IMPOTEN

 


SINOPSIS:

GENRE : THRILLER EROTIC

FORMAT : PDF

JUMLAH HALAMAN : 60 HALAMAN

HARGA : Rp 10.000

PROLOG

"Ibu Meri, air panasnya sudah siap!" suara merdu di pagi hari itu terdengar dari mulut dengan bibir merah tidak bergincu.

Perempuan muda itu tersenyum, menyodorkan handuk berwarna krem. nada suaranya merdu, tapi aksen bahasa Indonesianya janggal karena dipengaruhi dialek etnis Kulawi, yang menetap di sekitar Danau Lindu, Kulawi. Di sana anak-anak dari kecil berbicara bahasa Moma. Mereka baru lancar berbahasa Indonesia ketika menginjak bangku SMP.

Mrs. Merryweather mendongak mendengar sapaan yang ringan, tidak bisa menahan senyumnya. Agak sedikit memalukan, sebenarnya, karena semalaman ia merintih di atas tikar busa di dalam Lobo, rumah adat orang Kulawi. Sebagai seorang peneliti, seharusnya ia bersikap profesional dan menjaga citra diri, tetapi kharisma dari Kepala Suku begitu besar. Pria yang berkulit coklat, sedikit lebih pendek tetapi kekar, mempunyai kekuatan menggetarkan sukma yang tidak pernah diketahui orang Barat.

Nama lelaki itu Tanorengke. Tubuhnya kekar dan indah, tanpa ditutupi apapun di bawah lampu 40 watt yang digantung tinggi dilangit-langit. Sepoi angin udara malam terasa sejuk dan membawa harum dari hutan di Gunung Momi. Senyumnya hangat, kedua tangannya ada di sisi kiri dan kanan perempuan bule yang putih dan halus walau usianya sudah 46 tahun. Kedua pahanya yang panjang jenjang dikangkangkan, selebar-lebarnya. Sepasang paha yang halus, dengan warna putih kemerahan. Berkeringat, berotot, mengangkang lebar untuk membuka jalan seluasnya dan selebarnya. Pria itu panas seperti bumi, bergerak turun naik. Masuk keluar.

Penis itu besar. Lebih besar daripada yang pernah memasuki vaginanya. Merry menggigit bibirnya, menahan nafas, berusaha untuk tidak bersuara ketika batang coklat kekar panjang berdiameter besar itu menerobos masuk. Penuh, ia menggigit bibirnya, menahan tidak bersuara, karena dari dalam sungguh ingin berteriak menyuarakan kenikmatan. Ia masih bisa menahan, selagi baru kepala kekar penis yang menggosok-gosok bibir luar vaginanya. Tidak sabar untuk hujaman, tusukan. Kapan siksaan nikmat ini berakhir?

"Ouuughhhh.....Aahhhhhh!"

Batang kekar amblas semua di liangnya, sampai mentok. Sepasang kaki perempuan itu menendang-nendang udara. Kepalanya mendongak, matanya terbelalak, merasa seperti diperawani kembali. Setelah lebih dari 17 bulan sejak meninggalkan New Hampshire, Merryweather tidak pernah merasakan kelamin lelaki menerobos vaginanya dengan kekuatan bagaikan ombak lautan. Menghujam. Menghujam. Menghujam. Terbenam sedalam-dalamnya. Merry memutar pinggulnya berusaha mengimbangi hujaman nikmat itu.

Tanorengke tidak mengurangi ritme gerakannya, walau ia memelintir ke kiri dan ke kanan. Kenikmatan disetubuhi, membuat kedua puting Merryweather mengeras seperti kacang di atas dua bulatan payudara yang penuh dan kencang, jauh lebih kencang daripada perempuan kulit putih seumurnya. Kenikmatan itu begitu memabukkan, bahkan mereka tidak perlu berganti posisi selama setengah jam penuh di mana orgasme sudah melanda wanita itu paling sedikit tiga kali. Akhirnya, Tanorengke menggeram dan menghujamkan penisnya dalam-dalam. Bergetar.

"Aaarrgghhhhhhh.......!!!"

Crooooottt...

Semburannya terasa nikmat di dalam sana. Sepasang kaki jenjang Merryweather menekuk dan menahan pantat kekar lelaki yang sedang menindihnya, memastikan penis itu terbenam sampai ke pangkalnya. Sampai bulu bertemu bulu. Sampai tulang bertemu tulang. Orgasme hebat kembali melanda, entah yang keberapa kali. Dunia menjadi gelap, karena ada batas tubuh bisa menahan jumlah orgasme dalam satu kali persetubuhan.

Ketika kesadaran kembali ke kepalanya, Merryweather dengan gemetar berusaha duduk. Tanorengke sudah tidak kelihatan, sebagai gantinya gadis itu, namanya Ngginayo, singkatnya dipanggil Nayo, bersimpuh tersenyum sambil membawa segelas air teh yang harum. Bukan teh biasa, karena terasa hangat dan menguatkan. Saat itu baru Merryweather menyadari keadaannya yang telanjang bulat, dengan lendir masih meleleh keluar dari vaginanya, mengalir ke paha dalam, terus membasahi kain alas tikar.

Tapi Nayo hanya tersenyum, melihat wanita yang baru disetubuhi ayahnya itu gemetar setelah dilanda kenikmatan bertubi-tubi tanpa henti selama satu jam. Ia membawakan 2 lembar kain bersih, satu untuk mengganti alas tikar yang basah berlendir, satu lagi untuk menutupi tubuh telanjang yang entah kenapa terasa enak berbugil ria. Bolehkah tidak usah berpakaian? Semua seperti kabut, kain itu pun dikenakan sambil meluncur dunia tanpa mimpi.

Merryweather pun terlelap, dan baru terbangun oleh sapaan tadi. Malu, bangun kesiangan. Lagi-lagi Nayo hanya tersenyum manis. Gadis yang berpenampilan seperti gadis biasa lain dengan T-Shirt dan rok panjang, sama sekali tidak kelihatan sensual, kecuali sepasang dadanya yang nampak besar. Cantik, polos tanpa make up, dengan rambut hitam tergerai sampai ke pinggang. Kulitnya putih halus, bahkan bule seperti keturunan Belanda.

Oh ya, orang-orang Belanda memang pernah ada di sini, kata Merryweather dalam hati. Mereka dulu juga terpesona dengan keindahan Danau Lindu dan kecantikan gadis-gadisnya, sehingga meninggalkan sejumlah bayi terlahir tanpa ayah. Gen Belanda itu masih ada dan dibawa oleh keturunan etnis Kulawi. Untuk Kabupaten Sigi, mereka memang minoritas, namun jangan salah, mereka punya kebanggaan yang besar. Tidak heran, mereka adalah orang-orang yang mengagumkan. Di satu sisi agak kampungan memang, tidak mengerti segala teknologi tinggi. Mereka belum kecanduan pegang gadget setiap hari, sepanjang waktu. Tetapi bukan tidak cerdas, karena mereka tahu bagaimana caranya hidup lebih enak dengan fasilitas sesederhana ini.

Tak lama kemudian, Merryweather menikmati mandi air hangatnya, kemudian terus bergegas sarapan pagi. Tanorengke adalah Kepala Suku yang dihormati penduduk sana dan disebut Maradika, artinya keturunan raja, tetapi sejak jaman Orba Harto mereka sama susahnya dengan semua penduduk lainnya. Oleh karena itu, melihat hidangan sarapan pagi untuk Merryweather yang beragam terasa istimewa, masakan tradisional Kulawi yang ternyata rasanya enak sekali. Bagaimana cara orang-orang itu memasaknya, ya?

Hanya, bukan soal ngeseks atau makan yang jadi alasan Merryweather ke tempat ini. Sebenarnya, ia adalah seorang peneliti geologi dari USGS, bidang utamanya geomagnetik bumi, dan dalam tiga tahun terakhir menemukan adanya anomali yang muncul dari puncak Gunung Momi, di Sulawesi Tengah. Sinyal elektromagnetik kuat terpancar dan dideteksi oleh satelit NOAA yang memakai perangkat Advanced Very High Resolution Radiometer (AVHRR). Karena fenomena hasil pengukuran tidak bisa dijelaskan oleh teori yang ada, maka ia ditugaskan untuk mencari tahu apa yang sebenarnya ada di area itu.

Dan sudah 15 bulan berlalu tanpa hasil. Padahal, ia sudah diperlengkapi oleh citra satelit beresolusi tinggi. Tanorengke selama 15 bulan ini menjadi pemandunya yang baik, yang ganteng, memberi rasa aman dan akhirnya semalam membuatnya mengetahui ada kenikmatan seks diluar yang pernah dibayangkan. Menggetarkan. Memalukan. Karena itu, Merryweather bertekad untuk membuat suatu hasil hari ini, dengan semangat baru setelah puas orgasme berulang kali.

 “I didn’t come here just to fuck, right? ....”

"Nayo kamu ikut?"

"Iya Bu, karena Pak Datu sedang kurang sehat. Jadi saya dan ayah akan menemani Ibu Meri."

"Eh, berapa usiamu, Nayo? Tujuh belas?" begitulah penampilan anak remaja tujuh belasan di kotanya. Nayo tidak bisa menahan tawanya.

"Saya sekarang sudah 20 tahun Bu. Selama ini saya bekerja jadi perawat di Kota Palu. Tapi ayah minta saya kembali." Gadis itu nampak manis sekali.

"Well, wow! Jadi sekarang Nayo sudah menikah...?"

"Eh ah.... belum Bu." Nayo menundukkan kepalanya.

Biasanya, gadis-gadis di sana sudah menikah di usia 17 dan sudah punya satu atau dua orang anak di usia 20. Apalagi gadis secantik Nayo, yang kulitnya lebih putih, badannya tinggi, ramping, dengan pantat membulat, Merryweather mengangkat sebelah alisnya. Kebiasaan saat ia berpikir dalam. Gadis cantik ini menarik perhatiannya.

Mungkin karena ayahnya adalah Maradika, keturunan raja? Nampaknya tidak semua orang siap meminang putri Raja, bukan? Merryweather tidak bisa melanjutkan pikirannya lama-lama, karena rombongan mereka segera berangkat sekali lagi ke puncak gunung, melintasi hutan yang cukup lebat. Kini waktunya untuk berkonsentrasi, jangan ada instrumen yang tertinggal. Semua teknologi tinggi ini dibuat kuat dan tahan bencana alam tapi tidak ada yang berguna kalau sampai tertinggal dibawa. Satu orang bertanggung jawab untuk membawa satu peti peralatan kecil, sebesar koper 24 inch. Ada 23 orang pengangkut, serta delapan lainnya yang membuka jalan, atau menjadi inti rombongan seperti dirinya. Juga Nayo.

Hari sudah menjelang malam ketika rombongan kecil itu mencapai daerah puncak, yang tidak terlalu tinggi. Di sana pepohonan lebih jarang, kebanyakan ditumbuhi sejenis pohon pinus, dengan beberapa bagian masih berbatu besar-besar. Tapi di sebelah Timur ada tanah yang lapang dan kering, juga di sebelahnya ada aliran air. Mereka pun terus berkemah di tanah lapang itu, sambil mengeluarkan peralatan deteksi yang dibawa beberapa pengangkut.

Dalam dua jam serangkaian peralatan canggih itu terpasang dengan baik, dan Mrs. Merryweather terus menyalakan generator kecil tapi kuat, memberi cukup listrik untuk semua alat-alat itu. Baru sepuluh menit menyala, wanita peneliti itu mengernyitkan dahinya. Semua instrumen panel menunjukkan level yang tidak masuk akal. Radiasi tinggi! Gila-gilaan. Di mana mereka berada?

Merryweather berusaha menemukan apa yang salah hingga larut malam, tanpa hasil. Peralatan tidak kelihatan rusak tapi tetap memberikan hasil deteksi yang tidak masuk akal. Ia sudah diujung rasa putus asa, ketika suara denging pertama terdengar di perkemahan mereka.

ZZIIIIINNNNGGGGGGG....

Orang-orang keluar dari tenda. Seluruh alam seperti dipenuhi oleh suara denging itu, terasa menyeramkan di malam yang penuh bintang.



Posting Komentar

0 Komentar