TENTACLES
SINOPSIS:
Percikan air
laut membasahi sweater hitamku saat turun dari kapal motor yang kami tumpangi.
Suasana pantai yang damai sedikit mengobati lelah dan duka kami. Lima tahun
setelah lulus SMA, setelah semua anak-anak remaja itu tumbuh dewasa dan mulai belajar
akan kenyataan dunia, kami mendapat kabar bahwa Bu Rasti, wali kelas kami
tercinta di kelas XII IPA 3 meninggal dunia.
Kabar itu
datang melalui sebuah surat dengan kertas hitam, tidak hanya kepadaku, semua
teman sekelasku mendapatkannya. Tentu saja kami terkejut dengan berita itu,
kelas XII IPA 3, angkatan ke-8 memang kelas yang sangat dekat dengan Bu Rasti,
beliau bukan hanya sosok guru cantik yang disegani, cara mengajarnya dalam
Biologi pun mudah dimengerti. Tapi lebih dari itu, beliau adalah motivator
terbaik kami. Masih segar dalam ingatan kata-kata yang dikatakan Bu Rasti
kepadaku ketika aku galau saat ingin mengirimkan naskah ceritaku pada penerbit.
“Laila,
jangan takut gagal, justru banyak-banyaklah gagal, karena dari sana kamu bisa
belajar bagaimana caranya untuk jadi pemenang!”
Itu adalah
kalimat yang menjadi motivasiku, tiga tahun ditolak penerbit, belasan naskah
kembali ke rumahku, hingga akhirnya dua tahun lalu aku berhasil menerbitkan
buku pertama. Novel detektif Lentera Anomali yang kini laris di pasaran,
sekarang sedang mengerjakan jilid ketiga. Jasa-jasa Bu Rasti itulah yang
membuat kami sekarang berada di pulau ini, karena pulau kecil yang entah apa
namanya ini adalah kampung halaman Bu Rasti, serta tempat dimana beliau akan
dimakamkan.
Aku dan enam
kawanku lainnya memang baru datang hari ini, ada Jessie yang pakaiannya paling
seksi, Sri si kacamata yang dulu pernah menang lomba karya tulis ilmiah, Arman
si ketua kelas dan kapten tim basket yang kini bertindak sebagai organizer
kami, menyiapkan travel dan segalanya, memang cowok yang bisa diandalkan! Lalu
ada Kribo yang punya banyak kelakar, kudengar dia kini jadi Youtuber yang
membuat konten vlog dan video-video lucu walau aku yakin itu hanya alasan saja
supaya bisa ngelawak terus-terusan. Lalu ada Bobby, seorang geek di kelas yang
selalu baik padaku. Setelah itu ada sahabatku Rana, atlet lari tingkat
kabupaten.
“Eh, guys,
foto yuk!” ajak Kribo seraya mengatur HP dan Tri-Podnya
Jessie menarik
tangan Sri ke tepian, membelakangi pemandangan pulau yang asri dan natural.
Rana dengan girang mendorong punggungku, padahal dia hapal betul aku alergi
dengan kamera.
“E-eh?! Rana!”
jeritku pelan, namun dirinya hanya nyengir penuh rasa kemenangan.
“Cheese!”
“Oh, ntar
sekalian kirim fotonya ke anak-anak, bilangin kita udah sampe, biar mereka gak
pada khawatir!” timpal Arman.
Setelah
selesai berfoto-foto, kami melanjutkan perjalanan ke kampung halaman Bu Rasti.
Kami menapaki anak tangga di pinggir tebing. Arman bilang kita cukup mengikuti
hilir sungai menuju hulu, tak ada kendaraan bermotor di sini sehingga kami
terpaksa berjalan kaki. Untunglah ini hanyalah pulau kecil.
Selamat
Datang di Desa Gandamayu.
Tanda jalan
dari batu terlihat setelah lima belas menit setelah menaiki tangga. Napasku
sudah ngos-ngosan sejak tadi, wajar saja aku sangat jarang berolah raga.
Mungkin cuma sebulan sekali itupun hanya jalan-jalan untuk beli bakso di ujung
komplek.
“Masih jauh,
Ran?” bisikku.
“Udah capek?
Mau kugendong? Sini!” goda Rana.
Langsung
kucubit Rana, gadis berkulit gelap ini adalah sahabatku, rambut pendek,
periang, juara dua lari seratus meter tingkat kabupaten, walau tergolong tomboy
dia adalah anak yang manis dan populer di sekolah. Itu karena kepribadiannya
yang seperti matahari, selalu bersemangat, ceria dan memiliki kharisma seorang
pemimpin. Hanya saja dia punya kebiasaan buruk, cerewet dan sangat suka
menjahiliku.
Kami telah
bersama semenjak SMP dan dia selalu berdiri di depanku layaknya pahlawan dalam
game-game RPG. Ya, dia memang pahlawan bagiku yang hanya gadis suram korban
bully. Berkatnya aku yang sudah hampir putus sekolah berhasil menyelesaikan
studiku hingga kuliah, berkatnya kehidupan SMA ku tak lagi penuh siksa dan
cemoohan. Walau aku seringkali diabaikan, bahkan orang-orang tak mengingat
namaku hingga setengah semester. Tapi itu jauh lebih baik daripada menyayat
diri di kamar mandi.
Kami
beristirahat di sebuah tikungan yang lumayan luas. Bobby yang sudah mandi
keringat mengibas-ngibaskan tangannya bak kipas. Jessie dan Sri juga tampak
lelah, mereka bersandar ke tembok batu sambil minum air mineral yang dibawanya.
Rana menggembungkan pipinya kearahku, kesal karena dicubit.
“Nih tetek
ngerepotin banget!”
Tanpa aba-aba
dia menggoyangkan bongkahan daging payudaraku. Saking kagetnya aku hanya
mematung. Para cowok malah melongo dengan mulut mangap melihat itu.
“Ck! Kalian
ini udah gede masih kayak anak kecil aja!” cibir Sri lalu mengelap kacamatanya.
“Hehe, sori...
sori...” balas Rana.
“Asem lah...
Lupa ngerekam!” gerutu Kribo.
“Hiiy!”
pekikku sambil menutup dada.
“Wah cari
masalah nih si Kribo!”
Tentu saja itu
membuatnya jadi bulan-bulanan Rana. Aku menjauh dan berjalan ke pagar, melihat
indahnya pemandangan pantai di bawah. Rambut panjang yang kukepang satu
bergerak tertiup angin laut yang kencang.
“Laila gak
berubah ya, masih sama kaya SMA dulu.” gumam Bobby sambil menyodorkan minuman
isotonik.
“Eh?
Apa maksudnya? Itu pujian atau ledekan?”
Aku
berterimakasih lalu menoleh ke sekeliling. Bobby mungkin benar, aku masih begini-begini
saja jika dibandingkan semua orang yg telah berubah. Jessie terlihat seperti
wanita dewasa, tubuhnya seksi, pakaiannya juga modis. Walau kelakuannya masih
slutty seperti dulu, tapi jelas terlihat dia sudah lebih matang dalam berpikir.
Saat di perjalanan, dia bercerita kalau bekerja sebagai foto model sambil
menyelesaikan kuliah fashion.
Lalu ada Sri
yang walaupun masih seperti papan talenan, tapi dia terlihat lebih kalem, lebih
bisa menahan diri untuk tidak berdebat dengan orang lain. Aku tak terlalu
yakin, tapi dari aksesoris seperti totebag dan topi yang dibawanya, kurasa dia
bekerja di perusahaan IT besar. Mungkin seorang programmer. Kribo
semakin mirip dengan brokoli, dandanannya memberi kesan kebebasan. Arman malah
terlihat seperti seorang eksekutif muda sekarang, Rana bilang dia baru balik
dari studi di Belanda.
Lalu Rana
sahabatku, kalau diingat-ingat dulu dia hanyalah cewek item dekil yang
berlarian kesana-kemari. Sekarang gadis itu sudah tumbuh menjadi gadis cantik
yang aduhai. Masih bertarung dengan skripsinya. Kulirik Bobby
yang senyum-senyum kepadaku.
“Bo-Bobby...
Sekarang kerja dimana?” gumamku canggung.
“Eh? Aku buka
rumah makan kecil-kecilan. Kalau kamu?”
Hanya senyuman
yang bisa kuberikan padanya, malu sekali kalau bilang aku ini hanya
pengangguran yang hampir 24 jam waktuku habis di depan laptop, padahal aku
hanya bekerja selama dua sampai empat jam. Sisanya hanya menonton video random
di youtube atau menulis fanfiction homoseksual. Kalau aku bilang penulis, dia
pasti bertanya tentang buku ku, lalu ceritanya, dan banyak lagi pertanyaan yang
mungkin cukup memalukan untuk ku jawab.
“A-aku...
kerja lepas...” ujarku kehabisan alasan. Pemuda gemuk itu
tersenyum,
“Sudah kuduga
kamu memang nggak berubah.” Entah apa maksudnya, aku tak mengerti.
Hanya senyuman canggung yang bisa kulemparkan padanya saat ini.
***
Tiga puluh
menit kemudian kami sampai di desa. Sangat unik menurutku, di pulau kecil yang
ukurannya kurang lebih hanya lima kilometer ini ada aliran sungai air tawar.
Karang yang mengelilingi pulau juga membentuk tembok bukit yang kini ditumbuhi
rerumputan hijau jika dilihat dari desa. Mungkin pulau ini sejatinya sebuah
gunung dasar laut yang sedikit ujungnya muncul ke permukaan? Tak ada yang tahu,
dan sepertinya tak ada yang peduli selain diriku. Kami melewati jalan setapak
menuju pemukiman penduduk yang sepertinya terdiri tak lebih dari lima puluh
kepala keluarga.
“Duh, gak ada
sinyal!” keluh Jessie sambil menapaki jalanan kecil.
“Jangan main
HP melulu!” sindir Sri, membuat Jessie mendengus kesal.
Tapi keluh
kesah Jessie sebenarnya mewakili kekhawatiran semua orang. Hampir serentak kami
mengeluarkan smartphone masing-masing dan mengecek sinyal operator seluler. Tak
ada sinyal samasekali sini. Padahal di pantai tadi masih ada sedikit, sepertinya
bukit-bukit ini menghalangi pancaran gelombang dari menara provider seluler.
“Pantes aja
anak-anak gak ada yang bales WA, gak ada sinyal sama sekali!” gumam Rana.
“Trus kita
cari rumah Bu Rasti gimana??” timpal Kribo
“Tanya warga
lah!” Sri membalas Kribo dengan nada meremehkan, memang meyebalkan memang tapi
dia ada benarnya.
“Sek tak
tanyake warga!” Kribo berjalan ke arah seorang pria untuk menanyakan
alamat, tak lama dia kembali dengan senyum puas.
“Ketemu?” Sri
menanyakan.
“Follow me!”
seru cowok keriting itu sombong. Kami mengikuti Kribo berjalan ke arah pria
tadi. Bapak itu menyambut kami dengan ramah, usianya tak terlalu tua, mungkin
sekitar tiga puluh tahunan.
“Murid-muridnya
Bu Rasti ya? Kemarin teman-temannya juga ke sini ramai-ramai, mari saya antar
ke pondok!”
Bapak itu
meminta kami mengikutinya, sementara Kribo hanya cengengesan. Selama melewati
rumah-rumah warga, aku merasa sangat tidak nyaman. Orang-orang tampaknya sedang
sibuk mempersiapkan sebuah festival atau semacamnya. Selagi mereka bekerja,
tiap orang yang kulewati menatap kami dengan tatapan tajam, mirip seperti
bagaimana Sri melihat orang lain. Aku menunduk, melihat antara ujung dada
besarku dan kaki Rana. Sesekali kuperhatikan rumah-rumah dan penduduk desa.
Ketika Arman bilang tempatnya ada di desa terpencil aku sudah berpikir kalau di
sini akan dipenuhi orang-orang tua, tapi tak satupun lansia terlihat. Yang
paling tua mungkin berumur sekitar empat puluh tahunan dilihat dari postur dan
wajahnya.
“Mar! Ini
murid-muridnya Rasti dateng lagi!” Bapak itu memanggil seorang wanita yang
kurasa seumuran dengan Bu Rasti.
“Dik, kenalkan
ini Marni, adiknya Bu Guru Rasti.”
“Oh, kami
turut berduka, Mbak.” dengan sigap Arman menyalami Marni. Satu-persatu kami
bersalaman dengan wanita itu, beliau tersenyum sendu lalu mengangguk kepada
bapak yang mengatarkan kami. Bapak itu pun pamit, menyerahkan kami kepada
Marni.
Posting Komentar
0 Komentar