GUNDIK
SINOPSIS:
Lelaki itu
terus mencangkulkan sekopnya. Walau malam membentang gelap menggulita
diselimuti kabut, ia bekerja dengan cepat. Terus menggali, hingga terbentuklah
sebuah lubang kecil cukup dalam. Sejenak, ia mengusap peluh. Menarik napas di
tempat yang hanya diterangi oleh sebuah lampu senter besar di rumput. Ia lalu
mengangkat sebungkus kain putih kecil dekat kakinya. Menaruhnya hati-hati ke
dalam lubang tanpa membuang waktu.
“Maafkan
aku, Diana. Maafkan aku…” batin sang Lelaki gelisah sembari buru-buru
mengubur kain berisi seonggok jasad itu. Lolongan anjing di kejauhan
membumbung, seakan menangisi prosesi pemakaman senyap tersebut.
***
“Rokok?”
Sesosok pria
berjaket kulit hitam lusuh menyodorkan kotak tembakau pada gadis berseragam
polisi lengkap yang baru saja didekatinya. Walau pencahayaan di area halaman
itu terkesan remang berselimutkan purnama, sang Polisi Wanita bisa menyadari
bahwa atasannya tersebut tengah mengulurkan merk Black Russian Sobranie.
Jenis impor yang mahal, ber-tar halus 5 mg. amun, jelas, karena ia tidak
merokok, maka tawaran itu pun sopan ditolaknya.
“Emmh, nggak,
Pak, makasih. Bapak kan tau kalau saya nggak merokok, hehehe.” balasnya sambil
tertawa.
Si Pria
berjaket hitam, yang gurat wajah kasarnya mengabarkan aura lelah dan stress,
kembali memasukan Black Russian-nya tersebut ke dalam saku. Berganti
mengayunkan sekaleng kopi Nescafe moccha kepada si Polwan.
Menyunggingkan bibir, seakan tahu tawaran yang satu ini tak mungkin ditolaknya.
“Kopi?” Polisi
Wanita cantik itu lantas berbinar. Meraih cairan segar nan nikmat kesukaannya
disertai senyum tertahan.
“Mmmh, terima
kasih, Pak. Sepertinya saya membutuhkan ini.” Tanpa basa-basi, gadis tersebut
langsung membuka segelnya lalu menyesap seteguk hapuskan kepenatan.
Zahra, itulah
untaian nama yang tercetak di label seragam polisi berlengan pendek kelabunya.
Lengkapnya, Briptu. Zahratul Rahma. Biasa dipanggil Zahra atau Rara. Memiliki
wajah anggun dan sensual khas model majalah, namun tak alpa memancarkan rona
ketegasan serta kekuatan diri. Lekuk-lekuk tubuh pesona kewanitaanya sempurna,
tercetak indah pada baju dinas harian yang membalut ketat. Atletis. Memiliki
sepasang kaki jenjang putih yang mulus. Sepasang kaki yang cukup kuat, bahkan
untuk merubuhkan lelaki dengan satu tendangan.
Dan kini,
gadis yang sehari-harinya selalu tampil stylish dengan rambut terpotong pendek
itu pasti menyadari, bahwa malam itu akan terasa amat panjang. Detik ini ia
tengah berada di sudut gelap halaman depan sebuah rumah besar di kawasan elite
kota bagian utara. Bukan untuk pesta kebun, atau kunjungan tak resmi
kekeluargaan. Namun, karena tugas. Ia mengambil lembur, dan sudah menjadi
konsekuensinya harus siap dideploy mendadak mengamankan sebuah TKP.
Setahu Rara,
korban, sekaligus pemilik rumah besar berkolam renang ini, adalah seorang
pengusaha restoran yang cukup ternama. Suka tidak suka, pastinya akan menarik
perhatian masyarakat plus insan pemburu berita dari segala penjuru. Sang Polwan
memandangi wajah atasannya dengan sorot sarat simpati. Tak heran merengut amat
kusut seakan hendak meledak.
“Gimana, Her?
Kau masih bertahan dengan teori binatang buasmu itu? Binatang apa yang bisa
menyelinap ke rumah ini secara halus lalu pergi begitu saja?”
Rara sedang
terpejam mendongak nikmati kopi dari kalengnya kala suara parau itu terdengar.
Satu sosok lelaki lagi muncul menghampiri. Kali ini, mengenakan kemeja putih
rapi dengan lengan tergulung sesiku. Satu yang unik darinya adalah kaca mata
tebal serta tampang psikopatnya. Dingin, tanpa ekspresi. Tatap matanya seakan
curahkan ribuan prasangka.
“Oke.
Menurutmu, bagaimana? Satu-satunya petunjuk adalah bulu-bulu binatang yang
bersebaran di banyak tempat. Yang terpenting, di tangan serta kuku korban.
Jelas, itu adalah sisa-sisa perlawanan. Dan, sosok penyerang korban tentu bukan
manusia!”
“Kecuali…,” Si
Pria Dingin berkerut membetulkan kaca matanya.
“Kecuali
manusia berbulu binatang.”
“Ini
benar-benar gila, Her. Maksudku… ya, cuma itu yang bisa simpulkan dari
bukti-bukti yang ada di tempat kejadian. Hanya dugaan awal. Mungkin, kita harus
menunggu penyidikan lebih lanjut dan hasil otopsi dari rumah sakit.”
“Tsch!
Bangsat!” Si Jaket Kulit, menghempaskan puntung rokoknya sembari mengumpat.
“Bahkan untuk
dugaan awal pun, sudah terdengar amat konyol. Tapi apa boleh buat?”
Rara menyimak
kedua lelaki di depannya ini dengan cermat. Si Jaket Kulit, adalah AKP. Heri
Bimantara, komandannya di kantor kesatuan sektor. Sedangkan si dingin berkemeja
putih, adalah Iptu. Danny Rezaldi, dari unit reskrim. Mereka sudah lama bekerja
saling mengenal dekat.
“Eh?”
Rara tetiba terkejut kala mendapati Danny
tengah menatapnya tajam-tajam. Gadis itu tahu, bahwa tonjolan payudara
kencangnya yang tercetak bulat di balik sempit seragam menjadi sasaran mata.
Namun anehnya, tak ada raut atau rona mesum sedikit pun di wajah Danny. Tetap
kokoh dingin tanpa ekspresi.
“Korban
dicabik-cabik secara brutal. Dadanya dirobek, serta jantungnya menghilang tanpa
bekas.”
“Huh?”
Selanjutnya, hanya rasa dongkol yang mengisi
benak Zahra saat Iptu. Danny secara santai kembali beralih menatap Heri. Begitu
tenang tanpa dosa.
“Kenapa… hanya
jantung? Tidak liver? Tidak usus? Tidak ginjal? Semua bagian tubuh lainnya
masih lengkap tersisa. Binatang persetan macam apa ini?” lanjut si Detektif
Psycho.
“M-m-mungkin...
pembunuh tersebut melakukan pengelabuan, barangkali?” celetuk Rara. Tak tahan
hanya dijadikan pemanis, sang Polwan pun akhirnya turut rembuk berbicara,
“Yah, maksud
saya, menaburkan bulu-bulu binatang di sekitar lokasi kejadian? Untuk
membingungkan penyidikan?” AKP. Heri berdehem
“Ya, itulah
kesimpulan yang sangat saya harapkan, Rara. Tapi setidaknya berikanlah saya
bukti. Apa pun. Yang menunjukkan adanya kehadiran manusia asing di rumah ini.”
ucapnya.
“Sidik jari,
lah. sisa puntung rokok, lah. Anything. Belum kita dapatkan. Dan, saya
hanya akan menarik kesimpulan melalui BUKTI, bukan dugaan-dugaan berdasar
logika. Kalau bukti yang ada mengarahkan pada sosok gorila raksasa, ya jadilah
kesimpulan itu! Persetan kalau ini tidak logis!" Rara terdiam tanpa
kata-kata.
“Selain dua
pembantu serta seorang supir, korban tinggal sendirian di rumah ini. Tentunya,
kehadiran tamu akan meninggalkan suatu petunjuk atau kesaksian. Namun, semua
nihil. Saat kejadian, mereka mengaku sedang ada di kamar masing-masing. Tak
menemui satu hal yang mencurigakan. Bukti yang mengarahkan pada ketiga orang
tadi sebagai pelaku pun, tidak ada. Atau, belum kami temukan.” sambung Danny,
seakan ingin mempertebal raut ketercengangan Rara. Lelaki itu lalu merogoh
kantongnya dan mengambil sebatang Marlboro, bergabung dengan Heri kepulkan
asap.
“Hhh, berdoa
saja kesimpulan otopsi dari rumah sakit bisa memberikan pencerahan.” AKP. Heri
menggaruk-garuk kepala.
“Saya ingin
mendengar kesimpulan yang logis mengenai kondisi leher korban yang hampir
putus! Dipotong secara bagaimana, dan memakai alat apa! Saya tak ingin
mendengar jika itu benar gigitan taring binatang!” Ia tak henti memisuh.
“Oh… well,
ya Tuhan…”
Rara menarik napas dalam-dalam hisapi udara
malam yang seketika itu menghadirkan sensasi beku pada paru-parunya. Gumpalan
asap putih berhambur keluar ketika ia menghembuskannya kembali. Begitu dingin,
tepat jam 01.11 pagi. Benar-benar membingungkan. Ah, bisa jadi ikutan gila
kalau aku nekad ikutin pembicaraan diskusi mereka! Officer berpangkat Brigadir
Satu itu membatin. Glup! Rara menandaskan kaleng kopinya hingga kosong dengan
sekali teguk, sebelum ia berkata sopan mohon diri untuk berjalan-jalan di rumah
megah bergaya eropa klasik tersebut, amati TKP.
Tak ada yang
benar-benar menarik perhatian Rara sepanjang ia langkahkan kaki susuri hunian
itu. Tipikal khas rumah mewah. Halaman hijau asri, dihiasi lampu-lampu taman
bulat temaram, garasi berikut area carport yang luas, serta beranda depan yang
dihiasi pot-pot tanaman eksotis tunjukkan bawa si penghuni rumah hobi merawat
anggrek. Ketengangan itu, barulah terasa ketika Rara beringsut lewati pintu
masuk terbuka lebar hadirkan diri di ruang tamu.
Dibarengi
sorot mata yang kaku terpana, perlahan bulu kuduk Rara merinding. Di dalam
sana, memang masih cukup banyak tersebar anggota reserse anak buah Inspektur
Satu Danny melakukan pekerjaan kumpulkan bukti serta petunjuk-petunjuk dengan
peralatan khusus mereka, beberapa tampak sibuk mengambil gambar gunakan kamera
lalu memasukan objek-objek penting ke dalam evidence bag. Namun,
suasananya amatlah sunyi. Semua bekerja dalam diam dan rendah berbisik.
Rara sekilas
mendelik ke arah pintu kamar tidur utama kala ia berjalan mengitari ruang
tengah. Aroma mati serta hawa dingin kejahatan kian berdesir. Menurut dugaan
yang terbentuk dari situasi awal tempat perkara, korban dibunuh dan
dicabik-cabik di depan sofa TV kemudian tubuhnya diseret di atas lantai
berpindah ke ruang tidur. Kentara dari pola bercakan darah yang meluber di
mana-mana sepanjang jalur antara ruang TV dan kamar tidur. Mayat korban sendiri
kini sudah dievakuasi ke RSPU demi kepentingan otopsi. Namun Rara sempat
melihat kondisi pria malang itu yang tubuhnya hancur tercincang-cincang bak
diserang sesuatu yang buas.
Binatang?
Monster? Ah, terkadang, manusia pun mampu berbuat sebuas itu. Tapi, bagaimana
dengan bulu-bulu tadi? Atau, dengan bahasa lebih tepat, rambut-rambut tadi?
Rambut-rambut ganjil yang diduga kuat milik sejenis binatang yang sampai detik
ini belum teridentifikasi?
Rara menggeser
kaki dekati sebuah perapian besar di samping pintu kamar. Langkahnya dibuat
hati-hati agar tak menginjak cipratan darah yang memerah kental dekat sana.
Tepat di atas tempat menghangatkan diri tersebut, tergantung sebuah lukisan
abstrak yang sedikit menyita perhatian. Termenung sejenak.
“….”
“Seperti
ada cipratan-cipratan dara, tinta lukisan kah?”
“Ah, sudah
pasti tim forensik.”
“Permis..”
“Hwaaahh!!!”
Bahu Rara
seketika berguncang tatkala tiba-tiba ada sentuhan pelan yang dirasai tubuhnya.
Gadis cantik itu berbalik serta merta. Merona malu, karena sempat membuat
petugas-petugas di sana menoleh penasaran. Dua pasang bola mata bertatap. Deru
nafas mengeras. Degup jantung menguat. Di depan Rara, kini berdiri seorang
lelaki yang sepertinya tidak ia kenal. Seorang maskulin dengan wajah ditumbuhi
kumis serta janggut halus yang sangat…
“Ermmm…
m-maaf, Bu. saya nggak bermaksud mengagetkan, Ibu.”
“….”
“Ah, saya
dokter Azril Ferruchi, asisten dari dokter Gazi Al-Fekir kepala bagian otopsi
di RSPU, kedatangan say ingin bertemu
dengan pak AKP Heri Bimantara, adakah beliau di sini?”
“….”
“Sangat
tampan.”
“….”
“Jenazah sudah
kami terima dan kami simpan di ruang khusus. Saya perlu berbicara dengan Pak
Heri membahas satu atau dua hal. Bisakah?”
“….”
“Bu?”
“EH?!? Ah,
hahaha. Tolong, j-jangan panggil saya ibu! Panggil aja Zahra, atau Rara.”
“Haeh?
Aduuuuh! Aku ini ngomong apa, sih?”
Rara menepuk
keningnya satu kali untuk memulihkan diri dari rasa gugup. Panik, bingung,
kagum, dan terpesona beraduk jadi satu. Jelas, harus Rara akui pesona
kelelakian si dokter bersetelan koboi ini telak mencuri habis kesadarannya.
Andai ia tak menyebut profesinya tadi, mungkin Rara tak akan pernah tahu.
Bagaimana mungkin dia seorang dokter? Kemeja flanel kotak-kotak, sabuk kulit
berkepala muka banteng, celana jeans biru tua, sepatu hiking petualang.
“Calm down!
Calm down, Sweetie. Kelamaan jomblo jadi gini, nih, eh!” Rara berdehem.
“Pak Heri ada
di sini, Mas. Kalau mau saya antar, saya punya waktu. Mari, ikut saya.” Tawar
Rara dengan intonasi suara yang lebih berwibawa dan raut penuh ketenangan,
meski, semburat merah malu itu masih belum mampu ia sembunyikan. Pria itu pun
kontan mengangkat alis disertai sebuah anggukan sopan sebelum sesaat kemudian
mengikuti langkah Rara yang berjalan anggun dari belakang.
Posting Komentar
0 Komentar