IBU MERTUA BINAL
SINOPSIS:
Kepulan asap
dari sebatang rokok ketengan menemani lamunanku siang itu. Deru kendaraan lalu
lalang di antara alunan lagu dangdut dari TV pemilik warteg di mana aku
menumpang duduk sambil ngopi tak mampu menggugah pikiranku yang melayang entah kemana.
“Ngelamun aja
Lo, kangen bini ya?”, tegur Bejo, rekan sesama tukang ojek tempat kami bersama
mangkal. Aku hanya membalas dengan senyuman.
“Bu, kopi
satu.” ujarnya kepada pemilik warung.
“Catur, Den?”
ujarnya.
“Halah! Bosen, dari pagi main sama si Ujang, entar situ kalah lagi.”
Bejo hanya nyengir mendengar jawabanku. Siang ini memang pikiranku tengah
galau, mengenang peristiwa tadi malam dan pagi hari ini.
Aku tinggal
menumpang mertua di sebuah rumah sederhana di kampung perbatasan Jakarta. Kami
berasal dari keluarga dengan ekonomi pas-pasan. Isteriku terpaksa menjadi TKI
di Arab Saudi untuk memperbaiki keadaan. Motor kreditan yang aku pakai untuk
mengojek ini juga hasil jerih payahnya. Kondisi mertua juga sama saja, ayah
isteriku adalah tukang bangunan yang lebih sering keliling dari satu proyek ke
proyek lain daripada di rumahnya sendiri, kadang berbulan-bulan tidak pulang.
Bapak,
demikian aku memanggilnya, dulu sangat keras menolak pernikahan kami, ya wajar,
sudah susah kok dapat menantu yang juga susah. Sementara ibu mertua
kebalikannya, ia sosok ibu yang lembut dan baik hati. Mau bagaimana lagi kalau
memang sudah jodohnya. Dulu aku sempat bekerja di pabrik sebelum akhirnya
bangkrut dan aku kena PHK.
Malam itu
hujan sangat deras menghujam bumi. Aku tengah lesehan di atas tikar lusuh
menonton TV ketika tiba-tiba ibu mertua tergopoh-gopoh keluar dari kamarnya
menuju kamar mandi, lalu terdengar suara seperti orang muntah. Aku menyusulnya.
“Ada apa Bu?
Masuk angin?” ia mengangguk lemah.
“Saya
panggilkan Teh Nining sebelah ya Bu?” Tawarku.
“Nggak usah
Den, nggak enak udah malam begini, mana hujan lagi.” jawabnya.
“Kalau gitu
saya bikinin teh panas ya Bu? Saya juga masih punya obat kok.” Ibu mengangguk
lalu berjaan menuju kamarnya. Setelah mengantarkan teh dan obat flu, kembali
aku berbaring di ruang tamu sederhana itu sampai akhirnya aku terlelap.
Jam dinding
kusam itu menunjukan pukul 1.30 malam ketika aku mendadak terbangun karena
kembali ibu muntah-muntah di kamar mandi. Dengan segera aku menyusulnya
“Ibu muntah
lagi?” tanyaku, ia mengangguk lemah dan berkata,
“Ibu kalau
belum dikeroki biasanya belum mempan, tapi mau bagaimana lagi.” jawabnya
pasrah. Entah muncul ide darimana.
“Ya udah, biar
saya yang ngerokin, ibu tunggu aja di kamar.”
Kataku dan ibu sepertinya tidak menolak kecuali ia menginginkan muntah-muntah
lagi. Aku bergegas menuju dapur, mencari piring kecil alas gelas dan
menumpahkan sedikit minyak goreng, tinggal 1 koin seratusan lama yang kebetulan
aku masih menyimpan beberapa.
Agak sedikit kaget
setibanya aku di kamar, mendapati ibu telah berganti pakaian yang semula daster
panjang kini kain kemben batik yang warnanya telah lusuh. Namun bukan itu yang
membuat aku menelan ludah, tapi kemben sebatas dada itu telah menampakan bahu
ibu yang ternyata kuning bersih, ditambah ketatnya kain itu menampakan lekak
lekuk tubuhnya yang masih menampakan keindahan di usianya yang 45 tahun itu.
Mulailah aku
mengeroki punggungnya dalam posisi ibu duduk membelakangiku di atas ranjang tua
di mana anakku juga tengah tertidur di atasnya. Selesai, di bagian pangkal
leher dan bahunya, kini gilirang punggung bagian tengah.
“Maaf Bu,
kainnya bisa diturunkan sedikit?” pintaku karena kain kemben itu menghalangi.
Ibu mengangguk
pelan dan membuka ikatan kain tersebut namun karena kurang hati-hati kain itu
melorot hingga pantatnya yang dibungkus celana dalam putih lusuh, dan yang
membuat sesuatu di balik celanaku tak bisa diajak kompromi adalah karena
sekilas sisi payudaranya terlihat. Ibu segera membenahinya dan mendekap sarung
batik itu di dadanya. Aku seolah-olah tak melihat pemandangan indah itu kembali
melanjutkan kerokanku.
Peluh mulai
bercucuran di dahi ku, bukan hanya karena mengeluarkan tenaga tetapi juga
menahan hasrat yang terpendam, setelah setahun berlalu tanpa sentuhan isteriku.
Paling maksimal aku hanya bisa melakukan masturbasi untuk sekedar pelampiasan.
“Ibu kalau
capek, baring aja.” Kataku, ibu menuruti dengan berbaring tengkurap sehingga
aku bisa melanjutkan mengeroki punggung mulusnya itu, yang tampak berkilauan
terkena sinar redup lampu kamar, belang-belang merah bekas kerokan tak bisa
menghilangkan keindahannya.
Keringat
dingin mulai keluar dari pori-pori kulitnya. Aku terus bekerja sampai kemudian
kudengar dengkuran halus keluar dari mulutnya, ibu tertidur. Entah kenapa aku
tak serta merta menghentikan kerokan, seolah-olah ingin lebih lama menikmati
pemandangan sensual tubuhnya. Khawatir ibu terbangun tiba-tiba, kini aku hanya
memijat-mijat pelan pinggangnya.
Terus ke bawah
hingga tumpukan daging kenyal pantatnya yang membusung itu. Mula-mula tanganku
gemetar, namun menyadari ibu seolah-olah kian tenggelam di alam mimpi, aku
makin memberanikan diri. Entah setan mana yang mengendalikanku, usai
berlama-lama menjamah pantatnya, kini kucoba pelorotkan sarungnya ke bawah.
Mataku nanar
menyaksikan bayangan belahan pantatnya dibalik celana dalam lusuh yang menipis
akibat keseringan di cuci itu, mana berlubang di sana-sini menampakan kulit di
belakangnya, desakan batang kontolku kian mendesak celana pendek yang kupakai,
menciptakan semacam tenda kecil di antara selakanganku.
Posting Komentar
0 Komentar