PELAKOR

 




SINOPSIS:

Fikri tetap teguh saat banyak orang mengatakan jika istrinya adalah wanita nakal saat bekerja di kota. Hingga suatu saat Fikri memergoki sang calon istri ternyata memiliki hubungan khusus dengan Ayah kandungnya sendiri. Bagaimana kisah hubungan mereka bertiga?

GENRE : DRAMA EROTIC

FORMAT : FILE PDF

JUMLAH HALAMAN : 43 HALAMAN

HARGA : Rp 10.000


PROLOG

“Pak Dokter, gimana kondisi Ibu saya ?” tanya Fikri, pemuda berusia 23 tahun yang terlihat gugup, bertanya kepada Dokter Purjoko, yang barusan masuk ke kamar di temani seorang suster berhijab bernama Yuli. Fikri bertanya tentang keadaan Ibunya yang baru saja di pindahkan dari ruang ICU ke ruangan khusus kelas 1 RSUD Bantul. Kondisi Bu Fatma atau biasa di panggil Bu Lurah, Ibunda Fikri, kini terlihat lebih baik setelah sebelumnya langsung mendapatkan penanganan di ruang ICU.

Seorang perempuan muda sebaya dengan Fikri yakni Dian, yang sedang menjadi trending topic di kalangan sosialita Ibu-Ibu di kampung seperti Bu Tejo, Bu Tri, Yu Sam, berdiri di samping Fikri dan mengusap-usap pundaknya, mencoba untuk menenangkan pacarnya itu. Dian bisa turut merasakan kekhawatiran dari Fikri, karena baru dua bulan yang lalu, Bu Lurah juga nggeblak (jatuh sakit) dan mesti opname masuk ke RSUD Bantul karena penyakit darah rendahnya kumat.

“Tenang Mas Fikri, Bu Lurah sudah tidak apa-apa, cuma memang gulanya naik tinggi, kecapekan. Yang penting istirahat yang cukup, minum obat dan makanannya benar-benar di jaga karena penyakit gula memang banyak pantangan,”

“Oh baik Pak Dokter,” Fikri mengangguk-angguk lega.

“Besok saya cek lagi kondisi Bu Lurah, kalau sudah membaik, paling lusa sudah bisa pulang. Tapi saran dari saya Mas Fikri, tolong sebaiknya Bu Lurah benar-benar istirahat di rumah ya kurang lebih satu minggu minimal. Jangan terlalu ngoyo pulang langsung mulai kerja. Karena bagaimanapun, umur Bu Lurah sudah makin sepuh. Mas Fikri juga di rumah saja, jagain Ibu. Seorang Ibu kalau lihat anaknya ada di dekat, telaten merawat, pasti atine bungah. Kalau Bu Lurah senang, pasti bisa cepat sembuh,” ujar Dokter Purjoko memberikan sedikit nasihat kepada Fikri, putra semata wayang dari Bu Lurah.

Dokter Purjoko yang terbilang masih tetangga, sudah paham dengan kondisi Bu Lurah, terutama kondisi rumah tangga Bu Lurah yang sudah menjanda lama karena cerai dengan Pak Minto, suaminya yang kebetulan teman dulu teman sekolahnya di SMA. Dokter Purjoko sebisa mungkin menjelaskan dengan tutur halus kepada Fikri, karena selain anaknya, kepada siapa Bu Lurah bergantung.

Injih , matur sembah nuwun Pak Dokter Purjoko,” ucap Fikri sembari menangkupkan kedua telapak tangan yang kemudian di usapkan ke wajahnya, sebagai tanda syukur, Ibunya tidak apa-apa.

“Yasudah, nanti malam sekitar jam delapan, suster Yuli akan mengganti kantung infusnya. Kalau ada apa-apa, bisa hubungi ke Suster Yuli yang jaga ya, saya balik dulu Mas Fikri, masih ada pekerjaan lain,” kata Dokter Purjoko memohon diri.

"Monggo Pak Dokter," balas Fikri dengan penuh rasa hormat.

Dokter Purjoko menatap Dian sekilas tanpa mengucapkan atau menunjukkan ekspresi kemudian berlalu pergi. Suster Yuli tersenyum sembari mengangguk ke arah Fikri, Fikri pun membalas senyum dari Suster Yuli. Pemandangan saling bertukar senyum ini sebenarnya biasa saja, namun tidak bagi Dian yang menangkap momen tersebut.

“Ehemm,” Dian sengaja berdehem cukup keras, membuat Suster Yuli langsung mengucapkan permisi, menundukkan kepala dan kemudian keluar dari kamar. Fikri yang salah tingkah karena aksi genitnya ketahuan Dian, merasa terselamatkan ketika ponsel yang ia kantungi di saku celana bergetar.

“Bapak nelepon, sebentar yo, aku terima telepon di luar, biar gak ganggu Ibu istirahat,” ucap Fikri sembari menunjukkan identitas penelepon di layar ponselnya kepada Dian.

Ada perasaan berdesir ketika layar ponsel menunjukkan identitas sang penelepon "BAPAK" muncul. Mau apa Bapak nelepon Fikri, bukankah ia bilang tadi di mobil baru akan menengok Bu Lurah besok, batin Dian merasa penasaran.

“Oke Mas, aku temanin Ibu, sambil rapi-rapi barang di kamar,” jawab Dian sambil merapikan baju dalam tas yang sengaja Fikri siapkan karena ia jelas akan menginap menunggu Ibunya selama opname.

***

Fikri tersenyum senang, ia merasa sangat bersyukur punya pacar seperti Dian, selain cantik dan boleh di bilang menyandang status sebagai Kembang Desa di kampungnya, ia sangat perhatian dengan Bu Lurah, calon mertuanya . Meski begitu, Fikri juga tahu benar bahwa ada banyak kabar tak sedap dari para tetangganya, terutama dari Ibu-Ibu di kampungnya kalau Dian itu perempuan gak benar, sombong sama tetangga bahkan konon ada yang pernah liat Dian jalan-jalan di mall sama om-om. Banyak Ibu-Ibu yang membicarakan di belakang bahwa Dian dapat duit dari cara nggak benar dari hasil pekerjaan yang nggak jelas. Ya pokoknya nama Dian ini jelek banget, gak ada bagus-bagusnya di mata para tetangga.

Fikri kadang heran kenapa ada gosip seperti itu. Apa karena Dian cantik dan masih belum menikah di usia 23 tahun, bisa beli motor, ponsel sendiri padahal cuma tamatan SMK dan sebagai anak Yatim dari keluarga kurang mampu ? Apakah anak dari keluarga yang tidak utuh tidak pantas untuk bahagia ? Fikri yang menjadi korban perceraian orang tuanya sepuluh tahun silam, secara tak langsung ikut tersinggung oleh mulut-mulut tajam di kampungnya.

Fikri yang sudah berpacaran dengan Dian selama satu tahun terakhir, satu hari pernah gregetan dan panas kuping mendengar isu-isu tersebut, lalu bertanya kepada Dian. Kenapa ia diam saja menjadi sasaran ghibah Ibu-Ibu sekampung, padahal ia bisa saja memberitahu mereka bahwa pekerjaan dia jelas dan halal, yakni sebagai salah satu staff di Prisma Entertainment, salah satu EO besar di Kota Jogja. Dian sendiri di pasrahi sama bosnya sebagai staf yang mengurusi acara Wedding Organizer. Dian sudah hafal tempat-tempat unik baik di hotel maupun kawasan wisata sekitaran Jogja sebagai tempat untuk resepsi maupun foto prewed. Dian yang lulusan SMK jurusan Pariwisata benar-benar ulet dan supel, menjadi nilai tambah sehingga ia banyak di sukai semua orang. Kecuali para tetangganya sendiri di Desa Lambeturah, Bantul, tentu saja Dian yang tahu kegelisahan dari Fikri hanya menjawab santai.

“Buat apa aku mesti menjelaskan apa pekerjaanku kepada tetangga ? cuma menghabiskan nafasku saja. Kalau dasarnya tidak suka sama aku, aku mau ngomong apapun tetap gak di percaya.”

“Kamu sendiri gimana perasaanmu jadi bahan omongan para tetangga dari dulu?" lanjut Fikri yang ingin memahami perasaan Dian.

" Aku hidup tidak mengandalkan omongan tetangga. Selama mereka tidak menyinggung perasaan Ibuku, aku akan tetap tenang. Tapi kalau sampai ada orang yang menyakiti hati Ibuku, siapapun orangnya akan ku datangi."

Fikri cuma manggut-manggut saja mendengarnya bahkan ia salut dengan ketegasan Dian. Dian kurang lebih sama seperti dirinya, jarang bergaul sama tetangga kampung. Pas mulai kuliah di UGM, Fikri lebih memilih ngekos di dekat kampus.Awalnya Bu Lurah melarang Fikri ngekost.

Lha ngopo to le ndadak ngekos ? wong seko ngomah nan UGM ora pati adoh. (Lho kenapa to nak mau ngekost ? kan dari rumah ke UGM tidak terlalu jauh),” tanya Bu Lurah.

Sebuah larangan yang wajar karena dari rumah ke kampusnya Fikri, FE UGM paling hanya 45 menit dari rumah. Bukan karena masalah biaya tambahan yang mesti di keluarkan oleh Bu Lurah jika Fikri ngekos, karena keluarga Fikri termasuk kalangan orang berada. Uang tidak pernah menjadi masalah bagi keluarga Bu Lurah.

“ Bukan masalah jauh dekat bu. Tapi aku ingin ngekost jikalau ada tugas, aku tidak buru-buru bolak-balik. Kalau ngekost dekat kampus kan, aku bisa konsen belajar Bu” kilah Fikri mencoba menjelaskan ke Bu Lurah. Alasan yang sebenarnya bisa di pahami sama Bu Lurah, tapi ia tidak mau kesepian sendirian di rumah, Bu Lurah ingin Fikri sebagai anak tunggalnya paham tanpa ia mesti bilang langsung.

“Ya kalau cuma masalah itu,lebih baik Ibu belikan kamu mibil aja gimana?” Bu Lurah coba membujuk Fikri dengan iming-iming di belikan mobil baru.

“Halah, malah jadi lama di jalan kalau bawa mobil. Jogja sekarang ruwet, macet di mana-mana. Apalagi kalau ada libur panjang. Udah Ibu tenang, aku bisa mandiri jadi anak kosan. Kalau pas libur kuliah, aku pulang.” pungkas Fikri yang keukeuh dengan kemuannya tanpa menyadari maksud tersirat kenapa sang Ibu melarangnya ngekost.

Bu Lurah tidak bisa lagi membujuk keinginan Fikri, apalagi ini semua demi kepentingan kelancaran kuliah Fikri. Bu Lurah juga yakin Fikri akan baik-baik saja karena ia tahu Fikri anak yang baik dan gak neko-neko. Lagipula, Bu Lurah juga merasa di usianya yang ke 50 tahun ini ia merasa kesepian, bukan karena kesalahan Fikri. Yang pantas Bu Lurah salahkan adalah Minto, mantan suaminya yang ternyata ada main sama cewek lain. Lebih tepatnya masih suka main cewek. Bu Lurah memutuskan minta cerai ketika ia memergoki dengan mata kepalanya sendiri, Minto sedang kenthu (ngeseks) dengan salah satu karyawan cewek di ruang kerjanya di Kantor Travel Semar Mesem, perusahaan travel milik Minto.

Di awal semester pertama kuliah, Fikri masih rajin pulang ke Bantul tiap akhir pekan. Hasil nilai akademisnya juga bagus. Namun menginjak semester dua, Fikri mulai jarang pulang, dari yang seminggu sekali kini menjadi dua minggu sekali pulang Bantul. Fikri beralasan selain sibuk kuliah ia juga ikut organisasi di kampus yang sering mengadakan acara di akhir pekan. Bu Lurah mengalah dan kadang ia yang menengok Fikri di Jogja.

Namun semakin lama, Fikri semakin jarang pulang dan semakin sering memberikan alasan. Bu Lurah sudah merasa Fikri sudah asyik dengan dunianya, lupa dengan keadaan Ibunya. Tapi dasarnya Bu Lurah punya sifat yang juga keras, ia menyibukkan diri dengan pekerjaannya sebagai Lurah Desa Lambeturah. Kebiasaan Fikri yang jarang pulang ini berlanjut hingga ia lulus kuliah dan di terima kerja di salah satu perusahaan keuangan di Jogja. Kalau pulang ke rumah Bantul cuma istirahat, tidur, jarang bercengkrama sama tetangga. Selebihnya lebih banyak sibuk mengururus pekerjaan di Kota.



Posting Komentar

0 Komentar