lantai tiga.

Tap Tap Tap

Suara alas kaki menghantam tangga terdengar nyaring di belakang Anggi. Anggi yang baru menginjakan kaki di lantai tiga menoleh ke arah sumber suara.

“Em, elo baru pulang? “ Seorang lelaki mengenakan pakaian olahraga menyapa mereka.

“Iya, gue baru nyampe,” ujar Emilia santai.

“Oh ya Jo! Kenalin ini Anggi, staff baru gue. Dia bakal tinggal di sini.” Emilia memperkenalkan Anggi.

“Anggi, ini Jonathan, kakak saya,” Emilia melanjutkan.

Anggi tersipu malu melihat wajah ganteng Jonathan. Matanya tidak berkedip cukup lama, menatap wajah mirip aktor kesukaannya yang sering dilihatnya di televisi.

“Hai Anggi, semoga betah di sini ya.”

Anggi hanya tersenyum dan mengangguk. Jonathan memeluk Emilia sesaat dan memberi kecupan di kening adiknya sebelum kembali melanjutkan lari menuju kamarnya di lantai empat. Bola mata Anggi bergerak mengikuti sampai lelaki itu tidak terjangkau pandangannya.

***

Rumah keluarga Emilia berlantai empat bergaya semi modern. Isi rumah sangat komplit. Mulai dari kolam renang, tempat olahraga, tempat yoga, dan taman yang indah. Emilia tinggal di lantai tiga dan Anggi kebagian satu kamar yang ukuranya sepertiga kamar Emilia. Bagi Anggi kamar itu cukup luas. Dia juga mewarisi beberapa perabotan dari penghuni sebelumnya.

Adaptasi Anggi tidak sepenuhnya lancar. Minggu pertama, Anggi gelisah bukan main dan sempat berpikir untuk kembali ke kampung halamannya. Dia merasa berada di tempat asing yang tidak nyaman. Minggu kedua, Anggi mulai menemukan kenyamanan. Emilia sering mengajaknya keluar, menemani bertemu klien, dinner atau pesta tertentu. Dia juga sudah hapal para penghuni rumah di sana, yaitu Emilia, Jonathan, Sapta si sopir, Ryan si tukang kebun, Torus si satpam, dan Mimi seorang tukang masak. Orang tua Emilia tidak berada di sana dan hanya sesekali berkunjung. Mereka memiliki memiliki banyak usaha. Pabrik, pertambangan, usaha rokok, penginapan, dan beberapa usaha kecil. Jonathan lebih banyak mengurusi usaha itu, sementara Emilia membangun bisnisnya sendiri yaitu membuka beberapa butik hasil desain dia dan teman-temannya.

Pekerjaan yang diberikan Emilia kepada Anggi tidak begitu berat tetapi butuh kesabaran karena mood Emilia yang sering turun naik. Selain itu, jam kerja Anggi juga tidak menentu. Emilia sudah mengajarkan banyak hal baru kepadanya. Anggi mulai terbiasa ke bank, ke supermarket, mengunakan komputer, mebuat gambar dan banyak pekerjaan lainnya. Anggi sangat menghomati Emilia. Bagi gadis yang memiliki tahilalat di atas alis kanan itu, Emilia seperti wanita yang berasal dari dimensi lain. Kulitnya yang putih, matanya yang indah penuh pesona, bibirnya yang kemerahan dan senyumnya yang begitu berharga. Anggi merasa menjadi begitu kecil dan tidak berarti ketika dibandingkan dengan perempuan itu, padahal Anggi adalah seorang wanita primadona di kampungnya.

Tap Tap Tap

Anggi hafal suara itu. Itu adalah suara kaki Jonathan ketika berlari menaiki atau menuruni tangga. Itu sekaligus sebagai penanda bagi Anggi kalau Jonathan ada di rumah. Lelaki itu beberapa kali menyapa sekedar berkata,

“Haii Anggi!”

“Selamat pagi Anggi ”

“Selamat sore Anggi.”

Mereka tidak pernah mengobrol lebih jauh. Adaptasi Anggi hampir mendekati sempurna andai saja dia tidak melihat beberapa coretan di dalam lemari pakaian di kamarnya. Lemari yang dipakai mantan staff Emilia. Tulisan tangan dengan gaya berbeda, penanda ditulis oleh beberapa orang.

"LELAKI BANGSAAT !!!! BERWAJAH MALAIKAT, BERHATI IBLIS!"

"WANITA PENIPU !! PEMBOHONG !!

"KELUARGA TERKUTUK !!"

"GUE ANCUUUR , ELO REMUK ! DASAR LONTE SIALAN !!”

Tulisan yang berisi makian kasar itu membuat Anggi mengerutkan kening bertanya-tanya.

 

***

DUA BULAN BERIKUTNYA

Mendung tebal menyelimuti kota, berbarengan dengan terbenamnya sang mentari. Hari ini adalah jatah liburnya Anggi, Emilia memberi Anggi waktu bersantai di rumah karena Emilia ada pertemuan khusus sejak pagi.

Udara lebih dingin dari biasanya. Anggin berhembus cukup kencang menghempas tirai di teras sehingga menimbulkan suara berisik ketika beradu dengan jendela. Tidak berapa lama, hujan turun begitu deras. Anggi baru saja selesai mandi. Dia berdiri menatap cermin dengan rambut digelung ke atas. Senyumnya mekar saat menatap pantulan tubuhnya yang dililit handuk warna putih. Tonjolan payudaranya yang indah tercetak di handuk.

Suara lagu favorit Anggi mengalun lembut dari handphone-nya. Anggi ikut menyanyi sambil mengoleskan lotion di leher, kemudian lengan, kaki, dan pahanya yang kencang berisi. Dia memonyongkan bibir, mengoleskan listik berwarna merah pemberian Emilia. Dia memutar tubuh di depan cermin beberapa kali, mengagumi tubuhnya sendiri. Perut rata, pinggang ramping dan pinggul indah. Ketika Anggi sedang asik menilai diri sendiri, terlihat kilatan cahaya di cermin. Anggi refleks menutup telingga dan memejamkan mata.

Ttjddduuuuaaaarrrr!!!

Suara petir menggelegar. Anggi menahan nafas. Dia tidak takut petir, hanya saja suaranya terkadang membuatnya kaget.

Tjddduuaarrrraaaaaaarrrrr!!!

Terdengar suara petir yang lebih keras. Suaranya bergema menakutkan. Anggi memaki dalam hati.

Blaaam

Lampu padam. Aliran listrik terputus. Ruangan gelap gulita membuat Anggi bergerak kelimpungan. Dia meraba-raba, mencoba meraih hanphone-nya yang masih memutar lagu.

Tap Tap Tap

Anggi mendengar derap kaki berlari menaiki tangga. Dia buru-buru merapikan handuk karena belum sempat mengenakan pakaian.

“Nggi.. Anggii!”

Anggi mendengar suara orang memanggil. Dia mencoba menyalakan flash light di handphone dan keluar dari kamar.

“Anggii.. Anggiii!” Sesosok tubuh yang menggunakan handphone sebagai senter bergerak cepat ke arah Anggi.

“Iya, Bu. Ada apa? Ibu baru pulang? Kenapa lari-lari?”

“Duuhh! Saya lupa kalo hari ini ada janji, kamu temenin saya, ya!” Wajah Emilia keruh karena kelelahan,

 “Ujan dan gelap, saya males sendirian.”

“Iya Bu, ketemu dengan siapa?”

“A-Lima.” Jawaban Emilia berbarengan dengan lampu di rumah itu menyala. Anggi lega dan melihat ke luar, banyak rumah yang masih gelap gulita. Dia tahu, pasti pak satpam menyalakan genset.

***

              Emilia mengemudikan mobil melewati jalan sepi yang membelah hutan Mangrove menuju sebuah rumah yang disebut Emilia sebagai ‘Rumah A-Lima’. Rumah itu terletak di dekat tebing yang menghadap ke pantai.

Hujan sudah berhenti turun ketika mereka sampai di pintu gerbang yang menyatu dengan tembok tinggi. Tembok itu mengelilingi lima buah bangunan yang berukuran luas, menyembunyikan dari pengelihatan orang luar. Kelima bangunan bergaya modern tetapi sederhana. Memiliki ukuran hampir sama, tetapi dengan warna cat berbeda. Merah, kuning, hijau, biru muda, dan biru tua.

“Kenapa warna bangunannya aneh-aneh, Bu?”

“Warna menunjukan identitas. Identitas itu sebagai pembeda. Perbedaan membuat mudah dikenali.” Jawaban Emilia cukup membuat Anggi bingung dan tidak melanjutkan pertanyaan.

Luas kelima bangunan itu hanya setengah dari luas tempat itu. Ada sebuah taman dengan rumput pendek hijau dan kolam renang di tengah-tengah, di dekatnya terdapat parkir mobil dengan lantai paving abu-abu. Tidak jauh dari tempat itu berderet tiga pohon besar nan rimbun. Di bawahnya terdapat lampu bulat besar yang menyala redup. Beberapa kursi kayu panjang berderet di dekatnya.

Anggi mengikuti Emilia berjalan ke arah kamar berwarna kuning. Di teras kamar yang terang, ada empat orang yang menunggu Emilia. Anggi mengenal mereka, mereka adalah anggota A-Lima, sebuah group tidak resmi yang beranggotakan Emila dan empat orang temannya. Emilia pernah bercerita kepada Anggi, nama A-Lima berasal dari nama mereka. Kelima anggota memiliki nama berakhiran huruf ‘A’. Emilia, Diandra, Rimelda, Davina, dan Monica. Mereka berteman sudah sejak lama dan sama-sama berasal dari keluarga kaya. Mereka setidaknya berkumpul sekali dalam sebulan. Meskipun tidak selalu dengan anggota lengkap.

“Nggi, kamu jangan baper ama mereka. Mereka terkadang rese dan kelewatan batas. Apalagi kalau mereka mabuk.” Emilia berpesan kepada Anggi.

Seorang wanita memakai dress hitam panjang berjalan anggun menghampiri Anggi. Anggi tersenyum dan menyapa. Dia adalah Rimelda, salah seorang teman Emilia yang merupakan seorang produser film. Keluarganya memang memiliki usaha di bidang perfilman. Rimelda berkulit mulus kecokelatan, buah dada besar dan bentuk bokong membulat indah.

Wanita lain memakai dress merah duduk menyilangkan kaki sambil menyedot sebatang rokok. Dia adalah Davina. Davina kurus, tinggi, pinggang langsing dan perut rata, tetapi payudaranya cukup besar. Warna kulitnya hampir sama dengan Rimelda. Sorot matanya terkesan angkuh. Dia memiliki pekerjaan sampingan sebagai model. Perkejaan utamanya adalah bekerja di perusaah keluarga. Anggi pernah dititipkan oleh Emilia kepada wanita ini selama beberapa jam di mall. Menurut Anggi, Davina adalah wanita merepotkan dan suka bikin heboh. Dia punya hobi merecoki kasir dan SPG sehingga kelabakan dengan perkataan,

“Cepetan dong! Saya mau ke bandara!”,

“Cepetan dong! saya mau makan malam!”,

“Cepet cepet cepet! Saya sudah ditunguin taxi!”

Semua yang diucapkan Davina itu adalah bohong. Davina tidak melakukan hal penting setelahnya.

Di dekat Davina, seorang wanita memakai kaos putih dan bercelana pendek asik memainkan handphone. Terlihat tatoo bunga melintang di pegelangan tangan kanannya. Dia adalah Monica si seniman. Monica memiliki bentuk tubuh ideal. Ukuran dada, perut, pinggul dan bokongnya sangat pas, tidak terkesan gemuk atau kurus. Hanya saja dia memiliki kaki berbentuk X sehingga caranya berjalan kurang angun. Selain itu, dia memiliki kebiasaan memiringkan kepala ke kiri, mungkin itu adalah salah satu efek dari bakat seninya sebagai pelukis. Dia keturunan indonesia dan New Zealand. Monica senang mencampur bahasa indonesia dengan bahasa Ingris ketika berbicara sehingga terkesan agak kacau. Dia sempat berkuliah di Australia.

Emila kemudian duduk di dekat seorang perempuan berkacamata bulat besar, berambut pendek sebahu, bermata sipit, dan kulit putih. Bibirnya begitu mungil dan tipis kemerahan. Dia memakai kemeja dan celana panjang, pakaian favoritnya. Dia keturunan tionghoa sama seperti Emilia. Dia bernama Diandra, seorang dokter hewan. Dia adalah yang termuda dari mereka berlima. Diandra merupakan teman Emilia ketika mereka kuliah di USA.

“Itu adalah gallery kami, berisi barang seni dari berbagai daerah di dunia.” Emilia menunjuk sebuah ruangan bercat kuning tidak jauh dari mereka.

“Kecuali lukisan-lukisan jelek dan berantakan itu,” ujar Rimelda sambil mengarahkan telujuk ke beberapa lukisan yang tertutup kain.

“At least, itu hasil imajinasi gue. Tidak payah seperti elo yang tidak bisa berimajinasi,” terdengar sahutan Monica.

“Dasar tukang bacot!”

“Anggi, kami berlima mau membahas sesuatu. Kamu liat-liat ke sana dulu, ya!”

Anggi mengerti ucapan Emilia. Perempuan itu menyuruhnya menjauh karena mungkin akan membicarakan sesuatu yang tidak boleh dia dengar. Anggi masuk ke dalam ruangan yang disebut ‘Gallery’ oleh mereka. Pandangan mata teman-teman Emilia mengikuti.

“Em, asisten lo ngikut terus ya?” ujar Rimelda sambil mengelus rambutnya.

“Elo balik jadi anak manja dan penakut, hihihi.” Emilia tersenyum manis kemudian memutar kepala, menoleh ke arah Anggi .

“Gue demen dia. Dia polos dan bisa dipercaya,” ujarnya lirih.

“Gue ngerasa nyaman ama dia.”

“Yakin?” Davina menatap tajam.

“Elo kagak bakal korbanin dia, kan? kayak asisten elo yang dulu.” Dia melanjutkan ucapan sambil merapikan bajunya yang kedodoran. Emilia menarik nafas panjang. Hening beberapa detik. Tidak ada jawaban atas pertanyaan itu.

“Gimana, kalian udah dapet cowo keren untuk pesta?” Terdengar suara Rimelda.

“Of course! Gue tinggal julurin lidah aja dapet cowo,” ujar Monica sambil mengoyangkan kepala.

“Berarti persiapan udah beres, ya?” tanya Emilia.

“Yes, but we need extra money.”

“Em, lo mesti ajak assiten lo terlibat dalam game!” Davina berucap serius.

“Game kali ini spesial!”

“Emang game-nya apaan?” Emilia penasaran. Davina mendekatkan bibir ke telinga Emilia. Dia membisikan sesuatu dan membuat Emilia berpikir.


Posting Komentar

0 Komentar