GUNDIK

 



SINOPSIS:

Polwan cantik yang sedang menyelidiki kasus kematian misterius bertemu dengan seorang dokter tampan nan menawan. Pertemuan yang membuatnya jatuh cinta, hal yang tidak diketahuinya adalah sang dokter ternyata memiliki hubungan erat terhadap kasus yang tengah diselidikinya.

Genre : Horror Erotic

Format : File PDF

Jumlah Halaman : 82 Halaman

HARGA : Rp 10.000


PROLOG

Lelaki itu terus mencangkulkan sekopnya. Walau malam membentang gelap menggulita diselimuti kabut, ia bekerja dengan cepat. Terus menggali, hingga terbentuklah sebuah lubang kecil cukup dalam. Sejenak, ia mengusap peluh. Menarik napas di tempat yang hanya diterangi oleh sebuah lampu senter besar di rumput. Ia lalu mengangkat sebungkus kain putih kecil dekat kakinya. Menaruhnya hati-hati ke dalam lubang tanpa membuang waktu.

“Maafkan aku, Diana. Maafkan aku…” batin sang Lelaki gelisah sembari buru-buru mengubur kain berisi seonggok jasad itu. Lolongan anjing di kejauhan membumbung, seakan menangisi prosesi pemakaman senyap tersebut.

***

“Rokok?”

Sesosok pria berjaket kulit hitam lusuh menyodorkan kotak tembakau pada gadis berseragam polisi lengkap yang baru saja didekatinya. Walau pencahayaan di area halaman itu terkesan remang berselimutkan purnama, sang Polisi Wanita bisa menyadari bahwa atasannya tersebut tengah mengulurkan merk Black Russian Sobranie. Jenis impor yang mahal, ber-tar halus 5 mg. amun, jelas, karena ia tidak merokok, maka tawaran itu pun sopan ditolaknya.

“Emmh, nggak, Pak, makasih. Bapak kan tau kalau saya nggak merokok, hehehe.” balasnya sambil tertawa.

Si Pria berjaket hitam, yang gurat wajah kasarnya mengabarkan aura lelah dan stress, kembali memasukan Black Russian-nya tersebut ke dalam saku. Berganti mengayunkan sekaleng kopi Nescafe moccha kepada si Polwan. Menyunggingkan bibir, seakan tahu tawaran yang satu ini tak mungkin ditolaknya.

“Kopi?” Polisi Wanita cantik itu lantas berbinar. Meraih cairan segar nan nikmat kesukaannya disertai senyum tertahan.

“Mmmh, terima kasih, Pak. Sepertinya saya membutuhkan ini.” Tanpa basa-basi, gadis tersebut langsung membuka segelnya lalu menyesap seteguk hapuskan kepenatan.

Zahra, itulah untaian nama yang tercetak di label seragam polisi berlengan pendek kelabunya. Lengkapnya, Briptu. Zahratul Rahma. Biasa dipanggil Zahra atau Rara. Memiliki wajah anggun dan sensual khas model majalah, namun tak alpa memancarkan rona ketegasan serta kekuatan diri. Lekuk-lekuk tubuh pesona kewanitaanya sempurna, tercetak indah pada baju dinas harian yang membalut ketat. Atletis. Memiliki sepasang kaki jenjang putih yang mulus. Sepasang kaki yang cukup kuat, bahkan untuk merubuhkan lelaki dengan satu tendangan.

Dan kini, gadis yang sehari-harinya selalu tampil stylish dengan rambut terpotong pendek itu pasti menyadari, bahwa malam itu akan terasa amat panjang. Detik ini ia tengah berada di sudut gelap halaman depan sebuah rumah besar di kawasan elite kota bagian utara. Bukan untuk pesta kebun, atau kunjungan tak resmi kekeluargaan. Namun, karena tugas. Ia mengambil lembur, dan sudah menjadi konsekuensinya harus siap dideploy mendadak mengamankan sebuah TKP.

Setahu Rara, korban, sekaligus pemilik rumah besar berkolam renang ini, adalah seorang pengusaha restoran yang cukup ternama. Suka tidak suka, pastinya akan menarik perhatian masyarakat plus insan pemburu berita dari segala penjuru. Sang Polwan memandangi wajah atasannya dengan sorot sarat simpati. Tak heran merengut amat kusut seakan hendak meledak.

“Gimana, Her? Kau masih bertahan dengan teori binatang buasmu itu? Binatang apa yang bisa menyelinap ke rumah ini secara halus lalu pergi begitu saja?”

Rara sedang terpejam mendongak nikmati kopi dari kalengnya kala suara parau itu terdengar. Satu sosok lelaki lagi muncul menghampiri. Kali ini, mengenakan kemeja putih rapi dengan lengan tergulung sesiku. Satu yang unik darinya adalah kaca mata tebal serta tampang psikopatnya. Dingin, tanpa ekspresi. Tatap matanya seakan curahkan ribuan prasangka.

“Oke. Menurutmu, bagaimana? Satu-satunya petunjuk adalah bulu-bulu binatang yang bersebaran di banyak tempat. Yang terpenting, di tangan serta kuku korban. Jelas, itu adalah sisa-sisa perlawanan. Dan, sosok penyerang korban tentu bukan manusia!”

“Kecuali…,” Si Pria Dingin berkerut membetulkan kaca matanya.

“Kecuali manusia berbulu binatang.”

“Ini benar-benar gila, Her. Maksudku… ya, cuma itu yang bisa simpulkan dari bukti-bukti yang ada di tempat kejadian. Hanya dugaan awal. Mungkin, kita harus menunggu penyidikan lebih lanjut dan hasil otopsi dari rumah sakit.”

“Tsch! Bangsat!” Si Jaket Kulit, menghempaskan puntung rokoknya sembari mengumpat.

“Bahkan untuk dugaan awal pun, sudah terdengar amat konyol. Tapi apa boleh buat?”

Rara menyimak kedua lelaki di depannya ini dengan cermat. Si Jaket Kulit, adalah AKP. Heri Bimantara, komandannya di kantor kesatuan sektor. Sedangkan si dingin berkemeja putih, adalah Iptu. Danny Rezaldi, dari unit reskrim. Mereka sudah lama bekerja saling mengenal dekat.

“Eh?”

 Rara tetiba terkejut kala mendapati Danny tengah menatapnya tajam-tajam. Gadis itu tahu, bahwa tonjolan payudara kencangnya yang tercetak bulat di balik sempit seragam menjadi sasaran mata. Namun anehnya, tak ada raut atau rona mesum sedikit pun di wajah Danny. Tetap kokoh dingin tanpa ekspresi.

“Korban dicabik-cabik secara brutal. Dadanya dirobek, serta jantungnya menghilang tanpa bekas.”

“Huh?”

 Selanjutnya, hanya rasa dongkol yang mengisi benak Zahra saat Iptu. Danny secara santai kembali beralih menatap Heri. Begitu tenang tanpa dosa.

“Kenapa… hanya jantung? Tidak liver? Tidak usus? Tidak ginjal? Semua bagian tubuh lainnya masih lengkap tersisa. Binatang persetan macam apa ini?” lanjut si Detektif Psycho.

“M-m-mungkin... pembunuh tersebut melakukan pengelabuan, barangkali?” celetuk Rara. Tak tahan hanya dijadikan pemanis, sang Polwan pun akhirnya turut rembuk berbicara,

“Yah, maksud saya, menaburkan bulu-bulu binatang di sekitar lokasi kejadian? Untuk membingungkan penyidikan?” AKP. Heri berdehem

“Ya, itulah kesimpulan yang sangat saya harapkan, Rara. Tapi setidaknya berikanlah saya bukti. Apa pun. Yang menunjukkan adanya kehadiran manusia asing di rumah ini.” ucapnya.

“Sidik jari, lah. sisa puntung rokok, lah. Anything. Belum kita dapatkan. Dan, saya hanya akan menarik kesimpulan melalui BUKTI, bukan dugaan-dugaan berdasar logika. Kalau bukti yang ada mengarahkan pada sosok gorila raksasa, ya jadilah kesimpulan itu! Persetan kalau ini tidak logis!" Rara terdiam tanpa kata-kata.

“Selain dua pembantu serta seorang supir, korban tinggal sendirian di rumah ini. Tentunya, kehadiran tamu akan meninggalkan suatu petunjuk atau kesaksian. Namun, semua nihil. Saat kejadian, mereka mengaku sedang ada di kamar masing-masing. Tak menemui satu hal yang mencurigakan. Bukti yang mengarahkan pada ketiga orang tadi sebagai pelaku pun, tidak ada. Atau, belum kami temukan.” sambung Danny, seakan ingin mempertebal raut ketercengangan Rara. Lelaki itu lalu merogoh kantongnya dan mengambil sebatang Marlboro, bergabung dengan Heri kepulkan asap.

“Hhh, berdoa saja kesimpulan otopsi dari rumah sakit bisa memberikan pencerahan.” AKP. Heri menggaruk-garuk kepala.

“Saya ingin mendengar kesimpulan yang logis mengenai kondisi leher korban yang hampir putus! Dipotong secara bagaimana, dan memakai alat apa! Saya tak ingin mendengar jika itu benar gigitan taring binatang!” Ia tak henti memisuh.

“Oh… well, ya Tuhan…”

 Rara menarik napas dalam-dalam hisapi udara malam yang seketika itu menghadirkan sensasi beku pada paru-parunya. Gumpalan asap putih berhambur keluar ketika ia menghembuskannya kembali. Begitu dingin, tepat jam 01.11 pagi. Benar-benar membingungkan. Ah, bisa jadi ikutan gila kalau aku nekad ikutin pembicaraan diskusi mereka! Officer berpangkat Brigadir Satu itu membatin. Glup! Rara menandaskan kaleng kopinya hingga kosong dengan sekali teguk, sebelum ia berkata sopan mohon diri untuk berjalan-jalan di rumah megah bergaya eropa klasik tersebut, amati TKP.

Tak ada yang benar-benar menarik perhatian Rara sepanjang ia langkahkan kaki susuri hunian itu. Tipikal khas rumah mewah. Halaman hijau asri, dihiasi lampu-lampu taman bulat temaram, garasi berikut area carport yang luas, serta beranda depan yang dihiasi pot-pot tanaman eksotis tunjukkan bawa si penghuni rumah hobi merawat anggrek. Ketengangan itu, barulah terasa ketika Rara beringsut lewati pintu masuk terbuka lebar hadirkan diri di ruang tamu.

Dibarengi sorot mata yang kaku terpana, perlahan bulu kuduk Rara merinding. Di dalam sana, memang masih cukup banyak tersebar anggota reserse anak buah Inspektur Satu Danny melakukan pekerjaan kumpulkan bukti serta petunjuk-petunjuk dengan peralatan khusus mereka, beberapa tampak sibuk mengambil gambar gunakan kamera lalu memasukan objek-objek penting ke dalam evidence bag. Namun, suasananya amatlah sunyi. Semua bekerja dalam diam dan rendah berbisik.

Rara sekilas mendelik ke arah pintu kamar tidur utama kala ia berjalan mengitari ruang tengah. Aroma mati serta hawa dingin kejahatan kian berdesir. Menurut dugaan yang terbentuk dari situasi awal tempat perkara, korban dibunuh dan dicabik-cabik di depan sofa TV kemudian tubuhnya diseret di atas lantai berpindah ke ruang tidur. Kentara dari pola bercakan darah yang meluber di mana-mana sepanjang jalur antara ruang TV dan kamar tidur. Mayat korban sendiri kini sudah dievakuasi ke RSPU demi kepentingan otopsi. Namun Rara sempat melihat kondisi pria malang itu yang tubuhnya hancur tercincang-cincang bak diserang sesuatu yang buas.

Binatang? Monster? Ah, terkadang, manusia pun mampu berbuat sebuas itu. Tapi, bagaimana dengan bulu-bulu tadi? Atau, dengan bahasa lebih tepat, rambut-rambut tadi? Rambut-rambut ganjil yang diduga kuat milik sejenis binatang yang sampai detik ini belum teridentifikasi?

Rara menggeser kaki dekati sebuah perapian besar di samping pintu kamar. Langkahnya dibuat hati-hati agar tak menginjak cipratan darah yang memerah kental dekat sana. Tepat di atas tempat menghangatkan diri tersebut, tergantung sebuah lukisan abstrak yang sedikit menyita perhatian. Termenung sejenak.

“….”

“Seperti ada cipratan-cipratan dara, tinta lukisan kah?”

“Ah, sudah pasti tim forensik.”

“Permis..”

“Hwaaahh!!!”

Bahu Rara seketika berguncang tatkala tiba-tiba ada sentuhan pelan yang dirasai tubuhnya. Gadis cantik itu berbalik serta merta. Merona malu, karena sempat membuat petugas-petugas di sana menoleh penasaran. Dua pasang bola mata bertatap. Deru nafas mengeras. Degup jantung menguat. Di depan Rara, kini berdiri seorang lelaki yang sepertinya tidak ia kenal. Seorang maskulin dengan wajah ditumbuhi kumis serta janggut halus yang sangat…

“Ermmm… m-maaf, Bu. saya nggak bermaksud mengagetkan, Ibu.”

“….”

“Ah, saya dokter Azril Ferruchi, asisten dari dokter Gazi Al-Fekir kepala bagian otopsi di RSPU, kedatangan say     ingin bertemu dengan pak AKP Heri Bimantara, adakah beliau di sini?”

“….”

“Sangat tampan.”

“….”

“Jenazah sudah kami terima dan kami simpan di ruang khusus. Saya perlu berbicara dengan Pak Heri membahas satu atau dua hal. Bisakah?”

“….”

“Bu?”

“EH?!? Ah, hahaha. Tolong, j-jangan panggil saya ibu! Panggil aja Zahra, atau Rara.”

“Haeh? Aduuuuh! Aku ini ngomong apa, sih?”

Rara menepuk keningnya satu kali untuk memulihkan diri dari rasa gugup. Panik, bingung, kagum, dan terpesona beraduk jadi satu. Jelas, harus Rara akui pesona kelelakian si dokter bersetelan koboi ini telak mencuri habis kesadarannya. Andai ia tak menyebut profesinya tadi, mungkin Rara tak akan pernah tahu. Bagaimana mungkin dia seorang dokter? Kemeja flanel kotak-kotak, sabuk kulit berkepala muka banteng, celana jeans biru tua, sepatu hiking petualang.

“Calm down! Calm down, Sweetie. Kelamaan jomblo jadi gini, nih, eh!” Rara berdehem.

“Pak Heri ada di sini, Mas. Kalau mau saya antar, saya punya waktu. Mari, ikut saya.” Tawar Rara dengan intonasi suara yang lebih berwibawa dan raut penuh ketenangan, meski, semburat merah malu itu masih belum mampu ia sembunyikan. Pria itu pun kontan mengangkat alis disertai sebuah anggukan sopan sebelum sesaat kemudian mengikuti langkah Rara yang berjalan anggun dari belakang.



Posting Komentar

0 Komentar