ISTRI MUDA
SINOPSIS :
PART 1
Suasana
terlihat begitu ramai di sebuah rumah makan, puluhan orang asyik bercengkrama
bersama kolega, sahabat, maupun pasangan sambil menyantap hidangan yang telah
disajikan di atas meja. Riuh suara pengunjung berbanding lurus dengan kesibukan
para pekerja rumah makan, ada yang sibuk menyelesaikan order masakan, ada yang
sibuk melayani pengunjung yang baru saja datang, ada juga yang sibuk melayani
pembeli yang hendak melakukan pembayaran di depan meja kasir. Ayu Hapsari, 22
tahun, terlihat hilir mudik menyajikan makanan yang telah selesai di masak oleh
sang juru masak kepada para pengunjung. Langkah gadis itu terlihat gesit, lelah
yang dia rasakan tidak terlihat pada raut wajahnya meskipun sudah sejak pagi
hari dia mulai bekerja. Beberapa kali Ayu terlihat mengelap keringat yang
menempel di keningnya, senyum seolah tak pernah lepas dari bibirnya, Disamping
itu yang diharuskan oleh sang majikan pada Ayu saat melakukan pekerjaan tapi
juga karena Ayu begitu murah mengumbar senyumnya.
"Yu, coba
Kamu lihat meja nomor 21, sepertinya mereka sudah akan pergi." Perintah
Mbak Sinta , wanita paruh baya berusia 32 tahun kepada Ayu.
"Baik
Mbak." Jawab Ayu sambil bergegas menuju meja nomor 21, sesuai dengan apa
yang diperintahkan oleh Mbak Sinta, keponakan sang pemilik rumah makan yang
bertugas sebagai manajer.
Sementara itu
di dapur, seorang pria berusia 33 tahun sibuk memberi perintah kepada beberapa
pekerja dapur yang menyelesaikan orderan masakan, sesekalai terdengar dia
berteriak saat ada yang kurang tepat dengan apa yang dilakukan oleh pekerja
dapur, tatapan matanya tajam seolah siap menerkam siapa saja. Pak Baroto,
merupakan juru masak yang juga adalah suami dari Mbak Sinta. Setelah melalang
buana di seantero Asia sebagai juru masak di berbagai macam hotel mewah, Pak
Baroto akhirnya bersedia pulang ke Indonesia untuk mengurusi rumah makan yang
dikelola oleh istrinya. Tugas Pak Baroto sedikit lebih ringan karena rumah
makan tersebut sudah memiliki beberapa koki handal, dia hanya ikut memasak jika
ada pelanggan khusus atau saat pengunjung membludak di akhir pekan, selain
situasi itu Pak Baroto hanya bertugas mengawasi sekaligus memberikan instruksi
kepada para koki dan pekerja dapur. Pengalaman dan kualitas Pak Baroto sebagai
seorang juru masak handal cukup untuk membuat para pekerja lain
"takut" saat menghadapi tatapan tajam Pak Baroto.
Rumah makan
"The East" adalah rumah makan modern yang didirikan oleh Anwar
Hambali, seorang pria tua, yang terkenal karena kekayaannya. Meskipun baru
berdiri kurang dari satu tahun tapi The East sudah berhasil menggaet ratusan
pengunjung setiap minggunya. Variasi masakan yang beragam, ditambah rasa
masakan yang cocok untuk semua lidah, apalagi lokasi strategis rumah makan yang
berada tepat di jantung pusat kota cukup membuat The East melejit dalam waktu
singkat menggeser pamor rumah makan lain.
Anwar Hambali
memang terkenal sebagai seorang pengusaha handal, mental usahanya ditempa sejak
kecil. Lahir dari sebuah keluarga yang jauh dari kata berkecukupan membuat
Anwar terasah mentalnya dalam berusaha meniti kesuksesan. Insting bisnisnya
seperti terasah di jalanan, dia bisa menakar bisnis apa yang menguntungkan dan
bisnis apa yang tidak menjanjikan hanya dari pengamatannya saja. Mungkin ini
sebuah anugerah, tapi mungkin juga sebagai kutukan karena insting bisnis wahid
ini juga diaplikasikana Anwar dalam hidup. Usianya sudah hampir 65 tahun, tapi
orang tua itu masih betah melajang. Sepanjang hidup yang dia pikirkan adalah
hanya masalah uang, seolah uang adalah segalanya. Baginya apapun di dunia ini
bisa dilabeli dengan urutan angka-angka, termasuk soal harga diri dan cinta.
Maka tak heran jika saat ini Anwar mulai kebingungan mewariskan kerajaan
bisnisnya kepada siapa, seorang pria tua lajang tanpa pendamping hidup dan
keturunan.
Beruntung ada
Sinta, satu-satunya keponakan Anwar Hambali, dia adalah putri tunggal Rohati
Hambali, adik kandungnya. Di pundak Sinta lah kini Anwar mulai mencoba
memasrahkan bisnis-bisnisnya, selain bisnis restoran, Anwar juga mulai
memberikan penugasan kepada Sinta untuk mengusrusi bisnis apartement, retail,
dan ekspedisi. Sinta tidak bisa menolak keinginan sang Paman, karena sepanjang
hidupnya seluruh kebutuhan hidup dia bersama sang Ibu dibiayai oleh sang Paman.
Balas jasa yang tidak bisa dia tolak, beruntung sang suami, Baroto Adriyan,
bisa memahami situasi ini. Meskipun wataknya keras dan kaku tapi Baroto
mengijinkan istrinya untuk membantu mengurusi bisnis sang Paman, bahkan
akhirnya dia juga ikut masuk dalam bisnis tersebut, kembali pulang ke Indonesia
dan menolak jabatan sebagai manajer restoran mewah di Las Vegas.
*****
"Pastikan
semuanya bersih ! Saya tidak ingin melihat ada bekas noda minyak, bumbu, atau
apapun itu di atas meja!" Perintah Baroto kepada 4 orang karyawan yang
bertugas membersihkan dapur saat rumah makan closing padsa malam hari.
"Baik
Chef." Jawab mereka kompak kemudian mulai melaksanakan tugas yang
diberikan oleh Baroto.
"Sudah
beres Mas?" Tanya Sinta yang baru saja memasuki dapur.
"Tinggal
sedikit lagi, ada apa?"
"Nggak
ada apa-apa, cuma kangen ini." Ucap Sinta sambil mengelus selangkangan
Baroto. Baroto terkejut dan seketika matanya melotot menanggapi godaan istrinya
itu.
Sang istri
hanya tersenyum nakal seolah mata tajam Baroto tidak menyurutkan hasrat
seksualnya untuk segera dipuaskan. Sinta memang memiliki hasrat sex yang
menggebu-gebu, dulu saat masih lajang, puluhan pria berhasil dia taklukan tak
hanya dalam urusan hati tapi juga dalam urusan ranjang. Baroto lah satu-satunya
pria yang bisa "menaklukan" keliarannya di atas ranjang.
"Kau tak
lihat Aku masih sibuk di sini?" Protes Baroto pada godaan nakal sang
istri.
"Aku cuma
butuh 15 menit saja Mas..." Ucap Sinta, kali ini tangannya dengan sengaja
meremas kemaluan Baroto dari luar, membuat pria itu kembali menahan nafas.
Baroto langsung menyeret keluar sang istri dari area dapur, dia tidak ingin
kenakalan sang istri disaksikan oleh para karyawan dapur.
"Saya
akan cek 10 menit lagi, pastikan semuanya bersih!" Kata Baroto sambil
menyeret Sinta keluar ruangan.
Baroto
mengajak sang istri masuk ke dalam kamar mandi karyawan yang terletak di bagian
ujung belakang restoran, tempat favorit mereka untuk melepaskan hasrat seksual
saat jam-jam kerja. Tak terhitung sudah berapa kali lenguhan dan erangan
keduanya terdengar dari dalam kamar mandi itu. Beberapa karyawan sebenarnya
sempat memergoki mereka berdua keluar dari dalam kamar mandi bersamaan dengan
penampilan kusut, tapi tidak ada satupun karyawan restoran yang berani
membicarakan tentang apa yang terjadi di dalam kamar mandi. Ketakutan akan
kehilangan pekerjaan membuat mereka mengunci rapat-rapat mulut terhadap tingkah
pasutri ini yang tak lain adalah atasan mereka.
"Kau ini
selalu saja...." Gerutu Baroto saat sudah berada di dalam kamar mandi
bersama Sinta.
"Hihihihi...Salah
sendiri kenapa tadi pagi Aku nggak Kamu kasih minum spermamu..." Ucap
Sinta mengingatkan suaminya tentang morning sex tadi pagi setelah bangun tidur.
"Ah
sudahlah...Ayo buruan, Aku ingin segera pulang setelah ini." Kata Baroto
sambil membuka resleting celananya, mengeluarkan penis jumbonya ke hadapan
Sinta yag sudah jongkok, bersiap mengulum penis sang suami.
"Aku
paling suka kalo Kamu jutek kayak gini Mas...Hihihihi...Emmmhhhhhh....."
Sinta mulai
menjulurkan lidahnya, menyapu seluruh permukaan lubang kencing Baroto, kemudian
memasukkan seluruh kepala penis sang suami ke dalam mulutnya. Tubuh Baroto
mulai menegang, rangsangan mulut Sinta pada batang penisnya perlahan mulai
membakar birahi pria gagah tersebut. Kedua tangannya meremas rambut Sinta
kemudian menggerakkan kepala istrinya itu maju mundur mengikuti irama
pinggulnya yang bergerak, merangsek ke dalam mulut sang istri.
"Aaaaacchhhh....Fuck...!
Aaaaacchhh....!" Erang Baroto saat dengan sengaja Sinta menyedot kuat-kuat
ujung penisnya.
"Eeemccchhhhh!!!!
Aaaaarrrgghhttt!!" Sinta mengerang, matanya melotot saat Baroto memaksa
seluruh batang penisnya merangsek ke dalam mulut Sinta, membuat kerongkongan
wanita cantik itu tersedak dan hampir mengeluarkan seluruh isi perutnya keluar.
"Haaaaaahhh!!
Ayo Mas, masukin." Ucap Sinta sambil berdiri dan menyodorkan pantatnya ke
hadapan penis Baroto.
"Pegangan
situ Mah." Kata Baroto menunjuk permukaan pintu kamar mandi, tanga Baroto
kemudian dengan tangkas melorotkan celana dalam Sinta ke bawah.
PLAAAK!!!
PLAAAAAK!!!
"Auuuww!!
Pelan Mas! Sakit tau!" protes Sinta pada Baroto saat sang suami menampar
keras pantatnya dari belakang.
Baroto tak
menghiraukan protes istrinya, pria itu mengarahkan punggung Sinta agar lebih
membungkuk, membuat gumpalan padat pantat Sinta menyembul, menantang birahi
Baroto untuk segera dipuaskan.
"Aaaacchhhhg
Maaass!!!" Erang Sinta saat penis Baroto mulai menerobos masuk ke dalam
vaginanya.
Kasar, keras,
dan cepat, begitulah cara Baroto menyetubuhi Sinta setiap hari, sejak dulu saat
masih pacaran. Erangan Sinta selalu berhasil mebuat libido pria itu semakin
meninggi, menagih untuk bisa dipuaskan. Sinta bukannya enggan untuk bermain
kasar, tapi justru itu yang membuat dia tergila-gila kepada Baroto. Untuk
pertama kalinya dalam hidup, ada pria yang bisa meladeni kebinalannya dalam
urusan sex, bahkan tak hanya sekedar meladeni, tapi Baroto juga berhasil
menaklukan hegemoni serta superioritas Sinta dalam urusan sex. Ya, hanya Baroto
selama ini yang bisa menaklukan Sinta untuk urusan syahwat.
"Aaaaachhhh..Maaas!!!
Aaaacchggghhh...!!!"
Sinta terus
mengerang nikmat, sementara Baroto terus menggerakkan pinggulnya maju mundur
dengan kecepatan tinggi. Baroto merasakan lubang istrinya semakin basah dan
becek, penetrasi cepatnya semakim mudah untuk dilakukan. Baroto semakin
mempercepat sodokannya, kedua tangannya meremas pinggul serta pantat sang istri
sambil sesekali menamparnya.
"Aaaaacchhhh....Aaaaacchhh...Yah
Mas...Habisin Mas!! Habisin!!" Sinta mulai meracau tak karuan, kepalanya
ikut bergerak liar mengikuti hentakan pinggul sang suami dari belakang.
"Eewwmmcchhh!!
Suka Mah..?? Hmmm...??" Goda Baroto, satu tanganya menjambak rambut Sinta
dengan kasar dari belakang, membuat kepala wanita cantik itu mendongak ke atas.
"Aaaachhhh...Iyaah
Mas..!! Aku suka kontol Mas...!!! Aaaacchgghhh!! Fuck!!!!" Sinta seperti
kesetanan, hantaman penis Baroto dari belakang dengan kecepatan tinggi berhasil
membuat wanita cantik itu sebentar lagi akan mendapatkan orgasme.
"Maaass!!!
Aakuh mau nyampek!!! Aaaacchhhh Maasss!!!!" Ucap Sinta binal. Baroto hanya
tersenyum simpul, untuk kesekian kalinya dia berhasil membuat sang istri kalah
untuk urusan sex.
"Mass...Aku
mau Kamu keluarin juga pejuhmu...Aaaacchhh!!!" Ucap Sinta, dia ingin
merasakan hangatnya semburan sperma sang suami mengingat tadi pagi sang suami
mengerjainya dengan tidak mengeluarkan spermanya saat melakukan persetubuhan.
"Hmmm...Mau
dikeluarin dimana...? Hmmm..?" Goda Baroto, seolah menggelitik birahi
Sinta yang sudah benar-benar terbakar.
"Aaaarghhttt
Maasss!! Keluarin pejumu!!! Aaaaacchggtt!! Maaass...Aku
keluar...Aaacchhhhggttt!!!"
Erangan Sinta
bebarengan dengan reaksi tubuhnya yang mengejang hebat, Sinta mendapatkan
orgasmenya. Baroto menghentikan gerakan pinggulnya dia memegangi pinggul sang
istri agar tubuhnya tidak jatuh ke lantai kamar mandi. Baroto tau jika saat ini
lutut dan kaki Sinta lemas akibat orgasme hebat yang baru saja diterimanya.
"Aaaaahhhh....Aaaahhh....Kamu
selalu bisa bikin Aku lemes kayak gini Mas...." Ucap Sinta manja.
"Udahan
nih...?" Kata Baroto dengan senyum tersungging di bibirnya.
"Ihhh...Nggak
mau!! Keluarin dulu ih peju Kamu Mas! Tadi pagi udah dikerjain, masak sekarang
dikerjain lagi sih...?!" Protes Sinta dengan mimik muka cemberut.
"Hehehehe...Iya...Iya...gitu
aja ngambek." Kata Baroto sambil melepaskan penisnya dari dalam vagina
Sinta.
"Kok
dilepas..?" Tanya Sinta.
"Katanya
mau minum peju....?" Jawab Baroto santai.
Sinta segera
kembali jongkok di bawah tubuh Baroto, tanpa menunggu waktu wanita cantik itu
langsung mengulum penis sang suami. Seperti sudah menahan rasa lapar sekian
lama, Sinta melahap seluruh batang penis Baroto, menghisap, menjilatinya dengan
buas. Baroto begitu menikmati keliaran oral sex yang diberikan oleh sang istri.
"Oooocchhhh...Nakal
banget Kamu Mah...Fuck!" Erang Baroto menikmati kuluman Sinta pada batang
penisnya.
"Eeeemmcchhh...Aaaahhhhg...Ayo
Mas keluarin pejumu..." Goda Sinta sambil sesekali menjilati lubang
kencing penis Baroto dengan ujung lidahnya.
"Aaahhhh....Mah...Aaaaahhh..."
Baroto mulai merasakan desakan yang memaksa untuk segera dikeluarkan dari dalam
penisnya.
"Ayo
Mass...Muncratin yang banyak....Aaaaahh...."
"Lepasin
Mah...Aaaahh..."
Baroto
mengambil alih batang penis dengan tangannya sendiri, sesaat dia kocok batang
penisnya yang sudah basah akibat air liur Sinta. Sang istri sudah bersiap
menerima semburan sperma, Sinta memposisikan wajahnya tepat di hadapan ujung
penis Baroto, mulutnya juga terbuka lebar, siap menampung cairan dari dalam
penis sang suami.
"AAAAARRGHHTTT!!!
AAAAACHHH!!!!"
CROOOT...!!!
CROOOOOTT!!!
CROOOTTT!!
"Emmchhhhh
Maaass....Aaaachhh...."
"Haaaah....Haaaahh...."
Nafas Baroto menderu, lututnya sedikit lemas hingga memaksa tangannya bersandar
pada tembok kamar mandi. Di bawah, wajah Sinta sudah belepotan dengan cairan
sperma, senyumnya mengembang, akhirnya dia bisa kembali merasakan cairan kental
milik sang suami.
"Eeeemmcchhhh...Enak
Mas pejumu...." Puji Sinta sambil mengerlingkan mata.
"Haaaahhh...Ayo
Mah, kita harus keluar dari sini....Gerah banget." Ucap Baroto sambil
mencoba menata nafasnya yang sesekali masih tersenggal akibat ejakulasi
barusan.
"Iya
Mas...Tapi nanti lanjut lagi di rumah ya..." Kata Sinta manja.
"Hmmm...Yakin
masih kuat?" Goda Baroto menanggapi permintaan sang istri.
"Iihhhh
Kamu mesti gitu deh Mas..."
"Heeeehee...Udah
yuk keluar, anak-anak dapur pasti udah mau pulang nih." Keduanya bergegas
merapikan pakaian kemudian keluar dari dalam kamar mandi dan kembali ke dapur.
*****
Ayu beberapa
kali melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya, sudah hampir
setengah jam dia menunggu angkot yang buasa dia tumpangi setelah selesai
bekerja. Dari raut wajahnya terlihat jika gadis cantik itu mulai gelisah. Bukan
hanya karena sudah malam, tapi juga karena beberapa hari terakhir ini marak
beredar kabar tentang kejahatan jalanan yang menyasar para wanita. Ayu menjadi
lebih khawatir saat harus pulang kerja sendirian seperti ini.
"Loh kok
belum pulang Yu?" Suara bass seorang pria mengagetkan Ayu yang sibuk
melihat arus jalan raya di depannya.
"Eh Mas
Bimo, iya Mas, ini masih nunggu angkot." Jawab Ayu. Bimo adalah satpam
yang bekerja di Bank swasta, letak gedung tempat kerja yang berdekatan membuat
keduanya saling mengenal.
"Oh gitu,
udah malam gini biasanya emang jarang sih Yu angkot lewat sini."
"Iya
mas." Jawab Ayu semakin gelisah.
"Bentar
Yu, kamu tunggu di sini sebentar ya." Ucap Bimo seraya bergegas menuju
pelataran parkir tempat kerjanya.
"Ayo Yu
Aku anterin pulang." Tak sampai 10 menit, Bimo sudah berada di samping Ayu
dengan mengendarai motor butut miliknya.
"Loh, Mas
Bimo nggak kerja?" Tanya Ayu.
"Ya kerja
Yu, lah ini pake seragan lengkap, hehehe." Jawab Bimo sambil terkekeh
ringan.
"Kalo
kerja kok mau nganterin Aku pulang Mas? Ntar yang jagain kantormu siapa?"
"Nggak
apa-apa Yu, ada Danang yang gantiin posisiku sebentar, lagipula nganterin Kamu
pulang nggak sampai 2 hari 2 malem kan?"
"Ah Mas
Bimo becanda mlulu."
"Hehehe,
udah ayo naik sini, Aku anterin Kamu pulang. Ehmmm..tapi maaf, Aku nganterinnya
pake motor butut kayak gini, hehehehe."
"Ehmmm...Duh
gimana ya Mas, Aku nggak enak ngrepotin Mas Bimo." Kata Ayu ragu.
"Alah
Kamu ini kayak sama siapa aja Yu. Nggak apa-apa kok, lagipula Aku juga sudah
ijin sama komandanku tadi." Kata Bimo mencoba meyakinkan Ayu. Ayu sesaat
berpikir, meskipun tawaran Bimo dirasakan sebagai "obat mujarab"
untuk meredakan kegelisahannya. Tapi di sisi lain dia merasa sungkan, nggak
enak hati, merepotkan Bimo yang harus meninggalkan pekerjaannya demi untuk
mengantarnya pulang.
"Ehmmm..Ya
udah deh Mas." Kata Ayu beberapa saat kemudian, persetujuan yang
menimbulkan senyum simpul di bibir Bimo.
"Ok deh,
nih pake dulu Yu, biar aman." Ucap Bimo sambil menyerahkan sebuah helm
pada Ayu.
Beberapa saat
kemudian keduanya berlalu meninggalkan palataran parkir The East. Selain itu
juga menyisakan debar dalam dada Bimo, baru kali ini dia bisa mengantar Ayu
pulang. Sekian lamanya Bimo memendam perasaan pada Ayu, tapi tak sekalipun ada
keberanian untuk mengungkapkannya. Dan malam ini keberanian itu mulai tumbuh
pada diri Bimo, malam ini berarti banyak bagi Bimo.
******
Di sebuah klub
malam dentuman house musik terdengar memekakkan telinga, puluhan orang sibuk
menggoyangkan badannya mengikuti irama musik, sementara beberapa lainnya asyik
menenggak minuman alkohol sambil bercengkrama dengan sahabat dan kolega. Di
salah satu table, Anwar terlihat duduk dikelilingi wanita-wanita cantik dengan
pakaian sexy dan dandanan menor yang biasa disebut LC dalam dunia malam. Selain
itu juga ada Rico Sumangkir, 54 tahun, kawan dekat Anwar sejak masa muda dulu
hingga sekarang. Rico tampak asyik menggoda para LC sambil sesekali memeluk dan
menciumi mereka satu persatu. Gelak tawa tak jarang terdengar lantang dari
mulut pria tua bertubuh kurus ini. Berbeda dengan Rico, tak seperti biasanya
Anwar kurang bersemangat malam ini, dia hanya menikmati batang cerutu Kuba,
tatapannya terlihat kosong, seperti ada yang tengah dipikirkan oleh pria tua
itu.
"Kau
kenapa Pak tua??" Tanya Rico saat menyadari ada yang berbeda dengan sikap
Anwar malam ini.
"Entahlah,
Aku merasa hidupku akhir-akhir ini hampa."
"Hahaha...Aku
tau solusi atas apa yang Kau alami Pak tua."
"Maksudmu?"
"Ini
maksudku, Hahahaha...!" Ucap Rico sambil menarik seorang LC dengan sedikit
kasar dan mendekatkannya pada Anwar.
"Kau
tiduri dia, keluarkan pelurumu, Aku jamin kehampaanmu akan segera hilang, benar
kan cantik? Hahahaha..." Lanjut Rico sambil mencolek dagu sang LC yang
sebenarnya merasa risih dengan sikap Rico pada dirinya.
"Ah, Kau
ini selalu menganggap sex sebagai jalan keluar semua masalah." Gerutu
Anwar sebelum mengepulkan asap cerutu dari dalam mulutnya.
"Loh
bukannya kita memang seperti itu Pak tua? Hahahaha..." Jawab Rico cuek.
"Terserah
Kau sajalah."
"Hei..Sudah
tua jangan terlalu banyak pikiran, usia kita ini sudah lanjut kawan! Nikmati
hidup mumpung masih ada waktu. Lagipula orang sepertimu yang memiliki segalanya
nggak masuk akal kalo merasa hidup hampa." Kata Rico.
"Entahlah
kawan..." Hembusan asap kembali keluar dari dalam mulut Anwar.
"Ohhh...Aku
tau apa yang membuatmu merasa hampa Pak tua!"
"Apa...?"
"Pendamping
hidup! Ya, Kau harus mengakhiri masa lajangmu Pak tua!! Ini Kau tinggal pilih
dari mereka! Hahaha..!" Ucap Rico sambil menunjuk satu persatu wajah LC
yang duduk mengelilingi mereka berdua.
"Sudahi
omong kosongmu." Balas Anwar dengan muka masam.
"Hahahaha...!!
Ayolah kawan nikmati hidup selagi bisa, hahahaha...!" Rico kembali
tergelak.
Anwar hanya
tersenyum kecut menanggapi tingkah sahabat dekatnya itu. Tapi diam-diam dalam
hati pria tua tersebut membenarkan apa yang sudah dikatakan oleh Rico. Hidupnya
hampa mungkin karena ketiadaan seorang pasangan, praktis sepanjang hidupnya
Anwar tidak memiliki tambatan hati untuk saling berbagi. Semua keresahan dan
problem dalam hidupnya selalu dia pikul dan hadapi sendiri, dulu Anwar bisa
menantang dunia dengan semua kekayaan, kekuasaan, dan egonya, tapi beranjak tua
dia mulai merasa berat untuk melakukan itu semua. Dia butuh seseorang untuk
mengisi kekosongan dalam hidup, seseorang yang tulus mencintai dan mendukungnya
menghabiskan sisa hidup.
"Haruskah
Aku menikah di usia setua ini...?" Tanya Anwar dalam hati.
*****
"Makasih
ya Mas udah nganterin Aku pulang, nggak tau deh tadi kalo nggak ada Mas. Maaf
udah ngrepotin juga." Ucap Ayu setelah turun dari motor Bimo dan
menyerahkan helm pada pria gagah itu.
"Alah
biasa aja Yu, Aku juga seneng bisa bantu Kamu kok, Hehehehe..." Jawab
Bimo, tanpa Ayu sadari saat ini dada Bimo sedang berdebar kencang.
"Ehmmm...Mas
Bimo nggak mau mampir dulu?" Ayu mencoba berbasa-basi sebelum masuk ke
dalam rumahnya yang sudah gelap.
"Nggak
usah Yu, udah malem juga. Kamu istirahat aja, Aku juga harus langsung balik ke
Bank."
"Oh ya
udah kalo gitu Mas, sekali lahi makasih ya." Kata Ayu sambil tersenyum,
senyum yang semakin membuat Bimo salah tingkah malam ini.
"Ya udah,
Aku balik dulu ya Yu."
"Iya Mas,
hati-hati."
Bimo pun
menyalakan motor bututnya dan pergi meninggalkan Ayu, wanita cantik itu melihat
punggung Bimo sampai tidak terlihat lagi dari pandangan matanya. Dalam hati dia
bersyukur bisa mengenal pria baik seperti Bimo. Ayu kemudian masuk ke dalam
rumah, pelan-pelan dia membuka pintu rumah, tidak ingin membangunkan Ibunya
yang biasanya sudah terlelap di jam seperti ini.
"Baru
pulang Yu...?"
"Loh kok
Ibu belum tidur?"
"Iya,
nggak bisa tidur Yu. Kamu sudah makan?"
"Belum
Bu, nanti saja setelah mandi."
"Mau Ibu
masakin air panas buat mandi Yu?"
"Nggak
usah Bu, Ibu tidur aja."
"Ya
sudah, nanti setelah mandi langsung makan ya Yu, Ibu tadi beli nasi goreng
kesukaanmu."
"Iya
Bu."
Sudah hampir 4
tahun Ayu dan Ibunya tinggal berdua di sebuah rumah kontrakan kecil jauh dari
pusat kota. Kematian sang Ayah 4 tahun silam karena insiden kecelakaan membuat
Ayu harus melupakan mimpinya untuk menuntut ilmu sampai perguruan tinggi. Di
usia yang masih sangat belia, Ayu menggantikan peran sang Ayah sebagai kepala
rumah tangga. Ayu harus mencari nafkah, membanting tulang untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya dan sang Ibu. Ayu begitu ikhlas melakukan itu, tak ada
penyesalan di dalamnya karena semua dia lakukan untuk sang Ibu. Meskipun
terkadang sangat lelah, tak pernah sekalipun dia mengeluh apalagi
menunjukkannya pada sang Ibu. Ayu tidak ingin sang Ibu merasakan beban yang dia
tanggung.
******
"Mas,
Kamu yakin dengan rencana ini?" Kata Sinta pada Baroto yang terlihat sibuk
memainkan jarinya pada keyboard komputer di ruang kerja.
"Sudahlah
Mah, percayakan semua ini padaku " Jawab Baroto dingin, matanya tidak
beralih dari layar monitor.
"Tapi
nanti bagaimana kalo Om Anwar tau? Aku takut Mas." Mimik muka Sinta
menunjukkan kekhawatiran.
"Tenang
saja, si tua bangka itu tidak akan pernah tau, semuanya rapi Aku sembunyikan.
Kamu lihat ini sendiri kan?" Ucap Baroto sambil menunjuk layar monitor
yang tertera aplikasi microsoft office excel, berisi rincian uang perusahaan
Anwar yang dipercayakan kepada Sinta.
"Akuntan
handal pun tidak mungkin bisa menemukan semua ini Mah, apalagi si tua bangka
itu. Lagipula dia kan sudah mempercayakan semuanya kepadamu, dia taunya tinggal
beres. Selama dia bisa foya-foya dan main perempuan, kita tetap aman, jadi Kamu
tenang saja."
"Mas!!"
"Loh kan
bener."
"Bagaimanapun
Om Anwar punya jasa besar bagi hidupku dan keluargaku! Dia yang membiayaiku
selama ini Mas!" Tiba-tiba raut wajah Sinta berubah akibat emosi yang
muncul dari dalam dirinya.
"Aku
tidak akan lupa itu semua Mah, tapi Aku juga tidak akan pernah lupa bagaimana
si tua bangka itu merendahkanku di hadapan keluarga dan teman-temanmu!"
Ucap Baroto tak kalah sengit.
"Tapi itu
sudah bertahun-tahun yang lalu Mas...Kau juga sudah bilang kalo telah memaafkan
Om Anwar..."
"Ya, Aku
memang sudah memaafkannya, tapi Aku tidak bilang akan diam saja bukan?"
"Maksudmu
apa Mas?"
"Maksudku,
pria tua itu harus membayar semua yang telah dia lakukan kepadaku! Kepada kita!
Kepada waktu yang telah memisahkan kita dulu!" Sinta tak bisa kembali
mendebat argumen Baroto, karena dalam hati kecilnya juga setuju dengan argumen
tersebut.
Karena Anwar
lah Baroto dan Sinta harus terpisah sekian tahun, menjalani hubungan LDR
Indonesia-Amerika meskipun baru menikah 2 bulan. Sekian tahun Baroto mengasah
kemampuannya sebagai seorang cheff handal dengan penghasilan lebih dari cukup
hanya untuk membuktikan kepada Anwar jika dia pantas menjadi suami Sinta.
"Aku
capek Mas, Aku mau tidur, terserah Kamu mau apalagi dengan Om Anwar. Aku nggak
mau tau."Ucap Sinta sebelum beranjak dari ruang kerja Baroto, meninggalkan
suaminya itu sendiri di sana.
"Kau
harus mendukungku Mah...Semua ini Aku lakukan untuk kita!" Kata Baroto,
Sinta hanya berlalu pergi tanpa menanggapinya.
*****
Hari masih
terlalu pagi, bahkan ayam pun masih malas untuk berkokok, tapi seorang wanita
paruh baya dengan dandanan menor dan puluhan aksesoris berkilau emas menimbun
tubuh tambunnya sudah menggedor-gedor pintu rumah kontrakan yang ditempati Ayu
dan Ibunya.
"Jangan keluar Yu..."
Raut wajah Bu Halimah ketakutan, apalagi gedoran di pintu rumahnya semakin lama
tidak semakin reda.
DOK
DOOK
DOOKKK!!!
"Saya tau
kalian di dalam!!" Teriak si wanita tambun dari luar, tangan gempalnya
masih terus menggedor permukaan pintu dengan keras.
Beberapa
tetangga Ayu yang kebetulan mendengar kegaduhan hanya memandangi si Ibu tambun
dari kejauhan, tidak ada yang berani mendekat untuk meredakan suasana di pagi
buta ini.
"Nggak
apa-apa Bu, lagian kalo dibiarin nggak enak diliatin sama tetangga." Kata
Ayu sambil mencoba melepaskan genggaman tangan Ibunya yang sedari tadi
mencegahnya untuk menemui si Ibu tambun.
"Jangan
Yu...Nanti kalo Bu Yeyen ngasarin Kamu gimana?" Ucap Bu Halimah dengan
mimik wajah penuh kekhawatiran.
"Ibu
tenang aja...Ayu nggak bakal diapa-apain kok.."
DOK!!
DOOK!!
DOOOK!!!
"Ayo
keluar kalian!! Enak aja kalian ngontrak tapi nggak mau bayar!! Kalian pikir
Saya nggak butuh uang apa?!!" Wajah Bu Yeyen, si Ibu tambun, pemilik
kontrakan yang ditempati Ayu dan Ibunya, semakin memerah.
CEKLEK....
Ayu membuka
pintu rumah setelah sebelumnya menarik nafas panjang, menyiapkan mental untuk
menghadapi omelan atau bahkan cacian dari Bu Yeyen.
"Mana
Ibumu?! Heh?!" Hardik Bu Yeyen kasar.
"Masuk
dulu Bu, nggak enak diliat tetangga pagi-pagi udah ribut." Ucap Ayu
mencoba menenangkan emosi Bu Yeyen.
"Alaahh...Kamu
nggak usah banyak alesan! Kapan kalian bayar tunggakan kontrakan yang udah 3
bulan?! Heh?! Mau janji-janji lagi?! Jangan dikira Saya ini mudah ditipu ya!
Ayo cepat bayar!" Bu Yeyen mencerca Ayu dengan ganas seperti tidak ingin
disanggah omongannya oleh gadis cantik itu.
"I..Iya
Bu Saya ngerti...Kasih kami waktu sebentar lagi, Kami janji akan membayar
tunggakan kontrakan."
"Alah ! Aku
sudah duga kamu bakal bilang kayak gitu Yu!! Udah hapal Aku ini!" Ucap Bu
Yeyen ketus.
"Tolong
kali ini saja Bu beri kami sedikit kelonggaran..." Ucap Ayu dengan nada
mengiba, berharap hati wanita tambun di depannya itu sedikit luluh.
"Kelonggaran??
Kelonggaran katamu??! Lalu selama 3 bulan ini Kau kira apa?? Hah?! Enak aja
kalian tinggal di rumahku tapi nggak mau bayar! Kalian pikir kontrakan ini
milik nenek moyangmu apa?" Berondongan kalimat dari Bu Yeyen semakin
membuat Ayu tak berkutik, gadis cantik itu seolah kehilangan kata untuk meredam
amarah Bu Yeyen.
"Udah
gini aja, Aku kasih waktu kalian 2 hari, kalo sampai lusa kalian tidak bisa
melunasi tunggakan, kalian harus keluar dari rumah ini!" Tegas Bu Yeyen.
"Ta..Tapi
Bu.."
"Nggak
ada tapi-tapian, Aku udah cukup bersabar menghadapi orang miskin nggak tau diri
seperti kalian ini!"
Kalimat kasar
Bu Yeyen barusan mengakhiri keributan, Bu Yeyen melangkah pergi meninggalkan
Ayu dan beberapa tatapan tetangga yang sedari tadi mendapat
"tontonan" gratis di pagi hari. Dua hari terlalu cepat bagi Ayu,
tunggakan sebesar 4 juta rupiah bukan uang kecil bagi pelayan restoran seperti
dirinya. Tubuh Ayu mendadak lemas, pikirannya begitu kalut menghadapi masalah
ini. Ayu seolah tidak bisa menemukan jalan keluar terhadap masalah ini. Tak
terasa air matanya jatuh menetes, pandangan tetangga sekitar berubah menjadi
iba terhadap kejadian yang menimpa Ayu dan Ibunya.
"Kamu
kenapa Yu...? " Tanpa disadari Bimo menampakkan batang hidungnya di
hadapan Ayu yang masih berdiri mematung di depan pintu.
"Eh..Mas
Bimo..." Ayu segera menyeka air matanya, menyembunyikan kesedihannya di
hadapan Bimo.
"Kamu
kenapa? Ada masalah apa?" Tanya Bimo.
"Nggak
ada apa-apa Mas..."
"Yu, Aku
bukan anak kecil yang mudah dibohongi, cerita Yu, mungkin Aku bisa
membantumu." Ayu tidak menjawab, justru airmatanya kembali mengalir
membasahi pipinya yang putih, samar terdengar isakan dari bibirnya.
"Sabar
Yu...Sabar..." Ucap Bimo mencoba menenangkan Ayu.
*******
Sepeda motor
butut Bimo berhenti tepat di depan restoran The East, tempat Ayu bekerja. Tak lama kemudian turun dari boncengan tubuh
ramping Ayu. Insiden pagi tadi membuat
mata gadis cantik itu sembab, meskipun
sudah mecoba untuk menutupinya dengan guratan make up tipis tapi raut kesedihan
di wajah Ayu masih terlihat.
"Kamu
nggak apa-apa Dek...? " Tanya Bimo khawatir.
"Nggak
apa-apa kok Mas... " Jawab Ayu lemah.
"Yu...
" Bimo menggenggam jemari Ayu.
" Aku
sebisa mungkin akan membantumu, Kamu
nggak perlu merasa sendirian menghadapi masalah ini. Ada Aku. " Ucap Bimo.
"Makasih
Mas, tapi Aku nggak mau merepotkan orang
lain, terlebih Mas Bimo. Aku yakin, pasti ada jalan keluar."
Ayu sedikit
berat mengucap harapan itu, Ayu tau betul menyiapkan uang untuk membayar
tunggakan rumah kontrakannya hanya dalam tempo waktu beberapa hari bukan hal mudah bagi dirinya yang bekerja
sebagai pelayan restoran.
"Pokoknya
Kamu tenang saja, kita hadapi ini
bersama. " Kata Bimo menguatkan hati Ayu.
"Iya
Mas... Makasih. "
"Ya
sudah, Kamu kerja aja dulu, Aku juga harus siap-siap nih, hari ini Aku ada pekerjaan penting. "
"Iya Mas,
hati-hati... " Kata Ayu.
"Assalamualaikum.
"
"Waalaikumsalam
"
Tak lama
kemudian motor Bimo melaju pelan meninggalkan Ayu. Ayu menatap punggung Bimo
menjauh menembus padatnya lalu lintas,
semakin lama semakin menjauh.
Gadis cantik itu kemudian melangkah memasuki restoran, di dalam otaknya kembali berkecamuk ingatan tentang
cacian dan ancaman Bu Yeyen. Ucapan Bimo
tak sepenuhnya berhasil menenangkan Ayu.
*****
BRAAAKKK!!!!
Anwar
menggebrak meja kerja Baroto. Wajahnya berubah menjadi sangat tegang, kerutan di jidatnya terlihat jelas, rahangnya yang kokoh juga ikut mengeras. Di hadapannya Baroto hanya duduk terdiam.
"Keuangan
macam Ini?! " Anwar melemparkan selembar kertas je hadapan Baroto, pria
besar itu masih terdiam.
"Jangan
Kau pikir meskipun Kau suami Sinta, Kau
bisa seenaknya melakukan tugasmu di sini!
Di rumah Kau memang bagian dari keluargaku, tapi di sini Kau tetap karyawanku! "
"Saya
sudah berusaha sebaik mungkin untuk mengelola restoran ini Pak. Kalopun neraca keuangan beberapa bulan
terakhir kurang begitu baik, tapi jika
dibandingkan dengan restoran-restoran lain, the East jauh lebih baik."
Kata Baroto.
"Kalo
lebih baik laporan sampah itu tak mungkin Aku baca hari ini! " Hardik
Anwar kembali.
"Aku
sudah makan asam garam dunia bisnis,
jauh sebelum Kau mampu membeli celanamu sendiri! Jadi jangan mengguruiku tentang urusan
semacam ini! "
"Saya
minta maaf Pak jika Saya melakukan kesalahan. "
"Aku
tidak menerima kesalahan, Kau harus
perbaiki ini semua. Jika laporan
keuangan tak kunjung membaik jangan menemuiku! " Anwar beranjak dari
kursinya kemudian pergi meninggalkan ruang kerja Baroto.
Pria tua itu
masih bersungut-sungut, paginya menjadi
buruk setelah membaca laporan keuangan The East yang dibuat oleh Baroto. Anwar
berhenti di ruang depan restoran, masih belum banyak pengunjung yang datang,
dia memutuskan untuk duduk sebentar mengamati keadaan sekitar.
"Selamat
pagi Pak, ada yang bisa saya siapkan untuk Bapak?" Anwar menoleh ke sumber suara, sosok Ayu
sudah berdiri di sampingnya, senyum sederhana gadis itu membuat Anwar sesaat
terhenyak.
"Air
putih saja. " jawab Anwar singkat mencoba menutupi kegugupannya.
"Baik
Pak, mohon ditunggu sebentar." Ayu bergegas berbalik badan, menyiapkan air
putih yang dipesan oleh bos besarnya.
Langkah Ayu
yang gemulai tanpa disadarinya tengah diamati seksama oleh Anwar, pria tua itu
seolah terhipnotis oleh kecantikan sederhana tanpa make up mencolok seperti
halnya wanita-wanita nakal yang sering dia temui di night club.
******
"Sudah
semua?" Kata seorang pria berseragam dengan kumis tebal dan sepucuk
senjata api laras panjang berada di genggamannya sedari tadi mengamati gerak
gerik Bimo dan dua orang lain dari Bank Agra yang hari ini bertugas mengambil
uang dari kantor pusat yang akan digunakan untuk cadangan kas.
"Sudah
Pak. " Bimo dan satu orang security lain meletakkan kotak besi besar
terakhir ke dalam mobil security, kini ada tiga kotak besar di dalam
mobil, dimana masing-masing kotak berisi
uang kertas pecahan seratus ribuan senilai satu milyar.
"Oke, tanda tangan dulu di sini. " Si pria
berkumis menyerahkan selembar kertas untuk ditandatangani oleh Bimo, yang kali ini bertugas sebagai pemimpin regu.
"
Ingat, hati-hati di jalan, selalu waspada, hubungi kantor pusat jika ada kendala di
perjalanan. Nyalakan terus GPS mobil
agar kami di sini bisa terus memantau."
"Siap, laksanakan Pak! " Jawab Bimo tegas
sebelum dia dan team pengamanan yang lain beranjak pergi dari ruang bawah tanah
kantor pusat Bank Agra.
Tak lama,
empat security bank bersama dua orang polisi bersenjata lengkap menaiki
mobil kemudian melaju menembus kemacetan lalu lintas ibu kota. Di dalam mobil,
tak banyak yang berbicara, semua orang fokus mengamati keadaan sekitar.
Meskipun ini merupakan rutinitas setiap satu bulan sekali tapi tetap saja
mengawal uang sebanyka 3 M bukanlah pekerjaan yang ringan. Ancaman bisa datang
dari mana saja, maka jangan heran setiap orang di dalam mobil tersebut lebih
memilih untuk menahan gurauan sebelum sampai di tempat tujuan.
Keringat
dingin Bimo menetes perlahan, tanpa diketahui oleh orang lain saat ini dia
sedang memikirkan sesuatu, sebuah rencana jahat lebih tepatnya. Uang 3 M yang
saat ini sudah berada di hadapannya cukup menggiurkan untuk dia ambil, tak
harus semuanya, yang penting cukup untuk merubah jalan hidupnya yang selama ini
jauh dari kata sejahtera. Apalagi Ayu, wanita yang dicintainya juga sedang
mengalami masalah pelik, dengan uang sebanyak ini tentu Bimo bisa membantu Ayu
menyelesaikan masalahnya. Otak Bimo seolah telah ditutupi pengaruh jahat, uang
dihadapannya memicu niat jahat untuk melakukan perampasan. Sesuatu yang
mengharuskannya untuk menghabisi orang lain yang kebetulan berada dalam satu
mobil bersamanya. Tak berselang lama, jari Bimo sudah mengambil posisi untuk
menarik pelatuk, salah satu rekannya yang duduk di sebelah tampak memperhatikan
gerak gerik mencurigakan yang diperlihatkan oleh Bimo, tapi sayang reaksi orang
tersebut kalah cepat dengan perbuatan Bimo.
DOOOR..!!
DOOORR..!!
DOOOR..!!!
CIIIIIITTTTT.....!!!!!
BRAAAKKKKK!!!
Letupan
senjata Bimo menyalak beberapa kali, mencabut nyawa seluruh penumpang di mobil
itu. Sang sopir yang bernasib sama gagal mengendalikan mobil, membuat kendaraan
itu terpelanting dan menabrak pembatas jalan. Beberapa kendaraan lain berhenti,
para penumpang juga berhamburan untuk menyaksikan apa yang terjadi. Tak
berselang lama Bimo keluar dari bangkai mobil sambil menyeret satu kotak besi
besar berisi uang jarahannya, satu tangannya masih menenteng senjata.
DOOORR...!!
DOORR...!!!
DOORR..!!
Dengan tujuan
menghalau massa, Bimo kembali menekan pelatuk senjatanya ke udara, cara yang
cukup berhasil. Beberapa orang yang hendak mendekat mengurungkan niatnya,
mereka berlari kocar-kacir menjauh dari lokasi kejadian. Sirine terdengar
mengaung, mendekati lokasi kecelakaan. Bimo kesulitan untuk membawa kotak besi
itu sendirian, kepanikan mulai mendera pemuda gagah itu. Bayangan akan
kemewahan yang berasal dari uang jarahannya mendadak buyar, cita-citanya untuk
bisa membahagiakan Ayu pun demikian. Benar saja, tak berselang lama mobil
polisi mulai berdatangan, berhenti tak jauh dari bangkai mobil yang menabrak
pembatas jalan. Asap mengepul pekat dari dalam mesin mobil, situasi berubah
mencekam tatkala puluhan Polisi bersiap untuk melakukan penyeregapan. Puluhan
mocong senjata telah mengarah ke posisi Bimo berdiam diri.
"Angkat
tangan !!! Buang senjatamu sebelum kami bertindak lebih tegas!" Teriak
salah seorang Polisi menggunakan pengeras suara.
Bimo semakin
panik, melawan puluhan Polisi dan berakhir tragis dengan mati konyol di jalanan
Jakarta tentu tak pernah menjadi cita-citanya. Tapi menyerah dan berakhir
dengan mendekam di dalam penjara dengan hukuman berat juga bukan ending cerita
yang dia pikirkan. Bimo kebingungan untuk mengambil sikap.
"Serahkan
dirimu! Kami sudah mengepungmu!" Teriak sang Polisi kembali, kali jauh
lebih lantang dari sebelumnya, memberi tanda pada Bimo jika aparat keamanan
sedang tidak bermain-main hari ini.
Belasan Polisi
khusus berseragam hitam-hitam bergerak mendekati bangkai mobil, derap kaki
mereka begitu lugas. Waspada dan terus mengawasi keadaan sekitar karena mereka
tau orang yang mereka buru kali ini juga sedang memegang senjata api. Belum
sampai tim buru sergap kepolisian meringkus paksa Bimo, tangan pemuda itu
terangkat, senjatanya juga sudah dia buang menjauh.
"Tiarap!
Tiarap!!!" Teriak komandan regu memberi intruksi kepada Bimo yang
memutuskan untuk menyerahkan diri untuk
tiarap.
Tak butuh
waktu lama Polisi berhasil meringkus Bimo, pemuda itu tertunduk pasrah saat
digelandang menuju mobil Polisi untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Mimpinya untuk bisa hidup bahagia bersama ayu seketika musnah tanpa sisa.
Posting Komentar
0 Komentar