RITUAL
SINOPSIS:
Suara derit
pegas springbed terdengar mengikuti gerak ranjang kala sepasang manusia
berlainan jenis sedang bercinta dengan hebat di atasnya. Sang gadis berambut
hitam panjang dengan lekuk tubuh ramping tanpa sehelai benangpun menatap manja
ke arah pasangannya. Kulit sawo matang cerah gadis itu tampak berkilau berbasuh
keringat, ia mendesahkan kenikmatan di setiap gerakan pinggulnya. Gadis itu
terus mendesah seiring liukkan tubuhnya yang semakin kencang. Beradu nafas
dengan pria yang kini berbaring di bawahnya, mengejar kenikmatan duniawi yang
sukar dilukiskan.
“Aku… mau…
keluar…” Ujar sang pria di sela nafasnya yang memburu.
“Nghh… jangan
di dalam…” Timpal sang gadis yang alih-alih berhenti, ia malah mempercepat
liukan pinggulnya.
Sang pria
mengangkat punggungnya, kedua tangannya memeluk tubuh sang gadis dan dengan
cepat posisi mereka berpindah menjadi yang biasa disebut missionaris atau
konvensional dimana kini sang prialah yang berada di atas dan mengambil
kendali. Tanpa banyak kata-kata, tanpa banyak ancang-ancang, sang pria
menghentakkan pinggulnya dengan kencang berulang kali. Membuat tubuh sang dara
melejit menjerit dalam kenikmatan yang tak terbantahkan lagi.
Dan dalam satu
hentakan kuat, diikuti erangan dari keduanya, menjadi iringan merdu berakhirnya
persetubuhan mereka. Sang gadis masih memekik pelan, matanya menatap pasrah ke
arah sang pria saat kedutan demi kedutan dinding kewanitaannya menyambut
semprotan-semprotan hangat dalam rahimnya. Tubuh sang pria ambruk di atasnya.
Nafas mereka masih tersengal-sengal. Dengan lembut sang gadis mengusap punggung
telanjang pasangannya, seolah mengapresiasikan rasa terima kasih atas
kenikmatan yang baru saja diberikan.
Sang pria
berguling pelan ke samping sang gadis. Menatap langit-langit kosong sebelum beranjak
duduk di atas ranjang, masih di sebelah tubuh menggoda sang dara yang baru saja
ia nikmati.
“Sembilan
puluh sembilan.” Ujar Sang pria lirih diantara nafasnya yang sudah mulai
teratur. Lirih namun cukup jelas untuk sampai ke telinga sang gadis.
“Mmh?” Sang
gadis bertanya malas sebelum dengan satu gerakan cepat, sang pria menutup
wajahnya dengan bantal. Membuatnya kesulitan bernafas. Gadis itu terus meronta,
menjerit, namun semua rontaan dan jeritnya teredam oleh bantal tebal. Tidak
lama kemudian jeritan dan rontaan itu berhenti. Begitu pula detak jantungnya.
***
Shavia
tersenyum saat gadis pelayan datang membawa matcha float pesanannya.
Jari jemarinya yang sedari tadi asyik menari di atas keyboard notebook
miliknya terhenti untuk beberapa saat. Setelah memastikan semua pesanan telah
tersedia, gadis pelayan itu mohon diri dengan sopan. Shavia merespon tata krama
gadis pelayan tersebut dengan mengucapkan terima kasih.
Jari lentik
gadis penulis cerita misteri tersebut menyendok ice cream yang menjadi topping
minumannya. Ia sangat menyukai aroma matcha yang bagi sebagian orang
terasa seperti kotoran burung. Gadis itu berhenti mendadak saat ia merasakan
hawa dingin ganjil mengelus tengkuknya. Sebuah perasaan yang ia alami beberapa
kali dalam sebulan ini. Shavia meletakkan sendoknya dan memandang sekeliling,
mencoba mencari sesuatu yang tidak biasa. Namun ia tak menemukan satu
kejanggalan apapun. Shavia menarik nafas panjang dan kembali menyendok
minumannya.
“Hai.”
Shavia
menjatuhkan sendoknya ke lantai kafe, menimbulkan kegaduhan kecil karena
terkejut dengan sapaan seorang pria yang tidak dikenalnya. Dia benar-benar
tidak melihat atau menyadari kedatangan pria itu sebelumnya. Shavia melayangkan
pandangannya ke arah suara dan menemukan sesosok pria berambut rapi, dengan
kemeja dan celana jeans yang tak kalah rapi. Pria itu tersenyum.
“Maaf, aku
tidak bermaksud mengejutkanmu.” Pria itu berjongkok mengambil sendok yang
dijatuhkan oleh Shavia. Memberi isyarat pada pelayan untuk membawakan sendok
bersih.
“Ah ya, aku
terkejut.” Timpal Shavia.
“Kau sendiri?
Boleh aku menemani?”
“Tidak, terima
kasih.” Shavia menggeleng. Gadis pelayan datang dan memberinya sendok bersih.
“Aku sedang
menunggu seseorang.”
“Namaku Bima.”
Pria itu memperkenalkan diri tanpa mempedulikan isyarat penolakan dari Shavia.
“Kau Shavia
kan?” Shavia memandang ke arah Bima dan mengernyitkan dahinya.
“Kau
mengenalku?”
“Aku melihat
namamu di daftar pesanan.” Jawab sang pria tenang.
“Maaf, tapi
aku sedang sibuk.” Shavia kembali mengalihkan perhatiannya pada notebook
miliknya.
“Oke, tapi
mungkin kita bisa…”
“Ada masalah?
Shavia?” Suara pria lain memecah pembicaraan antara Bima dan Shavia.
“Joe!” Shavia
tersenyum.
“Kenapa lama
sekali?”
“Aku harus
mampir ke rumah Nenekku, ada barang-barang antik yang sedang dalam penawaran.
Aku sudah memberitahumu lewat SMS, kan?” Joe beranjak ke kursi tepat di hadapan
Shavia.
“Siapa pria
ini?” Tanya Joe sembari memandang tajam ke arah Bima.
“Namaku Bima.”
Bima mengulurkan tangannya untuk berjabat. Joe memandang tangan tersebut tanpa
bereaksi.
“Kenalanmu?” Tanya
Joe pada Shavia. Shavia menggeleng.
“Dia
menganggumu?” tanyanya lagi, kali ini Joe melemparkan pandangan mengancam ke
arah Bima.
“Aku tidak
bermaksud mengganggu,” Bima tersenyum tenang.
“Kalau begitu,
pergilah. Kami ada urusan.” Usir Joe. Bima tersenyum dan mengangguk mengerti.
“Sampai jumpa
lagi, Shavia.” Ujarnya sebelum berbalik meninggalkan kafe.
Joe mengambil
duduk tepat di hadapan Shavia, tidak lama kemudian seorang gadis pelayan datang
membawa expresso pesanannya.
“Sepertinya kau memiliki fans.” Goda Joe yang
ditimpali oleh tawa renyah Shavia.
“Kau masih
sibuk dengan barang-barang antik milik nenekmu?” Tanya Shavia kemudian.
“Apa ada
cerita mistis yang menarik?” Joe mengangkat bahunya.
“Bagaimana
dengan guci tua yang penuh kutukan?” Ia menawarkan materi cerita untuk ditulis
Shavia.
“Terlalu umum.”
Shavia menggeleng seraya menyendok kembali float-nya.
“Aku butuh
sesuatu yang baru, yang bisa dikombinasikan dengan mitos dan kriminal.”
“Seperti
sebuah pemujaan?” Joe menuangkan sebungkus gula ke expresso miliknya.
“Sebuah
ritual?”
“Semacam
itulah.”
“Aku bisa
menunjukkan buku tua milik Nenekku. Aku pernah membacanya sekilas. Buku aneh
tentang sihir dan ritual. Isinya bukan hal yang baik, sebagian besar.”
“Contohnya?”
“Ritual
memanggil roh yang memerlukan darah bayi yang lahir di bulan purnama, ritual
yang membuat kita jadi kebal dengan mengkonsumsi darah orang yang baru saja
meninggal.”
“Kedengarannya
menarik!” Mata Shavia berbinar. Seolah ia telah mendapatkan pencerahan
inspirasi.
Posting Komentar
0 Komentar