HASRAT TABU

 

GENRE : DRAMA EROTIC

JUMLAH HALAMAN : 73 HALAMAN

HARGA : Rp 10.000


PART 1

Udara dingin dalam cuaca mendung gelap yang menyesakkan. Sudah dua hari ini matahari enggan untuk menampakkan sinarnya. Angin kencang menggoyang daun-daun kering yang tampak ringkih bertahan di dahan. Hari-hari di bulan desember yang selalu basah dan gelap.

“Ma, Papa berangkat dulu ya.”

“Hati-hati di jalan, Sayang. Jangan ngebut, ya?” Lelaki yang dipanggil sayang itu tersenyum.

Wajahnya sebenarnya cukup lumayan, agak ganteng kalo dilihat dari Monas pake sedotan. Tubuhnya kurus kering, dengan kulit coklat kehitaman terbakar matahari. Rambutnya yang kriwil makin menambah kesan tak terurus pada diri pria itu. Ia  mengecup kening dan pipi istrinya yang bulat dan menggelitik pinggang ramping milik wanita itu.

“Ih, Papa nakal.” wanita itu menepis tangan suaminya yang mulai merambat menyusuri belahan buah dadanya yang besar.

“Sudah ah, nanti Papa terlambat.” Dia mengingatkan.

“Mama cantik deh.” laki-laki itu kembali mengecup bibir sang istri. Wanita itu membalasnya singkat.

“Sudah siang, Pa.” dia kembali mengingatkan.

“Nanti masakin yang enak ya, Sayang.” bisik laki-laki itu sebelum keluar pintu.

Wanita itu tersenyum dan mengangguk. Dia merasa bersyukur punya suami seperti Tarno, meski jelek tapi cukup bertanggung jawab. Itulah yang membuat Sari perlahan mulai bisa menerima kehadirannya, dan tanpa sadar, mulai mencintainya.

“Hati-hati di rumah ya, Sayang.” teriaknya sebelum masuk ke dalam kendaraan.

Di belakangnya, Sari memandangi dengan mata berkerlip. Ada cinta disana, yang perlahan makin membesar dari hari ke hari. Suaminya memang tidak ganteng, dia tahu itu karena Tarno adalah mantan sopir pribadinya. Mereka menikah karena Sari sudah hamil duluan, dan ironisnya, bukan dengan Tarno. Sari dihamili oleh pacarnya, yang langsung kabur begitu tahu kalau gadis itu berbadan dua. Untuk menyelamatkan muka keluarga, ayahnya segera menikahkan gadis itu dengan siapa saja yang mau, dengan imbalan uang puluhan juta rupiah.

Tarno yang mendengar hal itu, tanpa perlu berpikir dua kali, langsung menerimanya. Sebenarnya, tanpa imbalan uangpun, dia akan dengan senang hati melakukannya. Siapa sih yang tidak ingin menikahi gadis secantik Sari, yang kemolekan tubuhnya sanggup membuat Aura Kasih minder, biarpun gadis itu sedang hamil. Peduli setan, bagi orang jelek seperti Tarno, itu tidak masalah, yang penting bisa merasakan kehangatan dan kelembutan tubuh gadis itu. Apalagi ini ditambah iming-iming uang 50 juta rupiah, yang membuat penawaran itu makin mustahil untuk ditolak.

“Jangan malam-malam ya pulangnya.” wanita itu mengantar Tarno sampai ke halaman depan. Wajah cerah dan cantik yang setiap hari melepasnya pergi, dan selalu mengisi benaknya selama jam kerja. Selalu membuat Tarno tak sabar untuk pulang ke rumah. Selalu?

***

“Ibunya ada, Dek?” Sari bertanya pada bocah kecil berumur 3 tahun yang sedang asyik mencoret-coret dinding rumah. Bocah itu mengangguk tanpa mengalihkan pandangannya.

“Di dalam.” sahutnya singkat.

Sari segera masuk ke dalam, meninggalkan bocah itu sendirian. Seperti biasa, dia menerobos rumah itu tanpa perlu merasa sungkan sedikitpun. Dia sudah mengenal baik pemilik rumah itu. Anita adalah tetangganya, sekaligus teman pertamanya saat awal dia pindah ke perumahan ini. Usia keduanya yang hampir sebaya membuat mereka cepat akrab. Hari ini, Sari berniat untuk belajar memasak. Kemarin Anita sudah janji untuk mengajarinya membuat nasi Rawon kesukaannya.

“Mbak, Mbak Nita?” Sari memanggil sambil terus melangkahkan kakinya. Ruang tamu dan ruang tengah sudah terlewati, tapi masih belum ada tanda-tanda keberadaan wanita berambut pendek itu.

“Mungkin di dapur, pagi-pagi gini kan biasa dia sibuk di dapur,” pikir wanita itu.

Dengan riang, Sari terus menuju ke belakang. Saat melintasi kamar Anita, dia mengintip sebentar, tidak ada siapa-siapa disana. Samar-samar, telinganya menangkap suara gaduh dari arah dapur. Ah, memang benar, dia sedang berada di dapur sekarang.

“Mbak Nita?”

Sambil memanggil, Sari membelokkan kakinya menuju arah dapur. Tapi langkah kaki wanita cantik itu langsung terhenti begitu melihat apa yang terjadi. Di sana, berbaring di atas meja makan, tampak Anita tengah bergumul dengan seorang laki-laki. Pakaiannya acak-acakan. Payudaranya yang besar terlihat menonjol keluar karena kaosnya yang ketat tertarik ke atas, memperlihatkan sepasang buah dada yang putih mempesona dengan puting mungil mencuat indah ke atas. Rok pendeknya yang berwarna abu-abu melorot ke bawah, memperlihatkan kemaluan wanita itu yang basah, licin dan kemerah-merahan, membuat penis besar milik si laki-laki bisa menusuk dan menembusnya dengan lancar.

“H-halo, Sar.”

Sapa Anita sambil merem melek saat melihat kedatangan sahabatnya. Mukanya licin penuh keringat, dengan bekas-bekas cupangan merata di seluruh pipi dan lehernya. Sari terhenyak, sampai tak tahu harus berkata apa.

“S-sebentar ya, lagi tanggung nih.” tambah Anita sambil ikut menggoyangkan pinggulnya, mengimbangi tusukan laki-laki diatasnya yang sekarang tampak semakin cepat. Dengan muka merona, Sari memalingkan mukanya.

“Ah, aku tunggu di depan aja ya.” Dia merasa tidak enak memergoki Anita yang lagi berbuat mesum seperti itu.

“J-jangan,” Anita melarang.

“T-tunggu disini aja. Enggak apa-apa kok.” Permintaan yang aneh, tapi entah kenapa Sari menurutinya.

Dia duduk di salah satu kursi dan menonton kelanjutan acara itu. Dia penasaran, sekaligus teransang juga, bagaimana Anita yang cantik bisa berbuat mesum seperti itu, dengan seorang laki-laki tua yang lebih pantas menjadi ayahnya daripada partner seksnya. Sari tidak mengenal laki-laki itu, tapi dari ukuran penisnya yang super besar, dia bisa menduga alasan Anita mau menyerahkan tubuhnya pada laki-laki itu.

“Ahhh... ahhh...”

Anita merintih saat kontol besar si lelaki menusuk dan mengocok memeknya makin cepat. Dia menyambar bibir si lelaki dan melumatnya dengan rakus. Lidah mereka bertemu untuk saling menghisap dan mencampur air liur. Anita tampak sangat menikmati sekali meski bibir laki-laki itu begitu tebal. Di bawah, tangan si lelaki merambat untuk meremas-remas payudara Anita yang membusung indah. Kelembutan dan kehangatannya rupanya membuat laki-laki itu jadi ketagihan. Sepanjang sisa permainan, dia terus berpegangan pada benda bulat padat itu.

“M-mau ikut g-gabung sini, Sar?” tanya Anita saat melihat Sari mulai meremas-remas payudaranya sendiri.

“Ah, tidak.” Sari cepat menarik tangannya dan merapikan bajunya yang mulai tersingkap.

“Kamu teruskan aja.” dia masih malu untuk mengakui kalau sebenarnya dia juga teransang. Anita tersenyum penuh arti,

“S-selalu ada tempat buatmu k-kalau kamu berubah pikiran.” katanya. Dan sebelum Sari sempat menjawab, wanita itu sudah berpaling untuk kembali menghadapi serangan lelaki di atasnya yang sekarang mendesaknya dengan semakin gencar dan bertubi-tubi.

Rupanya, permainan sudah mulai mendekati babak akhir. Tidak peduli dengan Anita yang menjerit dan merintih-rintih, laki-laki tua itu terus menusukkan penisnya dalam-dalam, dan menariknya lagi dengan cepat, untuk kemudian menusukkannya lagi lebih dalam, hingga membuat Anita memekik dan menjerit keenakan. Sari menonton semua adegan itu tanpa berkedip sedikitpun. Bahkan, dia juga sampai lupa untuk bernafas.

“Ah, pasti enak juga kalau memekku digitukan.” wanita itu membatin sambil mengusap-usap vaginanya sendiri. Benda itu mulai terasa basah.

“Ayo, Pak Karta, tusuk lagi lebih keras. Tusuk. Lebih keras!” Anita menceracau di sela-sela rintihannya.

Laki-laki tua yang dipanggil Pak Karta menyahut dengan geraman rendah, dan menusukkan penisnya untuk masuk lebih dalam lagi. Di atas, tangannya meremas-remas payudara Anita makin keras, membuat kulitnya yang putih mulus berubah menjadi memar kemerah-merahan. Putingnya yang mungil kecoklatan, kini tampak makin mencuat indah. Pak karta menunduk untuk menciumnya.

Laki-laki tua itu mencucup dan menjilatinya dengan penuh nafsu. Dia memilinnya dengan lidah, menggelitiknya dengan gusinya yang mulai ompong, dan membasahinya dengan air liur berbau tembakau murahan, kiri dan kanan secara bergantian. Anita yang mendapat serangan brutal seperti itu, cuma bisa menggelinjang sambil menjerit-jerit kecil. Matanya terpejam, sementara tangannya mendorong pinggul Pak karta agar bergerak makin kuat dan mantab.

“A-aku sudah mau k-keluar, Pak.” bisiknya parau.

Laki-laki tua itu segera mengatur posisi bokongnya untuk menyambut saat-saat yang membahagiakan itu. Diawali dengan jeritan panjang, tubuh Anita mengejang dan berkedut-kedut. Tangannya terkepal dengan mata terpejam rapat. Pahanya yang putih mulus menjepit pinggul renta si lelaki kuat-kuat dan dari dalam kemaluannya, menyembur cairan cinta lengket yang langsung merembes keluar saat si kakek menarik keluar penisnya.

“Ahh...ahhh..”

Anita menghela nafas pendek-pendek. Sisa-sisa orgasme yang masih dirasakannya membuat tubuh wanita cantik itu bergetar hebat. Di depannya, Pak Karta menampung semua cairan itu dan mengoleskannya rata ke paha dan perut Anita, hingga membuat kulit mulus wanita itu tampak makin mengkilat dan menggairahkan. Sisanya yang masih menetes-netes, dijilati oleh Anita

“Gede banget, Pak.” lirih wanita itu. Pak Karta tersenyum bangga,

“Bukan Neng aja yang bilang begitu.” sahutnya sambil kembali mencium bibir dan leher Sari yang jenjang. Tangannya merayap untuk meraih buah dada wanita itu dan meremas-remasnya dengan gemas.

“Empuk banget, Neng. Gede lagi.” jari-jarinya memilin dan menjepit puting payudara Sari yang menonjol dan kemudian menarik-nariknya pelan.

“Ohhh,” Sari langsung melenguh karenanya.

“Geli, Pak.” bisiknya mesra sambil menggelinjang. Anita yang menonton dari atas meja, cuma tertawa saja saat melihatnya.

Pak Karta kini menunduk untuk mencium dan menjilat bulatan kecil itu. Lidahnya bergerak liar, mencucup dan menghisap dengan gemas, membuat Sari yang sudah kegelian makin merintih-rintih tak karuan.

“S-sudah, Pak. Oooh... geli.” wanita itu menarik dadanya, menjauhkannya dari jangkauan Pak Karta agar lelaki itu tidak mempermainkannya lagi. Dia sudah benar-benar tak tahan. Sari sudah mempersiapkan memeknya ketika Pak Karta malah menyodorkan penisnya yang besar ke mulutnya.

“Emut dulu ya, Neng?” pinta laki-laki tua itu.

Dengan berat hati Sari mengangguk dan mengelus-elus daging panjang itu. Dia mengocoknya pelan sebelum akhirnya mengulumnya dengan penuh nafsu. Di dalam mulutnya, benda itu terasa semakin tegang dan membesar, membuat Sari jadi gelagapan dibuatnya. Penis itu juga berkedut-kedut terus, makin lama makin sering, tanda kalau tidak lama lagi benda itu akan segera meledak. Sari yang tidak mau itu terjadi, segera memuntahkannya. Dia belum merasakan benda itu mengaduk-aduk vaginanya. Terlalu sayang kalau sampai penis itu muncrat sekarang. Pak Karta harus orgasme di dalam vaginanya.

“Harus!” Sari bertekad, dia sudah telanjur bergairah.

Wanita itu segera telentang di lantai dan membuka kakinya lebar-lebar, mempersilahkan Pak Karta untuk segera menyetubuhinya. Vaginanya yang mungil kemerahan, tampak sudah sangat basah dan lengket. Pak Karta yang melihatnya, segera menindih dan mengarahkan penisnya tepat ke bibir kemaluan Sari.

“Bapak masukkan sekarang ya, Neng?” bisik laki-laki itu parau. Sari mengangguk. Dan bersamaan dengan itu, dirasakannya penis besar Pak Karta mulai mendesak masuk. Saat itulah, dari arah luar, seorang bocah kecil tiba-tiba berlari masuk.

“Adek?!” Anita berteriak panik.

Anaknya yang dari tadi bermain di luar rumah, tahu-tahu nyelonong ke tempat itu. Cepat wanita itu bangkit dan menyambar apa saja untuk menutupi tubuhnya yang telanjang. Begitu juga dengan Sari dan Pak Karta, kebingungan mereka mencari penutup tubuh untuk menghalangi pandangan bocah kecil itu.

“Ayo main di luar, Dek!” Anita merangkul putranya. Tapi bocah itu memberontak,

“Nggak mau. Adek mau main disini.”

Anita kebingungan. Di bawahnya, Sari melotot, menuntut agar Anita bisa segera menyelesaikan masalah itu. 

Posting Komentar

0 Komentar