TENTACLES

 


SINOPSIS:

Sekumpulan orang pergi ke sebuah pulau terpencil untuk mengunjungi mantan guru SMA mereka. Mereka baru menyadari beberapa keanehan ketika saat tiba di sana menemukan mahluk aneh yang tidak pernah mereka temui selama ini. 

FORMAT : PDF Book Series

JUMLAH HALAMAN : 98  HALAMAN

HARGA : Rp 10.000


PROLOG


Percikan air laut membasahi sweater hitamku saat turun dari kapal motor yang kami tumpangi. Suasana pantai yang damai sedikit mengobati lelah dan duka kami. Lima tahun setelah lulus SMA, setelah semua anak-anak remaja itu tumbuh dewasa dan mulai belajar akan kenyataan dunia, kami mendapat kabar bahwa Bu Rasti, wali kelas kami tercinta di kelas XII IPA 3 meninggal dunia.

Kabar itu datang melalui sebuah surat dengan kertas hitam, tidak hanya kepadaku, semua teman sekelasku mendapatkannya. Tentu saja kami terkejut dengan berita itu, kelas XII IPA 3, angkatan ke-8 memang kelas yang sangat dekat dengan Bu Rasti, beliau bukan hanya sosok guru cantik yang disegani, cara mengajarnya dalam Biologi pun mudah dimengerti. Tapi lebih dari itu, beliau adalah motivator terbaik kami. Masih segar dalam ingatan kata-kata yang dikatakan Bu Rasti kepadaku ketika aku galau saat ingin mengirimkan naskah ceritaku pada penerbit.

“Laila, jangan takut gagal, justru banyak-banyaklah gagal, karena dari sana kamu bisa belajar bagaimana caranya untuk jadi pemenang!”

Itu adalah kalimat yang menjadi motivasiku, tiga tahun ditolak penerbit, belasan naskah kembali ke rumahku, hingga akhirnya dua tahun lalu aku berhasil menerbitkan buku pertama. Novel detektif Lentera Anomali yang kini laris di pasaran, sekarang sedang mengerjakan jilid ketiga. Jasa-jasa Bu Rasti itulah yang membuat kami sekarang berada di pulau ini, karena pulau kecil yang entah apa namanya ini adalah kampung halaman Bu Rasti, serta tempat dimana beliau akan dimakamkan.

Aku dan enam kawanku lainnya memang baru datang hari ini, ada Jessie yang pakaiannya paling seksi, Sri si kacamata yang dulu pernah menang lomba karya tulis ilmiah, Arman si ketua kelas dan kapten tim basket yang kini bertindak sebagai organizer kami, menyiapkan travel dan segalanya, memang cowok yang bisa diandalkan! Lalu ada Kribo yang punya banyak kelakar, kudengar dia kini jadi Youtuber yang membuat konten vlog dan video-video lucu walau aku yakin itu hanya alasan saja supaya bisa ngelawak terus-terusan. Lalu ada Bobby, seorang geek di kelas yang selalu baik padaku. Setelah itu ada sahabatku Rana, atlet lari tingkat kabupaten.

“Eh, guys, foto yuk!” ajak Kribo seraya mengatur HP dan Tri-Podnya

Jessie menarik tangan Sri ke tepian, membelakangi pemandangan pulau yang asri dan natural. Rana dengan girang mendorong punggungku, padahal dia hapal betul aku alergi dengan kamera.

“E-eh?! Rana!” jeritku pelan, namun dirinya hanya nyengir penuh rasa kemenangan.

“Cheese!”

“Oh, ntar sekalian kirim fotonya ke anak-anak, bilangin kita udah sampe, biar mereka gak pada khawatir!” timpal Arman.

Setelah selesai berfoto-foto, kami melanjutkan perjalanan ke kampung halaman Bu Rasti. Kami menapaki anak tangga di pinggir tebing. Arman bilang kita cukup mengikuti hilir sungai menuju hulu, tak ada kendaraan bermotor di sini sehingga kami terpaksa berjalan kaki. Untunglah ini hanyalah pulau kecil.

Selamat Datang di Desa Gandamayu.

Tanda jalan dari batu terlihat setelah lima belas menit setelah menaiki tangga. Napasku sudah ngos-ngosan sejak tadi, wajar saja aku sangat jarang berolah raga. Mungkin cuma sebulan sekali itupun hanya jalan-jalan untuk beli bakso di ujung komplek.

“Masih jauh, Ran?” bisikku.

“Udah capek? Mau kugendong? Sini!” goda Rana.

Langsung kucubit Rana, gadis berkulit gelap ini adalah sahabatku, rambut pendek, periang, juara dua lari seratus meter tingkat kabupaten, walau tergolong tomboy dia adalah anak yang manis dan populer di sekolah. Itu karena kepribadiannya yang seperti matahari, selalu bersemangat, ceria dan memiliki kharisma seorang pemimpin. Hanya saja dia punya kebiasaan buruk, cerewet dan sangat suka menjahiliku.

Kami telah bersama semenjak SMP dan dia selalu berdiri di depanku layaknya pahlawan dalam game-game RPG. Ya, dia memang pahlawan bagiku yang hanya gadis suram korban bully. Berkatnya aku yang sudah hampir putus sekolah berhasil menyelesaikan studiku hingga kuliah, berkatnya kehidupan SMA ku tak lagi penuh siksa dan cemoohan. Walau aku seringkali diabaikan, bahkan orang-orang tak mengingat namaku hingga setengah semester. Tapi itu jauh lebih baik daripada menyayat diri di kamar mandi.

Kami beristirahat di sebuah tikungan yang lumayan luas. Bobby yang sudah mandi keringat mengibas-ngibaskan tangannya bak kipas. Jessie dan Sri juga tampak lelah, mereka bersandar ke tembok batu sambil minum air mineral yang dibawanya. Rana menggembungkan pipinya kearahku, kesal karena dicubit.

“Nih tetek ngerepotin banget!”

Tanpa aba-aba dia menggoyangkan bongkahan daging payudaraku. Saking kagetnya aku hanya mematung. Para cowok malah melongo dengan mulut mangap melihat itu.

“Ck! Kalian ini udah gede masih kayak anak kecil aja!” cibir Sri lalu mengelap kacamatanya.

“Hehe, sori... sori...” balas Rana.

“Asem lah... Lupa ngerekam!” gerutu Kribo.

“Hiiy!” pekikku sambil menutup dada.

“Wah cari masalah nih si Kribo!”

Tentu saja itu membuatnya jadi bulan-bulanan Rana. Aku menjauh dan berjalan ke pagar, melihat indahnya pemandangan pantai di bawah. Rambut panjang yang kukepang satu bergerak tertiup angin laut yang kencang.

“Laila gak berubah ya, masih sama kaya SMA dulu.” gumam Bobby sambil menyodorkan minuman isotonik.

Eh? Apa maksudnya? Itu pujian atau ledekan?”

Aku berterimakasih lalu menoleh ke sekeliling. Bobby mungkin benar, aku masih begini-begini saja jika dibandingkan semua orang yg telah berubah. Jessie terlihat seperti wanita dewasa, tubuhnya seksi, pakaiannya juga modis. Walau kelakuannya masih slutty seperti dulu, tapi jelas terlihat dia sudah lebih matang dalam berpikir. Saat di perjalanan, dia bercerita kalau bekerja sebagai foto model sambil menyelesaikan kuliah fashion.

Lalu ada Sri yang walaupun masih seperti papan talenan, tapi dia terlihat lebih kalem, lebih bisa menahan diri untuk tidak berdebat dengan orang lain. Aku tak terlalu yakin, tapi dari aksesoris seperti totebag dan topi yang dibawanya, kurasa dia bekerja di perusahaan IT besar. Mungkin seorang programmer. Kribo semakin mirip dengan brokoli, dandanannya memberi kesan kebebasan. Arman malah terlihat seperti seorang eksekutif muda sekarang, Rana bilang dia baru balik dari studi di Belanda.

Lalu Rana sahabatku, kalau diingat-ingat dulu dia hanyalah cewek item dekil yang berlarian kesana-kemari. Sekarang gadis itu sudah tumbuh menjadi gadis cantik yang aduhai. Masih bertarung dengan skripsinya. Kulirik Bobby yang senyum-senyum kepadaku.

“Bo-Bobby... Sekarang kerja dimana?” gumamku canggung.

“Eh? Aku buka rumah makan kecil-kecilan. Kalau kamu?”

Hanya senyuman yang bisa kuberikan padanya, malu sekali kalau bilang aku ini hanya pengangguran yang hampir 24 jam waktuku habis di depan laptop, padahal aku hanya bekerja selama dua sampai empat jam. Sisanya hanya menonton video random di youtube atau menulis fanfiction homoseksual. Kalau aku bilang penulis, dia pasti bertanya tentang buku ku, lalu ceritanya, dan banyak lagi pertanyaan yang mungkin cukup memalukan untuk ku jawab.

“A-aku... kerja lepas...” ujarku kehabisan alasan. Pemuda gemuk itu tersenyum,

“Sudah kuduga kamu memang nggak berubah.” Entah apa maksudnya, aku tak mengerti. Hanya senyuman canggung yang bisa kulemparkan padanya saat ini.

***

Tiga puluh menit kemudian kami sampai di desa. Sangat unik menurutku, di pulau kecil yang ukurannya kurang lebih hanya lima kilometer ini ada aliran sungai air tawar. Karang yang mengelilingi pulau juga membentuk tembok bukit yang kini ditumbuhi rerumputan hijau jika dilihat dari desa. Mungkin pulau ini sejatinya sebuah gunung dasar laut yang sedikit ujungnya muncul ke permukaan? Tak ada yang tahu, dan sepertinya tak ada yang peduli selain diriku. Kami melewati jalan setapak menuju pemukiman penduduk yang sepertinya terdiri tak lebih dari lima puluh kepala keluarga.

“Duh, gak ada sinyal!” keluh Jessie sambil menapaki jalanan kecil.

“Jangan main HP melulu!” sindir Sri, membuat Jessie mendengus kesal.

Tapi keluh kesah Jessie sebenarnya mewakili kekhawatiran semua orang. Hampir serentak kami mengeluarkan smartphone masing-masing dan mengecek sinyal operator seluler. Tak ada sinyal samasekali sini. Padahal di pantai tadi masih ada sedikit, sepertinya bukit-bukit ini menghalangi pancaran gelombang dari menara provider seluler.

“Pantes aja anak-anak gak ada yang bales WA, gak ada sinyal sama sekali!” gumam Rana.

“Trus kita cari rumah Bu Rasti gimana??” timpal Kribo

“Tanya warga lah!” Sri membalas Kribo dengan nada meremehkan, memang meyebalkan memang tapi dia ada benarnya.

Sek tak tanyake warga!” Kribo berjalan ke arah seorang pria untuk menanyakan alamat, tak lama dia kembali dengan senyum puas.

“Ketemu?” Sri menanyakan.

Follow me!” seru cowok keriting itu sombong. Kami mengikuti Kribo berjalan ke arah pria tadi. Bapak itu menyambut kami dengan ramah, usianya tak terlalu tua, mungkin sekitar tiga puluh tahunan.

“Murid-muridnya Bu Rasti ya? Kemarin teman-temannya juga ke sini ramai-ramai, mari saya antar ke pondok!”

Bapak itu meminta kami mengikutinya, sementara Kribo hanya cengengesan. Selama melewati rumah-rumah warga, aku merasa sangat tidak nyaman. Orang-orang tampaknya sedang sibuk mempersiapkan sebuah festival atau semacamnya. Selagi mereka bekerja, tiap orang yang kulewati menatap kami dengan tatapan tajam, mirip seperti bagaimana Sri melihat orang lain. Aku menunduk, melihat antara ujung dada besarku dan kaki Rana. Sesekali kuperhatikan rumah-rumah dan penduduk desa. Ketika Arman bilang tempatnya ada di desa terpencil aku sudah berpikir kalau di sini akan dipenuhi orang-orang tua, tapi tak satupun lansia terlihat. Yang paling tua mungkin berumur sekitar empat puluh tahunan dilihat dari postur dan wajahnya.

“Mar! Ini murid-muridnya Rasti dateng lagi!” Bapak itu memanggil seorang wanita yang kurasa seumuran dengan Bu Rasti.

“Dik, kenalkan ini Marni, adiknya Bu Guru Rasti.”

“Oh, kami turut berduka, Mbak.” dengan sigap Arman menyalami Marni. Satu-persatu kami bersalaman dengan wanita itu, beliau tersenyum sendu lalu mengangguk kepada bapak yang mengatarkan kami. Bapak itu pun pamit, menyerahkan kami kepada Marni.



Posting Komentar

0 Komentar