NAUGHTY MOM
SINOPSIS:
Pagi yang
cerah, Dirgo menikmati kopinya dengan duduk di teras depan rumahnya, sesekali
melambai dan menyahuti sapaan orang-orang yang melintas di jalan depan
rumahnya, jalan desa kecil yang hanya ramai bila pagi dan sore hari ketika
warga kampung berangkat dan pulang dari sawah, maklumlah desa itu hanyalah desa
kecil di tepi hutan jati.
“Lukamu sudah
sembuh Go?” Tanya Darsono, Bapaknya, di tanganya tampak menenteng sebuah
cangkul, rupanya akan berangkat ke sawah.
“Sudah pak.”
jawab Dirgo.
Dirgo masih ingat betul peristiwa naas 2
minggu lalu. Siang itu panas terik, Dirgo sedang menyiram halaman rumahnya yang
berdebu ketika sebuah truk pasir melintas kencang dan melindas sebuah botol kratingdaeng.
Dirgo yang berdiri tenggak di pinggir jalan semula tak begitu perduli sampai
akhirnya ada rasa perih di selangkanganya ketika menengok ke bawah celana kolor
yang dipakainya telah bersimbah darah.
Sontak ia
berteriak minta tolong ibunya. Lebih parah lagi ibunya langsung pingsan melihat
anaknya berdarah darah, untunglah ada 2 orang tetangganya yang melintas dan
memberikan pertolongan. Alhasil 4 jahitan harus diterima kontol Dirgo dan
untungnya lukanya juga tak terlalu dalam, kalau di posisi tegang lukanya tepat
di bawah kepala kontol karena memang Dirgo ngga pernah memakai CD, kebetulan
ketika beling itu menggoresnya, kontolnya sedang menggelantung ke bawah.
“Bapak ke
sawah dulu Go.” pamit bapaknya yang sudah keluar dari halaman rumahnya.
“Ya pak.”
jawab Dirgo singkat.
Dipandanginya
punggung bapaknya yang bergerak menjauh dari pandangan. Darsono berkulit hitam
legam dengan otot-otot kekar khas orang desa, tapi tubuhnya kecil dengan tinggi
hanya 160cm, beda sekali dengan Dirgo anaknya di usia 18 tahun Dirgo sudah
173cm dengan kulit sawo matang dan atletis.
Mungkin Dirgo
mewarisi gen ibunya, Atikah sendiri adalah wanita bongsor dengan tinggi 168,
dan berat 65kg, dengan pantat dan dada nampak besar dan kencang, kulit kuning
langsat, mata hitam lebar dan bening, hidung sedang ngnggak terlalu mancung
tapi jauh dari pesek, bibir penuh dengan deretan gigi putih rapi. Dirgo sendiri
sangat bangga dengan kecantikan ibunya karena memang di desanya hanya beberapa
saja yang mampu sejajar dengan ibunya, baik itu kecantikan maupun kemolekan
tubuhnya.
“Lukamu udah
kering Go?” tanya Atikah ibu Dirgo dari ambang pintu dan sapu lidi di tanganya.
“Sudah kok
bu.” jawab Dirgo singkat. Atikah terdiam sesaat sebenarnya ada ganjalan dalam
hatinya yang ingin diungkapkan. Berawal dari percakapan dengan suaminya
semalam. Darsono rupanya khawatir kalau luka itu akan mengganggu kinerja dari kontol
anaknya.
“Kamu liat Bu kontol
anak kita, masih normal apa tidak?” kata Darsono malam itu.
“Liat
bagaimana pak? Lha wong tak bantu bersihkan lukanya dia tidak mau, tak
paksa juga tak mau.” jawab Atikah.
“Ya dibujuk
pelan-pelan Bu, aku lho kuatir, kalo kontolnya tidak bisa dipake, trus siapa
yang akan memberi kita cucu?”
Kata kata
Darsono masih terngiang di telinga Atikah. Dirgo adalah anak satu satunya,
sudah beberapa kali sejak musibah itu Atikah meminta untuk membantu merawat
lukanya tapi Dirgo dengan tegas menolak, dan rasanya percuma membujuk Dirgo
karena Atikah tau betul sifat anaknya, kukuh, ngotot dan keras kepala.
“Kamu mandi
dulu sana.” kata Atikah dan mulai rutinitasnya membersihkan halaman rumahnya
yang kotor oleh dedaunan kecil yang terbawa angin. Dirgo masih duduk di kursi
kayu dengan santainya tapi sepintas Atikah tahu kalau anaknya memperhatikanya,
yang sedang menyapu. Atikah tersenyum dalam hati, akhirnya ia tahu apa yang
harus di lakukan.
Dirgo nampak
gelisah duduk di kursi, bekas jahitan di kontolnya terasa gatal, biasanya dia
akan mengelus elus bekas jahitan itu bila dia sendirian di kamar, tapi ini di
teras rumah dan ada ibunya. Mungkin karena melihat ibunya rasa gatal itu muncul,
wanita matang yg sedang menyapu itu telah lama menarik perhatian Dirgo, meski
dibalut daster panjang semata kaki tapi bulatan dari buah pantat ibunya begitu
menggoda, dadanya yang montok dan terlihat berat menggantung menambah rasa geli
di kontolnya. Perlahan kontol itu bangun dari tidurnya, Dirgo menaikan kedua
kakinya ia tak mau ibunya melihat tenda di celana kolor yang dipakainya karena
memang dia tak memakai celana dalam.
“Hehhh.. “
Dirgo bernafas
berat ketika ibunya sudah masuk rumah, dengan cepat ia membetulkan letak kontolnya
yang tersangkut di kolornya, sejak luka itu mulai sembuh seminggu lalu ada yang
aneh dengan kontol Dirgo, sering kali tiba-tiba gatal dan tegang bila melihat
wanita dan sialnya di rumah ini ada wanita cantik yang selalu membuat gatal
bekas luka itu.
“Go, bantu ibu
nyuci ya?” ujar Atikah dari ambang pintu.
Dirgo menoleh,
jantung Dirgo seakan berhenti berdetak, ibunya telah berganti baju dan kini
hanya mengenakan daster dengan potongan leher rendah, nampak sedikit belahan
dadanya yang sesak berhimpitan ditampung oleh BH yang talinya terlihat berwarna
hitam.
“Kok malah
bengong? Ayo bantuin ambil air!” ujar Atikah lagi, terselip rasa bangga dalam
hati Atikah melihat betapa anaknya yang muda dan ganteng tampak begitu
terpesona melihat tubuhnya.
“I.. Iya Bu,
duluan deh aku habiskan kopi dulu.” jawab Dirgo beralasan. Dia hanya tidak
ingin ibunya melihat tenda besar di celana kolornya.
“Aman deh,
kalo gini kan ngaceng nggak begitu keliatan.” pikir Dirgo sambil tersenyum
mesum.
Bergegas Dirgo
ke belakang, nampak ibunya sedang merendam beberapa baju kotor ke dalam sebuah
ember plastik besar. Halaman belakang rumah Dirgo sudah dipagar tembok setinggi
2 meter. Sebuah sumur dengan kerekan ada di sudut kanan dimana ibunya sedang
mencuci baju disitu. Rimbunan pohon mangga membuat tempat itu selalu sejuk
walaupun matahari mulai bersinar terik.
“Ini diisi
penuh Go.” kata ibunya sambil mengangsurkan 2 ember plastik besar ke arah Dirgo
yang sudah memegang tali kerekan sumur. Dirgo mulai menimba air, ibunya tepat
disampingnya hanya terhalang 2 ember plastic. Atikah sendiri duduk di atas
bangku kecil dari kayu, dasternya yang rendah tentu saja tidak dapat menutupi
paha mulusnya, kuning langsat dengan bulu-bulu halus, bahkan beberapa kali
Dirgo dapat melihat ke arah celana dalam yang sedang dipakai ibunya.
“Sudah Go,
jangan terlalu penuh. Bantu Ibu ngucek ya?” kata Atikah.
“Ya bu.” jawab
Dirgo singkat sambil menyeret dingklik dan duduk di depan ibunya. Dirgo lalu
mengambil kaos kotor di rendaman dan mulai menguceknya dengan sabun. Mereka
duduk berhadapan, Atikah duduk di depan anaknya dengan kaki terbuka lebar, paha
mulusnya tampak berkilau karena beberapa kali terpercik air sabun.
“Ini gila.”
bisik suara hati Atikah, ia tahu anaknya bahkan bisa melihat rimbunan rambut di
memeknya karena memang celana dalam yg dipakainya juga tipis. Ini tabu dan
memalukan tapi ada perasaan aneh membuainya dalam birahi yang memabukan.
“Sekolahmu
kapan masuk Go?” tanya Atikah sambil menunduk mengucek gamis yang kemarin
dipakainya buat arisan PKK.
“Masih
seminggu lagi bu.” jawab Dirgo. Sekolah memang sedang libur panjang kenaikan
kelas.
Dirgo begitu
terpukau dengan paha paha mulus di depannya, begitu halus, begitu mulus, begitu
dekat hanya sejangkauan tangan dan hebohnya ibunya tak berusaha menutupi
auratnya yang terbuka. Kontol Dirgo menggeliat geli dan perlahan mengeras
kokoh. Atikah melirik sepintas ke selangkangan Dirgo, tampak senyum kecil
disudut bibirnya,
“Anakku
masih bisa ngaceng, tapi apa iya sebesar itu?” pikir Atikah karena melihat
bayangan mentimun besar di selangkangan anaknya.
“Kamu pacaran
sama Dini ya?” tanya Atikah sambil meneruskan ucekan yang tinggal 2 buah sarung
milik suaminya.
“Ngnggak Bu,
memang Ibu dengar dari siapa?” kata Dirgo balik bertanya, mata ibunya yang
selalu tertunduk pada cucian, membuat mata Dirgo berpesta pora menikmati
mulusnya bagian bawah tubuh ibunya.
“Dari tetangga
waktu belanja di depan.” jelas ibunya, depan rumah Dirgo tiap jam 5 pagi memang
ada penjual sayur keliling yang selalu ramai dengan ibu-ibu. Dini sendiri
adalah adik kelas Dirgo dan juga tetangganya.
“Halah cums gosip
Bu, eh sarungnya biar Dirgo ucek, Ibu yang bilas.”
Atikah
menyerahkan sarung yang baru mau diuceknya, berdiri dan mulai membilas pakaian
yang telah diucek dengan sabun. Ember yang rendah membuatnya harus membilas
dengan posisi menunduk rendah, Dirgo terkesiap potongan daster yang rendah itu
membuat buah dada ibunya seakan mau loncat keluar. Kutang hitam itu seakan tak
cukup muat untuk menampung buah dada Atikah yang menggelembung indah. Dirgo
mengernyit, ada sedikit nyeri di bekas luka karena kontolnya sudah tegang sekali.
“Hadeh gila!
Gede banget Bu..” bisik Dirgo dalam hati.
“Bu dasternya
baru ya?” celetuk Dirgo tiba tiba. Atikah terkejut dan sekejap merah mukanya karena
malu.
“Nggak nak,
daster jelek gini, bapakmu yang ngnggak suka kalau Ibu pakai siang hari..”
jawabnya.
“Bapak katrok
sih, ibu pantes dan cantik kalo pake baju ini.” jawab Dirgo sebenarnya dia
ingin bilang sexy tapi takut nanti ibunya tersinggung.
“Sebenarnya Ibu
juga suka daster ini, ngnggak ribet juga adem, malah Ibu punya 2, yang ijo ini
sama merah di lemari, kainnya juga halus.. “ jelas Atikah.
“Masa sih..”
ucap Dirgo setengah tak percaya, ia mengelap tanganya yang berlumur sabun
dengan bagian belakang celana kolornya. Kemudian dengan berani menjangkau sisi
samping buah dada ibunya dengan pura pura merasakan kehalusan bahan kain daster
itu.
Atikah
terkesiap, darahnya berdesir, anak kandungnya berani dan dengan sengaja
menjamah susunya, meski hanya bagian samping luar tapi tetap sensasi itu
terbawa ke memeknya yang mendadak geli dan mengeluarkan cairan kental hangat,
Atikah tahu celana dalamnya telah basah dibagian depan.
Dirgo sendiri
sudah tak kuat lagi, selesai ucekan terakhir sarung bapaknya Dirgo langsung mennggakhiri
acara mencuci penuh nafsu itu, pergi ke kamar dan mengocok kontolnya sambil
menghayal ngentot dengan ibunya.
Posting Komentar
0 Komentar