PELAKOR
SINOPSIS:
“Pak Dokter,
gimana kondisi Ibu saya ?” tanya Fikri, pemuda berusia 23 tahun yang terlihat
gugup, bertanya kepada Dokter Purjoko, yang barusan masuk ke kamar di temani
seorang suster berhijab bernama Yuli. Fikri bertanya tentang keadaan Ibunya
yang baru saja di pindahkan dari ruang ICU ke ruangan khusus kelas 1 RSUD
Bantul. Kondisi Bu Fatma atau biasa di panggil Bu Lurah, Ibunda Fikri, kini
terlihat lebih baik setelah sebelumnya langsung mendapatkan penanganan di ruang
ICU.
Seorang
perempuan muda sebaya dengan Fikri yakni Dian, yang sedang menjadi trending
topic di kalangan sosialita Ibu-Ibu di kampung seperti Bu Tejo, Bu Tri, Yu
Sam, berdiri di samping Fikri dan mengusap-usap pundaknya, mencoba untuk
menenangkan pacarnya itu. Dian bisa turut merasakan kekhawatiran dari Fikri,
karena baru dua bulan yang lalu, Bu Lurah juga nggeblak (jatuh sakit) dan mesti
opname masuk ke RSUD Bantul karena penyakit darah rendahnya kumat.
“Tenang Mas
Fikri, Bu Lurah sudah tidak apa-apa, cuma memang gulanya naik tinggi, kecapekan.
Yang penting istirahat yang cukup, minum obat dan makanannya benar-benar di
jaga karena penyakit gula memang banyak pantangan,”
“Oh baik Pak
Dokter,” Fikri mengangguk-angguk lega.
“Besok saya
cek lagi kondisi Bu Lurah, kalau sudah membaik, paling lusa sudah bisa pulang.
Tapi saran dari saya Mas Fikri, tolong sebaiknya Bu Lurah benar-benar istirahat
di rumah ya kurang lebih satu minggu minimal. Jangan terlalu ngoyo
pulang langsung mulai kerja. Karena bagaimanapun, umur Bu Lurah sudah makin
sepuh. Mas Fikri juga di rumah saja, jagain Ibu. Seorang Ibu kalau lihat
anaknya ada di dekat, telaten merawat, pasti atine bungah. Kalau Bu
Lurah senang, pasti bisa cepat sembuh,” ujar Dokter Purjoko memberikan sedikit
nasihat kepada Fikri, putra semata wayang dari Bu Lurah.
Dokter Purjoko
yang terbilang masih tetangga, sudah paham dengan kondisi Bu Lurah, terutama
kondisi rumah tangga Bu Lurah yang sudah menjanda lama karena cerai dengan Pak
Minto, suaminya yang kebetulan teman dulu teman sekolahnya di SMA. Dokter
Purjoko sebisa mungkin menjelaskan dengan tutur halus kepada Fikri, karena
selain anaknya, kepada siapa Bu Lurah bergantung.
“Injih ,
matur sembah nuwun Pak Dokter Purjoko,” ucap Fikri sembari menangkupkan
kedua telapak tangan yang kemudian di usapkan ke wajahnya, sebagai tanda
syukur, Ibunya tidak apa-apa.
“Yasudah,
nanti malam sekitar jam delapan, suster Yuli akan mengganti kantung infusnya.
Kalau ada apa-apa, bisa hubungi ke Suster Yuli yang jaga ya, saya balik dulu
Mas Fikri, masih ada pekerjaan lain,” kata Dokter Purjoko memohon diri.
"Monggo
Pak Dokter," balas Fikri dengan penuh rasa hormat.
Dokter Purjoko
menatap Dian sekilas tanpa mengucapkan atau menunjukkan ekspresi kemudian
berlalu pergi. Suster Yuli tersenyum sembari mengangguk ke arah Fikri, Fikri
pun membalas senyum dari Suster Yuli. Pemandangan saling bertukar senyum ini
sebenarnya biasa saja, namun tidak bagi Dian yang menangkap momen tersebut.
“Ehemm,” Dian
sengaja berdehem cukup keras, membuat Suster Yuli langsung mengucapkan permisi,
menundukkan kepala dan kemudian keluar dari kamar. Fikri yang salah tingkah
karena aksi genitnya ketahuan Dian, merasa terselamatkan ketika ponsel yang ia
kantungi di saku celana bergetar.
“Bapak
nelepon, sebentar yo, aku terima telepon di luar, biar gak ganggu Ibu
istirahat,” ucap Fikri sembari menunjukkan identitas penelepon di layar
ponselnya kepada Dian.
Ada perasaan
berdesir ketika layar ponsel menunjukkan identitas sang penelepon
"BAPAK" muncul. Mau apa Bapak nelepon Fikri, bukankah ia bilang tadi
di mobil baru akan menengok Bu Lurah besok, batin Dian merasa penasaran.
“Oke Mas, aku
temanin Ibu, sambil rapi-rapi barang di kamar,” jawab Dian sambil merapikan
baju dalam tas yang sengaja Fikri siapkan karena ia jelas akan menginap
menunggu Ibunya selama opname.
***
Fikri
tersenyum senang, ia merasa sangat bersyukur punya pacar seperti Dian, selain
cantik dan boleh di bilang menyandang status sebagai Kembang Desa di
kampungnya, ia sangat perhatian dengan Bu Lurah, calon mertuanya . Meski
begitu, Fikri juga tahu benar bahwa ada banyak kabar tak sedap dari para
tetangganya, terutama dari Ibu-Ibu di kampungnya kalau Dian itu perempuan gak
benar, sombong sama tetangga bahkan konon ada yang pernah liat Dian jalan-jalan
di mall sama om-om. Banyak Ibu-Ibu yang membicarakan di belakang bahwa Dian
dapat duit dari cara nggak benar dari hasil pekerjaan yang nggak jelas. Ya
pokoknya nama Dian ini jelek banget, gak ada bagus-bagusnya di mata para
tetangga.
Fikri kadang
heran kenapa ada gosip seperti itu. Apa karena Dian cantik dan masih belum
menikah di usia 23 tahun, bisa beli motor, ponsel sendiri padahal cuma tamatan
SMK dan sebagai anak Yatim dari keluarga kurang mampu ? Apakah anak dari
keluarga yang tidak utuh tidak pantas untuk bahagia ? Fikri yang menjadi korban
perceraian orang tuanya sepuluh tahun silam, secara tak langsung ikut
tersinggung oleh mulut-mulut tajam di kampungnya.
Fikri yang
sudah berpacaran dengan Dian selama satu tahun terakhir, satu hari pernah
gregetan dan panas kuping mendengar isu-isu tersebut, lalu bertanya kepada
Dian. Kenapa ia diam saja menjadi sasaran ghibah Ibu-Ibu sekampung, padahal ia
bisa saja memberitahu mereka bahwa pekerjaan dia jelas dan halal, yakni sebagai
salah satu staff di Prisma Entertainment, salah satu EO besar di Kota Jogja. Dian
sendiri di pasrahi sama bosnya sebagai staf yang mengurusi acara Wedding
Organizer. Dian sudah hafal tempat-tempat unik baik di hotel maupun kawasan
wisata sekitaran Jogja sebagai tempat untuk resepsi maupun foto prewed. Dian
yang lulusan SMK jurusan Pariwisata benar-benar ulet dan supel, menjadi nilai
tambah sehingga ia banyak di sukai semua orang. Kecuali para tetangganya
sendiri di Desa Lambeturah, Bantul, tentu saja Dian yang tahu kegelisahan dari
Fikri hanya menjawab santai.
“Buat apa aku
mesti menjelaskan apa pekerjaanku kepada tetangga ? cuma menghabiskan nafasku
saja. Kalau dasarnya tidak suka sama aku, aku mau ngomong apapun tetap gak di
percaya.”
“Kamu sendiri
gimana perasaanmu jadi bahan omongan para tetangga dari dulu?" lanjut
Fikri yang ingin memahami perasaan Dian.
" Aku
hidup tidak mengandalkan omongan tetangga. Selama mereka tidak menyinggung
perasaan Ibuku, aku akan tetap tenang. Tapi kalau sampai ada orang yang
menyakiti hati Ibuku, siapapun orangnya akan ku datangi."
Fikri cuma
manggut-manggut saja mendengarnya bahkan ia salut dengan ketegasan Dian. Dian
kurang lebih sama seperti dirinya, jarang bergaul sama tetangga kampung. Pas
mulai kuliah di UGM, Fikri lebih memilih ngekos di dekat kampus.Awalnya Bu
Lurah melarang Fikri ngekost.
“Lha ngopo
to le ndadak ngekos ? wong seko ngomah nan UGM ora pati adoh. (Lho kenapa
to nak mau ngekost ? kan dari rumah ke UGM tidak terlalu jauh),” tanya Bu
Lurah.
Sebuah
larangan yang wajar karena dari rumah ke kampusnya Fikri, FE UGM paling hanya
45 menit dari rumah. Bukan karena masalah biaya tambahan yang mesti di
keluarkan oleh Bu Lurah jika Fikri ngekos, karena keluarga Fikri termasuk
kalangan orang berada. Uang tidak pernah menjadi masalah bagi keluarga Bu
Lurah.
“ Bukan
masalah jauh dekat bu. Tapi aku ingin ngekost jikalau ada tugas, aku tidak
buru-buru bolak-balik. Kalau ngekost dekat kampus kan, aku bisa konsen belajar
Bu” kilah Fikri mencoba menjelaskan ke Bu Lurah. Alasan yang sebenarnya bisa di
pahami sama Bu Lurah, tapi ia tidak mau kesepian sendirian di rumah, Bu Lurah
ingin Fikri sebagai anak tunggalnya paham tanpa ia mesti bilang langsung.
“Ya kalau cuma
masalah itu,lebih baik Ibu belikan kamu mibil aja gimana?” Bu Lurah coba
membujuk Fikri dengan iming-iming di belikan mobil baru.
“Halah, malah
jadi lama di jalan kalau bawa mobil. Jogja sekarang ruwet, macet di mana-mana.
Apalagi kalau ada libur panjang. Udah Ibu tenang, aku bisa mandiri jadi anak
kosan. Kalau pas libur kuliah, aku pulang.” pungkas Fikri yang keukeuh dengan
kemuannya tanpa menyadari maksud tersirat kenapa sang Ibu melarangnya ngekost.
Bu Lurah tidak
bisa lagi membujuk keinginan Fikri, apalagi ini semua demi kepentingan
kelancaran kuliah Fikri. Bu Lurah juga yakin Fikri akan baik-baik saja karena
ia tahu Fikri anak yang baik dan gak neko-neko. Lagipula, Bu Lurah juga merasa
di usianya yang ke 50 tahun ini ia merasa kesepian, bukan karena kesalahan
Fikri. Yang pantas Bu Lurah salahkan adalah Minto, mantan suaminya yang
ternyata ada main sama cewek lain. Lebih tepatnya masih suka main cewek. Bu
Lurah memutuskan minta cerai ketika ia memergoki dengan mata kepalanya sendiri,
Minto sedang kenthu (ngeseks) dengan salah satu karyawan cewek di ruang
kerjanya di Kantor Travel Semar Mesem, perusahaan travel milik Minto.
Di awal
semester pertama kuliah, Fikri masih rajin pulang ke Bantul tiap akhir pekan.
Hasil nilai akademisnya juga bagus. Namun menginjak semester dua, Fikri mulai
jarang pulang, dari yang seminggu sekali kini menjadi dua minggu sekali pulang
Bantul. Fikri beralasan selain sibuk kuliah ia juga ikut organisasi di kampus
yang sering mengadakan acara di akhir pekan. Bu Lurah mengalah dan kadang ia
yang menengok Fikri di Jogja.
Namun semakin
lama, Fikri semakin jarang pulang dan semakin sering memberikan alasan. Bu
Lurah sudah merasa Fikri sudah asyik dengan dunianya, lupa dengan keadaan
Ibunya. Tapi dasarnya Bu Lurah punya sifat yang juga keras, ia menyibukkan diri
dengan pekerjaannya sebagai Lurah Desa Lambeturah. Kebiasaan Fikri yang jarang
pulang ini berlanjut hingga ia lulus kuliah dan di terima kerja di salah satu
perusahaan keuangan di Jogja. Kalau pulang ke rumah Bantul cuma istirahat,
tidur, jarang bercengkrama sama tetangga. Selebihnya lebih banyak sibuk
mengururus pekerjaan di Kota.
Posting Komentar
0 Komentar