IMPOTEN
SINOPSIS:
"Ibu
Meri, air panasnya sudah siap!" suara merdu di pagi hari itu terdengar
dari mulut dengan bibir merah tidak bergincu.
Perempuan muda
itu tersenyum, menyodorkan handuk berwarna krem. nada suaranya merdu, tapi
aksen bahasa Indonesianya janggal karena dipengaruhi dialek etnis Kulawi, yang
menetap di sekitar Danau Lindu, Kulawi. Di sana anak-anak dari kecil berbicara
bahasa Moma. Mereka baru lancar berbahasa Indonesia ketika menginjak bangku
SMP.
Mrs.
Merryweather mendongak mendengar sapaan yang ringan, tidak bisa menahan
senyumnya. Agak sedikit memalukan, sebenarnya, karena semalaman ia merintih di
atas tikar busa di dalam Lobo, rumah adat orang Kulawi. Sebagai seorang
peneliti, seharusnya ia bersikap profesional dan menjaga citra diri, tetapi kharisma
dari Kepala Suku begitu besar. Pria yang berkulit coklat, sedikit lebih pendek
tetapi kekar, mempunyai kekuatan menggetarkan sukma yang tidak pernah diketahui
orang Barat.
Nama lelaki
itu Tanorengke. Tubuhnya kekar dan indah, tanpa ditutupi apapun di bawah lampu
40 watt yang digantung tinggi dilangit-langit. Sepoi angin udara malam terasa
sejuk dan membawa harum dari hutan di Gunung Momi. Senyumnya hangat, kedua
tangannya ada di sisi kiri dan kanan perempuan bule yang putih dan halus walau
usianya sudah 46 tahun. Kedua pahanya yang panjang jenjang dikangkangkan,
selebar-lebarnya. Sepasang paha yang halus, dengan warna putih kemerahan.
Berkeringat, berotot, mengangkang lebar untuk membuka jalan seluasnya dan
selebarnya. Pria itu panas seperti bumi, bergerak turun naik. Masuk keluar.
Penis itu
besar. Lebih besar daripada yang pernah memasuki vaginanya. Merry menggigit
bibirnya, menahan nafas, berusaha untuk tidak bersuara ketika batang coklat
kekar panjang berdiameter besar itu menerobos masuk. Penuh, ia menggigit
bibirnya, menahan tidak bersuara, karena dari dalam sungguh ingin berteriak
menyuarakan kenikmatan. Ia masih bisa menahan, selagi baru kepala kekar penis
yang menggosok-gosok bibir luar vaginanya. Tidak sabar untuk hujaman, tusukan.
Kapan siksaan nikmat ini berakhir?
"Ouuughhhh.....Aahhhhhh!"
Batang kekar
amblas semua di liangnya, sampai mentok. Sepasang kaki perempuan itu
menendang-nendang udara. Kepalanya mendongak, matanya terbelalak, merasa
seperti diperawani kembali. Setelah lebih dari 17 bulan sejak meninggalkan New
Hampshire, Merryweather tidak pernah merasakan kelamin lelaki menerobos
vaginanya dengan kekuatan bagaikan ombak lautan. Menghujam. Menghujam.
Menghujam. Terbenam sedalam-dalamnya. Merry memutar pinggulnya berusaha
mengimbangi hujaman nikmat itu.
Tanorengke
tidak mengurangi ritme gerakannya, walau ia memelintir ke kiri dan ke kanan.
Kenikmatan disetubuhi, membuat kedua puting Merryweather mengeras seperti
kacang di atas dua bulatan payudara yang penuh dan kencang, jauh lebih kencang
daripada perempuan kulit putih seumurnya. Kenikmatan itu begitu memabukkan,
bahkan mereka tidak perlu berganti posisi selama setengah jam penuh di mana
orgasme sudah melanda wanita itu paling sedikit tiga kali. Akhirnya, Tanorengke
menggeram dan menghujamkan penisnya dalam-dalam. Bergetar.
"Aaarrgghhhhhhh.......!!!"
Crooooottt...
Semburannya
terasa nikmat di dalam sana. Sepasang kaki jenjang Merryweather menekuk dan
menahan pantat kekar lelaki yang sedang menindihnya, memastikan penis itu
terbenam sampai ke pangkalnya. Sampai bulu bertemu bulu. Sampai tulang bertemu
tulang. Orgasme hebat kembali melanda, entah yang keberapa kali. Dunia menjadi
gelap, karena ada batas tubuh bisa menahan jumlah orgasme dalam satu kali
persetubuhan.
Ketika
kesadaran kembali ke kepalanya, Merryweather dengan gemetar berusaha duduk.
Tanorengke sudah tidak kelihatan, sebagai gantinya gadis itu, namanya Ngginayo,
singkatnya dipanggil Nayo, bersimpuh tersenyum sambil membawa segelas air teh
yang harum. Bukan teh biasa, karena terasa hangat dan menguatkan. Saat itu baru
Merryweather menyadari keadaannya yang telanjang bulat, dengan lendir masih
meleleh keluar dari vaginanya, mengalir ke paha dalam, terus membasahi kain
alas tikar.
Tapi Nayo
hanya tersenyum, melihat wanita yang baru disetubuhi ayahnya itu gemetar
setelah dilanda kenikmatan bertubi-tubi tanpa henti selama satu jam. Ia
membawakan 2 lembar kain bersih, satu untuk mengganti alas tikar yang basah
berlendir, satu lagi untuk menutupi tubuh telanjang yang entah kenapa terasa
enak berbugil ria. Bolehkah tidak usah berpakaian? Semua seperti kabut, kain
itu pun dikenakan sambil meluncur dunia tanpa mimpi.
Merryweather
pun terlelap, dan baru terbangun oleh sapaan tadi. Malu, bangun kesiangan.
Lagi-lagi Nayo hanya tersenyum manis. Gadis yang berpenampilan seperti gadis
biasa lain dengan T-Shirt dan rok panjang, sama sekali tidak kelihatan sensual,
kecuali sepasang dadanya yang nampak besar. Cantik, polos tanpa make up, dengan
rambut hitam tergerai sampai ke pinggang. Kulitnya putih halus, bahkan bule
seperti keturunan Belanda.
Oh ya,
orang-orang Belanda memang pernah ada di sini, kata Merryweather dalam hati.
Mereka dulu juga terpesona dengan keindahan Danau Lindu dan kecantikan
gadis-gadisnya, sehingga meninggalkan sejumlah bayi terlahir tanpa ayah. Gen
Belanda itu masih ada dan dibawa oleh keturunan etnis Kulawi. Untuk Kabupaten
Sigi, mereka memang minoritas, namun jangan salah, mereka punya kebanggaan yang
besar. Tidak heran, mereka adalah orang-orang yang mengagumkan. Di satu sisi
agak kampungan memang, tidak mengerti segala teknologi tinggi. Mereka belum
kecanduan pegang gadget setiap hari, sepanjang waktu. Tetapi bukan tidak
cerdas, karena mereka tahu bagaimana caranya hidup lebih enak dengan fasilitas
sesederhana ini.
Tak lama
kemudian, Merryweather menikmati mandi air hangatnya, kemudian terus bergegas
sarapan pagi. Tanorengke adalah Kepala Suku yang dihormati penduduk sana dan
disebut Maradika, artinya keturunan raja, tetapi sejak jaman Orba Harto mereka
sama susahnya dengan semua penduduk lainnya. Oleh karena itu, melihat hidangan
sarapan pagi untuk Merryweather yang beragam terasa istimewa, masakan
tradisional Kulawi yang ternyata rasanya enak sekali. Bagaimana cara
orang-orang itu memasaknya, ya?
Hanya, bukan
soal ngeseks atau makan yang jadi alasan Merryweather ke tempat ini.
Sebenarnya, ia adalah seorang peneliti geologi dari USGS, bidang utamanya
geomagnetik bumi, dan dalam tiga tahun terakhir menemukan adanya anomali yang
muncul dari puncak Gunung Momi, di Sulawesi Tengah. Sinyal elektromagnetik kuat
terpancar dan dideteksi oleh satelit NOAA yang memakai perangkat Advanced Very
High Resolution Radiometer (AVHRR). Karena fenomena hasil pengukuran tidak bisa
dijelaskan oleh teori yang ada, maka ia ditugaskan untuk mencari tahu apa yang
sebenarnya ada di area itu.
Dan sudah 15
bulan berlalu tanpa hasil. Padahal, ia sudah diperlengkapi oleh citra satelit
beresolusi tinggi. Tanorengke selama 15 bulan ini menjadi pemandunya yang baik,
yang ganteng, memberi rasa aman dan akhirnya semalam membuatnya mengetahui ada
kenikmatan seks diluar yang pernah dibayangkan. Menggetarkan. Memalukan. Karena
itu, Merryweather bertekad untuk membuat suatu hasil hari ini, dengan semangat
baru setelah puas orgasme berulang kali.
“I didn’t come here just to fuck, right? ....”
"Nayo
kamu ikut?"
"Iya Bu,
karena Pak Datu sedang kurang sehat. Jadi saya dan ayah akan menemani Ibu
Meri."
"Eh,
berapa usiamu, Nayo? Tujuh belas?" begitulah penampilan anak remaja tujuh
belasan di kotanya. Nayo tidak bisa menahan tawanya.
"Saya
sekarang sudah 20 tahun Bu. Selama ini saya bekerja jadi perawat di Kota Palu.
Tapi ayah minta saya kembali." Gadis itu nampak manis sekali.
"Well,
wow! Jadi sekarang Nayo sudah menikah...?"
"Eh
ah.... belum Bu." Nayo menundukkan kepalanya.
Biasanya,
gadis-gadis di sana sudah menikah di usia 17 dan sudah punya satu atau dua
orang anak di usia 20. Apalagi gadis secantik Nayo, yang kulitnya lebih putih,
badannya tinggi, ramping, dengan pantat membulat, Merryweather mengangkat
sebelah alisnya. Kebiasaan saat ia berpikir dalam. Gadis cantik ini menarik
perhatiannya.
Mungkin karena
ayahnya adalah Maradika, keturunan raja? Nampaknya tidak semua orang siap
meminang putri Raja, bukan? Merryweather tidak bisa melanjutkan pikirannya
lama-lama, karena rombongan mereka segera berangkat sekali lagi ke puncak
gunung, melintasi hutan yang cukup lebat. Kini waktunya untuk berkonsentrasi,
jangan ada instrumen yang tertinggal. Semua teknologi tinggi ini dibuat kuat
dan tahan bencana alam tapi tidak ada yang berguna kalau sampai tertinggal
dibawa. Satu orang bertanggung jawab untuk membawa satu peti peralatan kecil,
sebesar koper 24 inch. Ada 23 orang pengangkut, serta delapan lainnya yang
membuka jalan, atau menjadi inti rombongan seperti dirinya. Juga Nayo.
Hari sudah
menjelang malam ketika rombongan kecil itu mencapai daerah puncak, yang tidak
terlalu tinggi. Di sana pepohonan lebih jarang, kebanyakan ditumbuhi sejenis
pohon pinus, dengan beberapa bagian masih berbatu besar-besar. Tapi di sebelah
Timur ada tanah yang lapang dan kering, juga di sebelahnya ada aliran air.
Mereka pun terus berkemah di tanah lapang itu, sambil mengeluarkan peralatan
deteksi yang dibawa beberapa pengangkut.
Dalam dua jam
serangkaian peralatan canggih itu terpasang dengan baik, dan Mrs. Merryweather
terus menyalakan generator kecil tapi kuat, memberi cukup listrik untuk semua
alat-alat itu. Baru sepuluh menit menyala, wanita peneliti itu mengernyitkan
dahinya. Semua instrumen panel menunjukkan level yang tidak masuk akal. Radiasi
tinggi! Gila-gilaan. Di mana mereka berada?
Merryweather
berusaha menemukan apa yang salah hingga larut malam, tanpa hasil. Peralatan
tidak kelihatan rusak tapi tetap memberikan hasil deteksi yang tidak masuk
akal. Ia sudah diujung rasa putus asa, ketika suara denging pertama terdengar
di perkemahan mereka.
ZZIIIIINNNNGGGGGGG....
Orang-orang
keluar dari tenda. Seluruh alam seperti dipenuhi oleh suara denging itu, terasa
menyeramkan di malam yang penuh bintang.
Posting Komentar
0 Komentar